Senin, 11 November 2024
Selasa, 05 November 2024
Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?
Tinta Media - Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa (kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung jawab mereka.
Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri, menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.
Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum. Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda. Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).
Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.
Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya. Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.
Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.
Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan umat berdasarkan hukum Islam.
Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.
Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki. Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.
Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah
Sabtu, 22 Juni 2024
Pemilihan Kepala Daerah dalam Islam
Tinta Media - Dalam waktu tiga hari gugatan Partai Garuda terkait dengan batas usia kepala daerah baik calon gubernur dan wakil gubernur dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Ini berarti untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur tidak harus berusia 30 tahun.
Dalam putusan MA tersebut, menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau Walikota dan wakil Walikota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Dengan adanya putusan tersebut, maka aturan KPU pun diubah.
Pada pasal 4 ayat (1) huruf d sebelumnya berbunyi: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan calon.
Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur pada saat ditetapkan menjadi pasangan calon. Lalu berusia 25 tahun pada saat penetapan pasangan calon untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya. Namun, aturan tersebut diubah oleh MA menjadi berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.
Perubahan UU demi kepentingan segelintir orang sudah biasa terjadi. Bahkan niscaya terjadi di dalam sistem politik Demokrasi hari ini. Hal tersebut sangat mudah dipahami lantaran kedaulatan hukum sistem demokrasi berada di tangan manusia. Prinsip politik ini sudah menegasikan keberadaan Allah, bahkan membuang Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum.
Sehingga wajar dari konsep politik yang batil melahirkan mekanisme politik yang fasad (rusak). Kekuasaan digunakan sebagai legitimasi mengalahkan supremasi hukum. Maka tak salah jika ICW menduga putusan MA terkait perubahan batas usia calon pejabat digunakan untuk memuluskan jalan Kaisang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo maju di Pilkada 2024. Jika sudah seperti ini rakyat yang kembali harus menelan pil pahit keculasan para pejabat negeri. Harapan memiliki pemimpin pro rakyat sudah pupus.
Sesungguhnya umat akan terus menghadapi dan merasakan kekuasaan fasad para pejabat selama sistem demokrasi masih digunakan sebagai sistem politik. Sebenarnya kekuasaan bukanlah hal kotor seperti saat ini. Dan harapan menjadi pemimpin adil juga bukan hal yang sulit diwujudkan. Hal itu akan terwujud jika sistem politik yang diterapkan adalah sistem politik yang shahih (benar). Hanya dengan sistem Islam sistem politik yang shahih akan terwujud. Sebab, dalam sistem Islam kekuasaan dikaitkan dengan akidah Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah suatu amanah besar yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Rasulullah sangat mewanti-wanti terkait amanah kekuasaan ini. Karena jabatan dan kekuasaan bisa menghinakan atau memuliakan pemikulnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Kepemimpinan itu awalnya cacian, kedua penyesalan, dan ketiga azab dari Allah pada hari kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR. ath-Thabrani)
Mindset kekuasaan seperti ini membuat Khalifah Umar Bin Khattab menangis karena dibai’at oleh para sahabat lainnya untuk memimpin negara Khilafah. Mindset kekuasaan seperti ini pula yang membuat para penguasa negara Khilafah berusaha seoptimal mungkin mengerahkan kemampuan mereka dalam mengurus atau meri’ayah rakyatnya.
Terkait pemilihan kepala daerah, Islam sudah memiliki mekanismenya. Dalam kitab Ajhizah fi Daulah Khilafah, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan kepala daerah Khilafah disebut dengan wali. Dalam kitab tersebut menjelaskan, bahwa wali adalah wakil khalifah (naib al-khalifah) dalam memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Wali diangkat langsung oleh khalifah. Dia bertanggung jawab di terhadap khalifah dan majelis syura. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah bila diadukan oleh majelis syura. Majelis Syura adalah perwakilan umat di sebuah wilayah (setingkat provinsi).
Satu wilayah dalam Islam dibagi ke dalam beberapa imalah (setingkat kabupaten). Penanggung jawab imalah disebut Amil. Amil memiliki wewenang sebagaimana wali. Dan syarat-syarat amil juga sama sebagaimana syarat-syarat seorang wali. Mekanisme ini akan membuat pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien, berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Tak hanya itu, akuntabilitas pejabat juga terjamin karena bisa diberhentikan segera jika mereka melakukan kezaliman. Dan kontrol masyarakat akan berjalan karena mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan.
Untuk menjalankan amanah besar ini, tentu bukan sembarang orang mampu melakukannya. Ada syarat-syarat tertentu dalam Islam agar seseorang layak menjadi kepala daerah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Asy Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 2 halaman 95, memberi tiga indikator kriteria penting yang harus dimiliki seorang pejabat, yakni al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-ra’iyyah, yakni lembut terhadap rakyat dan tidak menyakitkan hati. Kriteria ini akan menjadikan kepala daerah terpilih mampu melayani umat dengan baik.
Inilah komparasi makna kekuasaan, pemilihan, serta kriteria pejabat dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah. Lantas alasan apa yang membuat umat masih tetap mempertahankan sistem Demokrasi?
Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah