Tinta Media: Pilkada
Tampilkan postingan dengan label Pilkada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pilkada. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 November 2024

Pilkada Boros di Sistem Demokrasi


Tinta Media - Pilkada serentak 2024 ditaksir anggarannya lebih dari Rp41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati Pemerintah Daerah (Pemda) dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. (kompas.com, Rabu 10/7/2024)

Luar biasa, sistem demokrasi mengharuskan rakyat untuk memilih pemimpin negara dan jajarannya dengan dana sebesar itu merupakan suatu pemborosan. Padahal, cara tersebut sangat tidak efektif karena 41 triliun bukan angka yang sedikit. Jika dana tersebut digunakan untuk kebutuhan lain, sudah pasti lebih bermanfaat.

Sangat disayangkan, dana yang begitu besar hanya digunakan untuk keperluan pilkada saja. Ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pemilihan pemimpin negara dan jajarannya tidak memerlukan biaya yang besar dan sudah dijamin bahwa yang menjadi pemimpin dan jajarannya akan bersikap adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya.

Karena itu, sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang menggunakan peraturan langsung bersumber dari Allah Swt. Yang Maha Pengatur.
Sudah dijamin bahwa tidak akan ada lagi masalah seperti sekarang ini, yang tidak bisa dituntaskan penyelesaianns.

Dalam sistem Islam, pemerintah senantiasa mengayomi dan melindungi rakyat dari segi apa pun. Sehingga, rakyat akan merasakan kesejahteraan yang hakiki.

Sudah terbukti, selama 13 abad diterapkan sistem Islam, kasus yang dihadapi hanya kurang dari 200 kasus. Itu pun bukan kasus berat. Terbayang, betapa sejahteranya kehidupan di masa itu. Tidak seperti sekarang ini, setiap hari ada saja berita kejahatan yang terjadi.

Alih-alih menyelesaikan, yang disalahkan hanya individu yang melakukan kejahatan itu saja, padahal ada peran negara. Faktanya, negara tidak bisa menyejahterakan rakyat sehingga melakukan hal hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Wallahu a'lam bish shawwab.



Oleh: Ummu Arvin
Sahabat Tinta Media



Selasa, 05 November 2024

Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?

Tinta Media - Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa (kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung jawab mereka.

Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri, menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.

Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum. Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda. Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).

Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.

Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya. Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.

Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.

Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan umat berdasarkan hukum Islam.

Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.

Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki. Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam.

Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah

Sabtu, 22 Juni 2024

Pemilihan Kepala Daerah dalam Islam

Tinta Media - Dalam waktu tiga hari gugatan Partai Garuda terkait dengan batas usia kepala daerah baik calon gubernur dan wakil gubernur dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Ini berarti untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur tidak harus berusia 30 tahun.

Dalam putusan MA tersebut, menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau Walikota dan wakil Walikota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Dengan adanya putusan tersebut, maka aturan KPU pun diubah.

Pada pasal 4 ayat (1) huruf d sebelumnya berbunyi: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan calon.

Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur pada saat ditetapkan menjadi pasangan calon. Lalu berusia 25 tahun pada saat penetapan pasangan calon untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya. Namun, aturan tersebut diubah oleh MA menjadi berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.

Perubahan UU demi kepentingan segelintir orang sudah biasa terjadi. Bahkan niscaya terjadi di dalam sistem politik Demokrasi hari ini. Hal tersebut sangat mudah dipahami lantaran kedaulatan hukum sistem demokrasi berada di tangan manusia. Prinsip politik ini sudah menegasikan keberadaan Allah, bahkan membuang Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak membuat hukum.

Sehingga wajar dari konsep politik yang batil melahirkan mekanisme politik yang fasad (rusak). Kekuasaan digunakan sebagai legitimasi mengalahkan supremasi hukum. Maka tak salah jika ICW menduga putusan MA terkait perubahan batas usia calon pejabat digunakan untuk memuluskan jalan Kaisang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo maju di Pilkada 2024. Jika sudah seperti ini rakyat yang kembali harus menelan pil pahit keculasan para pejabat negeri. Harapan memiliki pemimpin pro rakyat sudah pupus.

Sesungguhnya umat akan terus menghadapi dan merasakan kekuasaan fasad para pejabat selama sistem demokrasi masih digunakan sebagai sistem politik. Sebenarnya kekuasaan bukanlah hal kotor seperti saat ini. Dan harapan menjadi pemimpin adil juga bukan hal yang sulit diwujudkan. Hal itu akan terwujud jika sistem politik yang diterapkan adalah sistem politik yang shahih (benar). Hanya dengan sistem Islam sistem politik yang shahih akan terwujud. Sebab, dalam sistem Islam kekuasaan dikaitkan dengan akidah Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah suatu amanah besar yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Rasulullah sangat mewanti-wanti terkait amanah kekuasaan ini. Karena jabatan dan kekuasaan bisa menghinakan atau memuliakan pemikulnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Kepemimpinan itu awalnya cacian, kedua penyesalan, dan ketiga azab dari Allah pada hari kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR. ath-Thabrani)

Mindset kekuasaan seperti ini membuat Khalifah Umar Bin Khattab menangis karena dibai’at oleh para sahabat lainnya untuk memimpin negara Khilafah. Mindset kekuasaan seperti ini pula yang membuat para penguasa negara Khilafah berusaha seoptimal mungkin mengerahkan kemampuan mereka dalam mengurus atau meri’ayah rakyatnya.

Terkait pemilihan kepala daerah, Islam sudah memiliki mekanismenya. Dalam kitab Ajhizah fi Daulah Khilafah, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan kepala daerah Khilafah disebut dengan wali. Dalam kitab tersebut menjelaskan, bahwa wali adalah wakil khalifah (naib al-khalifah) dalam memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Wali diangkat langsung oleh khalifah. Dia bertanggung jawab di terhadap khalifah dan majelis syura. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah bila diadukan oleh majelis syura. Majelis Syura adalah perwakilan umat di sebuah wilayah (setingkat provinsi).

Satu wilayah dalam Islam dibagi ke dalam beberapa imalah (setingkat kabupaten). Penanggung jawab imalah disebut Amil. Amil memiliki wewenang sebagaimana wali. Dan syarat-syarat amil juga sama sebagaimana syarat-syarat seorang wali. Mekanisme ini akan membuat pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien, berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Tak hanya itu, akuntabilitas pejabat juga terjamin karena bisa diberhentikan segera jika mereka melakukan kezaliman. Dan kontrol masyarakat akan berjalan karena mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan.

Untuk menjalankan amanah besar ini, tentu bukan sembarang orang mampu melakukannya. Ada syarat-syarat tertentu dalam Islam agar seseorang layak menjadi kepala daerah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Asy Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 2 halaman 95, memberi tiga indikator kriteria penting yang harus dimiliki seorang pejabat, yakni al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-ra’iyyah, yakni lembut terhadap rakyat dan tidak menyakitkan hati. Kriteria ini akan menjadikan kepala daerah terpilih mampu melayani umat dengan baik.

Inilah komparasi makna kekuasaan, pemilihan, serta kriteria pejabat dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah. Lantas alasan apa yang membuat umat masih tetap mempertahankan sistem Demokrasi?

Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah

Selasa, 14 Juni 2022

Kenaikan Anggaran Pilkada 2024


Tinta Media - Pilkada serentak kali ini akan dilaksanakan pada hari Rabu (14/02/2024). KPU Kabupaten Bandung telah mengajukan anggaran untuk Pilkada 2024 sebesar Rp183 miliar. Jumlah ini lebih mahal Rp20 miliar dari modal Pilkada 2020 lalu yang memakan anggaran sebesar Rp160 miliar. 

Ketua KPU Kabupaten Bandung, Agus Baroya beralasan bahwa kenaikan itu diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatan pada masa Covid-19. Sedangkan mayoritas dari total anggaran akan digunakan untuk pembayaran honorarium Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), mencakup 12 ribu Tempat  Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 31 Kecamatan (liputan6.com).

Benarkah demikian? Mari kita telaah lebih lanjut, sejauh mana urgensi dari menaikan anggaran untuk Pilkada tersebut. Ini karena anggaran yang digunakan adalah uang rakyat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar saat mempergunakannya. 

Harusnya dipikirkan, lebih penting mana antara anggaran untuk hegemoni Pilkada, atau untuk pemenuhan kebutuhan rakyat? Fakta menunjukkan bahwa bukan kali ini saja rakyat menelan pil pahit akan kebijakan dan langkah yang diambil oleh pemerintah.

Seharusnya, pemerintah mengeluarkan anggaran berdasarkan perhitungan yang jelas dan riil, tidak boleh hanya berdasarkan asumsi, apalagi asumsi tersebut dikaitkan dengan penyediaan alat kesehatan Covid 19.

Selain itu, harga mahal yang dianggarkan tidak berbanding lurus dengan hasil pelaksanaan pilkada, yaitu memunculkan pemimpin-pemimpin yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat secara nyata. Alih-alih menikmati, justru rakyat kerap menghirup udara penghianatan. Janji-janji manis kepada rakyat seakan menjadi komoditas tanpa ada realitas. 

Sebagaimana kita tahu, akar masalah sebenarnya ada pada paradigma ideologi yang diterapkan suatu negara. Dengan mengadopsi ideologi kapitalis, asas-asas kebebasan (liberal) yang di dalamnya termasuk kebebasan akal dalam menetapkan hukum, telah melahirkan berbagai peraturan sesuai kehendak pemesan (kaum pemodal).

Demokrasi yang tegak di atas sistem kapitalis ini berasaskan sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini memarginalkan agama dalam pengelolaan negara, sehingga dimanfaatkan oleh penyelenggara negara yang lupa akan perintah Tuhannya, serta abai dalam mengurus rakyat.

Pilkada yang mahal tidak akan dijumpai dalam sistem politik Islam. Negara akan menerapkan syariat Islam sebagai landasan dalam menyelesaikan problematika kehidupan, termasuk dalam hal pemilihan kepala negara maupun kepala daerah. Dalam hal ini, syariat Islam tidak akan mengalami pemborosan anggaran. 

Khalifah (kepala negara) akan memilih kader terbaik untuk mengurus rakyat di suatu wilayah. Sistem Islam menafikan pemilihan pemimpin sebatas pada pergiliran kekuasaan, apalagi hanya untuk kepentingan segelintir orang. Seorang pemimpin yang diamanahi akan senantiasa bertanggung jawab, karena hal ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Sabda Rasulullah SAW.

"Siapa yang diamanati  Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga." ( HR. Al Bukhari dan Muslim ).

Inilah sistem Islam yang berlandaskan pada akidah Islam. Akidah Islam yang menjadi tolak ukur dalam perbuatan akan menafikan terjadinya kezaliman dan kemaksiatan. Negara yang diatur dengan syariat Islam secara menyeluruh, niscaya akan mewujudkan kepemimpinan yang adil dan tentu saja rakyatnya makmur. Sebab, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu alam bi shawab.

Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab