Tinta Media: Polisi
Tampilkan postingan dengan label Polisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Maret 2023

Polisi Mulia dalam Sistem Islam, Terhina dalam Sekularisme

Tinta Media - Polisi atau Syurá¹­ah dalam bahasa Arab adalah profesi mulia dalam sistem Islam. Mereka adalah orang-orang pilihan yang memiliki fisik yang kuat agar bisa memberikan rasa aman pada masyarakat. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki tsaqofah keislaman yang mantab, menguasai hukum-hukum Syara' agar mereka bisa menyelesaikan setiap masalah di masyarakat dengan Islam. Polisi adalah teladan yang baik bagi masyarakat karena pola pikir dan sikap mereka Islami dan mereka siap membela rakyat untuk memperoleh keadilan. Sungguh, polisi adalah profesi yang mulia dan bukan orang biasa dalam sistem Islam.

Tapi polisi terhina dalam sistem demokrasi kapitalisme yang mengagungkan gaya hedonisme yang dijadikan standar kesuksesan dalam hidup. Mereka dianggap sukses saat mampu memiliki harta berlimpah, investasi tanah dimana-mana dan uang yang tersimpan di Bank yang mereka anggap bisa mengekalkan hidup mereka di dunia. Tapi, tidak semua jiwa yang hidup pasti mati, sementara apa yang sudah mereka kumpulkan dan banggakan termasuk keluarga harus ditinggalkan saat ajal datang menjemput. Bahkan banyak dari mereka belum sempat menikmati apa yang mereka miliki. Lalu untuk apa bermegah-megahan dan mati-matian mengejar kekayaan dan jabatan jika yang dibawa ke kubur hanya secarik kain kafan. Semua harta kita tinggalkan dan tidak ada gunanya lagi. Sementara amal kebaikan yang dikaitkan dengan Islam sering kita lupakan padahal itulah bekal kita nanti setelah mati. Kehidupan dunia segera menjadi cerita dan akhirat akan menjadi fakta yang harus kita jalani untuk selama-lamanya. 

Polisi dalam sistem kapitalis demokrasi sering merendahkan diri mereka dengan menjadi pengemis jalanan karena pemahaman mereka yang salah dalam memahami arti kesuksesan yang selalu dikaitkan dengan banyaknya materi yang mereka bisa kumpulkan. Tidak jarang mereka melanggar hukum dan mempermainkannya. Terhina karena mereka melanggar aturan Allah demi nilai materi yang sering menjadikan sesorang menjadi rendah. Tidak jarang mereka hanya menumpuk kekayaan, dan membangga-banggakannya, bahkan tidak sempat menikmatinya, keburu kematian menghentikan aliran rezeki yang datang padanya. Padahal Rezeki itu datang dari Allah, dan Dialah sebaik-baik pemberi rezeki. Seandainya, mereka tahu bahwa rezeki yang mereka miliki dapat membantunya saat tidak ada satupun yang bisa membantu jika semua itu diinfaqkan di jalan Allah. tentunya dia tidak akan ragu untuk melakukannya ikhlas untuk menggapai ridho Nya. Tapi sayang mereka dibutakan oleh gemerlap dunia yang membuat mereka lupa akan kehidupan akhirat, tempat kembali mereka setelah mati. Padahal dunia hanyalah untuk sementara, sementara akhirat untuk selama-lamanya.

Semakin jelas setelah kasus Sambo terkuak, citra polisi semakin jatuh dan terhina oleh kelakuan mereka sendiri yang meninggalkan aturan Allah demi memuaskan nafsu untuk berkuasa dan menumpuk harta kekayaan. Polisi yang harusnya menjadi teladan dan pelindung masyarakat, terbukti menjadi pelaku kejahatan, serta berani membuat skenario untuk menutupi kejahatannya. Polisi kehilangan kepercayaan dari rakyat. Mafia kejahatan, bukan kejahatan biasa, ibarat benang kusut yang sangat sulit terurai. Mereka saling menyandra dan melindungi dalam kejahatan, sehingga proses hukum yang harusnya mudah, menjadi susah dan berbelit-belit. Banyak barang bukti yang sengaja dirusak dan dihilangkan, dan cerita bohong sengaja dibuat untuk menutupi kejahatan mereka.

Polisi, yang terhormat dan mulia dalam sistem Islam, menjadi rendah dan terhina dalam sistem demokrasi kapitalisme yang mengagungkan nilai materi. Pemahaman yang materialistik, pragmatis, serta peluang besar untuk menyalahgunakan jabatan mendorong banyak oknum polisi yang tidak punya iman kuat, mudah untuk menghinakan diri menjadi pelaku kejahatan. Bisa mempermainkan hukum dunia sehingga merasa aman untuk berbuat apa saja yang mereka inginkan, meskipun melanggar aturanNya. Mereka lupa ada peradilan akhirat yang pasti akan menghukum siapa saja yang melanggar aturan Nya. Semua orang mendapatkan balasan setimpal sesuai dengan kejahatan yang sudah diperbuat. Tidak akan kuat jika kejahatan yang dilakukan sudah mempermainkan hukum dan mendzolimi banyak orang. Bahkan sebelum datangnya pengadilan akhirat, di dunia mereka terhina demi menjadi budak dunia.

