Tinta Media - Kalau saja, Perppu Cipta Kerja hanya diteken Presiden Jokowi, penulis bisa maklum. Selain pernah meneken keputusan tanpa membaca isinya, Presiden Jokowi juga kurang memahami proses dan prosedur penerbitan peraturan perundang-undangan, khususnya soal alasan terbitnya Perppu.
Apalagi, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini terdiri dari 1.117 halaman. Bukankah mustahil, Presiden mengecek halaman per halaman, lembar per lembar?
Namun sayangnya, Menkopolhukam Mahfud MD yang ahli hukum yang juga mantan ketua MK turut melegitimasi terbitnya Perppu Cipta Kerja yang kacau ini. Perppu yang oleh Denny Indrayana disebut melecehkan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Mahfud MD, Perppu adalah hak subjektif Presiden. Perppu Cipta Kerja telah memenuhi alasan kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Memang benar, berdasarkan pasal 22 UUD 1945, Perppu adalah hak subjektif Presiden dalam pembentukan peraturan perundang undangan. Hal mana, juga ditegaskan dalam UU No 12 tahun 2011 Jo UU No 5 Tahun 2018 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.
Namun demikian, hak subjektif ini telah dibatasi oleh kondisi objektif. Yakni, syarat kegentingan yang memaksa yang telah diatur secara limitatif oleh putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Perppu Cipta Kerja diterbitkan tanpa ada dasar kegentingan yang memaksa. Tidak ada kebutuhan penyelesaian masalah hukum berdasarkan UU. UU yang menjadi basic UU Cipta Kerja ada dan sangat lengkap/memadai. Ada 79 UU yang oleh MK dapat berlaku kembali saat UU Ciptaker inkonstitusional permanen.
Tenggat waktu untuk merevisi UU Cipta Kerja juga masih sampai 25 November 2023 (dua tahun sejak putusan MK 25 November 2021). Sehingga masih cukup waktu masuk prolegnas untuk dibahas Pemerintah dan DPR pada tahun 2023.
Perppu Cipta Kerja ini jelas bentuk pembangkangan pada konstitusi. Mengingat, putusan MK juga berlaku sebagai konstitusi karena merupakan tafsir terhadap konstitusi yang otoritatif, memiliki kekuatan hukum mengikat, bersifat final & binding.
Penerbitan Perppu juga bentuk pelecehan Presiden Jokowi kepada Mahkamah Konstitusi. Ini adalah bentuk pengabaian amar putusan, yang bisa disimpulkan sebagai sikap ketidakpatuhan, merendahkan, bahkan melecehkan wibawa lembaga peradilan (MK).
Jadi, adalah sangat beralasan Marwan Batubara meminta DPR memproses pemakzulan Presiden Jokowi karena telah melanggar konstitusi. Pasal 7b UUD 1945 harus segera diaktivasi.
Perppu Cipta Kerja ini juga akan mendismotivasi rakyat yang akan enggan terlibat mengontrol jalannya kekuasaan melalui MK. Akan muncul pandangan publik malas berperkara ke MK, sebab sudah capek-capek ke MK, mendapatkan putusan dari MK, putusan tidak dijalankan malah diterbitkan Perppu.
Perppu Cipta Kerja yang membangkang konstitusi, yang melecehkan Mahkamah Konstitusi ini, bukankah terbit atas kontrol dan supervisi dari Menkopolhukam Mahfud MD? Bagaimana bisa semua ini terjadi Pak Mahfud? Kok jadi berantakan begini? [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pergerakan Islam