Tinta Media: Pertanian
Tampilkan postingan dengan label Pertanian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pertanian. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Juli 2024

Kesejahteraan Petani, Bisakah Tercapai dalam Sistem Kapitalis?

Tinta Media - Memprihatinkan, para petani Indonesia sedang dilanda berbagai permasalahan yang tak kunjung usai seperti krisis regenerasi petani, petani yang dipandang sebelah mata, penjualan yang merugikan petani, sulitnya modal usaha, pupuk yang mahal, kegagalan panen, kurangnya ketepatan teknik budidaya, adanya alih fungsi lahan, dan lain-lain.

Sehingga salah satu solusi untuk permasalahan tersebut para petani di Desa Ciparay, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung dikenalkan sistem pertanian berbasis teknologi. Pemupukan padi yang bisa dilakukan menggunakan drone.

Salah satu petani, Ridwan Sanjaya mengatakan adanya teknologi tersebut membantu para petani. Pasalnya mereka butuh regenerasi petani seiring berkembangnya zaman. (detikJabar.com Jumat 21/06/2024 )

Tetapi solusi tersebut kuranglah tepat karena ada unsur bisnis di dalamnya, petani harus membeli atau menyewa teknologi tersebut. Alhasil para petani harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyewanya bahkan ratusan juta untuk membelinya. Padahal para petani di Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Inilah hasil dari diterapkannya Sistem Kapitalis-Liberalis solusi yang dikeluarkan tergantung pada keuntungan semata bukan pada kesejahteraan umatnya.

Dalam Islam pertanian memiliki peran penting dalam peradaban Islam, dan para petani mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam mewujudkan ketahanan pangan, mereka merupakan pelaku utama dalam sektor pertanian. Islam telah memuliakan para petani sejak zaman Rasulullah hingga runtuhnya Islam pada tahun 1924 M. Bahkan bercocok tanam atau pertanian  menjadi anjuran Rasulullah dan mendatangkan pahala bagi pelakunya.

Jika kita amati ketika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan, kesejahteraan petani selalu diperhatikan. Para Pemimpin Islam akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk memajukan bidang pertanian dan menyejahterakan para petani seperti penggarapan lahan mati, membangun bendungan dan kanal-kanal, membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah-daerah baik melalui darat maupun  air, dikembangkannya ilmu pertanian, dan masih banyak lagi.

Inilah bukti kita memerlukan aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam pertanian dengan mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Islam. Wallahu A'lam Bishawab

Oleh: Susanti Nuraeni, Muslimah Peduli Generasi

Minggu, 26 Mei 2024

Manfaat Klaster Pertanian untuk Siapa?

Tinta Media - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengemukakan bahwa Kementerian Pertanian (Kementan) berencana membangun klaster pertanian modern seperti pertanian di negara maju. Klaster pertanian itu berupa sawah seluas 5 sampai 10 hektare yang dikelola secara modern dengan mekanisasi. Pemberian pupuk akan menggunakan drone, pengolahan tanah, penanaman bibit sampai pemanenan padi memakai mesin-mesin (detikjabar.com, 7/5/24 ).

Pak menteri mengatakan bahwa program klaster pertanian ini hanya membutuhkan Rp12 juta  per klaster untuk membeli mesin-mesin, tetapi hasilnya dapat menghemat anggaran negara sampai Rp20 Triliun. Pemerintah daerah hanya menyiapkan lahannya saja. Pemerintah pusat yang akan menyiapkan mesin-mesin dan pompa untuk seluruh Indonesia.

Klaster pertanian adalah pengelompokan 5 sampai 10  hektar sawah yang dikelola secara modern menggunakan mekanisasi berupa mesin-mesin modern seperti drone untuk menebar pupuk, mesin tanam, dan mesin panen.  

Namun, mekanisasi pertanian ini mensyaratkan bahwa orang yang mengoperasikannya harus paham teknologi, yaitu para petani milenial. Petani milenial adalah petani dari generasi yang melek teknologi.  

Jadi, dalam klaster pertanian ini ada beberapa hal penting yang harus kita perhatikan, yaitu lahan pertanian yang luas, pemakaian mesin-mesin pertanian, dan petani milenial.

Lahan pertanian yang luas saat ini semakin sulit didapat karena alih fungsi lahan. Banyak sawah diuruk menjadi perumahan  atau menjadi infrastruktur jalan.  Persawahan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, berada di tanah yang berbukit. Jadi, petakannya kecil-kecil dengan posisi di punggung gunung. 

Ini tidak seperti di negara maju yang petakannya luas terhampar di tanah datar. Mekanisasi pertanian akan mudah dijalankan di lahan yang terhampar luas dan datar. Sebaliknya, pemakaian mekanisasi akan agak sulit di daerah gunung, terutama saat perpindahan mesin seperti traktor dan alat panen.

Pemakaian mesin pertanian patut diperhatikan, mesinnya dari mana dan siapa yang memproduksinya?  Jangan sampai program klaster pertanian ini hanya proyek jual beli peralatan pertanian dari perusahaan besar kepada petani Indonesia. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dengan aturan yang dipaksakan. Jika demikian, pemerintah berbisnis dengan rakyat.

Program klaster pertanian tidak menyentuh para petani atau para buruh tani yang selama ini bekerja di bidang pertanian dengan peralatan tradisional.  Bila petani milenial yang didorong untuk mengerjakan program ini, lalu bagaimana nasib para petani tradisional?  Mereka adalah tulang punggung keluarganya. Jangan sampai mereka terkena PHK  seperti para buruh pabrik.  

Inilah pertanian dalam sistem kapitalisme yang hanya berpikir tentang keuntungan. Dalam program negara, terjadi bisnis atau usaha mencari keuntungan.  Harus diingat, pertanian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kehidupan utama, makanya Indonesia dikenal sebagai negara agraris. 

Mungkin bagus pemakaian mesin-mesin modern sebagai upaya mengurangi biaya produksi, tetapi tanpa disadari, program mekanisasi pertanian menutup mata pencaharian para petani. Maka, dibutuhkan sikap hati-hati dan bijaksana, kapan mekanisasi pertanian diterapkan, jangan asal meniru negara lain.

Pertanian dalam sistem Islam di negara Khilafah mendapat perhatian serius dari khalifah. Hal ini terjadi karena prinsip Islam menekankan bahwa pemerintah wajib memberikan kemudahan dan memenuhi kebutuhan rakyat.  

Sejarah mencatat bahwa di daerah-daerah pertanian, khalifah membangun sistem irigasi yang canggih untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Di daerah yang kering seperti Andalusia, khalifah membangun sistem saluran air yang rumit agar tanah pertanian terjamin pengairannya sepanjang musim. Sistem irigasi dan saluran air masa Kekhilafahan Umayyah ini  menjadi salah satu teknik rekayasa air yang terkenal di dunia saat itu (Media Umat, 28/3/24).

Dalam sistem Islam, kemaslahatan rakyat diutamakan, bukan keuntungan materi bagi pengusaha atau pemerintah. Khalifah tidak akan menggunakan mekanisasi modern yang bisa mematikan mata pencaharian rakyat.  Khalifah adalah pengurus, pelayan  (raa'in), dan pelindung (junnah) rakyatnya, bukan berbisnis dengan rakyat. Wallahu alam bisshawab.

Oleh: Wiwin, Sahabat Tinta Media 

Rabu, 08 Mei 2024

Lahan Pertanian untuk Cina, Mampukah Mewujudkan Swasembada?



Tinta Media - Lagi-lagi Cina! Pemerintah berencana membuka lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk penanaman padi Cina. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu 21 April 2024, bahwasanya Indonesia meminta Cina untuk memberikan teknologi padi mereka yang sudah sangat sukses menjadi swasembada dan mereka bersedia.

Artinya, Cina akan mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah dengan memberikan teknologi mereka sebagai bentuk kerja sama dengan Indonesia yang akan dimulai Oktober 2024. 

Kesepakatan tersebut merupakan hasil pertemuan Luhut dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, NTT (19/4).

Luhut mengatakan bahwa tersedia satu juta hektar lahan di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah Cina secara bertahap. Pemerintah juga akan menggandeng mitra lokal setempat dan off taker-nya nanti adalah Bulog. 

Harapannya, alih teknologi dari Cina ini nantinya akan berhasil dengan baik karena selama ini Indonesia masih saja harus mengimpor beras dari negara lain setiap tahunnya. Maka, jika proyek ini berhasil, ia meyakini bahwa Indonesia juga akan mencapai swasembada beras di masa depan. (VoaIndonesia.com,27/4/2024)

Bukan hal baru lagi jika pemerintah negeri ini melalui Menteri Luhut selalu saja melibatkan Cina dalam berbagai proyek dan investasi. Cina seolah diberikan tempat istimewa untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia di segala bidang. Namun, dalam bidang pertanian ini, apakah akan berhasil seperti yang diharapkan ataukah justru merugikan petani lokal yang seolah sudah diragukan kemampuannya.

Khudori, seorang pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) berpendapat bahwa mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain adalah langkah yang sah. Namun, harus dipastikan dulu bahwa teknologi tersebut sesuai dan dapat diaplikasikan dengan baik di dalam negeri.

Mengintroduksi sistem usaha tani seperti menghadirkan bibit dari negara lain tidak selalu jadi solusi baik. Namun, butuh adaptasi, baik iklim/cuaca, sifat tanah, dan hama penyakit. Ini butuh waktu dan tidak selalu berhasil. Karena itu, Khudori menyarankan agar sebelum menjalin kerja sama, pemerintah perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan para pakar pertanian nasional demi mengurangi risiko kegagalan.

Pemerintah seharusnya juga belajar dari program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti food estate yang tidak kunjung membuahkan hasil memuaskan, padahal sudah menelan biaya besar dan membuka lahan dengan deforestasi. 

Seharusnya, negara lebih fokus memberdayakan petani dalam negeri sendiri dan memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Kegagalan swasembada beras atau terjadinya impor beras yang terus dilakukan bukan semata karena kurangnya kemampuan petani dalam menggarap lahan. Tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang masih mengimpor beras di saat petani panen raya. 

Selain itu, petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi, sementara pupuk yang berkualitas tinggi dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal itu membuat biaya produksi menjadi tinggi, sedangkan harga gabah dari petani cukup rendah. 

Petani dalam negeri sering merugi. Hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Banyak petani yang terpaksa menjual lahan dan gantung cangkul untuk mencari mata pencaharian lain. Lantas, dengan memberikan lahan pertanian ke Cina, apakah tidak menyakiti hati petani yang seharusnya lebih dihargai? Bagaimanapun, petani lokal lebih paham dan lebih menguasai kondisi alam di negeri ini. 

Jika memang Cina dianggap telah sukses di bidang pertanian sampai berhasil mewujudkan swasembada beras, maka pemerintah bisa mendatangkan ahli atau teknologinya untuk disosialisasikan kepada petani lokal untuk menambah pengetahuan, bukan malah mengundang mereka untuk mengolah lahan di sini. 

Bisa jadi, keberhasilan pertanian di Cina karena peran negara yang cukup baik dalam mendukung para petani dalam negerinya. Pemerintah seharusnya juga mengevaluasi apakah sudah memberikan dukungan dan fasilitas terbaik untuk memajukan pertanian di dalam negeri atau tidak.

Di Indonesia sendiri sudah ada berbagai teknologi pertanian padi yang dikembangkan oleh para ahli di bidang pertanian nasional, seperti di IPB. Menurut Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, hasil teknologi yang dikembangkan di IPB telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi pangan nasional. 

Misalnya, IPB panen di Subang di kawasan 350 hektare produksinya 9,7 Ton atau peningkatan produktivitasnya 32 persen. Ada juga rintisan untuk membuat padi gogo yang sudah mulai ditanam di Pati, Blora, Bojonegoro dan lain-lain yang itu sudah menjadi potensi untuk memproduksi beras. 

Saling belajar itu perlu dengan melihat keunggulan masing-masing negara. Akan tetapi jangan selalu melihat apa yang dari luar, termasuk Cina itu selalu lebih unggul dan memandang pertanian negeri sendiri lebih rendah

Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu ditujukan hanya untuk memperoleh manfaat dan keuntungan. Pemerintah sampai rela bekerja sama dengan negara lain yang notabene banyak melakukan kezaliman terhadap sesama muslim dan banyak merugikan negara lain dengan jebakan utangnya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, kepemimpinan dipandang sebagai amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Dalam mengurus segala sesuatu selalu totalitas dengan panduan syariat termasuk dalam bidang pertanian.

Kebijakan pertanian dalam Negara Khilafah ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah lahan. Karena berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi,

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,” (HR. Muslim)

Negara tidak melakukan pengaturan yang bersifat teknis dan menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada petani. Negara hanya mengatur urusan yang bersifat umum, seperti sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan fasilitas terbaik. 

Selain itu, negara juga memaksa orang yang mempunyai lahan menggarap tanahnya agar tidak terbengkalai. Jika mereka menelantarkan lahan sampai tiga tahun berturut-turut, negara berhak melakukan penyitaan. Terlebih lagi, negara Islam tidak akan membuka celah kerja  sama dengan negara kafir harbi yang telah menyakiti umat Islam.
Wallahu a’lam bishawab


Oleh: Dini Azra
Sahabat Tinta Media

Jumat, 12 Januari 2024

Pengamat: Perhatian Pemerintah terhadap Pertanian Sangat Kurang



Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. R. Deni M. Danial., S.OS, M.M. menilai, perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kurang. 

"Kaitannya dengan pertanian apalagi terkait dengan mengutamakan para petani yang padahal itu kaitannya dengan penyediaan pangan itu memang sangat kurang," ujarnya, di Kabar Petang: Pupuk Sulit Petani Menjerit, di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (10/1/2024). 

Ia melanjutkan, penyediaan anggaran khusus pertanian ini terkalahkan oleh proyek-proyek strategis yang lain. 

"Ini baru 40% dari 200 proyek yang sudah terealisasikan. Kalau ditotal itu lebih dari 4000 triliun dan untuk petani atau pertanian memang sangat kecil dibandingkan dengan proyek yang lain," tuturnya. 

Pemerintah, ucapnya, memosisikan pertanian di level terendah dari proyek strategis nasional, padahal pertanian itu kaitannya dengan ketahanan pangan. 

"Coba kalau ketahanan pangan kita bermasalah pasti kita tidak bisa hidup. Apalagi sekarang banyak pemberitaan bahwa ketahanan pangan di beberapa negara ASEAN yang menghasilkan beras itu bermasalah dan mereka (ASEAN) sedikit banyak menghentikan ekspor padi," ulasnya. 

Danial lalu menyimpulkan, ini adalah produÄ· kapitalistik yang lebih menguntungkan proyek daripada pertanian. "Saya kira ini perlu ada semacam kritik kepada penguasa agar bisa menjadikan prioritas pertanian ditegakkan kembali," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Rabu, 06 Desember 2023

Hanya dengan Islam Para Petani Dimuliakan




Tinta Media - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) melakukan diskusi panel yang bertajuk Smart Farming for Sustainable Growth, dengan tema "Inovasi dan Tantangan Penerapan Standar Berkelanjutan dan Community Development untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Juga Mengatasi  Perubahan Iklim" di Jakarta Convention Center, Kamis (16/11). Kegiatan ini digelar sebagai upaya menjawab permasalahan terkait perlunya percepatan penerapan standar inovasi berkelanjutan dalam mendukung ketahanan pangan dan mengatasi perubahan iklim saat ini.

Perubahan iklim berdampak pada produktivitas lahan pertanian. Selain itu, terjadinya perang antar negara di beberapa kawasan dunia semakin mempersulit penyediaan bahan pangan, bahkan berakibat terhambatnya rantai pasok dan distribusi bahan pangan.

Guna mengantisipasi terhambatnya rantai pasok bahan pangan, Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen Pertanian mengatakan bahwa harus ada upaya untuk memperkuat kemandirian produksi pangan dalam negeri di tingkat desa, kecamanatan, kabupaten-kota dengan memanfatkan potensi masing-masing, baik menggunakan kearifan lokal ataupun adopsi teknologi yang sesuai dan mendatangkan manfaat yang maksimal. Apabila hal ini dapat direalisasikan dalam waktu tidak terlalu lama, maka cita-cita banyak kalangan masyarakat agar kita berdaulat dalam pangan dapat direaliasikan.

Smart Farming menjadi gagasan yang dihadirkan pemerintah di tengah masyarakat untuk menghadapi permasalahan keterbatasan lahan, produktivitas yang rendah, perubahan iklim, nilai pasca panen yang rendah, dan terbatasnya air dan pupuk.

Smart farming yang telah dilaksanakan yaitu dengan penggunaan loT dengan fertigasi (penyiraman air dan pupuk) pada pilot projek perkebunan tomat yang terletak di Desa Cibodas, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Diharapkan, penggunaan IoT fertigasi ini mampu menghemat Pupuk hingga 50%, meningkatkan hasil panen sebanyak 40%, serta meningkatkan pendapatan petani menjadi lebih dari dua kali lipat. Program smart farming yang diterapkan oleh petani ini juga diharapkan bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri saja, tetapi mampu menjangkau pasar ekspor.

Kemajuan dan kecanggihan di era digital ini memang membawa banyak perubahan di berbagai sektor kehidupan. Isu ketahanan pangan dan perubahan iklim merupakan isu global yang digaungkan negara-negara kapitalisme melalui PBB. Smart Farming yang digagas sebagai solusi dengan memanfaatkan teknologi modern dan digitalisasi, ujung-ujungnya hanya akan didominasi oleh korporasi-korporasi pertanian yang memiliki kemampuan modal besar dan masuknya produk-produk teknologi asing yang menguasai pasar dalam negeri.

Semua ini terjadi tak luput dari dampak sistem politik dan ekonomi yang lebih memihak pada para pengusaha yang mempunyai modal dengan menjadikan petani dan sektor pertanian sebagai penopang industri. Beberapa lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi lahan infrastruktur industri modern. Ini adalah kebijakan yang tidak propetani yang mengakibatkan problem utama di dunia pertanian. Adanya teknologi-teknologi digital pertanian hanya akan menguntungkan sebelah pihak. Smart Farming memang memudahkan dalam pertanian, tetapi bisa menghancurkan para tenaga kerja petani itu sendiri.

Inilah watak dari sistem yang diterapkan saat ini. Walaupun berbagai kebijakan diterapkan, tetapi tak mampu menyejahterakan rakyat. Secanggih apa pun program itu sehingga memudahkan dalam penggunaannya, tetapi faktanya SDM yang ada tidak memiliki kemampuan untuk menerapkannya jika tidak dibarengi dengan edukasi dari program terkait 

Islam sangat memuliakan profesi petani. Selain mendapat manfaat ekonomi untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bertani juga merupakan sebuah ibadah. Yang perlu kita ketahui, Al-Qur’an dan hadis telah mengemukakan kepada kita tentang paradigma Islam dalam bidang pertanian. Ini menunjukkan besarnya perhatian Islam terhadap dunia pertanian, karena menyangkut kebutuhan primer makhluk Allah dalam melangsungkan kehidupan, termasuk di antaranya hadis mengenai keutamaan bercocok tanam. Di antara kesimpulan yang dapat di ambil, yaitu:

Pertama, pertanian dalam pandangan Islam bukan semata-mata kegiatan yang bersifat sekularistik, melainkan usaha yang memunyai nilai-nilai transendental. Ini juga bisa dilihat dari pemberian nilai sedekah, sebagai penjelas adanya keterkaitan antara kegiatan menanam dengan keimanan kepada Allah.

Kdua, kegiatan pertanian harus berorientasi maslahat, bukan hanya bagi dirinya, tapi ditujukan untuk kebutuhan pangan orang lain, juga generasi sesudahnya. Ini bisa terlihat jelas dalam redaksi hadis tentang keutamaan menanam, bahwa Allah telah mengklasifikasikan kegiatan bertani sebagai perbuatan sedekah, jika apa yang ditanamnya dikonsumsi oleh manusia maupun makhluk Allah yang lain.

Ketiga, saatnya masyarakat Islam yang sebagian dibesarkan dan berasal dari lingkungan petani seyogyanya tidak meninggalkan profesi petani. Masyarakat seharusnya bangga dan mau terjun langsung dalam dunia pertanian. Semangat juga inovasi dan kreasi dalam dunia petanian perlu ditingkatkan dan digelorakan. 

Dampaknya, hasil pertanian dapat dimaksimalkan dengan biaya produksi yang lebih ditekan oleh pemerintah. Maka, hal ini akan berdampak positif pada naiknya pamor para petani, yang pada saat ini semakin lama semakin luntur. 

Keempat, perlu peran negara untuk bisa memaksimalkan para petani dalam bercocok tanam. Karena itu, dibutuhkan daulah Islam yang mampu mengatur dengan seadil-adilnya. Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Yuni Irawati 
(Sahabat Tinta Media)

Senin, 14 November 2022

Membangkitkan Industri Pertanian, Bisakah dengan Dana Hibah?

Tinta Media - Di tengah terpuruknya berbagai bidang kehidupan, terutama pasca pandemi Covid-19, masyarakat mengalami kelesuan, termasuk di kalangan petani. Apalagi ditambah dengan kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu, tentu akan banyak berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan dalam aktivitas produksi, termasuk dalam industri pertanian. 

Untuk meningkatkan kembali industri dalam bidang pertanian ini, Bupati Bandung, Dadang Supriatna, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bandung akan memberikan bantuan hibah kepada para petani sebesar Rp25 miliar. Rencananya, hibah itu akan disalurkan pada tahun 2023 mendatang. Dilansir dari Liputan 6.com.

Selain itu, Dadang juga menyebutkan, akan memberikan layanan asuransi bagi petani yang gagal panen, serta subsidi pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian, karena pertanian jadi sektor yang harus dipertahankan terutama dalam menghadapi pengaruh resesi yang terjadi di seluruh dunia, akibat krisis energi.

Namun apakah semua janji itu akan terealisasi dan menjadi solusi?  Ataukah itu hanya sebuah wacana?  

Jika kita telusuri penyebab dari keterpurukan di industri pertanian, akan kita temukan beberapa faktor, yaitu:

Pertama, persaingan antara para petani lokal dengan perusahaan pertanian milik swasta. 
Para investor menanamkan modalnya di bidang pertanian karena produksi pertanian merupakan lahan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar. Komoditas pertanian yang merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat, memiliki pangsa pasar yang luas. Dengan kekuatan modal dan penguasaan atas sektor hulu dan hilir, mulai dari persediaan benih dan pupuk, hingga pemasaran, perusahaan swasta ini menguasai industri pertanian.

Eksistensi mereka semakin kokoh, karena berdasarkan pada UU investasi yang memberikan celah bagi swasta untuk menggarap bidang pertanian, yang efeknya justru membuat 
para petani lokal gulung tikar. 

Kedua, dibukanya kran impor untuk komoditas pertanian. Membludaknya impor komoditas pertanian dari luar negeri, terutama dari China, telah menguasai pangsa pasar di negeri ini. Dengan harga yang bersaing, bahkan lebih murah dari produk lokal, komoditas impor ini justru lebih diminati oleh masyarakat. Komoditas lokal yang cenderung mahal akibat tingginya ongkos produksi, akhirnya tidak laku dan berdampak kerugian terhadap petani lokal.

Dua hal ini setidaknya menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap keterpurukan industri pertanian di negeri ini. Para petani lokal yang awalnya banyak memproduksi berbagai komoditas, seperti padi, bawang merah, bawang putih, cabai, dan lain sebagainya, akhirnya harus gulung tikar akibat berbagai kebijakan yang justru pro terhadap para pengusaha swasta (lokal atau asing). 

Adanya hibah bagi para petani yang dijanjikan oleh pemerintah, juga asuransi bagi petani jika gagal panen, tidak akan mampu menyelesaikan keterpurukan industri pertanian dalam negeri jika kebijakan terkait investasi dan impor barang dan jasa masih diberlakukan. 

Kebijakan kapitalistik tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pasar bebas yang diberlakukan di seluruh dunia, yang harus diadopsi oleh seluruh negara, termasuk Indonesia. Inilah bukti kesemrawutan penerapan sistem kapitalis neo-liberalis yang telah memberikan kebebasan kepada para pemilik modal atau perusahaan raksasa untuk menguasai bidang penghidupan masyarakat lokal. Sementara di sisi yang lain, penguasa tidak hadir sebagai mana mestinya dalam melindungi eksistensi dari industri pertanian lokal. 

Negara yang semestinya menjadi penanggung jawab bagi rakyatnya, justru hadir sebagai regulator atau fasilitator bagi masuknya perusahaan-perusahaan integrator yang akhirnya secara nyata terbukti dapat mematikan industri pertanian lokal.

Ditambah lagi, negara memudahkan impor komoditas pangan yang membuktikan bahwa negara tidak serius untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam  memenuhi kebutuhan masyarakat.

Inilah negara penerap sistem kapitalisme yang tentu sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, negara menjalankan fungsi pengurusan dan perlindungan yang sungguh-sungguh bagi rakyatnya. 

Rasulullah saw bersabda:
"Al Imam (pemimpin) itu pengatur urusan (rakyat) dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dia urusi" (HR. 

Pemimpin juga tempat berlindung bagi rakyat. Beliau saw. bersabda:

"Al Imam (pemimpin) adalah perisai (junnah)Imam atau khalifah adalah perisai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya, jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah 'azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa." (al-Bukhari, muslim, An-Nasa'i, Abu Dawud, Ahmad )

Dalam mengatur urusan rakyat, salah satunya dalam memastikan ketahanan pangan, negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang mengatur konsep kepemilikan dan tata cara pengelolaan harta untuk pengembangan harta rakyat, baik harta milik individu maupun milik umum. Syariat Islam akan melindungi pengelolaan harta ini. Salah satunya adalah tidak membolehkan masuknya pihak asing dan membiarkan adanya dominasi perusahaan integrator seperti dalam sistem kapitalisme. 

Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika ini, negara juga akan menerapkan beberapa strategi, yaitu: 

Negara mengatur keseimbangan penawaran dan permintaan kebutuhan masyarakat dengan kemudahan dalam distribusi barang dan jasa. Negara juga tidak akan membiarkan komoditas kebutuhan rakyat dimonopoli oleh pengusaha besar.

Negara juga akan menjaga daya beli masyarakat dengan mengendalikan stabilitas kondisi ekonomi bagi rakyat. Selain itu, negara akan membantu para petani yang membutuhkan modal untuk produktivitas pertanian, juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat, sehingga mereka bisa mencukupi semua kebutuhan. Sikap saling membantu dalam keluarga dan masyarakat juga terus ditumbuhkan agar kebutuhan pokok kerabat hingga tetangganya tercukupi.

Hanya sistem Islamlah yang memiliki pengaturan dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Sistem Islam sesuai dengan akal dan fitrah manusia, dalam rangka mewujudkan rahmatan lil'alamin, sehingga kebaikan sistemnya dapat dirasakan semua orang. 

Wallahu alam bishshawab.

Oleh: Nunung Nurhamidah
Sahabat Tinta Media

Selasa, 23 Agustus 2022

RI Peringkat Kedua Produksi Padi di ASEAN, MMC: Dibayang-Bayangi Kerapuhan Sektor Pertanian

Tinta Media - Klaim Pemerintah bahwa RI mendapatkan peringkat kedua produksi padi di ASEAN, dinilai Muslimah Media Center (MMC) masih dibayangi kerapuhan pada sektor pertanian.

“Namun nyatanya produksi ini dibayang-bayangi oleh kerapuhan dari sektor pertanian,” ungkap Narator mmc dalam rubrik Serba-serbi: Regenarasi Petani Minim, Krisis Pangan Mengancam, di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC), Ahad (21/8/2022).

Narator mengutip pernyataan Agus Pakpahan Ketua Dewan Pakar DPP himpunan kerukunan Tani Indonesia. “Regenerasi petani saat ini sangat minim karena secara umum yang masih bertani adalah generasi tua,” tuturnya.

Hal ini juga disampaikan oleh guru besar IPB Hermanto Siregar. “Kondisi real petani kita menua, separuh petani kita berusia 50 tahun ke atas. Dilansir Indonesia pada 14 Agustus 2022,” ucapnya.
 
Narator juga menyampaikan pernyataan Kepala Divisi pengadaan komoditi Perum Bulog Budi Cahyanto. ”Minimnya regenerasi petani di RI memicu problematika bagi industri pangan. Banyak anak muda tidak melirik industri pertanian karena dianggap tidak menjanjikan ketimbang kerja kantoran,” tuturnya.

Menurut narator, fenomena urbanisasi ke kota termasuk anak petani yang banyak meninggalkan profesi petani sendiri tidak bisa dielakkan. “Kehidupan yang saat ini begitu materialistik membuat pemahaman pragmatis untuk mencari value change yang menjanjikan dan dalam jumlah besar dan kondisi yang demikian itu diberikan oleh kehidupan perkantoran,” jelasnya.

“Sementara kehidupan pertanian kecenderungannya value change-nya tidak menjanjikan,” tambahnya.

Ia menilai diantara faktornya adalah ancaman panen menurun, bahkan gagal panen, pupuk mahal, kesabaran dalam merawat tanaman, teknologi pertanian yang belum merakyat, industri pengolahan belum berkembang baik dan sejenisnya. “Inilah yang menjadikan kaum milenials enggan untuk berkecimpung dalam bidang pertanian,” nilainya.

Narator mengungkapkan, kegagalan sistem kehidupan kapitalisme dalam menciptakan iklim pertanian yang kondusif.

“Justru yang mereka lakukan adalah monopoli bahan pangan demi meraih keuntungan pribadi,” ungkapnya.

“Sistem kapitalisme tidak menganggap pertanian penting padahal sektor pertanian memiliki peran fundamental dalam menunjang ketahanan pangan nasional,” lanjutnya.

Pertanian dalam Islam

Menurutnya, hal ini sangat berbeda dengan cara pandang Islam terhadap bidang pertanian Islam yang memberikan perhatian besar pada sektor pertanian. “Bentuk perhatian ini karena ada dorongan ruhiyah untuk bertani atau berladang atau lebih umum menanam bebijian atau pepohonan,” paparnya.

Narator menyampaikan sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda: 
“Tidaklah seorang Muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melainkan baginya ada pahala sedekah.” (HR al-Bukhari, Muslim, at Tirmizi dan Ahmad).

Menurut Narator, dalil ini menjadi landasan bagi kaum Muslimin memperhatikan sektor pertanian yang memang secara praktis memberikan kontribusi dalam hal pangan. 
“Maka dalam Islam bukan hanya individu yang berperan melainkan juga negara,” jelasnya.

“Negara inilah yang disebut Khilafah Islamiyah. Khilafah akan menciptakan iklim untuk meningkatkan produksi pertanian dan menjamin kelangsungannya kebijakan itu mencakup kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi, pembangunan infrastruktur pertanian, litbang dan dukungan kepada petani,” jelasnya lebih lanjut.

Narator menyampaikan bahwa khilafah juga akan memastikan agar distribusi pangan mencukupi semua wilayah. “Khilafah juga akan menutup akses agar para spekulan dan kartel tidak memonopoli pasar,” paparnya. 
“Semua kebijakan ini juga didukung dengan berbagai pengembangan dan inovasi termasuk di bidang pertanian. Oleh karenanya Khilafah akan mengembangkan iklim yang kondusif untuk mendengar hal ini. Khilafah akan membangun banyak laboratorium perpustakaan dan lahan-lahan percobaan,” tambahnya.

Narator memaparkan bahwa para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan termasuk dana penelitian selain penghargaan atas karya mereka.

“Hasil dari kerjasama antara petani dan negara serta kebijakan ekonomi politik yang memang untuk kemaslahatan umat membuktikan bidang pertanian mencapai kegemilangan selama Khilafah berdiri 1300 tahun,” paparnya.

Ia mengungkap pada masa Khalifah Umar Bin al Khattab negara memberikan modal kepada para petani di Irak atau dalam bentuk pinjaman tanpa bunga. 

“Pada awal abad ke-9 pertanian di Timur dekat Afrika Utara dan Spanyol didukung sistem pertanian yang maju, menggunakan irigasi yang canggih dan pengetahuan yang sangat memadai. Kemudian ada juga pengembangan pompa Satya yang digerakkan dengan tenaga hewan yang fenomenal adalah dikembangkannya kincir air sejak abad ke-3 Hijriyah atau sembilan masehi untuk mengangkat air sungai dan diintegrasikan dengan penggilingan,” ungkapnya.

Ia sampaikan Khilafah juga merehabilitasi desa-desa yang rusak dan memperbaiki ladang yang mengering. “Contohnya pada abad ke-10 di bawah kepemimpinan Sultan dari bani shamani daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan, berkembang pesat dan menjadi satu dari empat Surga Dunia,” tuturnya.

Sumbangsih Ilmuwan Muslim

Narator menyebutkan, sumbangsih ilmuwan Muslim untuk teknologi pertanian juga begitu banyak. 

“Salah satu diantaranya adalah Muhammad bin Zakaria Ar Rozi dalam kitabnya al-hawi abad ke-10 Masehi menggambarkan kincir air di Irak yang bisa mengangkat sebanyak 153.000 liter per jam atau 2.550 liter per menit,” jelasnya.

“Ini juga menggambarkan output dari satu kincir air dengan ketinggian 5 m di Irak dapat mencapai 22.000 liter per jam. Bahkan dari Catatan sejarah dan komentar para ilmuwan termasuk dari barat mengakui sistem pertanian pada era Spanyol muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling ilmiah yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia,” lanjutnya.

Narator menyampaikan pernyataan Joseph McCabe, cendekiawan berkebangsaan Inggris yang mengungkapkan bahwa di bawah kendali Muslim Arab pada masa Khilafah perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak.

“Di sepanjang Sungai Guadalquivir Spanyol juga terdapat 12.000 desa yang berkecukupan Bahkan makmur,” ungkapnya.

Menurut narator, revolusi pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7 yang membuat negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat yang makmur dari hasil pertanian.

“Jadi, sebenarnya sektor pertanian sangat menjanjikan untuk dikembangkan, hanya saja sistem yang mengaturnya haruslah shahih yaitu sistem khilafah,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab