Tinta Media: Pilpres
Tampilkan postingan dengan label Pilpres. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pilpres. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Februari 2024

KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Haram Menerima Pemberian dalam Rangka Pemilu



Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus ahli fikih kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan keharaman menerima pemberian dalam rangka pemilu. 

“Para ulama kontemporer (kekinian) sepakat hukumnya haram memberi atau menerima pemberian bisa berupa uang atau barang dalam rangka pemilu (al-intikhabat), baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres),” jelas Ustadz Shiddiq pada rubrik Kajian Fiqh: Hukum Menerima Uang dari Tim Capres, Jumat (2/2/2024) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn. 

“Jadi pileg maupun pilpres ini kedua-duanya haram ada pemberian baik yang memberi atau menerima, ini tidak dibolehkan,” lanjutnya menegaskan. 

Kiai menyampaikan perbedaan alasan dari ulama kenapa haram menerima hadiah dalam rangka pilpres. Menurut sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi dan juga ulama Darul Ifta’ Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan pemberian itu karena dianggap risywah (suap). Sedangkan menurut sebagian ulama lain, seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan pemberian itu karena dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan oleh pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. “Jadi ini ada dua pendapat yang ini sebenarnya hanya berbeda alasan mengenai keharaman,” paparnya. 

Menurut USAJ panggilan Ustadz Shiddiq Al Jawi, dari dua pendapat itu, yang lebih kuat adalah karena suap bukan karena kesaksian. Mengapa keharamannya lebih tepat karena suap (risywah)? “Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg atau capres pada pemilih,” terangnya. 

Disampaikannya definisi risywah (suap) menurut Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhsyiyyah Al-Islamiyyah juz 2 halaman 322 yang isinya: “Suap adalah setiap harta (uang/barang) yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan (shahibush shalahiyyat) yang wajib melakukan pekerjaan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) masyarakat yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian dari pihak yang ditunaikan kepentingannya.”

“Jadi dari pengertian risywah ini, pemberian dari tim capres/caleg termasuk risywah. Harusnya rakyat melakukan pilihan tanpa bayaran apapun, kok ini ada pemberian dari yang dipilih, maka ini termasuk risywah,” tuturnya. 

Sedangkan dalil umum lain yang mengharamkan suap antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 

Dari dua hadis tersebut, USAJ menyampaikan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani bahwa hadis-hadis ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapat manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya. “Jadi jika orang yang ingin dipilih memberikan sesuatu, berarti ia ingin mendapatkan manfaat kedudukan,” jelasnya. 

Menurutnya, umat harus tahu tujuan seseorang melakukan sesuatu meskipun tidak secara jelas dikatakan. Misalnya ketika membangun jalan saat akan pemilu, meski tidak ada perkataan secara langsung minta untuk memilihnya, namun ada indikasi ke arah itu, bisa dibilang juga suap. “Kita bisa memahami sesuatu tidak harus dari kalimat yang jelas, kita bisa memahami dari isyarat-isyarat, ucapan yang emplisit atau tidak terbuka,” paparnya. 

“Jadi pemberian dari caleg atau capres, atau timnya kepada pemilih adalah bentuk risywah (suap) yang haram hukumnya bagi yang memberi dan menerima bahkan perantaranya,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 31 Desember 2023

Mengapa Para Capres Tak Ada yang Menyuarakan Penegakan Syariah?

Tinta Media - Menurut saya, setidaknya ada empat kemungkinan mengapa dalam pilpres pemilu politik demokrasi para capres tidak ada satu pun yang menyuarakan ingin menegakkan hukum-hukum Islam secara kaffah (syariah).

1. Karena mereka takut tidak laku (tidak terpilih), karena sudah mengakarnya paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis) di Negeri ini, meski paham tersebut sudah pernah di fatwakan haram oleh MUI.

2. Karena para capres demokrasi enggak pernah mau paham sistem pemerintahan Islam yang di contohkan Rasulullah SAW.

3. Karena demokrasi memang bukan berasal dari Islam dan bukan untuk tegaknya hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah yang merupakan sumber utama hukum-hukum Islam (syariah).

4. Untuk lebih jelas, silakan Anda tanyakan kepada para capres demokrasi itu! Atau Anda minta mereka untuk membaca al-Qur'an dengan benar, yang tidak hanya sebatas sampai di 'kerongkongan', terutama Surat Al-Maidah (43,44,46) tentang keharaman berhukum selain dengan apa yang Allah SWT turunkan.

Oleh: Muhar
Sahabat Tinta Media

Kamis, 02 November 2023

IJM: Ada Oligarki di Belakang Capres-Cawapres


 
Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan ada kekuatan oligarki di belakang capres dan cawapres.
 
“Kekuatan yang harus ada dalam pilpres, di dalam sistem demokrasi adalah adanya kekuatan oligarki di belakang capres dan cawapres," tuturnya dalam video: Jadi, Semuanya Sandiwara?" Melalui kanal Youtube Justice Monitor, Ahad  (29/10/2023).
 
Ia beralasan, oligarki memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap siapa yang akan menjadi presiden, karena itu akan menentukan nasib bisnisnya.
 
 “Tujuan oligarki mendukung pasangan capre- cawapres adalah untuk melindungi dan mengamankan kekayaannya dari retribusi semisal pajak dan korupsi,  juga agar dekat dengan kekuasaan. Dengan itu mereka dapat mempengaruhi penguasa sehingga terhindar dari kesulitan dalam perizinan misalnya pengembangan bisnis dan berbagai gangguan lainnya," ulasnya.
 
Agung  mengungkapkan, oligarki juga bertujuan agar bisnisnya berkembang besar dan menggurita dengan dukungan kekuasaan. Di sisi lain,ucapnya,  politisi membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi politik.
 
 "Jadi hubungan antar penguasa dan pengusaha dalam sistem demokrasi sejatinya seperti simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan satu sama lain," pungkasnya.[] Muhammad Nur
 
 

Minggu, 01 Oktober 2023

MENAKAR KONTESTASI PILPRES DALAM PERSPEKTIF ISLAM


 
Tinta Media - Melansir dari data World Population Review tahun 2021, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Total ada sekitar 231 juta penduduk di Indonesia yang memeluk agama Islam. Berdasarkan data tersebut justru ada yang menarik, saat negara-negara seperti Indonesia, Pakistan, dan India memiliki penduduk Muslim terbanyak, justru banyak negara kecil yang memiliki persentase penduduk Islam lebih tinggi. 

Indonesia memiliki 86,7% penduduk Muslim dari total populasinya. Kemudian Pakistan memiliki 96,5% penduduk Muslim. Sementara itu, negara kecil seperti Maladewa menjadi negara dengan persentase penduduk Muslim tertinggi dengan 100% populasi. Artinya, seluruh penduduk di Maladewa adalah penganut agama Islam. 

Jumlah penduduk Indonesia adalah 274.790.244 orang per Agustus 2022. Sementara Maladewa berpenduduk 344,023      per September 2014. Adapun Pakistan jumlah penduduknya sebanyak 235.825.000 per Juli 2022. Menurut hasil perdata mengenai perkembangan pemeluk agama Islam semakin bertambah menjadi 2,3 miliar umat menurut data tahun 2023. Dengan ini penganut agama Islam di dunia diperkirakan menjadi agama dengan pemeluk terbesar di dunia saat ini. 

Dalam sensus resmi yang dilirik oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, penduduk Indonesia berjumlah 273,32 juta jiwa dengan 86,93% beragama Islam, 10,55% Kristen (7,47% Kristen Protestan, 3,08% Kristen Katolik), 1,71% Hindu, 0,74% Buddha, 0,05% Konghucu, dan 0,03% agama lainnya. Hal ini tidak aneh jika Indonesia disebut sebagai negeri muslim terbesar di dunia. 

Pertanyaannya, apakah umat Islam berdaulat di negerinya sendiri ?. Apakah sistem ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan budaya telah didasarkan oleh sumber hukum Islam : Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas ?. Jawabannya, tentu saja belum. Semua orang tahu bahwa Indonesia adalah negeri sekuler yang menjadikan kapitalisme sebagai sistem ekonominya, sementara sistem politiknya cenderung kepada ideologi komunisme. Ironis bukan ?. 

Sekularisme adalah pandangan dunia yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Dengan kata lain, sekularisme adalah paham yang memisahkan antara kehidupan dengan agama. Konsep ini menganggap bahwa kebijakan publik, hukum, dan etika harus didasarkan pada akal budi, bukan agama. Dalam masyarakat sekuler, kebebasan beragama diakui sebagai hak asasi manusia, tetapi agama diperlakukan sebagai urusan pribadi dan tidak mempengaruhi kebijakan publik. 

  

MUI pernah menetapkan fatwa haram untuk liberalisme, pluralisme dan sekularisme agama pada tahun 2005. MUI berpendapat bahwa agama harus menjadi sumber nilai dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, dan bahwa pemisahan antara agama dan negara yang diusung oleh sekularisme dapat merusak dan memperlemah keimanan umat muslim. 

  

Pemisahan antara agama dan negara yang diusung oleh sekularisme dapat memperlemah keimanan umat muslim, karena pandangan sekularisme menolak campur tangan agama dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, sehingga nilai-nilai keagamaan tidak lagi diakui sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat. 

  

Sekularisme tentu saja bukan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya terkait dengan dinamika gereja di Eropa. Sejarah munculnya sekularisme dapat ditelusuri kembali ke masa pencerahan di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Pada saat itu, pemikir-pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Voltaire mulai mempertanyakan peran gereja dalam kehidupan masyarakat. 

  

Mereka menekankan pada pentingnya akal budi dan ilmu pengetahuan dalam mengarahkan kebijakan publik. Tentu saja Islam dan Kristen memiliki perbedaan fundamental soal ini. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan kehidupan dengan hukum syariah. Semua masalah individu dan sosial telah diatur dalam syariah Islam. 

  

Selama Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, paham sekularisme semakin meluas dan menuntut pemisahan gereja dan negara. Pada saat itu, kekuasaan gereja di Prancis dikritik karena dianggap korup dan tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Gerakan sekularisme ini memperjuangkan hak individu untuk berpikir dan bertindak secara bebas, tanpa campur tangan agama atau kekuasaan gereja. 

  

Sejak itu, pandangan sekularisme semakin berkembang di negara-negara Barat dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan yang demokratis dan pluralis. Maka, sistem demokrasi jelas berpaham sekularismu ini. Sementara sekularisme telah diharamkan oleh MUI. 

  

Itulah mengapa gelaran pemilu selalu disebut sebagai pesta demokrasi. Pemilu adalah proyek politik sekularisme dimana para oligarki kapitalis menjadi pemain utamanya. Pilpres itu sebenarnya bukan soal individu calon presiden, tapi mereka cuma dijadikan alat para oligark untuk menarik suara rakyat. Capres boleh saja beragama Islam mengingat penduduk mayoritas negeri ini muslim, namun Islam tidak akan pernah menjadi pemenang, malah sebaliknya, Islam dan ajarannya selalu menjadi tertuduh sebagai agama radikal yang membahayakan negeri ini. Ironis bukan?

Faktanya, pilpres telah berlangsung ke sekian kali, Islam justru semakin dipojokkan. Lebih ironis, sebagian umat Islam justru ikut menarasikan islamofobia ini. Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Sebentar lagi akan menjadi pemilu ke 13 kali dengan pilpres pada tahun 2024 mendatang. Apakah akan terjadi perubahan, jawabannya tidak akan pernah terjadi perubahan menuju transformasi Islam. Ini bagi seorang mukmin yang memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi. 

  

Hegemoni sekularisme sesungguhnya telah mengakar begitu kuat dalam pikiran umat Islam di negeri ini, sehingga kehilangan kesadaran. Bahasanya, umat Islam telah mabok sekularisme. Sekularisme sebagai pandangan dunia yang menekankan pada pemisahan antara agama dan negara, memiliki daya rusak bagi kehidupan sosial, politik, dan budaya, terutama bagi umat Islam, politik Islam dan ormas Islam . 

  

Berikut beberapa daya rusak sekularisme : pertama, pemisahan agama dan negara dapat memperlemah nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga moralitas dan etika sosial dapat menjadi kurang dihargai dan terabaikan. Partai dan ormas Islam yang mengadopsi sekularisme tidak akan menjadikan Islam sebagai landasan dan tujuan perjuangannya. 

  

Kedua, sekularisme cenderung menekankan pada kepentingan dunia atau materi, sehingga spiritualitas dan nilai-nilai keagamaan dapat diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Partai Islam dan ormas Islam yang menerapkan meyakini sekularisme akan cenderung pragmatis sebagaimana organisasi sekuler lainnya. 

  

Ketiga, sekularisme dapat memicu individualisme dan hedonisme serta sering tidak mengindahkan halal dan haram, di mana individu cenderung lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat dari partai dan ormas Islam yang para pengurusnya banyak yang dipenjara karena terlibat korupsi. 

  

Keempat, pemisahan agama dan negara dapat memicu terjadinya benturan antara ajaran agama dan nilai-nilai sekuler, seperti dalam hal legalisasi praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini sering terjadi di negeri ini, sebab perda-perda syariah justru ditolak, sementara perda-perda yang bertentangan dengan Islam justru disahkan. 

  

Kelima, sekularisme dapat memicu polarisasi dan konflik antara kelompok agama dan non-agama, terutama jika diimplementasikan dengan cara yang tidak proporsional atau memihak pada kelompok tertentu. Sekularisme di negeri ini terbukti telah memecah umat Islam ke dalam berbagai organisasi politik dan sosial. Saat pemilu demokrasi, terlihat jelas perpecahan umat Islam. 

  

Padahal umat Islam adalah umat yang satu, karena mereka memiliki keyakinan yang sama dalam agama Islam dan mengikuti ajaran yang sama dalam Al-Quran dan Hadits. Hal ini juga tercermin dalam pernyataan syahadat, yaitu "Laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah" yang artinya "Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah". 

  

Selain itu, umat Islam adalah umat yang satu  karena memiliki sumber nilai dan hukum yang sama dalam Islam, serta menjunjung tinggi persatuan dan solidaritas antar sesama umat Islam. Dalam Islam, umat ditekankan untuk saling tolong-menolong, menghormati hak-hak orang lain, dan menjaga kerukunan serta keharmonisan dalam bermasyarakat. Sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas, bukan demokrasi sekuler apalagi piagam PBB. 

  

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus memperkuat persatuan dan solidaritas dalam menghadapi tantangan dan perbedaan yang ada, serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesejahteraan bersama dan mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dengan menjadikan al Qur’an sebagai sumber hukum, baik individu maupun sosial kenegaraan. Umat Islam yang mayoritas di negeri ini semestinya melakukan sebuah transformasi sistemik menuju Islam. Sampai kapan dibelenggu dengan sistem kapitalisme sekuler atau komunisme ateis terus melalui pemilu lima tahunan ini ?. 

  

Dalam transformasi sistem berbasis ideologi Islam di Indonesia, bangsa ini harus melakukan analisis dan evaluasi sistem yang ada, yakni sistem kapitalisme sekuler dan komunisme ateis yang telah jelas-jelas menghancurkan negeri ini. Langkah Ini melibatkan identifikasi kelemahan dan kerusakan dua ideologi ini agar memberikan pemahaman dan kesadaran bagi rakyat Indonesia melalui dakwah. 

  

Transformasi ideologi mengacu pada perubahan yang signifikan dalam keyakinan, nilai-nilai, pandangan dunia, atau prinsip-prinsip yang mendasari suatu ideologi tertentu. Ideologi adalah seperangkat pemikiran dan keyakinan yang membentuk dasar bagi tindakan dan kebijakan politik, sosial, atau budaya. 

  

Transformasi ideologi dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk politik, agama, ekonomi, atau sosial. Transformasi ideologi sering kali dimulai dengan pergeseran nilai dan keyakinan yang mendasarinya. Orang atau kelompok yang mengalami transformasi dapat mempertimbangkan ulang keyakinan mereka yang telah ada sebelumnya dan memilih untuk mengadopsi pandangan yang berbeda. Dalam hal ini bangsa ini harus disadarkan bahwa hanya Islam yang merupakan ideologi yang benar dan harus menggeser dan manjauhi ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme ateis. 

  

Ideologi yang ada dapat mengalami transformasi melalui pembaharuan dan reinterpretasi. Ini melibatkan penyesuaian atau perubahan dalam penafsiran dan aplikasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasarinya untuk mencerminkan perubahan zaman, lingkungan sosial, atau perkembangan pemikiran baru. Islam sendiri merupakan agama dan ideologi yang mampu menjawab segala persoalan zaman. Reinterpretasi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta mesti dilakukan melalui ijtihad kontemporer, seiring perkembangan sains dan teknologi. 

  

Transformasi ideologi juga dapat terjadi melalui perubahan sistemik yang mempengaruhi struktur kekuasaan atau organisasi yang berhubungan dengan ideologi tersebut. Misalnya, perubahan politik atau perubahan kebijakan yang signifikan dapat membawa pergeseran dalam ideologi yang dianut oleh pemerintahan atau partai politik. Transformasi Indonesia menjadi lebih baik tentu saja dengan perubahan sistemik, dari sistem kapitalisme sekuler menuju sistem Islam. 

  

Faktor eksternal seperti perkembangan teknologi, globalisasi, perubahan sosial, atau perubahan dalam dinamika geopolitik juga dapat mempengaruhi transformasi ideologi. Perubahan di luar ideologi itu sendiri dapat memaksa adaptasi atau perubahan dalam keyakinan dan pandangan dunia yang ada. Maka, lihatlah bagaimana rusak dan hancurnya dunia akibat ideologi kapitalisme. Akibat ideologi kapitalisme sekuler juga telah memporak-porandakan persatuan umat. Karena itu, kerusakan akibat kapitalisme atau komunisme ini mestinya mendorong kedasaran umat Islam untuk pulang ke rumahnya sendiri, yakni menerapkan ideologi Islam. 

  

Transformasi ideologi adalah proses yang kompleks dan sering kali melibatkan perdebatan, perubahan sosial, dan pergeseran dalam dinamika kekuasaan. Dalam sejarah, kita dapat melihat contoh-contoh transformasi ideologi seperti perubahan dari sistem feodal ke sistem kapitalis, perubahan dari apartheid ke demokrasi di Afrika Selatan. Di zaman Nabi, ada transformasi sistemik dari sistem jahiliah ke sistem Islam. Jika dilihat indikator-indikator, bisa disebut bahwa paham demokrasi sekuler sekarang ini mirip dengan sistem jalihiah masa lalu. 

  

Sekali lagi, sudah waktunya dunia ini melakukan proses transformasi sistemik menuju sistem Islam. Lebih khusus lagi adalah Indonesia yang merupakan negeri mayoritas muslim, maka sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai sumber hukum dan perundang-undangan dalam institusi politik Islam. Syariah Islam diterapkan secara kaaffah, maka akan terwujud rahmat bagi alam semesta. Yakin ?. 

 Oleh: Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28/09/23 : 10.30 WIB) 

  

  

  

  

___________________________

Selasa, 15 November 2022

PILPRES TIDAK MENGHASILKAN APAPUN, KECUALI PENGKHIANATAN & KEKECEWAAN

Tinta Media - Kalian ini bagaimana? Katanya rezim curang? Pemilu dan Pilpres sudah dipersiapkan oleh oligarki? Pemilu sudah disiapkan siapa yang mau dimenangkan? Oligarki sudah menguasai seluruh sendi-sendi kehidupan demokrasi. Tapi kenapa kalian masih qona'ah dengan demokrasi? Masih saja tersihir dengan janji-janji perubahan melalui Pilpres atau Pemilu?

Lihatlah! Lihatlah para politisi dan partai. Belum berkuasa saja mereka tak peduli terhadap kalian, apalagi setelah mereka berkuasa? Belum berkuasa saja mereka bungkam, tidak membela kalian, bagaimana nanti setelah berkuasa?

Kalian meyakini, Pilpres akan dicurangi. Tapi kalian, masih memberikan suara untuk sesuatu yang kalian yakini pasti curang. Sebenarnya, kalian sadar atau tidak dengan pilihan kalian?

Kalau tidak ikut memilih, kekuasaan akan dikuasai orang kafir. Memangnya selama ini siapa yang berkuasa? Yang berkuasa orang Islam, yang menjadi anggota DPR juga orang Islam, yang bergelar Ulama bahkan menjadi Wapres. Apa hasilnya?

Kalau tujuannya adalah untuk menjadikan Islam berkuasa, untuk menegakkan syariat Islam, tentu saja perjuangan ini tidak bisa ditempuh dengan coblos-coblosan, ikut pemilu atau Pilpres. Sejak lama umat Islam ikut Pemilu, dicucuk hidungnya taklid buta pada demokrasi. Apakah Islam bisa berkuasa?

Kalian, begitu yakin mengulangi kegagalan demi kegagalan dalam Pemilu atau Pilpres. Berulangkali dikhianati dan kecewa, masih juga mau kembali berkorban untuk kecewa secara berulang-ulang.

Dulu kalian tersihir oleh Jokowi, dengan sosok ndeso dan sederhananya. Dengan gaya pencitraan gorong-gorongnya. Begitu Jokowi berkuasa, kalian baru sadar telah diperdaya.

Dulu kalian terperdaya oleh Prabowo, begitu terkesima dengan ungkapan 'timbul dan tenggelam bersama rakyat'. Lantas, akhirnya kalian benar-benar tenggelam dalam kekecewaan, dan sakit hati karena pengkhianatan.

Lalu hari ini, kalian ingin kembali berkorban untuk sebuah pengkhianatan?

Bagi siapapun yang berakidah Islam, siapapun yang berkuasa jika tidak menerapkan Islam maka itu merupakan pengkhianatan. Karena tujuan politik dalam Islam adalah mengatur kehidupan dengan aturan Islam. Tujuan politik Islam bukan sekedar menjadikan si fulan berkuasa, tetapi menjadikan hukum Allah SWT berkuasa.

Kalau hari ini, kalian memilih untuk kembali kecewa dan dikhianati, maka tenggelamlah sendiri dengan pilihan kalian. Jangan mengajak umat Islam lainnya, yang sadar atas problem politik sekuler denokrasi, untuk ikut tenggelam dalam kekecewaan dan pengkhianatan.

Umat Islam yang lurus, adalah yang mencontoh dakwah Rasulullah SAW, dan membuang jauh millah yahudi dan nasrani. Tidak tertipu oleh sistem demokrasi dan hanya menjadikan dakwah sebagai jalan untuk menuju kemuliaan Islam, menuju penerapan syariat Islam. Islam hanya akan tegak dengan Khilafah, bukan dengan Pemilu dan Pilpres dalam sistem Demokrasi. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 10 Juni 2022

HT1, PILPRES 2024 & KHILAFAH


Tinta Media - Aneh, lucu dan sangat menggelikan ketika ada narasi yang menyebut Eks HTI mendeklarasikan dukungan kepada Anies Baswedan untuk menjadi Capres 2024. Kalau kata orang, mainnya kurang jauh. Sejak awal hingga BHP HTI dicabut, HTI tidak pernah terlibat dalam politik praktis, terlibat dukung mendukung dalam Pemilu, Pilpres maupun Pilkada.

HTI sendiri sebagai bagian dari Hizbut Tahrir telah menyampaikan secara berulang bahwa problem yang dihadapi negeri ini bukan hanya soal krisis pemimpin. Melainkan, krisis kepemimpian. Bukan hanya soal rezim melainkan juga sistem.

Hizbut Tahrir melihat problem yang mendera negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya adalah karena tidak diterapkannya sistem Islam. Negeri-Negeri kaum muslimin dijajah dan dikuasai oleh sistem kapitalisme liberal.

Konklusinya menjadi jelas bagi Hizbut Tahrir, siapapun pemimpinnya jika sistem yang digunakan masih menggunakan sistem demokrasi sekuler maka tidak akan ada kebaikan bagi umat Islam. Tindakan memberikan dukungan, apalagi pembelaan dan pengorbanan pada tokoh atau individu tertentu tanpa mempersoalkan sistem yang mengatur, sama saja melanggengkan masalah yang merupakan bawaan dari sistem demokrasi.

Lantas, apa yang akan menyelamatkan negeri ini ?

Apa lagi kalau bukan Khilafah. Dan berulangkali, HTI menyampaikan Khilafah sejak mula eksis di negeri ini. Sebelum BHP HTI dicabut, HTI membuat banyak kegiatan diskusi, kajian, pawai, konferensi, muktamar, dan berbagai sarana dakwah lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam Khilafah.

Yang paling spektakuler adalah saat Konferensi Khilafah Internasional yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia di stadion Utama Gelora Bung Karno pada tahun 2007 yang lalu. Konferensi ini bertujuan untuk mengingatkan umat akan pentingnya menunaikan kewajiban menegakkan kembali khilafah.

Kala itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto mengatakan bahwa berbagai masalah yang dihadapi umat Islam berawal dari hilangnya kehidupan Islami yang berdasarkan Syariah Islam yang dipimpin seolah khalifah. Selanjutnya dia mengatakan Khilafah dan syariah Islam adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan berbagai masalah dunia Islam.

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia mendapat respon dan antusiasme yang luar biasa dari berbagai komponen umat Islam, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri—seperti Malaysia, Australia, Jepang, India, Pakistan, Timur Tengah, Inggris, Denmark, Amerika, dll.

Saat itu, banyak tokoh yang hadir dan memberikan komentarnya.

"Khilafah adalah ajaran Islam yang baik dan mulia. Khilafah ada dalam al-Quran ada dalam sejarah walaupun itu terjadi setelah Rasulullah saw. Wafat. Namun, harus saya katakan, ada perbedaan juga dalam pandangan ulama tentang watak Khilafah yang ada di dalam sejarah." Begitu, ungkap Prof. Dr. Din Syamsudin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, seksligus Wakil Ketua Umum MUI Pusat.

Sejumlah tokoh lain juga memberikan komentar dan apresiasi. Ada KH Thahlon Abdul Rauf (MUI Palembang), KH Amrullah Ahmad (Sekretaris MUI Pusat/Ketua Umum Syarikat Islam) hingga DR. H. Adhyaksa Dault, Menpora kala itu.

"Acara Konferensi Khilafah Internasional merupakan momen yang bagus untuk mempersatukan umat. Khilafah itu, saya kira, hadisnya jelas. “Tsuma takûnu Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.” Yang perlu kita bangun sekarang adalah komunikasi antar gerakan Islam. Jangan ada su’uzhann satu sama lain." tegasnya.

Jadi, trademark HTI itu Khilafah. Tidak pernah ada catatan atau preseden politik HTI ikut terlibat dukung mendukung Capres Wapares, apalagi baru wacana (balon) Capres Cawapres. Makanya, hanya orang tak berakal saja yang membuat opini sesat atau percaya eks HTI mendukung capres tertentu, entah itu Ganjar Pranowo, Puan Maharani, termasuk Anies Baswedan.

Sayangnya, kemuliaan bendera tauhid menjadi direndahkan hanya karena gawe Pilpres. Pada acara deklarasi dukungan untuk Anies Baswedan, bendera tauhid diturunkan.

Aneh juga, masih ada yang mengulangi narasi sesat bendera bertuliskan lafadz tauhid sebagai bendera HTI. Padahal, masalah ini telah berulangkali dijelaskan bahwa bendera dengan lafadzt tauhid adalah bendera Rasul, Bendera Islam, benderanya kaum muslimin.

Memang benar, Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2016 menunjukan betapa kuatnya gerakan politik keumatan. Para politisi tentu tidak ingin mereka mengulangi kekalahan karena adanya peran kelompok politik yang berbasis gerakan umat, bukan gerakan partai.

Kalau memperhatikan hal ini, tentu kita dapat mudah membaca, siapa aktor dibalik operasi klaim dukungan HTI untuk Anies Baswedan. Lagipula, urusannya sebenarnya bukan pada siapa mendukung siapa. Melainkan, siapa yang diuntungkan dari operasi sesat menjual nama eks HTI ?

Disisi lain, meskipun telah dicabut BHP nya, HTI masih menjadi sentral opini politik. Sebuah konfirmasi, betapa besarnya pengaruh HTI. Apakah hal ini juga mengkonfirmasi Capres manapun yang berlaga dalam Pilpres 2024 tidak akan menang tanpa restu dan dukungan HTI ? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sabtu, 21 Mei 2022

ISU KHILAFAH MAKIN HANGAT DALAM PILPRES 2024


Tinta Media  - Nampaknya, isu Khilafah akan menjadi isu hangat dalam Pilpres 2024. Belum memasuki kampanye, pilpres masih 2 tahun lagi saja, Rudi S Kamri sudah mulai memainkan isu Khilafah dalam Pilpres 2024.

Rudi menyebut Anies Baswedan dikelilingi kelompok pendukung pro Khilafah. Atas alasan itulah, Rudi menyarankan agar Anies Baswedan tidak maju Pilpres 2024.

Secara formal, tentu saja materi Khilafah ini tidak mungkin masuk dalam materi kampanye debat capres. Debat capres sendiri, hanya satu momen untuk memperkenalkan capres dan programnya.

Sementara materi kampanye non formal, sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum tahapan kampanye Pemilu. Bahkan, seperti yang saya katakan, secara implisit maupun eksplisit saat inipun musim kampanye telah dimulai.

Tantangan Timses Pilpres dalam memenangi hati pemilih hingga akhirnya mendapatkan suaranya, dalam konteks isu Khilafah ini diantaranya ada beberapa hal :

Pertama, bagi kelompok kontra Khilafah isu Khilafah akan dijadikan 'momok' untuk mendeskreditkan lawan politik dengan tujuan untuk mengalienasi, menjegal pencapresan, hingga memeloroti elektabilitas. Apa yang dilakukan oleh Rudi S Kamri terhadap gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah konfirmasi usaha untuk menjegal pencapresan Anies Baswedan dengan narasi dikelilingi kelompok pro Khilafah.

Cara-cara kuno seperti labeling dan stigmatisasi dengan ungkapan anti NKRI, anti Pancasila, memecah belah akan menjadi menu utama kampanye. Padahal, narasi ini sebenarnya hanyalah monsterisasi Khilafah, ungkapan yang hanya ada pada imajinasi.

Kedua, bagi kelompok pro Khilafah upaya mendelegitimasi Khilafah akan dikapitalisasi sebagai sikap yang anti Islam dengan argumentasi bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Capres akan mengambil pilihan netral, karena terbuka menyatakan kontra Khilafah akan berbahaya bagi elektabilitas apalagi di tengah kesadaran pemilih Islam makin baik.

Pilihan terbuka kontra Khilafah  seperti yang diambil oleh Rudi S Kamri pasti akan membahayakan elektabilitas capres. Berbeda dengan buzzer yang tak memiliki kepentingan dengan elektabilitas, sehingga mudah saja menyampaikan pandangan terbuka kontra Khilafah.

Ketiga, timses akan mempertimbangkan tiga hal antara terbuka pro khilafah untuk meraih elektabilitas umat Islam, kontra khilafah untuk meraih elektabilitas kelompok nasionalis, atau mengambil sikap netral. Tentu pilihan-pilihan ini bukan disampaikan pada konteks kampanye resmi pilpres, melainkan kampanye tim dalam aktivitas interaksi dengan masyarakat terutama dalam interaksi sosial media.

Ramuan yang keliru akan berdampak fatal. Misalnya, terbuka kontra Khilafah bukan hanya mendapatkan tantangan dari lawan, melainkan juga dari kelompok non partisan politik namun memiliki konsen dalam memperjuangkan Khilafah.

Inilah, yang saya maksud timses harus memiliki roadmap sejak dini untuk persiapan materi kampanye dan pilihan sikap yang diambil dalam menyikapi isu Khilafah. Sebab, realitasnya isu ini makin hari makin menggelinding dan membesar bak bola salju. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab