Tinta Media: Piagam Jakarta
Tampilkan postingan dengan label Piagam Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Piagam Jakarta. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Agustus 2022

Piagam Jakarta, Konsensus yang Dikhianati

Tinta Media – Piagam Jakarta setelah ditandatangani oleh perumusnya Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 kemudian dibacakan dalam sidang pleno kedua BPUPKI yang dimulai 10 Juli 1945.

Panitia Sembilan terdiri Soekarno, Mohammad Hatta,  Muhammad Yamin, Soebardjo, Alexander Andries Maramis, A. Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim.

Soekarno, Ketua Panitia Sembilan, dalam pidatonya menceritakan, Piagam Jakarta dicapai lewat perdebatan yang sukar hingga terjadi kesepakatan antara golongan Islam dan kebangsaan.

”Sebenarnya ada kesukaran mula-mula antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara. Tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah subhana wa ta’ala memberkati kita sekarang ini. Kita sekarang sudah ada persetujuan. Panitia Kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambule yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat,” kata Soekarno seperti ditulis dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya Endang Saifuddin Anshari.

Isi Piagam Jakarta seperti Pembukaan UUD 1945 tapi dasar negara yang pertama berbunyi Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Soekarno menjelaskan, seluruh pokok-pokok pikiran aspirasi anggota BPUPKI sudah dimasukkan semua, terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. ”Inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi  Tyosakai,” ujar Bung Karno lagi.

Keberatan Latuharhary

Dalam sidang pleno hari kedua 11 Juli 1945, Johannes Latuharhary, anggota BPUPKI dari Ambon menyampaikan keberatan atas tujuh kata dalam dasar pertama itu.

”Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama yang lain,” kata dia menyampaikan alasan. ”Kalimat ini bisa menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat,” tambahnya.

Menanggapi keberatan itu Soekarno mengingatkan segenap anggota bahwa preambule itu adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. ”Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” tandasnya.

Perdebatan terbuka lagi. Latuharhary didukung oleh Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat. Tapi Wahid Hasyim dan Agus Salim mempertahankan rumusan itu dan meyakinkan tidak berpengaruh untuk selain Islam.

Bung Karno lalu menengahi dengan berkata, ”Kalimat itu kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan yang hanya didapat dengan susah payah.”

Akhirnya sidang pleno hari itu ditutup dengan diterimanya Piagam Jakarta. Dalam sidang 14 Juli diputuskan naskah preambule ini yang akan dibacakan sebagai proklamasi kemerdekaan atau declaration of independence yang waktunya dijanjikan Jepang.

Pengkhianatan Pertama

Tapi situasi politik berubah cepat. Jepang menyerah pada 16 Agustus 1945 setelah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hirosima. Soekarno dan Hatta didesak untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia karena Jepang sudah kalah perang.

Dinihari  tanggal 17 Agustus 1945 berkumpullah di rumah Tadashi Maeda Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, dan BM Diah, bersama  perwira Jepang Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi, dan Miyoshi. Juga ada tokoh pemuda Sukarni dan Sayuti Melik di serambi. 

Tokoh-tokoh ini menyusun naskah deklarasi kemerdekaan yang baru. Setelah disempurnakan naskah itu pada pukul 10 pagi ditandatangani Soekarno dan Hatta untuk dibacakan sebagai Proklamasi Kemerdekaan di halaman rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timur 56.

Penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan ini menyalahi keputusan sidang pleno BPUPKI. Mestinya yang dibacakan sebagai deklarasi kemerdekaan adalah Piagam Jakarta. Alasannya malam itu Soekarno, Hatta, dan Subardjo tidak membawa naskahnya.

Hatta yang rumahnya juga di Jalan Imam Bonjol tak mau mengambil naskahnya. Maka dibuatlah naskah baru dengan mengambil bagian terakhir alinea tiga yang diingat dari Piagam Jakarta. Yaitu kalimat  maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian diubah menjadi Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hatta mendikte, Soekarno menuliskan di kertas buku bergaris. Hatta menambah alinea lagi Hal-2 yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnja.

Pengkhianatan Kedua

Pertanyaan kenapa Soekarno dan Hatta membuat naskah baru proklamasi itu mendapat jawaban pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 di Pegangsaan. Sidang yang mestinya dimulai pukul 09.30 mundur hingga 11.30. Rupanya Soekarno-Hatta terpengaruh oleh protes orang-orang yang tak setuju dengan tujuh kata syariat Islam di Piagam Jakarta.

Karena Soekarno tak mau menjilat ludah sendiri yang telah bertahan terhadap rumusan Piagam Jakarta di sidang BPUPKI maka dia meminta Hatta melobi golongan Islam agar mau menghapus tujuh kata itu.

Ada empat orang yang diundang Hatta membicarakan perubahan itu. Yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Teuku Hasan, dan Kasman Singodimejo. Alasannya ada perwira Angkatan Laut Jepang memberitahu bahwa orang Kristen di bagian timur menolak kalimat itu. Kalau dipertahankan mereka tak mau bergabung dengan negara baru ini.

Waktu itu Wahid Hasyim tak hadir karena masih berada di Jawa Timur. Teuku Hasan setuju saja. Ki Bagus Hadikusumo menolak keras. Kasman Singodimejo orang baru di PPKI yang tak paham suasana kebatinan pembahasan Piagam Jakarta sebelumnya.

Masuknya Kasman ini adalah taktik Soekarno yang tidak disadari oleh Kasman. Pagi itu mendadak Bung Karno mengusulkan enam anggota baru PPKI yaitu Kasman, Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subardjo.

Kasman kemudian diminta merayu Ki Bagus agar mau menerima perubahan tujuh kata. Dua tokoh ini sama-sama Muhammadiyah. Dengan berat hati dan dongkol akhirnya Ki Bagus menerima perubahan dengan kalimat baru Ketuhanan Yang Mahaesa.

Di akhir masa hidupnya Kasman mengatakan sangat menyesal memengaruhi Ki Bagus agar bersedia menerima perubahan sila pertama itu yang ternyata hasilnya sangat merugikan umat Islam.

Pengkhianatan Ketiga

Ternyata penghapusan tujuh kata itu merembet kepada perubahan pasal di Batang Tubuh UUD 1945. Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan. Kedua, Pasal 6 ayat 1 Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam, kata beragama Islam dicoret. Ketiga, Pasal 29 ayat 1 diubah menjadi Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa.

Mengomentari perubahan kilat itu tokoh Islam KH Isa Anshary berkomentar, ”Kejadian yang mencolok mata itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Permainan politik pat-pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam tidak mengadakan tantangan dan perlawanan karena jiwa toleransi mereka.”

Tokoh Islam lainnya Prawoto Mangkusasmito menanyakan, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan kesepakatan yang susah payah selama berhari-hari bisa diubah dalam waktu beberapa menit saja?

”Apakah sebabnya Ir Soekarno yang selama sidang Badan Penyelidik dengan mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta kemudian justru memelopori untuk mengubahnya?” ujarnya.

Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya membuat catatan, konsensus nasional yang sudah dicapai dengan susah payah lewat debat sengit dicairkan oleh usul orang asing, opsir Kaigun yang namanya saja tidak diingat oleh Hatta.[]

Oleh: Sugeng Purwanto     

Referensi: https://pwmu.co/153746/06/29/piagam-jakarta-konsensus-yang-dikhianati/


Selasa, 21 Juni 2022

Piagam Jakarta: Kesepakatan Agung Yang Dikhianati


Tinta Media - Amandemen ugal-ugalan atas UUD1945 sebagai kudeta konstitusi adalah pengkhianatan atas kesepakatan langit para pendiri bangsa ini. Pengkhianatan itu kini berbuah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang berpuncak pada pemusatan sumberdaya politik pada segelintir elite partai politik dan sumberdaya ekonomi pada segelintir taipan. Berbagai maladministrasi publik terjadi, termasuk dengan memanfaatkan situasi pandemi, sehingga lahir berbagai regulasi yang hanya menguntungkan oligarki politik dan ekonomi tersebut. Gejala negara gagal yg kini menguat merupakan puncak sikap kufur nikmat yang dipertontonkan oleh para elite yang kemudian ditiru secara masif oleh masyarakat luas. Pengkhianatan atas kesepakatan para pendiri bangsa dari berbagai golongan dan daerah dalam Piagam Jakarta terus terjadi. Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang sesungguhnya masih berlaku hingga saat ini dengan berbagai cara diabaikan begitu saja oleh para elite penguasa, bahkan dengan secara terbuka menjadikan agama sebagai musuh terbesar Pancasila. Oleh Prof. Kaelan UGM dikatakan bahwa elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila. 

Sementara itu kekuatan2 masyarakat madani dan daerah2 otonom terus melemah, bahkan banyak kampus kini dengan suka cita menjadi bagian dari pembusukan demokrasi, pelemahan gerakan anti-korupsi, dan proses desentralisasi. Agenda reformasi kini berbalik arah menuju ORLA yang jauh lebih buruk. Melawan arus balik ini, kekuatan moral mahasiswa harus segera dimulai dengan membangkitkan kembali daya kritis mahasiswa di internal kampus bukan hanya dengan demonstrasi di jalan2 di luar kampus. Template kehidupan dangkal pada banyak mahasiswa semacam lulus tepat waktu, meraih predikat cum laude lalu bekerja di BUMN dan MNC atau menjadi youtubers telah melemahkan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Sebagian besar koruptor adalah alumni perguruan tinggi terkenal dengan kualifikasi magister. 

Setelah berhasil mengubur Pancasila di bawah kaki mereka sendiri, kekuatan2 kiri dan nasionalis radikal terus menerus menuduh Islam sebagai musuh Pancasila, intoleran, bahkan anti-NKRI. Sambil terus mempropagandakan agenda sekulerisasi mereka, yang terakhir soal LGBT, kekuatan2 kiri dan nasionalis radikal ini menabuh genderang islamophobia sehingga ummat Islam semakin terbungkam untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam secara bebas dan terbuka. Tuduhan politik identitas bahkan telah disematkan oleh elite parpol berkuasa untuk mematikan politik Islam sebagai imajinasi politik baru. Model pengelolaan pemerintahan Islam alternatif perlu diwacanakan secara akademik dan lebih luas agar menjadi opsi yang wajar saat negara terjebak hutang yang makin menggunung, kesenjangan spasial yang meluas, ketimpangan ekonomi yang memburuk, serta kedaulatan negara yang menghilang. Dinamika global dan regional telah menyeret Republik ini menjadi hanya sekedar negeri satelit Amerika atau China. 

Rangkaian Pemilu yg dibanggakan sebagai 
"praktek demokrasi terbesar ke-4 di dunia", bahkan "Islam terbukti compatible dengan demokrasi" telah mengalami devolusi. Pemilu makin terbukti hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan para elite politik yang disokong para taipan, bukan sebagai platform rekrutmen pejabat publik yang dapat dipercaya untuk bekerja bagi kepentingan publik. Dengan ongkos yang makin mahal, Pemilu telah dijadikan instrumen net transfer hak2 politik rakyat pada partai2 politik yang kemudian hampir secara sengaja tidak disalurkan ke Parlemen untuk diperjuangkan bagi kepentingan publik. Tanpa Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya, prosedur pemungutan dan rekapitulasi yang rumit dan rentan manipulasi, sering terjadi praktek jual beli suara siluman antara peserta Pemilu dengan oknum penyelenggara Pemilu. Pemilu langsung pejabat publik terutama Presiden di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini adalah sebuah praktek demokrasi yang paling muskil di seantero planet ini. Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan agar hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik. 

Piagam Jakarta menunjukkan bahwa Ummat Islam adalah pemilik sah Republik ini yang bersama unsur2 bangsa yang lain harus bekerjasama untuk menyelamatkan dan membela NKRI dari proxy and neo-cortex war kekuatan2 nekolimik. Sumberdaya spiritual dan kultural pesantren perlu diperkuat justru pada saat sistem pendidikan nasional makin dimonopoli secara radikal oleh sistem persekolahan massal paksa yang dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik penyediaan buruh trampil murah, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Berbagai upaya untuk "menyekolahkan" pesantren perlu diwaspadai karena akan mengancam kemandirian pesantren sebagai benteng terakhir simpul2 sumberdaya spiritual dan kultural ummat Islam. 

Gunung Anyar, 20 Juni 2022

Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab