Pinjaman Online Menjerat, Masyarakat Sekarat
Tinta Media - Pinjaman online (pinjol) semakin melekat di benak masyarakat. Tidak sedikit masyarakat tergiur dengan iming-iming kemudahan dan bisa menjadi solusi dalam bertransaksi bisnis melalui digital. Kinerja outstanding pembiayaan fintech per-to-peer (P2P) lending dicatat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), meningkat atau pinjol naik terus.
Pembiayaan melalui fintech P2P lending pada Mei 2023 sebesar Rp51,46 triliun, tumbuh sebesar 28,31 persen year-on-year (YOY). Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,39 persen disalurkan kepada pelaku mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penyaluran kepada pelaku usaha perseorangan sebesar Rp15,63 triliun dan badan usaha senilai Rp4,13 triliun (JawaPos.com, 12/7/2023).
Pada Mei 2023, sekitar Rp40 triliun atau sebesar 77,9 persen dari jumlah pinjaman masih beredar dan mengalir ke peminjam yang berada di Pulau Jawa. Jumlah outstanding tertinggi berasal dari peminjam yang berasal dari Jawa Barat senilai Rp13,8 triliun disusul DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Sedangkan peminjam di luar Pulau Jawa menyumbang sebesar Rp11,3 triliun atau 22,1 persen atas jumlah pinjaman yang saat ini masih berjalan (Katadata, 14/7/2023).
Namun, menurut OJK, tingkat kelalaian pembayaran (kredit macet) ikut meningkat. Tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) pada Mei 2023 tercatat meningkat 1,08 point menjadi 3,36 persen dari tahun sebelumnya.
Terjadinya kredit macet merupakan fenomena yang ada di tengah masyarakat. Ini karena secara sengaja mereka meminjam pada pinjol ilegal dengan maksud tidak mau melakukan pelunasan. Hal ini tentu akan membahayakan bagi peminjam.
Mengapa “tradisi” pinjol makin membuat resah dan memiskinkan masyarakat? Bagaimana Islam memandang masalah ini dan cara penyelesaiannya?
Penyebab Masyarakat Terjerat Pinjol
Berdasar laporan riset NoLimit Indonesia yang bertajuk Perkembangan Isu Pinjaman Online di Media Sosial (2021) yang memantau perbincangan di medsos selama periode 11 September-15 November 2021, berikut sepuluh penyebab masyarakat terjerat pinjol: membayar utang lain 1.433 perbincangan, latar belakang ekonomi menengah ke bawah 542, dana cair lebih cepat 499, memenuhi kebutuhan gaya hidup 365, kebutuhan mendesak 297, perilaku konsutif 138, tekanan ekonomi 103, membeli gudget baru 52, membayar biaya sekolah 46, dan literasi pinjol rendah 42 perbincangan.
Penyebab pinjaman online tertinggi adalah untuk membayar utang lain. Tidak dimungkiri, saat ini utang dianggap sebagai solusi tercepat memenuhi kebutuhan, baik mendesak maupun sekadar gaya hidup, termasuk membayar utang.
Akhirnya, gali lubang tutup lubang menjadi kebiasaan di masyarakat. Mereka memulai bisnis UMKM dengan utang yang di era digitalisasi ini telah dipermudah (melalui online).
Pinjol dalam sistem kapitalisme tidak pernah lepas dari riba, menjadikan pelaku UMKM semakin terjerat utang menggunung dan berakhir dengan kebangrutan.
Pun, dengan gaya hidup yang sarat dengan kebebasan dan terpengaruh pola hidup konsumerisme, menjadikan pelaku pinjol kian merebak.
Maka, tidak heran jika kredit macet sangat mudah menimpa individu yang menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup, seperti pembelian gawai baru karena ikut tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat popular, dan membeli tiket konser musik.
Selain itu, dalam sistem kapitalis sekuler, negara tidak hadir sebagai pelayan umat yang menjamin kebutuhan asasi masyarakat, seperti pangan, sandang, papan, termasuk kesehatan dan pendidikan. Sehingga, masyarakat pontang-panting berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sampai-sampai terjerat pinjol.
Di sisi lain, para pejabat malah hidup senang-senang penuh kemewahan dan kebijakan yang dibuat berpihak kepada pengusaha. Kehidupan masyarakat tidak kunjung sejahtera. Yang ada justru sebaliknya, masyarakat makin melarat dan sekarat.
Islam Mengatasi Pinjol
Secara tegas Islam mengharamkan riba dengan cara apa pun. Demikian pula dengan pinjol yang di dalamnya ada bunga, sehingga aktivitas tersebut akan dilarang karena telah jelas keharamannya.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang artinya, ”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Demikian pula dalam hadis, Rasulullah Saw. bersabda: ”Dari Jabir Ra. ia berkata,”Rasulullah saw. telah melaknat orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya, orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, ”Mereka itu semua sama saja” (HR. Muslim).
Ketika telah jelas pinjol berkaitan dengan riba, maka Negara Islam tidak akan pernah memberi ruang bagi pinjol berkeliaran di tengah masyarakat. Negara akan menindak tegas pelaku ribawi dan pihak-pihak yang berkaitan dengannya. Selain itu, negara akan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, baik kaya maupun miskin.
Negara akan menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang bisa dinikmati oleh seluruh warga. Pun, dengan kebutuhan primer (pangan, sandang, papan), negara akan menjamin keterpenuhannya.
Fakir miskin akan diberi santunan sampai mereka terlepas dari jeratan kemiskinan. Sebagaimana terjadi pada masa Khalifah Harun Arrasyid, beliau memerintahkan petugas untuk mendistribusikan harta baitulmal kepada rakyat miskin dan mencari siapa saja yang memiliki utang untuk dilunasi oleh negara.
Tidak hanya itu, beliau menyediakan harta baitulmal untuk warga Negara yang butuh untuk keperluan, seperti menikah dan berbisnis. Dengan perlakuan yang demikian dari negara, maka sebuah keniscayaan rakyat akan merasakan kesejahteraan.
Karena itu, tunggu apa lagi, seharusnya umat Islam segera mewujudkan sistem Islam yang berasal dari Allah Swt. ini. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Wening Cahyani, Sahabat Tinta Media