Tinta Media - Bahagia sekali rasanya suasana batin penulis pada Kamis, 26 Januari 2023, dimana penulis dapat berjumpa dengan sejumlah sahabat-sahabat penulis dalam sebuah forum diskusi. Di masa yang lalu, kami terbiasa berdiskusi bersama.
Namun, sejak pandemi, sejak peristiwa pasukan Wakanda menyerang negara api, aktivitas dakwah dalam bentuk diskusi publik nyaris terhenti. Seperti lama 'Bad Rest', penulis kembali mencoba mengajak melangkah bersama lagi, setahap demi setahap, sampai akhirnya bisa lari seperti sedia kala.
Wahyu Rahmansyah, S.S, Abu Hafidz dan Ustadz Wahyu Abu Fawwaz. Tiga sahabat yang membersamai penulis dalam sebuah diskusi yang mengambil tema "PILPRES 2024 DAN MASA DEPAN POLITIK ISLAM: DEMOKRASI ATAU KHILAFAH?".
Seperti biasa, Bung Zakariya yang menjadi hostnya. Maaf, bukan hanya host tetapi pembicara kelima.
Sebab, setiap selesai mengantarkan diskusi, host kita yang satu ini selalu memberikan ringkasan materi dan sarah tambahan atas pemaparan yang telah disampaikan pemateri. Tahu lah, maksudnya.
Selalu, penulis mendapatkan kesempatan yang pertama. Dalam kesempatan itulah, penulis memaparkan sejumlah analisa konstelasi politik Pilpres 2024 dan rekomendasi gerakan politik Islam, yang kurang lebihnya sebagai berikut:
*Pertama,* tidak ada jaminan Pemilu atau Pilpres 2024 akan dilaksanakan sesuai jadwal. Berbeda dengan saat Pilpres 2019 yang lalu, suasana menjelang Pilpres 2024 ini justru dipenuhi dengan 'konsolidasi wacana' untuk pengkondisian bagi incumbent melanggengkan atau setidaknya menambah usia kekuasaannya.
Terakhir, berkumpulnya kepala desa dan perangkat desa yang menuntut tambahan periode jabatan yang direspons Presiden, bukanlah kegiatan biasa yang tak terkoordinasi. Ada upaya yang terstruktur, tersistem dan massif, melanjutkan sejumlah manuver gerakan sebelumnya (seperti berkumpulnya APDESI) untuk menyiapkan suasana pra kondisi untuk memperpanjang usia kekuasaan Jokowi.
Teknisnya bisa melalui amandemen konstitusi untuk jabatan Presiden tiga periode, amandemen konstitusi untuk melegitimasi penundaan Pemilu, atau terbitkan dekrit. Dekrit bisa untuk tujuan menunda Pemilu untuk mengokohkan kekuasaan Jokowi, atau dekrit kembali ke UUD 1945 agar Pilpres cukup dilaksanakan oleh parlemen.
Semua sarana konstitusi dapat dikondisikan, baik melalui jalur amandemen maupun dekrit Presiden. Semua dukungan elit politik baik parpol, legislator hingga kekuasaan yudikatif (MK) dapat dikondisikan.
Yang menjadi ganjalan untuk mengeksekusi rencana ini hanya tinggal soal persepsi publik dan kehendak rakyat. Acara-acara mengumpulkan APDESI (Asoasi Pemerintahan Daerah Seluruh Indonesia), mengumpulkan kepala desa dan perangkat desa dengan modus suap jabatan kepala desa, tipu-tipu big data oleh Luhut Panjaitan, adalah diantara langkah awal penggalangan dukungan opini publik untuk memperpanjang usia kekuasaan Jokowi, baik melalui mekanisme amandemen konstitusi maupun menerbitkan dekrit, baik untuk tujuan menunda Pemilu, atau memberikan kesempatan tiga periode jabatan Presiden.
Karena itu, bagi yang masih sibuk copras capres, sibuk membentuk relawan ini dan itu untuk mendukung capres, penulis mengingatkan. *Bisa saja tidak ada Pilpres 2024, karena itu jangan habiskan energi secara mubazir untuk perjuangan copras capres.*
*Kedua,* banyak gerakan umat Islam yang bergerak tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Kalaupun punya visi Islam, baru sebatas ingin mendudukan umat Islam sampai ke tampuk kekuasaan.
Belum ada kesadaran kolektif tentang pentingnya Islam sampai ke tampuk kekuasaan. Bukan sekedar menjadikan si fulan dan fulanah yang muslim agar menjadi penguasa, sampai ke tampuk kekuasaan (menjadi Presiden, anggota DPR, kepala daerah, anggota DPRD), *melainkan mampu menjadikan Islam berkuasa ditandai dengan diterapkannya syariat Islam dalam dimensi Negara, dimensi kekuasaan.*
Karena itulah, gerakan umat Islam menjadi terlihat terpecah, terbelah, tidak terkonsolidasi, karena 'mimpi pergerakan' belum memiliki perspektif yang sama. Yang ada di politik juga bukan berorientasi agar syariat Islam berkuasa, namun masing-masing sibuk menyiapkan kader-kadernya berkuasa melalui mekanisme politik Pemilu 2024.
*Ketiga,* dibutuhkan persepsi, qona'ah (keyakinan) dan parameter (ukuran) yang sama tentang apa itu visi perubahan dan kebangkitan Islam. Perubahan dan kebangkitan yang diperjuangkan adalah upaya dan ikhtiar maksimal untuk mengubah sistem sekulerisme demokrasi sekuler menuju sistem Islam, ditandai dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah dalam dimensi negara.
Pada titik tersebut, maka umat Islam harus memiliki parameter perubahan dan kebangkitan yang sahih, yakni melalui tegaknya institusi penegak syariat Islam dibawah naungan daulah Khilafah. *Sederhananya, parameter perubahan dan kebangkitan Islam itu ditandai dengan tegaknya daulah Islam Khilafah.*
Nah, pada titik itulah, umat Islam dapat mencurahkan seluruh tenaga, waktu, pikiran, uang hingga nyawa, untuk merealisir tujuan kebangkitan Islam. Seluruh investasi perjuangan, harus diarahkan untuk visi ini, bukan untuk copras capres, sehingga umat Islam merasa qona'ah dalam berjuang dan tidak merasa khawatir akan dikhianati oleh Capres seperti yang pernah terjadi dalam Pilpres 2019 yang lalu.
Inilah visi bersama umat Islam, visi yang lebih realistis ketimbang visi copras capres. Visi yang tidak akan mungkin tersusupi pamrih dunia dan potensi dikhianati. Visi yang menjadikan tujuan izzul Islam wal Muslimin sebagai prioritas amal pergerakan.
Memang benar, belum seluruhnya umat Islam paham atau setuju dengan visi itu. Dakwah menjadi sangat relevan untuk semakin digencarkan, agar umat Islam sampai pada pemahaman, keyakinan, hingga kerinduan yang membuncah pada cita penegakan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah ala minhajin Nubuwah.
Diskusi semacam yang penulis lakukan bersama sahabat-sahabat penulis lakukan ini, perlu untuk digalakkan dan dilakukan oleh seluruh pengemban dakwah. Agar terjadi transformasi radikal dikalangan umat Islam, terjadi konversi visi misi dari yang hanya sekedar ingin menaikan umat Islam ke tampuk kekuasaan melainkan menjadikan Islam berkuasa.
MasyaAllah, indah sekali saat negeri ini menjadi Madinah yang kedua. Menjadi titik tolak kebangkitan Islam melalui tegaknya Khilafah di negeri ini. Lalu, umat Islam kembali memimpin dunia, menebarkan rahmat Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana hal itu telah diperoleh dan dilakukan oleh Kekhilafahan Islam pada periode silam. Masa depan umat Islam adalah Khilafah, bukan demokrasi. [].
[Catatan Diskusi Pekanan, Sebuah Ikhtiar Untuk Menggalang Visi Bersama Umat Islam]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Pejuang Syariah & Khilafah