Tidak hanya polisi tapi semua pejabat yang gila harta dan jabatan akan menghinakan diri mereka sendiri. Sistem sekular telah membentuk pemahaman yang jauh dari agama. Sistem sekuler hanya akan membentuk pemahaman sekuler dengan menghilangkan kesadaran hubungan mereka dengan Tuhan yang telah menciptakan manusia, hidup dan alam semesta. Bahkan akhirat dianggap cerita bohong, hanya ramalan yang tidak pasti terjadi. Mereka menghinakan diri mereka dengan menjadi budak dunia. Menabrak aturan Pencipta hanya untuk mengikuti nafsu mengejar nikmat dunia yang semu dan menipu. 

Padahal, Allah SWT. menjanjikan kemuliaan bagi manusia yang bertaqwa. Hidup dalam sistem Islam akan membentuk jiwa-jiwa yang bertaqwa, karena Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Kemudian, pintu berkah dari langit dan bumi terbuka lebar, bukan bencana bertubi-tubi karena meninggalkan syariat Allah SWT. Semoga umat Islam masih mampu berfikir sehat dengan terus memperjuangkan terwujudnya sistem Khilafah yang akan mengembalikan terwujudnya kehidupan Islami yang akan membawa kebaikan untuk seluruh umat manusia. Berfikir cerdas dengan mencampakkan sekularisme yang tidak hanya membawa kehinaan di dunia, tapi kesengsaraan di akhirat nanti setelah mati. 

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 14 Januari 2023

Ustadz Iwan Ungkap Penyebab Polisi "Menjual" Istrinya

Tinta Media - Pakar Parenting Ideologis Ustadz Iwan Januar mengungkap seorang polisi yang  "menjual" istrinya kepada orang lain kemungkinan disebabkan oleh dua hal.

"Ada dua kemungkinan, pertama, pelaku atau suami ingin mengkomersilkan istrinya karena uang. Kedua, ini bagian dari penyimpangan perilaku seksual yang menggejala di masyarakat Indonesia," ujarnya kepada Tinta Media, Kamis (12/1/2023)

Ia juga menceritakan bahwa sekarang di masyarakat banyak pasangan atau individu yang tidak puas dengan pemenuhan seksual secara normal. "Di antaranya ada individu yang senang dan kecanduan melihat istrinya digauli lelaki lain," herannya.

Ia juga menyebutkan, ada juga yang karena keduanya (suami dan istri) ingin mengkomersilkan istrinya, sekaligus mendapatkan kesenangan seperti itu.

Budaya Hedonisme 

Menggejalanya perilaku menyimpang ini, menurutnya, dampak dari budaya hedonisme yang datang dari pengaruh liberalisme. Muncullah pornografi dengan beragam perilakunya yang selanjutnya memengaruhi perilaku seksual masyarakat.

Ia pun menduga moral aparat akhir-akhir semakin bejat, sebagaimana kasus di atas disebabkan Indonesia telah tenggelam dalam budaya liberalisme.

"Ada prinsip 'my body my authority', badan saya gimana saya. Selain marak perzinaan, marak juga konten pornografi di media sosial, jadi bahan obrolan, dsb," tuturnya.

Lalu, ditambah lagi muncul budaya permisif dan pembiaran. Warga, tetangga, dan teman kerja hanya cuek ketika tahu mengetahui temannya punya perilaku seksual menyimpang.

Ia pun mengatakan, "di sisi lain, agama makin dibatasi ruang geraknya. Pengajaran agama hanya untuk urusan ibadah dan akhlaq, tapi tidak untuk nilai sosial."

Ia pun menyayangkan negara sendiri pun menempatkan urusan moral, khususnya seksualitas sebagai urusan privat, bukan urusan publik dan negara. 

"Terbukti, KUHP yang baru menempatkan perzinaan dan kumpul kebo sebagai delik aduan. Jadi, warga tidak bisa lagi mencegah perzinaan, karena sudah dibatasi undang-undang," paparnya.

Solusi

Adapun menurut Iwan, solusi atas permasalahan ini adalah harus adanya perombakan sosial. Ia juga menyarankan rakyat Indonesia jangan jumawa terus dengan mengatakan Indonesia negara yang bermoral tinggi dan menjunjung budaya Nusantara.

Faktanya, ia menjelaskan bahwa kerusakan moral sudah merebak kemana-mana. Nilai-nilai yang dianut negeri ini adalah liberalisme.

Yang terakhir, ia mengingatkan kita bahwa satu-satunya nilai dan peradaban yang melindungi nilai sosial cuma Islam. Karenanya, Iwan memeringatkan umat muslim harus terus mendakwahkan Islam sebagai aturan kehidupan yang komplit. Jangan setengah-setengah. "Negeri ini hanya bisa selamat dengan menerapkan ajaran Islam secara kaffah," pungkasnya.[] Wafi 

Sabtu, 03 Desember 2022

Keberadaan 'Kantor Polisi' Cina Dinilai Akan Menggerus Kedaulatan Negara

Tinta Media - Menanggapi keberadaan 'kantor polisi' Cina di Kanada, Pengamat Hubungan Internasional, Budi Mulyana menyatakan hal ini akan menggerus kedaulatan negara.

"Tentunya hal ini akan menggerus kedaulatan negara tempat kantor tersebut berada," tuturnya dalam wawancara dengan redaksi Media Umat (1/12/22).

Terlepas dari apapun tujuan didirikan kantor tersebut oleh Cina, lanjutnya, karena melakukan aktivitas di suatu negara, mestinya seizin negara yang bersangkutan. "Karena di balik aktivitas yang sepertinya normatif, tentunya aktivitas intelejen sangat mungkin dilakukan oleh Cina di negara tersebut," tegasnya.

Budi menjelaskan, adanya 'kantor polisi’ Cina yang ada di Kanada, diduga kuat juga berada di negara-negara lain. Pemerintah Cina diduga mengembangkan operasi kepolisiannya di lebih dari 80 kota di seluruh dunia. 
"Berdasarkan laporan dari kelompok HAM internasional, Safeguard Defenders, polisi Cina telah mendirikan kantor polisi di luar negeri di Amerika Serikat, Jepang, Spanyol, Italia, Perancis, Australia, Kanada dan lainnya. Kantor ini dikenal dengan sebutan ‘110 Overseas’, " paparnya.

Sementara untuk Indonesia, menurut Budi, walau tidak ada laporan keberadaan kantor polisi Cina di Indonesia, namun dengan adanya warga Cina yang menjadi pekerja di Indonesia dalam jumlah yang banyak, patut diduga, ada kantor tersebut di Indonesia. " Terutama di daerah yang menjadi tempat mobilisasi warga Cina untuk menangani proyek tertentu," tambahnya.

Menurut Budi,  adanya 'kantor polisi' Cina tersebut adalah bagian dari misi keamanan global di bawah Belt and Road Initiative (BRI) dari Presiden Xi Jinping. 

"Kantor-kantor polisi ini berafiliasi dan dijalankan oleh pemerintah lokal di Cina yang warga daerahnya banyak tinggal di luar negeri," imbuhnya.

Ia memaparkan bahwa menurut pihak berwenang Cina, fungsi dari kantor yang disebut sebagai contact point tersebut adalah memberikan layanan kepada warga Cina di luar negeri, seperti memperbaharui identitas nasional, paspor, SIM, dll. Media pemerintah Cina berargumen jika operasi '110 Overseas' memberikan perlindungan bagi jutaan warga Cina yang tinggal di luar negeri.

"Menurut media pemerintah, operasi dan kantor polisi ini juga bertujuan untuk menangkap warga Cina dan mencegah mereka melakukan pelanggaran di luar negeri, seperti penipuan, penipuan telekomunikasi atau kejahatan transnasional besar," pungkasnya.[] Nita Savitri

Senin, 14 November 2022

Hina Polisi, Jaksa, DPR Bisa Dipenjara 1,5 Tahun, Pamong Institute: RKUHP Spiritnya Ancam Rakyat

Tinta Media - Menyikapi salah satu pasal RKUHP yang diajukan rezim Jokowi awal Nopember ini yang berbunyi  siapa saja yang hina polisi, jaksa, DPR, dan lain-lain bisa dipenjara 1,5 tahun, Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi al-Maroky mengatakan spiritnya mengancam rakyat.
 
“Jelas ini spiritnya mengancam rakyat dan ingin memenjarakan rakyat. Padahal di banyak negara semangatnya membebaskan rakyat dan mengosongkan penjara,” ungkapnya kepada Tinta Media, Senin (14/11/2022).
 
Ia lantas memberikan empat catatan penting terkait hal itu. Pertama, tidak boleh menghina. Menghina siapa pun adalah perbuatan hina. Orang yang berbudaya dan beragama tidak akan berbuat hina.
 
“Menghina orang atau aparat negara jelas tidak sesuai dengan budaya kita yang sangat religius. Tak ada satu agama pun yang menyuruh kita melakukan perbuatan hina, apalagi menghina orang lain maupun aparat dan lembaga negara,” imbuhnya.
 
Oleh karenanya, jika ada orang melakukan perbuatan hina itu hanya ada dua kemungkinan, pertama, orang tersebut sedang khilaf dan melanggar ajaran agama. Kedua, orang tersebut tidak beragama sehingga melakukan perbuatan hina itu. 
 
“Maka menjadi kewajiban negara untuk membuat orang makin taat kepada ajaran agamanya sehingga negara tidak perlu kerja keras mengajari rakyat untuk tidak melakukan perbuatan hina. Bahkan tidak perlu menakuti rakyatnya dan mengancam dengan penjara,” jelasnya.
 
Kedua, tugas negara melindungi rakyat bukan mengancam memenjarakan rakyat. “Pasal yang  terkait ancaman akan memenjarakan hingga 1,5 tahun bagi yang menghina aparat menunjukkan semangat memenjarakan rakyat. Padahal dalam konstitusi tegas disebutkan tugas negara itu melindungi segenap rakyat. Bukan malah hendak memenjarakan rakyat, apalagi penjara sudah kelebihan kapasitas,” bebernya.
 
Ini berbeda  dengan Belanda. “Di Belanda penjara sudah banyak yang kosong bahkan disewakan karena pendekatannya semangat membebaskan rakyat. Namun kita malah sebaliknya punya semangat memenjarakan rakyat. Ini tentu sudah melenceng dari konstitusi,” kritiknya.
 
Ketiga, tugas negara mencerdaskan bukan memenjarakan rakyat. “Jika rakyat cerdas,  maka yang keluar dari ucapannya adalah ujaran yang baik dan penuh adab alias beradab. Rakyat yang cerdas tidak akan melakukan perbuatan hina atau menghina orang lain,” tegasnya.
 
Kewajiban negara, menurut Wahyudi,  bekerja keras dan fokus menjalankan tugasnya untuk mencerdaskan rakyatnya.
 
“Pemerintah yang baik mestinya merancang regulasi dan menjalankannya dengan baik. Bukan malah  membuat rancangan aturan yang mengancam rakyatnya. Bahkan hendak memenjarakan rakyatnya ditengah sesaknya lapas karena kelebihan kapasitas,” cetusnya.
 
Keempat, pemerintah yang baik membuat rakyat sulit mengkritik. Hendak mengkritik saja sulit karena tak ada celah dan saking baiknya. Apalagi hendak menghina. Kalaulah ada rakyat yang coba menghina pemerintahan yang baik maka rakyat yang lain tentu akan mengoreksinya.
 
“Maka rezim hendaknya sibuk memperbaiki kinerja sehingga menjadi pemerintahan yang baik, bukan malah punya semangat memusuhi rakyat bahkan punya semangat menghukum dan memenjarakan rakyat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

RKUHP: HINA POLISI, JAKSA & DPR, BISA DIPENJARA 1,5 TAHUN, REZIM ZALIM ANTI DEMOKRASI?

Pemerintahan yang baik akan diapresiasi bahkan akan dipuji rakyatnya. Tak perlu takut akan dihina rakyat.

Tinta Media - Lagi, publik dibuat Gaduh. Rakyat kembali dibuat resah dan gelisah. Pasalnya, Awal November ini Rejim Jokowi mengajukan RKUHP yang salah satu pasalnya kembali mengancam rakyat. Siapa saja yang hina polisi, jaksa, DPR, dll. bisa dipenjara 1,5 tahun. Jelas ini spiritnya mengancam rakyat dan ingin memenjarakan rakyat. Padahal di banyak negara semangatnya membebaskan rakyat dan mengosongkan penjara. Termasuk negeri Belanda yang dulu menjajah negeri ini dan dijadikan kiblat dalam soal hukum negeri ini. Bahkan KUHP warisan penjajah Belanda itu masih kita pakai.

Rancangan tersebut sudah dimasukkan ke DPRRi untuk dibahas dan di sahkan. Banyak pihak menyayangkan munculnya pasa tersebut. padahal dahulu pasal tentang penghinaan kepala negara sudah dihapus. Kenapa justru muncul lagi pasal seperti itu? 

Lantas mengapa pemerintahan Jokowi mengajukan pasal tersebut? apakah layak didukung dan diberlakukan di negeri ini? Dalam masalah tersebut, penulis memberikan 4 (empat) catatan penting:

PERTAMA, Tak boleh menghina. Menghina siapa pun adalah perbuatan hina. Orang yang berbudaya dan beragama tak akan berbuat hina. Menghina orang atau aparat negara Jelas tidak sesuai dengan budaya kita yang sangat religius. Tak ada satu agama pun yang menyuruh kita melakukan perbuatan hina. Apalagi menghina orang lain maupun aparat dan lembaga negara. 

Oleh karenanya, Jika ada orang melakukan perbuatan hina itu hanya ada dua kemungkinan, pertama; orang tersebut sedang khilaf dan melanggar ajaran agama. Atau kondisi yang kedua, orang tersebut tak beragama sehingga melakukan perbuatan hina itu. Maka menjadi kewajiban negara untuk membuat orang makin taat kepada ajaran agamannya sehingga negara tak perlu kerja keras mengajari rakyat untuk tak melakukan perbuatan hina. Bahkan tak perlu menakuti rakyatnya dan mengancam dengan penjara.

KEDUA, Tugas negara melindungi rakyat bukan mengancam memenjarakan rakyat. Pasal yang terkait ancaman akan memenjarakan hingga 1,5 tahun bagi yang menghina aparat menunjukkan semangat memenjarakan rakyat. Padahal dalam konstitusi tegas disebutkan tugas negara itu melindungi segenap rakyat. Bukan malah hendak memenjarakan rakyat. 

Di sisi lain penjara sudah kelebihan kapasitas. Sangat berbeda dengan di negeri Belanda yang jadi kiblat hukum negeri ini. Bahkan KUHP itu warisan penjajah Belanda dan kita gunakan di negeri ini. Di Belanda penjara sudah banyak yang kosong bahkan di sewakan karena pendekatannya semangat membebaskan rakyat. Namun kita malah sebaliknya punya semangat memenjarakan rakyat. Ini tentu sudah melenceng dari konstitusi. 

KETIGA, Tugas negara mencerdaskan bukan memenjarakan rakyat. jika rakyat cerdas maka yang keluar dari ucapannya adalah ujaran yang baik dan penuh adab alias beradab. Rakyat yang cerdas tidak akan melakukan perbuatan hina atau menghina orang lain.

Kewajiban negara bekerja keras dan fokus menjalankan tugasnya untuk mencerdaskan rakyatnya. Pemerintah yang baik mestinya Merancang regulasi dan menjalankannya dengan baik. Bukan malah membuat rancangan aturan yang mengancam rakyatnya. Bahkan hendak memenjarakan rakyatnya ditengah sesaknya Lapas karena kelebihan kapasitas.

KEEMPAT, Pemerintah yang baik membuat rakyat sulit mengkritik. Hendak mengkritik saja sulit karena tak ada celah dan saking baiknya. Apalagi hendak menghina. Kalaulah ada rakyat yang coba menghina pemerintahan yang baik maka rakyat yang lain tentu akan mengoreksinya. 
Maka rezim hendaknya sibuk memperbaiki kinerja sehingga menjadi pemerintahan yang baik. bukan malah punya semangat memusuhi rakyat bahkan punya semangat menghukum dan memenjarakan rakyat. 

Perlu kita beri nasihat & dorong agar rezim ini memahami tugasnya terhadap rakyat. Juga memahami kewajibannya sesuai konstitusi. 
Semoga negeri ini diberikan pemimpin yang baik dan menjalankan sistem pemerintahan yang baik sehingga terlimpah barokah dari langit dan bumi… aamiin. 

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. Pamong Institute

Referensi:
https://pamongreaders.com/rkuhp-hina-polisi-jaksa-dan-dpr-bisa-dipenjara-15-tahun-rezim-zalim-anti-demokrasi

Rabu, 26 Oktober 2022

IJM Ungkap Pentingnya Keberadaan Polisi untuk Menjamin Keamanan

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengungkap pentingnya adanya kepolisian untuk menjamin keamanan.

"Untuk memastikan jaminan keamanan bisa terjadi betul-betul di masyarakat, syariat Islam mensyariatkan adanya lembaga kepolisian atau asy syurthoh," ujarnya dalam acara Kabar Petang: Polisi adalah Penjaga Keamanan dan Penegak Hukum Islam, Jumat (21/10/2022) di kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, tugas asy-syurthoh adalah menjamin keamanan baik masyarakat maupun negara. "Bahwa yang dibutuhkan adalah polisi yang betul-betul taat pada syariat Islam. Polisi di dalam Islam memiliki kewenangan-kewenangan penting yang dibentuk oleh khilafah atau wali/gubernur. Tugas polisi adalah menjaga keamanan, melindungi aturan, menangkap pelaku kejahatan dan para pengacau. Tugas lainnya seperti pekerjaan administratif yang menjamin keselamatan rakyat dan ketenangan mereka," bebernya.

“Bisa dikatakan kepolisian adalah kekuatan utama untuk menjaga keamanan dalam negeri dari berbagai ancaman dan gangguan seperti pencurian, perampokan, zina, murtad, vandalisme, dan lain sebagainya. Polisi juga diberi kewenangan menggunakan senjata untuk menghadapi kaum pemberontak dan separatis yang mengganggu keamanan umum seperti mengancam harta, warga aset-aset umum dan negara,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa polisi haram memata-matai rakyat, melakukan penyadapan, meretas ponsel, email, nomor telepon, dsb. Polisi hanya boleh memata-matai mereka yang disebut ahlur riyab yaitu orang yang terindikasi kuat menimpakan bahaya kepada masyarakat Islam.

Ustad Agung membeberkan kepolisian dalam Islam adalah setiap kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi karena polisi adalah prajurit-prajurit pilihan. "Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara. Polisi ini mempunyai kekuatan fisik tetapi dia harus berempati pada  masyarakat dalam menjaga keamanan. Penjelasan ini ia kutip dari kitab Ajhizah ad daulah (hal. 94)," terangnya. 

Melihat vitalnya peran dan tugas polisi, ia menegaskan tidak bisa sembarang orang bisa diterima menjadi polisi. Polisi tidak sekedar memiliki badan yang sehat dan keterampilan fisik, namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah pribadi-pribadi yang bertakwa, tsiqah atau terpercaya agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudud (hukum pidana Islam), waspada, dan tidak mudah dibodohi.

“Dengan memiliki syarat-syarat yang sudah saya sebutkan, maka polisi akan independen, memiliki integritas, dan memiliki presisi dalam menjalannkan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban umum,” pungkasnya.[] Erlina YD

Jumat, 21 Oktober 2022

Polisi Terlibat Narkoba, Pengamat: Ada Proses Pembusukan Akut (Serious Decay) di Tubuh Kepolisian

Tinta Media - Menanggapi kasus polisi yang terlibat narkoba, Pengamat Politik Islam, Dr. Riyan, M.Ag. menilai bahwa terjadi pembusukan akut (serious decay) di tubuh kepolisian.

"Hal ini menunjukkan sedang ada proses pembusukan akut (serious decay) yang sedang terjadi di tubuh kepolisian, dimana aparat dan gerombolannya terlibat dalam jaringan kejahatan," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (17/10/2022).

Menurutnya, ini kasus susulan setelah kasus Ferdi Sambo dan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan. "Menyusul kasus perilaku aparat dengan gas air mata di Kanjuruhan dan kasus Sambo," imbuhnya.

Ini adalah ironi terbesar, kata Riyan, yakni aparat penegak hukum justru terlibat pada jaringan kejahatan yang seharusnya diberantas.

Ia juga menilai bahwa berbagai kasus yang terjadi pada polisi, bukanlah kasus individu, akan tetapi mencerminkan problem institusional.

"Melihat gejala perilaku yang menyimpang pada polisi dari berbagai sisi kuantitatif dan kualitatif, yang tersirat dan tersurat dari semuanya itu mengarah pada bukan sekadar problem oknum polisi saja, tapi sudah mencerminkan problem institusional polri," jelasnya

Melihat berbagai kasus yang terjadi, lanjutnya, sudah melibatkan perwira tinggi, maka seharusnya dilakukan evaluasi komprehensif terhadap kepolisian baik dari sisi institusi maupun kualitas SDM. Sejak proses rekrutmen, pembinaan, promosi dan penugasan.

Sebagai pengamat, ia juga mengatakan bahwa masyarakat harus berpartisipasi dalam mengawasi dan mengontrol proses evaluasi. Agar sesuai dengan yang diharapkan.

"Masyarakat harus terus mengawasi dan mengontrol proses evaluasi komprehensif itu, sehingga benar-benar akan didapatkan hasil yang diharapkan. Apakah serius atau hanya tambal sulam-pencitraan," tandasnya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, ujar Riyan, polisi (syurthah), adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan penerapan syariah Islam di dalam negeri, di semua aspek kehidupan.

Terakhir, ia menegaskan bahwa kepolisian merupakan fungsi keamanan, yang mesti fokus dalam menegakkan hukum. "Kepolisian adalah merupakan fungsi keamanan bukan pertahanan (militer) yang berada dibawah departemen keamanan dalam negeri.Tidak langsung di bawah khalifah. Sehingga kewenangan polisi dalam Islam adalah fokus penegakan hukum, bukan melebar," pungkasnya. [] Nur Salamah

Minggu, 25 September 2022

Rusaknya Polisi dalam Sistem Kapitalis Demokrasi, Hanya Islam yang Bisa Memperbaiki

Tinta Media - Miris, saat kasus Ferdi Sambo terungkap, banyak fakta yang direkayasa. Skenario dibuat untuk menutupi fakta sebenarnya. Barang bukti dirusak dan dihilangkan, kemudian dibuat cerita yang membingungkan. Harusnya polisi mengungkap fakta agar bisa menangkap pelaku kejahatan yang sebenarnya, bukan malah menutupi fakta, bahkan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri. 

Meskipun kita punya polisi, tetapi seperti tidak ada. Ini karena mereka sibuk dengan urusannya untuk memperkaya diri dan melanggengkan jabatan dan kekuasaan dalam mafia kejahatan. Polisi tidak berfungsi sebagai pihak yang dibutuhkan masyarakat untuk memberikan rasa aman dan nyaman karena tidak menjalankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat, malah menjadi pelindung kejahatan, membuat rakyat merasa terancam. 

Sungguh miris, menyaksikan polisi terlibat bisnis haram; judi, narkoba, dan kejahatan lainnya, sehingga banyak orang apatis bahwa polisi akan kembali pada fungsinya.

Masihkah kita berharap pada polisi untuk mengungkap banyak kejahatan yang selama ini menjadi cerita drama Korea, yang burubah-ubah kisahnya? Banyak kasus yang masih dalam misteri. Seolah tidak ada itikad baik untuk memperbaiki penanganannya karena sudah terlanjur dalam skenario. Polisi semakin tidak berdaya dan kehilangan fungsinya sebagai pelindung masyarakat.

Terlalu lama hidup dalam sistem kapitalis membuat polisi berpikir oportunis, bergerak hanya mengikuti sesuatu yang menguntungkan. Saat tidak memberikan nilai manfaat, polisi memilih diam. Bila perlu, menjadi pelindung kejahatan jika itu bisa memberikan keuntungan. Gaya hidup hedonis mendorong polisi menyimpang dari tugasnya untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.

Gaya hidup hedonis tumbuh subur dalam sistem kapitalis karena mereka melihat kesuksesan dari sisi materi. Mereka berlomba-lomba untuk miliki kekayaan dan kemewahan. Mobil mewah, rumah megah dan pansos barang-barang branded yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mengandalkan gaji, sehingga cara-cara yang haram pun dilakukan untuk memenuhi semua keinginan gaya hidup hedonis.

Jika ingin perbaikan di negeri ini, harus ada perubahan mendasar dengan mencampakkan kapitalisme dan kembali kepada sistem Islam yang akan menerapkan syariat Allah secara kaffah dalam kehidupan. Tidak hanya polisi, tetapi semua pejabat dan pemimpin akan amanah dengan tugasnya untuk mengurusi masyarakat dalam rangka mencari rida Allah. 

Kesadaran hubungan mereka dengan Tuhannya, tidak hanya di tempat ibadah, sehingga saat bertugas, mereka akan merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Melihat apa yang mereka tampakkan, maupun sembunyikan. Kesadaran untuk berislam tidak bisa dilepaskan dari kehidupan, termasuk saat di tempat kerja dan menjalankan tugas. Korupsi akan mudah diberantas karena mereka sadar bahwa itu akan membawa keburukan, tidak hanya bagi dirinya, keluarga, tapi juga rakyat.

Sistem Islam sangat tegas dan keras terhadap pelaku kejahatan, sehingga kejahatan akan terkikis habis, dan benih kebaikan akan tumbuh dengan suburnya. Ini juga akan mendorong polisi untuk menjalankan tugasnya secara benar dalam mengungkap kejahatan, bukan membuat skenario untuk menutupi kejahatan. 

Tugas polisi akan lebih ringan, karena semua mendukung tegaknya keadilan karena hukum Islam bisa memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Sementara, benih-benih kebaikan akan mudah tumbuh dalam kehidupan islami dengan penduduk yang beriman dan bertakwa. Sebaliknya, dalam sistem kapitalis banyak tekanan dari berbagai pihak untuk menyimpang dari tugasnya yang benar. Gelombang kejahatan begitu besar sehingga membuat polisi tidak berdaya. 

Penerapan Islam secara kaffah adalah solusi semua masalah dengan membangun kehidupan Islami. Hanya dalam sistem Islam semua akan terdorong untuk menjalankan tugasnya untuk mencari rida Allah. Islam tidak hanya di tempat ibadah, tetapi di semua aspek kehidupan. Polisi juga akan menjalankan tugas karena Allah, bukan untuk pencitraan, karena mereka sadar setiap jabatan adalah amanah yang pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban. 

Jadi, hanya satu solusi yang tepat untuk memperbaiki kondisi polisi yang terpuruk saat ini, yaitu dengan diterapkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan khilafah. Sungguh, kita merindukan polisi yang memberi rasa aman dan nyaman pada masyarakat.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Senin, 05 September 2022

POLISI ERA POST-TRUTH

Tinta Media - Satu bulan ini, media massa cetak dan elektronik masih didominasi oleh berita terbunuhnya Brigadir J yang menyeret nama Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan Bharada Richard Eliezer. Banyak yang mengatakan bahwa seharusnya kasus ini mudah diungkap, yakni ketika para pelaku benar-benar berkata jujur. 

Namun faktanya, kasus pembunuhan keji seorang polisi oleh polisi menjadi sangat rumit dan berbelit-belit karena selain hilangnya barang bukti juga karena berubah-ubahnya keterangan. Padahal semestinya seorang polisi yang notabene adalah penegak hukum memberikan contoh kejujuran dan tanggungjawab atas apa yang dilakukan. 

Masyarakat kemudian memberikan penilaian sendiri atas berbelitnya kasus pembunuhan yang dianggap sarat kesaksian bohong dan rekayasa peristiwa yang melibatnya banyak pihak. Sebagai buntutnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menonaktifkan Kapolres Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan pada Rabu malam, 20 Juli 2022. 

Jika dilihat dari pelakunya yang mestinya memberikan contoh bagi rakyat tentang kejujuran dan transparansi, maka nampaknya negeri ini tengah masuk dalam jerat kebohongan. Pemimpin yang merekayasa kebohongan agar terlihat sebagai kebenaran akan berdampak sangat besar dibandingkan jika yang melakukan rakyat jelata. 

Tidak terlalu salah jika negeri ini telah mengalami darurat kebohongan. Jika sifat-sifat pembohong telah menjerat para pemimpin suatu negeri, maka akan banyak rakyat kecil yang menjadi tumbalnya. Meski penanganan kasus pembunuhan polisi itu masih terus berjalan, namun kepercayaan rakyat kepada polisi akan berkurang, bahkan bisa hilang. Apakah narasi-narasi bohong seputar kasus pembunuhan polisi menunjukkan datangnya hegemoni post truth.   

Tahun 1992, oleh Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies dalam majalah The Nation, menulis, “Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth.” Tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber juga mengungkapkan hal yang sama: truthiness. 

Kata ini mengacu kepada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Dalam bahasa agama era post truth adalah saat kebohongan dipropagandakan sebagai kejujuran. Secara psiko-sosiologis, post truth adalah zaman yang penuh tipu daya. 

Rasulullah sebagai seorang Rasul pembawa wahyu menyebut era yang penuh tipu daya dengan istilah sanawaatu khadda’atu. Era tipu daya adalah masa dimana kebohongan telah dipercaya sebagai kebenaran, meskipun bertentangan dengan fakta. 

Perhatikan hadis nabi tentang fitnah dan pemutar balikan fakta berikut : Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu ruwaibidhan berbicara. 

Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ruwaibidhah?”. Rasulullah menjawab, “Orang dungu yang turut campur dalam urusan masyarakat luas”. (HR Ibnu Majah dalam as Sunan [4042], diriwayatkan juga oleh Abu Abdillah Al Hakim dalam al Mustadrak [4/465, 512], Ahmad bin Hanbal dalam al Musnad [2/291], hadis ini disahihkan Al Albani dalam as Shahihah [1887] as Syamilah).

Karakteristik era post truth adalah suatu keadaan dimana fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum dari pada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu, dalam tulisan ini kebanggaan itu adalah kepentingan politik. Hal ini bisa dilihat dari tiga kondisi. Pertama, simulakra. Situasi dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan, fakta dan opini semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi. Realitas yang ada adalah realitas yang semu dan realitas hasil simulasi (hyper-reality). 
 
Kedua, pseudo-event. Keadaan dimana sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra dan opini publik, padahal itu bukan realitas sesungguhnya. Dalam istilah politik praktis disebut sebagai tindakan pencitraan. Ketiga, pseudosophy. Adalah upaya menghasilkan suatu ‘realitas’ sosial, politik dan budaya yang sekilas nampak nyata, padahal sebenarnya adalah palsu. Masyarakat lalu dikondisikan untuk lebih percaya pada ilusi yang dihasilkan dari pada realitas yang sesungguhnya.

Jika pemimpin berbohong, maka efek dominonya akan tersebar luas menyentuh berbagai aspeknya. Rasulullah sebagai pemimpin agung sepanjang zaman memiliki sifat shiddiq yang maknanya kejujuran. Tidak mudah mengembalikan kepercayaan rakyat kepada institusi kepolisian jika terbukti di pengadilan yang jujur bahwa seorang jenderal terlibat pembunuhan kepada ajudannya sendiri. 

Kasus pembunuhan Brigadir J sangat mungkin sebagai fenomena gunung es dan tentu saja hal ini merupakan malapetaka bagi negeri ini. Bangsa ini mesti melakukan muhasabah nasional karena gagal mewujudkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa ini harus kembali melakukan reorientasi berkebangsaan yang lebih religius dan meninggalkan sekulerisme yang menjauhi nilai-nilai kebajikan agama. Tentu saja dalam berbangsa dan bernegara lebih baik mendekat kepada agama dari pada menjauhinya. (UAS)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)

Rabu, 24 Agustus 2022

Polisi Menjabat Kasat Manggala IPDN, Apa Urgensinya?

Tinta Media - Dahulu ketika Kasat Manggala Praja STPDN dijabat dari TNI, lulusan STPDN ikut Wamil & dilantik jadi Danramil di beberapa daerah. Lalu ketika Polisi menjadi Kasat Manggala, apakah lulusan IPDN akan dilantik menjadi Kapolsek di beberapa daerah?

Mendagri Tito Karnavian melantik Kombes Singgamata sebagai Kasat Manggala Praja dan Kombes John Carles Edison Nababan sebagai Kasat Binlat Praja. Pelantikan tersebut berlangsung di Kantor kemendagri, Jumat, (19/8/2022). Padahal saat ini publik sedang dibuat gaduh dengan bergulirnya kasus polisi tembak polisi di rumah jendral polisi yang membuat citra polisi terpuruk.

Dahulu memang kasat Manggala praja STPDN pernah dijabat dari TNI dengan pangkat Kolonel. Lalu lulusan Pertama STPDN pun mengikuti program Wamil dan dilantik menjadi Danramil di beberapa daerah dengan pangkat Letnan dua. Lalu, Apakah kini dengan kombes menjadi Kasat Manggala, akankah lulusan IPDN juga dilantik menjadi Kapolsek di beberapa daerah?

Dilantiknya dua pejabat penting di lingkungan IPDN itu menimbulkan pertanyaan besar bagi publik dan kalangan alumni IPDN. Apakah kita memang kekurangan kader pemerintahan atau hanya karena makin miskin etika? Bahkan sebagian kalangan menilai kementrian dalam negeri gagal menyiapkan kader pemerintahan melalui kampus IPDN sehingga harus mengambil kader Kepolisian untuk menduduki jabatan dalam kampus IPDN . Ataukah ini merupakan sinyal bahwa Kepolisian lebih nyaman dibawah lingkungan kementrian dalam negeri?

Terkait dengan pelantikan dua pejabat strategis di IPDN itu, penulis memberikan catataan penting. Sedikitnya ada 3 faktor dibalik pelantikan pejabat IPDN tersebut. Ada masalah Kederisasi, masalah etika dan soal ketatanegaraan.

PERTAMA, Masalah Kader Pemerintahan. Benarkah kita kekurangan kader pemerintahan? Untuk memenuhi kader pemerintahan, para pemimpin negeri ini sudah mendirikan sekolah Pamong praja. Di mulai dari KDC, APDN, IIP, STPDN, hingga kini menjadi IPDN saat ini.

Pada tahun 1956 dibentuklah APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri), pertama kali didirikan di kota Malang. Selanjutnya tahun 1967 didirikan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di Jakarta. Selanjutnya Untuk meningkatkan wawasan Nasional, maka tahun 1992 semua APDN daerah disatukan menjadi STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) berkedudukan di Jatinangor Jabar. Dan pada tahun 2004, IIP & STPDN disatukan menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).

Dengan sejarah panjang itu, Semestinya kini kita tidak kekurangan lagi kader pemerintahan berkualitas. Bahkan seluruh kader pemerintahan lulusan Sekolah Pamong itu telah tersebar di seluruh penjuru nusantara. Tersebar sabang sampai Merauke, dari daerah hingga pusat pemerintahan. Dari eseleon terendah hingga eselon satu dinpusat. Dari sini sesungguhnya bisa dipahami bahwa kita tidak kekurangan kader pemerintahan yang berkualitas.

KEDUA, masalah etika Pemerintahan? Meski secara aturan tidak ada yang dilanggar, namun pemerintahan yang baik harus dikelola tanpa menabrak norma dan etika yang ada. Pengelolaan pemerintahan tanpa etika dan estetika hanya menghasilkan kekakuan tanpa keindahan dan kebahagiaan hidup masyarakat. Tentu jika niatnya untuk membuat sinergi antar organ pemerintahan agar semakin kompak dan indah maka perlu dikomunikasikan kepada publik dengan tepat. Misalnya, publik diberikan penjelasan bahwa dilantiknya polisi sebagai Pejabat di IPDN akan segera diikuti pula pelantikan kader pemerintahan menjadi pejabat di lembaga pendidikan kepolisian. Menjadi pejabat teras dilingkungan Akpol atau polres dsb. Jika hal ini dikomunikasikan dengan baik kepada publik tentu tidak akan terjadi kegaduhan. Terjadinya kegaduhan merupakan tanda adanya etika publik yang terusik.

KETIGA, masalah ketatanegaraan. Pelantikan tersebut dapat dipandang sebagai ihtiar Menyatukan Kepolisian dibawah Kementrian dalam negeri. Jika pelantikan dua pejabat tersebut sebagai upaya untuk menyatukan kepolisian di bawah kementrian dalam negeri, tentu patut kita apresiasi. Secara ketatanegaraan, fungsi kepolisian memang lebh dekat pada Urusan Keamanan dalam negeri. Sehingga sangat wajar jika langsung dibawah kementrian dalam negeri. Atau bisa saja kepolisian kembali seperti dulu di bawah Kementrian pertahanan. Gagasan ini bisa menjadi bahan diakusi dalam mencari solusi atas upaya reformasi di kepolisian yang saat ini sedang diterpa masalah Sambo dkk.

Semoga dengan pelantikan dua jabatan penting di IPDN menjadi pembuka babak baru, sebagai langkah awal menuju kepolisian yang makin baik dibawah kementrian dalam negeri. Dan tentunya ini bisa memberikan pelajaran penting bagi kita dan demi kebaikan bagi negeri ini.

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Oleh: Wahyudi al Maroky 

Dir. Pamong Institute


Referensi: https://pamongreaders.com/polisi-menjabat-kasat-manggala-ipdn-apa-urgensinya

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab