Tinta Media: Pola
Tampilkan postingan dengan label Pola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pola. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Oktober 2022

Pola Konsumsi dalam Islam Terkait Erat dengan Keimanan

Tinta Media - Narator MMC mengatakan, pola konsumsi  dalam Islam terkait erat dengan keimanan. “Pola konsumsi tidak hanya sekedar masalah personal tapi adalah sebuah
budaya yang dihasilkan dari sebuah konsep kehidupan. Maka, konsumsi dalam Islam tidak pernah bisa dipisahkan dari peran keimanan,” ujarnya dalam sebuah tayangan bertajuk ‘Pola Konsumsi Islam Menjauhkan Manusia dari Akhlak Tercela’ di laman YouTube MMC, Rabu (12/10/2022).

Menurutnya, keimanan tersebut akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi, baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Untuk itu, konsumsi dalam Islam tidak serta merta dibebaskan menurut keinginan manusia. Islam memberi batasan konsumsi yang harus diperhatikan aspek halal haram dan tidak boleh berlebih-lebihan.

“Batasan ini yang menjadi salah satu cara agar manusia tidak terjerumus pada akhlak tercela dalam konsumsi. Sebab, pola konsumsi yang menyeleweng memiliki pengaruh buruk dalam ahlak,” paparnya.

Diantara buktinya, ungkap narator, ketika Khalifah Umar Bin Khattab pergi ke Syam, mereka mendatangkan kepadanya kuda tarik untuk dijadikan kendaraan beliau. Umar menaikinya. Kuda itu angkuh, lalu Umar memukulnya. Namun kuda itu semakin bertambah angkuh.

 Maka beliau turun darinya dan berkata, “Tidaklah kamu membawaku melainkan kepada setan. Aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku. Berikanlah kepadaku kendaraanku,” Lalu Umar pun menaikinya.

“Perkataan Khalifah Umar, 'aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku' menunjukkan bahwa isyarat tentang pengaruh menaiki kuda tarik angkuh adalah tertanam sebagian akhlak yang buruk di dalamnya,” jelasnya. 

Narator menyampaikan, contoh lain dari akhlak buruk dalam pola konsumsi adalah berlebihan hingga menimbulkan rasa ujub atau bangga diri ataupun riya’. “Seperti melampaui kesederhanaan dalam infaq dan menaikkannya dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain hingga sampai ujung riya’ dan berlebih-lebihan,” tuturnya.

Untuk menjauhi akhlak yang tercela ini, sambung narator, Khalifah Umar Bin Khattab mengatakan, “Ya Allah janganlah engkau memperbanyak kepadaku dari dunia ini yang menyebabkan aku lalai dan janganlah engkau mempersedikit kepadaku darinya yang menyebabkan aku lupa.”

Umar, tuturnya, menyebutkan alasan demikian, karena sesungguhnya sesuatu yang sedikit dan mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak dan melalaikan.

Narator menyebutkan, “sikap wara’ Khalifah Umar Bin Khattab ini adalah cerminan keimanan dalam konsumsi. Sikap yang demikian harus dimiliki oleh pemimpin, karena pemimpin yang paham syariat akan menjadi contoh bagi pejabat di bawahnya dan rakyatnya pemimpin yang demikian itu juga akan membuat kebijakan konsumsi sesuai tuntunan syariat.” 

Sayangnya, papar narator, pemimpin yang memiliki kapasitas seperti Khalifah Umar hanya bisa dihasilkan dari sistem Islam yakni sistem Khilafah. “Sebuah sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam secara menyeluruh, termasuk juga dalam hal konsumsi. Sehingga pola konsumsi yang terbentuk jauh dari ahlak tercela,” pungkasnya.[] Wafi

Kamis, 29 September 2022

MMC: Pola Konsumsi Hal yang Diharamkan Dapat Merusak Agama

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menyatakan Islam memandang pola konsumsi hal-hal yang diharamkan dapat merusak agama seseorang dan melemahkan wara'nya. 

“Islam memandang pola konsumsi hal-hal yang diharamkan dapat merusak agama seseorang dan melemahkan wara'nya,” tuturnya dalam Program Sumbangan Peradaban Islam: Dampak Konsumsi yang Tidak Benar Bisa Merusak Agama, Sabtu (24/9/2022) di kanal Youtube MMC Lovers. 

Ia mengatakan rusaknya agama dan lemahnya wara' seseorang akibat masyarakat tidak istiqomah karena pola konsumsi yang berlebihan dalam hal-hal mubah dan mengikuti selera terlebih mengonsumsi hal-hal yang diharamkan. 

“Dalam Al-Qur'an menyebutkan bahwa sikap berhura-hura dan tidak mensyukuri nikmat Allah merupakan sebab kehancuran beberapa negeri,” katanya. 

Sebagaimana dalam Firman Allah  Q.S Al-Mu'minun ayat ke 64 dan Q.S Al-Qashah ayat ke 58 tentang kehancuran beberapa negeri akibat hidup bermewah-mewahan. “Konsep demikian akan menuntut siapa pun baik individu, masyarakat mau pun negara agar mengerti bahaya konsumsi yang tidak benar,” ucapnya. 

Hal demikian ini yang dipahami oleh Khalifah Umar sebagai Kepala Negara Islam yakni Khilafah. Khalifah Umar sangat mengerti dampak membahayakan yang bisa menimpa umat, baik secara individu mau pun masyarakat, disebabkan menyeleweng dari konsumsi yang benar. “Karena Khalifah Umar menekankan bahwa dampaknya tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi namun membentang kepada pilar-pilar penopang umat dan faktor-faktor kekokohannya,” tuturnya. 

Ia menjelaskan bahwa bermewah-mewahan bisa merusak hati. Hati yang rusak menyebabkan rusaknya agama. Kebaikan hati merupakan asas segala kebaikan. Sebagaimana Khalifah Umar tidak mengizinkan kaum muslimin masuk pada hidangan makan atas undangan seorang pemuka masyarakat Syam. 

“Khalifah Umar akan masuk terlebih dahulu untuk menghilangkan kesan berlebihan dalam hidangan dengan cara mencampurkan seluruh jenis makanan dan mengatakan kepada tokoh tersebut bahwa akan celaka kaum muslimin melihat hidangan yang banyak dan niscaya hal itu merusak hati mereka,” jelasnya. 

Ia mengungkapkan gambaran konsumsi masyarakat yang dipengaruhi sistem sekuler kapitalisme telah mengubah tingkah laku masyarakat. 

“Mereka beramal tanpa terikat dengan syariat tetapi terikat dengan nilai-nilai kepuasan dan pencapaian materi, tren konsumsi hura-hura, mereka anggap hal biasa dan tidak membahayakan,” ungkapnya. 

Ia menyampaikan bahwa pola konsumsi masyarakat modern cenderung hura-hura dan bermewah-mewahan.

“Mereka membeli barang dan jasa bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar (asasiyah), melainkan membeli barang dan jasa sebagai status sosial di masyarakat,” ujarnya. 

Sehingga konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar tapi untuk memenuhi keinginan. “Mindset tersebut memang sengaja dibangun oleh sistem sekuler kapitalis,” lanjutnya. 

Narator menegaskan, dalam kacamata Islam, pola konsumsi seperti tersebut termasuk kategori penyelewengan konsumsi yang benar dan dapat membahayakan individu maupun umat.

“Orang yang hura-hura dan bermewah-mewahan cenderung memperluas kenikmatan dunia dan kesenangan secara pribadi,” tegasnya. 

Narator mengakhirinya dengan mengatakan Islam sebagai sistem kehidupan telah memberi pengaruh yang benar dalam konsumsi masyarakat selama 13 abad lamanya. 

“Sayangnya semua itu telah dirusak akibat penerapan pola konsumsi kapitalisme di tengah masyarakat,” pungkasnya.[] Ageng Kartika.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab