Tinta Media: Pesantren
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Juli 2024

Program Pesantren Memandulkan Peran Santri

Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung secara konsisten mengeluarkan jurus-jurus baru guna menjadikan masyarakat makmur dan sejahtera. Seperti halnya program pengembangan bisnis bagi pondok pesantren berupa pengembangan perikanan dan peternakan. 

Bupati Bandung Dadang Supriatna menyampaikan bahwa program pembuatan demontration plot atau demplot bisnis peternakan dan perikanan ini disiapkan untuk tahap awal sebanyak 100 pondok pesantren. Program ini sudah berhasil dikembangkan di daerah Cileunyi dengan penghasilan perbulan Rp30 juta. Pemerintah Kabupaten Bandung berharap program tersebut bisa membantu pertumbuhan perekonomian umat dan semua pondok pesantren bisa mandiri serta mampu memberdayakan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan.

Selain itu, pemerintah Kabupaten Bandung mengadakan program besti (beasiswa ti Bupati) yang menyediakan 250 kuota bagi calon mahasiswa. Harapannya, tahun depan bisa mencapai 500 kuota calon mahasiswa. Program ini menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan SDM yang berkualitas dan berakhlakul karimah.

Tak kalah menarik, pemerintah Kabupaten Bandung pun mengadakan program pinjaman bergulir dengan menggelontorkan dana Rp70 miliar.  Program pinjaman bergulir ini tanpa bunga dan tanpa agunan, dan  diharapkan bisa menjadi solusi permodalan daripada masyarakat terjerat bank emok dan pinjol.

Harapan selanjutnya dari pemerintah Kabupaten Bandung agar antara ulama dan Umaro terjalin kolaborasi dan sinergi. Artinya, pemerintah dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kabupaten Bandung.

Program-program tersebut tentu menjadi harapan baru bagi masyarakat yang mendambakan kesejahteraan. Program pengembangan bisnis ini merupakan realisasi dari program OPOP (one pesantren one product). Program ini sudah berjalan di beberapa wilayah, termasuk Jawa Barat. Salah satunya adalah program one pesantren one paranje dengan konsep berternak ayam. 

Program tersebut tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. Namun, ada yang perlu dicermati dari program yang katanya bertujuan agar pesantren mandiri, bisa membiayai sendiri ini. 

Kenyataannya, program tersebut merupakan upaya lepas tangan negara dalam anggaran pembiayaan pendidikan.
Di samping itu, pesantren yang seharusnya mencetak generasi ulama dan pemimpin di masa depan, menjadi teralihkan dengan kegiatan ekonomi komersial bagi para santri. Bisa jadi, program ini justru memandulkan kebangkitan generasi Islam yang cemerlang.

Begitu pula dengan program besti dan pinjaman bergulir yang katanya tanpa bunga dan agunan. Sejatinya, program tersebut menjadikan generasi tanpa visi dan misi yang jelas. 

Selain itu, program besti tidak bisa didapatkan oleh seluruh siswa. Tentunya hal ini bisa saja menjadikan kecemburuan sosial. Begitu pula program pinjaman bergulir. Walaupun tanpa bunga, tetap saja program tersebut menyebabkan beban ekonomi masyarakat bertambah berat. Ini karena tidak semua warga mempunyai penghasilan tetap. 

Bahkan, realitas saat ini menunjukkan bahwa pengangguran begitu merajalela. Lalu bagaimana mereka bisa membayar pinjaman bergulir tersebut, sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa begitu sulit. 

Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk mengurusi semua urusan rakyat, termasuk pendidikan. Seharusnya negara mampu membiayai secara keseluruhan menyangkut aspek pendidikan, sehingga tak dibutuhkan upaya apa pun. Itu jika orientasinya adalah mewujudkan generasi cemerlang dan berakhlakul karimah. 

Namun, saat ini sistem kapitalisme begitu mencengkeram dunia pendidikan. Tampak ada upaya untuk menggeser peran dan fungsi pesantren sebagai institusi pencetak pewaris para nabi. Tentunya kita tidak boleh terkecoh dengan adanya upaya-upaya yang seakan merupakan bentuk kepedulian, tetapi sejatinya mengebiri peran pesantren tersebut, misalnya mengubah orientasi pesantren dengan mengarahkannya untuk menggerakkan roda perekonomian. 

Berbeda halnya jika yang diterapkan adalah sistem Islam. Tujuan umum pendidikan dalam sistem Islam adalah membangun kepribadian Islam yang mampu mencetak ulama pewaris para nabi, yaitu dengan menetapkan kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam, yang ditetapkan oleh negara.

Selain itu, peran orang tua sangatlah besar, yakni membangun keimanan dan meluruskan kerangka berpikir tentang kehidupan, serta menguatkan keyakinan tentang akidah Islam yang menjadi asas mendasar setiap aktivitas. Hal itu mampu menjadikan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Mereka menjadi sosok yang kuat, mampu memimpin perubahan di lingkungan yang tidak sesuai dengan Islam.

Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu menjadikan generasi sebagai penerus estafet perjuangan Islam, yang mampu menerapkan aturan dan hukum-hukum Islam secara menyeluruh yang berada di bawah naungan sistem Islam.
Wallahu'alam bisshawab.

Oleh: Entin Hayatin, Sahabat Tinta Media

Sabtu, 16 Maret 2024

Sekularisme Pemicu Kekerasan di Pesantren


Tinta Media - Sangat menyayat hati dan miris, ketika mengetahui kembali terjadi penganiayaan di pondok pesantren (Ponpes) PPTOQ Al Hanafiyyah di Mojokerto Kediri Jawa Timur. Seorang santri yang bernama Bintang Bilqis Maulan (14) meninggal akibat di aniaya  seniornya. Penganiayaan santri di pesantren sungguh sangat merisaukan dan bukan terjadi kali ini saja. 

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang sehari harinya mereka belajar agama dan senantiasa di tekankan untuk berpegang teguh pada syariat Islam. Di situlah seseorang menimba ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Tidak bisa dipungkiri sekularismelah yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan di kalangan pondok pesantren itu. Pola hidup sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan pun tak luput dari kehidupan di dalam pesantren. Karena sekularisme yang di terapkan di negara kita ini telah melahirkan  gaya hidup bebas. 

Pola kebebasan sekularisme ini tentu sangat berpengruh dalam kehidupan pesantren termasuk pada para sistem pendidikan pesantren dan para pengasuhnya. Yang seharusnya  menjadi teladan justru melakukan perundungan terhadap santri. 

Guru dan murid mengkaji Islam hanya sebagai tsaqofah (keilmuan) yang tidak di terapkan kecuali hanya pada aspek ibadah mahdhah saja. Sehingga dalam ibadah ini sangat di tekankan. Tetapi aspek yang lain dalam kehidupan sehari-hari  yang seharusnya juga sesuai dengan syariat Islam tidak di perhatikan. Syariat Islam seharusnya di terapkan baik oleh individu masyarakat maupun negara. Sayangnya syariat Islam justru malah di kesampingkan. Pelajaran Islam hanya dipahami sebagai ibadah mahdhah saja yaitu  hanya shalat, puasa, zakat, dan melaksanakan haji. Oleh karena itu. wajar jika penganiayaan  atau perundungan pun terjadi di kalangan pesantren. 

Padahal Islam adalah agama yang mengatur urusan individu masyarakat maupun urusan negara. Baik dari segi keamanan, pendidikan, kesehatan ekonomi, dan lain-lain.

Tidak ada jalan lain untuk menghentikan tindakan kekerasan ini  kecuali dengan mengubah pola hidup sekularisme dengan pola hidup Islam. Yaitu dengan di diterapkannya  seluruh aturan Islam di dalam kehidupan sehari hari, baik skop individu, masyarakat maupun negara. Karena hanya  Islam  dengan seluruh aturannya yang lengkap, sempurna, adil dan sesuai dengan fitrah manusia yang akan membawa manusia pada kesejahteraan, ketenangan, dan keamanan. 

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Nizam 
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 01 Oktober 2022

Gontor Bukanlah Pesantren Biasa

Tinta Media - Pesantren kenamaan ini kini tengah dirundung duka. Menjadi pesantren besar dan rujukan pesantren se-Indonesia menunjukkan betapa pesantren ini bukan pesantren biasa. 

Di tengah banyaknya persepsi masyarakat yang notabane menyudutkan, mungkin mereka tengah lupa dengan sebuah nasihat bijak, bahwa jika ada maling masuk ke dalam hutan, jangan bakar hutannya, melainkan tangkap malingnya. Bahkan, lakukan pencegahan agar pencurian tak lagi terulang.
Pesantren layaknya hutan, dan pelaku kekerasan di pesantren adalah malingnya. Tindak tegas pesantren terhadap pelaku kekerasan sudah dilakukan, tinggal upaya antisipasi dan mitigasi yang kini harus diterapkan.

Pesantren Gontor tidak sendirian, Kemenag terjun langsung agar apa yang menimpa pesantren Gontor tidak terjadi di pesantren lain. Sebuah regulasi pun sedang dalam proses untuk diterbitkan dengan harapan dapat meminimalisir dan mencegah kasus.
Sebaik dan sebagus apa pun pola pendidikan ala Gontor, bukan berarti aman dari celah pelanggaran terhadap aturan. Adalah keliru bila masyarakat memberikan judgment buruk terhadap pola pendidikan terbaik yang telah membesarkan dan mengharumkan pesantren ini. Justru yang perlu diperbaiki adalah upaya dalam menutup ruang-ruang penyalahgunaan di tengah sistem pendidikan yang sudah sangat baik tersebut.

Tidak ada pesantren yang pro terhadap kekerasan. Hanya saja, dalam tataran praktisnya, celah penyelewengan aturan menjadi semacam ujian yang tak hanya terjadi dan menimpa pesantren ini, tetapi juga pesantren mana pun.

Pola Pendisiplinan Santri

Bukan soal tidak adanya upaya pesantren menegakan aturan sebagai tindakan preventif dari pelanggaran, tetapi yang nampaknya rawan di sini rupanya adalah sistem pengadilan dalam rangka penegakan kedisiplinan.

Dalam hal ini, perlu dipikirkan pola yang tepat agar upaya pendisiplinan tidak melibatkan kekerasan. Tentu ini menjadi catatan para pengasuh pondok. Misalnya, dengan memisahkan penyidikan dan penghukuman yang tidak seluruhnya dilimpahkan kepada santri yang atau kita sebut sebagai santri senior.

Berarti, tidak semata-mata fokus menangkap maling, tetapi juga pencegahan untuk mengurangi pencurian. Artinya, berkaca dari kasus Gontor, pesantren harus memikirkan seni mengurangi pelanggaran yang dalam hal ini adalah kekerasan. Dan satu hal lagi, hindari keputusan membakar hutan.

Membakar hutan untuk selevel Gontor adalah keputusan amat keliru. Merombak total pola pendidikan bukanlah langkah yang tepat, apalagi kualitas pendidikan pesantren Gontor tidak bisa dinafikan begitu saja. Hanya karena musibah nama baik mendera, bukan berarti menerapkan langkah fatal yang beresiko menjadi bencana jangka panjang.

Ada PR lain dari Gontor untuk segera dibenahi. PR ini sekaligus menjadi catatan dan cambuk bagi pesantren lain, yaitu mengenai penanganan kasus. Ini bukanlah perkara mudah.

Gontor di tengah pertaruhan nama baiknya harus mampu menuntaskan perkara yang menyulitkan. Hal iniiperlukan SOP yang jelas dalam menuntaskan perkara, apalagi menyangkut pidana. Kasus menghalang-halangi hukum (obstruction of justice) yang justru bisa terjadi pula di internal kepolisian menunjukan betapa rumit dan tidak mudahnya upaya pendisiplinan itu. 

Sebentar lagi regulasi dari kemenag terbit. Semoga hal ini bisa memudahkan seluruh pesantren di Indonesia dalam menegakan aturan dan mencegah kekerasan. Satu hal yang menjadi optimisme pesantren adalah para ulama. Di tangan kelemahlembutan dan ketulusan mereka, pesantren masih bisa berbesar hati dan semangat berbenah menuju pesantren yang lebih baik. Karena bagaimanapun, metode keteladanan selalu menjadi andalan dunia pendidikan yang selalu dinomersatukan. Diharapkan ketulusan mereka menancap ke hati para santri. Dalam Islam, keikhlasan akan dapat memengaruhi bekas pembelajaran.

Sungguh, pesantren membutuhkan jiwa-jiwa yang ikhlas dan tokoh-tokoh teladan terbaik. Zaman sudah begitu meresahkan, dan sentuhan spiritual diharapkan mampu meredam ujian-ujian yang tidak memanusiakan manusia di sekitarnya.

Langkah Tepat Orang Tua Korban

Sedih tentunya yang dirasakan hati orang tua. Mereka berharap anaknya menjadi manusia berkualitas di masa depan. Pesantren Gontor adalah pilihan demi impiannya itu. Pilihannya itu pun tidaklah keliru, mengingat betapa tersohornya pesantren tersebut dengan kualitas pendidikan yang menjadi teladan pesantren lainnya. 

Ironinya, harapan itu menjadi pupus kala mengetahui bahwa ia menerima sang anak bukan dalam keadaan sebagaimana diharapkannya. Ia harus lebih cepat menerima kepulangan anaknya, bahkan dalam keadaan sudah tak lagi bernyawa.

Masyarakat tidaklah keliru dengan keberpihakannya pada orang tua tersebut. Apa yang dilakukan orang tersebut merupakan langkah yang tepat agar seluruh pesantren di Indonesia semangat berbenah. Ia justru menjadi 'hero'nya pesantren Gontor. 

Berkat kejadian ini, persoalan jalur hukum agar tidak selamanya dipersepsikan sebagai pencemaran nama baik dan penghambat keberlangsungan pesantren. Dan juga, tidak seluruh konflik dapat ditangani dengan konteks kekeluargaan.

Gontor bukanlah pesantren biasa. Pola pendidikannya bahkan menjadi sentral seluruh pesantren di Indonesia. Banyak yang memimpikan anaknya menempuh pendidikan di sana. Satu kasus ini tidaklah bijak untuk menghapus prestasi dan kualitas pesantren ini seutuhnya. 

Menghapus sistem pendidikan terbaik sama dengan bencana. Bangsa ini sudah rawan dengan bencana. Kasus kejahatan di pesantren saja sudah mengindikasikan bencana. Lantas, bagaimana mungkin hendak menambah bencana baru dengan menghapuskan pendidikan emas bangsa? Seperti sebuah nasihat, satu kesalahan bukan berarti menghapuskan banyak kebaikan. Dan itulah kelirunya masyarakat kita.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru

Selasa, 13 September 2022

Pencabulan Santriwati

Tinta Media - Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung berusaha mengungkap kasus dugaan tindak asusila yang diduga dilakukan oleh oknum pimpinan pesantren kepada santriwatinya. Kepala DP2KBP3A mengungkapkan, pada prinsipnya pihaknya bekerja sesuai tupoksi dan sudah berkoordinasi baik dengan pusat, provinsi ataupun pelapor serta pengacaranya, bahkan sudah menyiapkan psikolog hingga selter untuk para korban jika memang dibutuhkan. (jabar.tribunnews.com)

Kasus seperti ini seringkali berulang dan semakin marak. Hukum sepertinya tidak memiliki efek jera, bahkan kadang berakhir damai. Di satu sisi, pesantren diharapkan bisa menjadi solusi pendidikan saat ini yang minim agama. Di sisi lain, sebagian masyarakat khawatir menyekolahkan anak ke pesantren karena banyak kasus seperti ini.

Berbagai peristiwa kekerasan seksual di pondok pesantren sekarang ini, tentu menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua, khususnya anak yang berada di pondok pesantren. Padahal, pondok pesantren menjadi salah satu cara agar anak-anak atau generasi memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni di tengah gempuran liberalisme yang terjadi sekarang ini. 

Inilah jika pendidikan berasaskan sekuler. Di lembaga pesantren pun, aturan Islam sekadar normatif. Pengasuh pesantren yang seharusnya paham tentang aturan interaksi laki-laki dan perempuan, malah menjadi pelaku kejahatan.

Tak bisa dimungkiri, bahwa setiap pondok pesantren pasti ingin memberikan pelajaran agama yang terbaik baik santriwan dan santriwati. Guru-guru pun memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni. Namun, ketika dijumpai kasus kekerasan seksual terhadap para santri, tentu bukanlah kesalahan dari pondok pesantren, tetapi kesalahan dari individunya sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tentu tidak luput dari sekulerisme yang tertanam pada sang guru. 

Sistem kapitalis yang memiliki asas sekuler telah berhasil menghancurkan moral manusia, termasuk guru agama. Sekulerisme menganggap bahwa urusan agama harus dipisahkan dari kehidupan manusia. Artinya, agama tidak boleh mengatur manusia dalam menjalankan muamalah dengan orang lain. Akibatnya, ketika diluar ibadah ritual, maka manusia berhak melakukan apa pun sesukanya, tanpa ada syariat yang membatasi atau melarang, sehingga tindakan asusila seperti itu bisa terjadi di pondok pesantren.

Islam memandang bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang berdosa. Adapun untuk mencegah adanya kekerasan seksual, maka perlu adanya sistem pergaulan dalam Islam.

Ketika Islam berjaya lebih dari 1300 tahun yang lalu dalam bentuk Khilafah Islamiyyah, negara menerapkan aturan bergaul antar individu, yakni sebagai berikut:

Pertama, larangan ikhtilat atau campur baur dengan lawan jenis

Kedua, larangan berkhalwat atau berdua-duaan tanpa didampingi mahram

Ketiga larangan safar lebih dari 24 jam tanpa didampingi mahram

Keempat, larangan tabarruj atau berdandan berlebih-lebihan

Kelima, wajib menutup aurat dihadapan selain mahramnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah An-Nur ayat 31

Keenam, menundukkan pandangan ketika bertemu dengan lawan jenis selain mahramnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS An-Nur ayat 30.

Ketika kaum muslimin menerapkan hal itu, maka akan terjaga dari hal-hal yang menjerumuskan pada kemaksiatan. Insyaallah kaum muslimin akan terhindar dari kasus kekerasan seksual.

Maka dari itu, tidak ada lagi pilihan bagi kaum muslimin untuk bersegera meninggalkan sistem kapitalis sekuler dan beralih kepada sistem Islam. Dengan sistem Islam, niscaya kasus pencabulan, khususnya di pondok pesantren tidak akan terulang lagi. Sebaliknya, melalui pondok pesantren, akan lahir generasi-generasi yang gemilang buah dari keagungan peradaban Islam.

Wallahu alam bishawab

Oleh: Sri Mulyani
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab