Tinta Media: Pluralisme
Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Desember 2022

Pluralisme Berbahaya

Tinta Media - Menjelang akhir tahun, opini intoleransi kembali mengemuka. Umat lslam selalu menjadi sasaran tembaknya. Jika menolak mengucapkan selamat hari raya umat lain, maka dianggap melakukan tindakan intoleransi.

Padahal, dalam Qur’an Surat al-Kafirun sudah jelas dinyatakan, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. 

Maka, tidak akan pernah sama agama mereka dengan agama umat lslam, cara beribadah pun tentu berbeda. Lantas, mengapa opini tersebut didengungkan?

Ini tak lain karena ada upaya menjauhkan umat lslam dari syariatnya yang agung. Ketika umat jauh dari syariat, maka mereka akan mudah menerima pluralisme, yaitu menggangap semua agama sama, tidak boleh berpendapat bahwa agama lslam paling benar, membenarkan nikah beda agama, dan lain-lain. Ujung dari semua itu adalah umat lslam tidak akan bangkit menuju kemuliaan dan menjadi umat terbelakang karena mengikuti arahan Barat dan anteknya yang membenci lslam.

Pluralitas Bukan Pluralisme

Sejak Rasulullah saw. mendirikan negara lslam pertama di Madinah, terdapat sikap toleransi yang baik bagi pemeluk agama lain. Di sana ada berbagai agama, yaitu lslam, Nasrani, Yahudi, dan lainnya. Namun, mereka bisa hidup berdampingan dengan tidak ada gejolak. 

Ini karena dalam lslam sendiri sudah tegas dinyatakan tidak ada paksaan masuk lslam (TQS A-Baqarah 256). Itu artinya, pluralitas atau kemajemukan adalah keniscayaan yang bisa dijalankan. lslam menghormati pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya.

Namun, pluralisme jelas dilarang keras karena sudah memasuki ranah iman. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia sama dengan mereka.” (HR. Abu Dawud). 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.

Munculnya pluralisme disebabkan karena diterapkannya sekularisme di negeri ini, yaitu paham kebebasan untuk membuat aturan sendiri dalam urusan kehidupan tanpa mau terikat dengan agama (lslam). Tentu dampaknya sangat berbahaya bagi umat lslam, yaitu mencampurkan antara yang hak dan batil. Padahal, seorang muslim harus yakin bahwa lslam adalah agama yang paling benar dan agama selain lslam tidak diterima disisi-Nya, bahkan kelak di akhirat akan mengalami kerugian besar. (TQS Ali Imran 85). 

Toleransi adalah membiarkan pemeluk agama lain menjalankan peribadatannya sesuai keyakinannya dan tidak menganggu. Namun, tidak boleh berpartisipasi dengan mereka dalam peribadatan, seperti merayakan hari raya bersama-sama, menjaga tempat ibadah, memakai pakaian ibadah mereka, membersihkan tempat ibadahnya, dan lain-lain karena semua itu masuk tasyabuh atau menyerupai mereka.

Jelas bahwa pluralisme berbahaya dan harus dijauhi karena menyebabkan umat Islam jatuh pada kemaksiatan hingga kesyirikan. Pluralisme sejatinya bentuk perang pemikiran yang terus dilancarkan hingga umat betul-betul mengikuti mereka tanpa disadari. 

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.

”Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Sekali lagi umat Islam harus waspada dengan jebakan pluralisme yang menyebabkan rusaknya akidah, serta menghantarkannya pada kehinaan di akhirat kelak.
Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanifah 
Sahabat Tinta Media

Rabu, 14 Desember 2022

MENYOAL PARADIGMA TOLERANSI: ANTARA PLURALITAS SOSIOLOGIS DAN PLURALISME TEOLOGIS

Tinta Media - Paradigma dalam disiplin intelektual memiliki arti cara pandang (worldview) orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.  

Paradigma atau worldview biasanya digunakan kaum intelektual untuk membaca pandangan alam yang lain. Misalnya seorang muslim, dengan paradigma Islam dipakai untuk melakukan pembacaan atas isme-isme yang bertentangan dengan Islam. Sebagai contoh adalah ketika paradigma Islam digunakan untuk membaca paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama, maka ketiganya adalah paham sesat dan haram hukumnya.  

Misalnya saat MUI menggunakan paradigma QS. Ali Imran [3]: 85 dan QS. Ali Imran [3]: 19) dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Musyawarah Nasional MUI VII, Pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketiga paham di atas haram hukumnya.  

Kritik paradigmatik maknanya dalam tulisan ini maknanya paradigma Islam dijadikan sebagai timbangan pembacaan atas sebuah cara pandang atas realitas dengan paham tertentu. Dalam hal ini paradigma Islam akan dijadikan sebagai alat baca atas paradigma toleransi yang berkembang di tengah masyarakat. Toleransi dengan paradigma sekuler liberal sering kali justru bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sering terjadi disaat perayaan natal atau agama-agama lainnya.  


Narasi toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kelahiran Yesus.

Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis. Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.

Barat tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam. Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah salah-kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya, jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya: intoleran atau radikal.

Islam mengajarkan toleransi pada ranah pluralitas sosiologis dalam pengertian bahwa fakta sosiologis memang beragam, baik suku, ras dan khususnya agama. Berbagai agama yang diakui di negeri ini oleh Islam dibiarkan, bukan diganggu, begitupun semestinya agama lain membiarkan ritual yang dilakukan oleh Islam. Tidak boleh ada intervensi atas ajaran agama lain, apalagi mengganggunya. Masing-masing agama melaksanakan ibadah dan keyakinan, tidak perlu melakukan ibadah bersama, kebablasan namanya.

Paradigma toleransi dalam Islam adalah konsepsi paling sempurna, sebagaimana firman Allah : Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (6) (QS Al Kafirun : 1-6)


Melansir dari tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama (Kemenag), isi kandungan lengkap surat Al Kafirun ayat 1-6 dapat dirangkum menjadi tiga poin bahasan utama di dalamnya. Berikut poin-poin inti dari surat ini : Allah hendak menjelaskan bahwa terdapat perbedaan besar antara sifat-sifat Tuhan yang disembah oleh umatnya Nabi Muhammad SAW dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir.

Sebab Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak beranak maupun diperanakkan. Berkaitan dengan perbedaan sifat Tuhan dari keduanya, hal ini pun menjelaskan bahwa adanya perbedaan dalam bentuk pelaksanaan ibadah. Melalui surat Al Kafirun, Allah SWT menekankan perihal toleransi antar umat beragama. Hal ini dilakukan melalui pengerjaan ibadah sesuai dengan ketentuan agama masing-masing tanpa mencampur adukkan urusan keduanya.

Mencampur aduk aqidah dan keyakinan agama atas nama toleransi adalah paham pluralisme yang telah diharamkan MUI. Tolerasi berpaham pluralisme dipengaruhi oleh paham bahwa semua agama sama. Padahal faktanya semua agama itu berbeda-beda, baik soal konsepsi tentang Tuhan, maupun tata cara beribadatannya. Pluralisme adalah sesat logika, sebab yang sudah jelas berbeda tapi dianggap sama, bahkan kadang dipaksakan oleh negara yang akhirnya menjerumuskan umat Islam pada paradigma toleransi yang menyesatkan.

Kalimat, untukmu agamamu, dan untukku agamaku dalam QS Al kafirun ayat 6 adalah paradigma paling tepat untuk memaknai toleransi. Makna ayat ini bahwa toleransi adalah masalah pluralitas sosiologis, bukan pluralisme teologis. Toleransi itu membiarkan peribadatan agama lain, bukan merayakan ibadah agama lain secara bersama-sama. Doa lintas agama juga merupakan praktek pluralisme teologis yang menyesatkan. Perayaan natal bersama dengan umat Islam juga merupakan pluralisme teologis yang diharamkan. Mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dalam arti menyakini kebenaran agama lain juga diharamkan dalam Islam.

Hal diatas sejalan dengan firman Allah : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.... (QS. Ali Imran [3]: 19). Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul- Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

Toleransi yang mendasarkan kepada pluralisme teologis jelas sesat dan menyesatkan. Menurut M Shiddiq Al Jawi setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.

Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS.

Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.

 

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.

Oleh karena itu, umat Islam harus semakin memahami ajaran agamanya sendiri, terutama soal akidah. Jangan sampai terseret kepada kemusyrikan yang dipropagandakan Barat dengan program pluralisme agama, terutama menjelang perayaan natal tahun ini. Umat Islam membiarkan umat nasrani merayakan hari besarnya, tidak mengganggunya, tidak ikut merayakan dan tidak juga mengucapkan hari rayanya, itulah toleransi yang benar. Umat Islam harus bisa membedakan antara toleransi dalam arti pluralitas sosiologis dengan pluralisme teologis, sebab keduanya berbeda, yang satu dibolehkan, sementara yang kedua diharamkan.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,13/12/22 : 10.15 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Sabtu, 12 November 2022

YRT: Dialog Antaragama karena Semangat Pluralisme dalam Kerangka Penjajahan

Tinta Media - Mudir Ma'had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Riyan Tresna (YRT) menilai dialog antaragama tidak lepas dari semangat pluralisme dalam kerangka penjajahan.

"Sejarah dialog antaragama tidak lepas dari semangat pluralisme agama dan dalam kerangka penjajahan," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (09/11/2022).

Semua agama diposisikan sama, kata Ajengan, tidak boleh ada klaim kebenaran, tidak boleh ada dominasi hukum dari agama tertentu,dan pada akhirnya harus tunduk pada solusi-solusi peradaban Barat.

Ia menjelaskan beberapa kekeliruan dalam gagasan dialog antaragama. "Kekeliruan konseptual gagasan dialog antaragama dapat dilihat dari beberapa sudut pandang," ujarnya.

Pertama, Ajengan menyebutkan sudut pandang persamaan agama. "Prinsip persamaan semua agama. Dialog antaragama didasarkan pada persamaan antarkeyakinan, agama, dan peradaban tanpa adanya keyakinan, agama atau peradaban yang lebih unggul," terangnya.

Kedua, menurutnya, kekeliruan yang lain adalah adanya klaim bahwa tidak ada kebenaran secara mutlak, sehingga perlu ada upaya mencari kebenaran.

"Klaim tidak ada kebenaran mutlak. Mereka memandang perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tidak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran. Mereka bermaksud membangun pola baru hubungan antar umat beragama yang inklusif," paparnya.

Terakhir, ia menyatakan bahwa kekeliruan selanjutnya adalah menuduh agama sebagai sumber konflik, yang tujuannya adalah justifikasi sepihak dan mengaburkan sumber konflik yang sebenarnya.

"Tuduhan agama sebagai sumber konflik. Tuduhan ini mengandung dua motif sekaligus. Justifikasi dialog antaragama demi terciptanya perdamaian, dan mengaburkan sumber konflik yg sebenarnya. Faktanya, imperialisme negara Barat-lah yang telah melahirkan konflik di dunia Islam," pungkasnya.[] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab