Tinta Media: Perppu Cipta Kerja
Tampilkan postingan dengan label Perppu Cipta Kerja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perppu Cipta Kerja. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Mei 2023

ASPEK Indonesia: Penetapan Perppu Cipta Kerja Akal-akalan Penguasa

Tinta Media - Presiden Asosisasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat, mengatakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja hanyalah akal-akalan pemerintah dan DPR.

“Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang adalah akal-akalan dari Pemerintah dan DPR, untuk memberikan “karpet merah” dan kemudahan kepada kelompok pemodal dan investor,” ungkapnya dalam Press Release Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) yang diterima Tinta Media dengan tema "May Day 2023, Momentum Satukan Komitmen Perlawanan Terhadap Omnibus Law" Senin (1/5/2023). 

Padahal, UU Cipta Kerja yang ada, menurutnya,  telah menjadi pintu masuk bagi kelompok pemodal dan investor untuk memiskinkan pekerja dan rakyat Indonesia. "UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan kepastian upah dan kepastian jaminan sosial,” tegasnya.

Ia mengatakan, pengesahan ini menjadi bukti kongrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja, dengan fakta-fakta ini menyakiti hati pekerja dan rakyat Indonesia.

“Alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo justru mengesahkan (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan tanggal 21 Maret 2023, DPR justru menyetujui dan mengesahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang,” terangnya

Setidaknya terdapat lima poin tuntutan ASPEK terhadap pemerintah dan DPR, dalam Press Release. Pertama, cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja, Kedua, tolak PHK sepihak. Ketiga, tolak RUU Omnibus Law Kesehatan. Keempat, Sahkan RUU PRT ( Pekerja Rumah Tangga). Kelima, berikan kesejahteraan dan kepastian hukum kepada pekerja berbasis platform/online. [] Abi Nayyara

Rabu, 29 Maret 2023

PRESS RELEASE ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA: "PERPPU CIPTA KERJA MENJADI UNDANG UNDANG, DPR BUKTI HANYA STEMPEL PEMERINTAH!"

Tinta Media - (22/03) Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyatakan kekecewaan dan penolakannya terhadap keputusan DPR RI yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU). Indonesia kembali ke jaman Orde Baru, karena DPR RI hari ini ternyata hanya menjadi stempel bagi Pemerintah! Bahkan mengabaikan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional dan memerintahkan dilakukan perbaikan dalam dua tahun! 
Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden, dalam keterangan pers tertulis kepada media (22/03).

Pengabaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya adalah pengabaian terhadap hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia. Penerbitan Perppu Cipta Kerja tanpa adanya kegentingan yang memaksa, juga merupakan bukti arogansi kekuasaan Pemerintahan Joko Widodo bersama DPR RI, yang semata-mata hanya ingin melindungi kepentingan pemodal. Tidak dibahasnya Perppu Cipta Kerja dalam sidang pertama sejak Perppu diterbitkan, membuktikan sesungguhnya tidak ada kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat formil penerbitan Perppu Cipta Kerja! DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru tidak lagi memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, ungkap Mirah Sumirat.

ASPEK Indonesia menilai Isi Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR RI, tidak jauh berbeda dengan isi UU Cipta Kerja, yang banyak merugikan kepentingan pekerja. Hilangnya kepastian jaminan pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial dalam UU Cipta Kerja maupun dalam Perppu Cipta Kerja, akan menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan bagi seluruh rakyat Indonesia!, pungkas Mirah Sumirat.

Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Mirah Sumirat, SE 
Presiden

Sabda Pranawa Djati, SH
Sekretaris Jenderal

Minggu, 26 Maret 2023

Perpu Ciptaker Sah Jadi Undang-Undang, Pamong Institute: Beban Rakyat Makin Berat

Tinta Media - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dinilai makin memberatkan beban rakyat.

"Lahirnya UU Cipta Kerja ini akan memberatkan rakyat. Ini menunjukkan bahwa negara bukan meringankan beban rakyat, tapi negara justru menambah beban rakyat," ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi Almaroky dalam acara Kabar Petang: DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja menjadi UU, Simak Potensi Bahayanya di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (23/3/2023).

Menurutnya, rakyat masih jauh dari kata sejahtera baik dari segi pendidikan, maupun kesehatan, belum lagi rakyat tetap dibebani berbagai macam pajak.

"Ukuran masyarakat sejahtera itu kan paling sederhana bisa dilihat itu dari pendidikan, dari daya beli dan dari kesehatan. Tapi sekarang banyak yang putus sekolah. Kemudian untuk kesehatan masih bergantung pada iuran BPJS sudah bayar pun masih tidak dilayani, bahkan ditolak hingga ada yang meninggal, lalu rakyat juga masih harus membayar pajak, PPH, PPN, pajak retribusi dan macam-macam," bebernya.

Sementara itu dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi UU yang kemudian akan menjadi payung hukum bagi oligarki dan para kapitalis untuk lebih mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini bahkan juga sumber daya manusia nya. "Ya tentu dengan Perpu Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang ini akan menjadi payung hukum buat mereka tentang kebijakan-kebijakan yang lebih jauh untuk mengeksploitasi negeri ini bukan sekedar mengeksploitasi sumber daya alamnya tapi juga mengeksploitasi juga sumber daya manusianya," jelasnya.

Hal ini membuatnya mempertanyakan keberpihakan DPR, apakah sebagai wakil dari rakyat atau justru wakil dari para pengusaha, oligarki dan para kapitalis. Dengan disahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, yang dulu ditolak oleh banyak orang karena bahkan dinyatakan inkonstitusional. 

"Kenapa sekarang bisa disahkan oleh DPR. Ini juga yang kita pertanyakan, DPR ini wakil rakyat atau wakil para pengusaha atau para pebisnis atau para konglomerat?" pungkasnya.[] Muhammad Ikhsan Rivaldi

Sabtu, 25 Maret 2023

Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi UU, IJM : Bukti Pemerintah Tidak Memperhatikan Due Process of Law

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai pemerintah tidak memperhatikan prinsip hukum yang baik, khususnya due process of law dalam  mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU).

“Rapat pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) diketahui banyak elemen buruh telah menolaknya. Namun, DPR tetap mengesahkannya menjadi UU. Ini menunjukkan pemerintah tidak memperhatikan prinsip negara hukum yang baik, khususnya due process of Law,” tuturnya dalam program Aspirasi : Perppu Cipta Kerja Jadi UU | Aspirasi Rakyat Terbentur Tembok Kekuasaan? di kanal YouTube Justice Monitor, Selasa (21/3/2023).

Agung menilai pemerintah memiliki sikap yang menerabas dan mengangkangi hukum di negeri ini.

“Jadi kepada siapa lagi rakyat berharap agar negeri Ini selamat dari pemerintah yang dianggap sebagian pihak bermental menerabas, otoriter, dan melecehkan lembaga yudikatif? Lalu bagaimana nasib pembentukan dan penegakan hukum di tahun 2023?” tanyanya.

Dalam konteks ini, ia merasa cukup prihatin regulasi diubah sedemikian rupa yang pada analisis terakhir katanya akan menekan ongkos berbisnis. “Pemilik modal terutama asing akan melihat kalau mereka bisa mendapatkan laba yang lebih besar jika melakukan investasi di Indonesia dan memilih memarkir uang mereka di sini,” ucapnya.

Ia mengulas para pakar yang berargumen bahwa selain menekan biaya tenaga kerja, masih banyak yang bisa dilakukan untuk menarik investasi, seperti peningkatan efisiensi kinerja birokrasi pemerintah, menghapus KKN, pungli, dan lain sebagainya. Menurutnya, pada akhirnya kapital lah yang berbicara. “Dari semua ini, yang diinginkan oknum kapitalis busuk adalah penekanan biaya tenaga kerja yang merupakan biaya terbesar dalam produksi untuk meraih laba lebih besar,” ujarnya.

Dalam skenario terbaik pun, Agung berpandangan ketika investasi mengalir deras paska lolosnya undang-undang ini akan berpotensi menciptakan periode penciptaan lapangan kerja yang singkat dengan mutu yang rendah. Sementara kebijakan-kebijakan undang-undang ciptaker dinilainya telah memangkas lebih lanjut taraf hidup rakyat.

Ia mengurai lebih lanjut tentang kebijakan upah per jam akan meningkatkan jumlah penganggur. Dengan fleksibilitas tenaga kerja seperti ini, menurutnya pengusaha dapat menggaji buruh hanya beberapa jam perhari saja sesuai dengan kebutuhannya. “Penghapusan cuti haid juga berarti pengangguran akan lebih tinggi. Kalau sebelumnya perempuan memperoleh satu sampai dua hari cuti haid yang dibayar, kini dihapus. maka ini berarti ada buruh lain yang kehilangan 1-2 hari kerja,” tambahnya.

Agung melihat rupanya pemerintah akan saling kejar mengejar untuk berebut investasi yang tengah mengering di tengah perekonomian dunia yang lesu. “Segera setelah pemerintah Indonesia meloloskan Perppu Cipta Kerja ini, mungkin pemerintah kapitalis di negeri lain akan mengajukan omnibus law mereka sendiri, yang lebih inovatif dalam memeras darah dan keringat rakyat pekerja,” ungkapnya.

Menurutnya, tujuannya tidak lain adalah demi kapitalisme yang ujungnya adalah memangkas upah buruh agar murah. "Tentunya beresiko pada sumber daya alam kita. Teruslah berbicara untuk melakukan kritisisasi untuk Indonesia yang lebih baik,” tutupnya.[] Erlina

Selasa, 10 Januari 2023

MENGGUGAT KEWENANGAN ABSOLUT PEMERINTAH DALAM MENERBITKAN PERPPU

Tinta Media - Perppu adalah kewenangan absolut Pemerintah dalam legislasi yaitu membuat dan menetapkan peraturan setara undang-undang. Dikarenakan merupakan kewenangan absolut, sehingga tidak terdapat keharusan untuk melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan legislasi tersebut. 

Dikarenakan merupakan kewenangan absolut, sehingga Pemerintah diberikan kewenangan subjektivitas dalam menentukan alasan-alasan/dalil terkait  'hal ihwal kegentingan yang memaksa' sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.

Perhatikan secara cermat kata 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' itulah syarat utama bagi pemerintah untuk bisa mengeluarkan perppu. Secara a contrario, pemerintah tidak boleh, atau dilarang konstitusi, untuk menerbitkan perppu manakala tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Apa arti, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa?" Menurut penjelasan resmi UUD 1945, frase tersebut merupakan terjemahan dari "noodverordeningsrecht". Dalam bahasa hukum Amerika ini sama dengan "Clear and present danger" situasi bahaya yang terang benderang dan memaksa.

"Nood" mengandung arti berbahaya atau darurat. "Ordenen" berarti mengatur atau menyusun. Secara harfiah "noodverordeningsrecht" peraturan hukum mengatur dalam keadaan yang secara kasat mata atau terang-benderang sedang darurat atau bahaya.

Dengan demikian, maka logika penerbitan perppu bisa disusun sebagai berikut:

Pertama, benar-benar atau terang benderang sedang terjadi genting atau bahaya;

Kedua, siatusi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara; Ketiga, karena situasinya amat mendesak, dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya. Sebab menangani situasi genting itu menunggu mekanisme DPR memerlukan waktu lama.

Karena Presiden dapat menentukan kondisi ‘kegentingan yang memaksa', kondisi ini menjadi sangat subjektif dan berpotensi disalahgunakan secara politis. Dengan demikian, penting menguji secara objektif, selama ini menguji objektivitas 'hal ihwal kegentingan memaksa' di DPR dan Mahkamah Konstitusi. Terkadang di DPR masyarakat agak ragu karena DPR dipegang oleh koalisi Pemerintah. Sedangkan di MK membutuhkan waktu lama dikhawatirkan objek perkara sudah berubah menjadi undang-undang.

Sehingga dibutuhkan terobosan baru yaitu menguji objektivitas 'hal ihwal kegentingan memaksa' melibatkan partisipasi masyarakat.

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Minggu, 08 Januari 2023

Terbitkan Perppu Cipta Kerja, LBH Pelita Umat: Pemerintah dan DPR RI Melawan Putusan MK

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menilai, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI terkait UU Cipta Kerja adalah sebagai bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Apa yang dilakukan Pemerintah dan DPR terkait UU Cipta Kerja adalah bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan MK. Padahal, UU Cipta Kerja telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020,” tuturnya pada Tintamedia.web.id, Kamis (5/1/2023).

Menurutnya, pembangkangan atau perlawanan Pemerintah dan DPR yang dimaksud ada tiga yaitu: 

Pertama, DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU P3. “Tahun 2022 DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. Ada dugaan revisi UU merupakan siasat memperbaiki UU Cipta Kerja. UU yang dijuluki Omnibus Law itu padahal sudah dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021.” ungkapnya.
 
Ia melanjutkan bahwa revisi terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan ini disebut menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Revisi UU P3 itu dilakukan karena pada UU 12/2011, yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan, menurutnya masih belum mengatur mengenai metode omnibus law. 
 
“Selama ini beleid tersebut merupakan patokan utama dalam pembuatan regulasi, dari undang-undang, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi,” imbuhnya. 
 
Ia menandaskan bahwa UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan Pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus law. “Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020. Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3 merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja dan memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja,” tambahnya. 
 
Selain itu, masih menurutnya revisi Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) ini sebelumnya dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 
 
Kedua, DPR dan Pemerintah memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi dengan melantik Guntur Hamzah sebagai Hakim MK pada Rabu (23/11/2022). “Guntur Hamzah ini menggantikan Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR RI sebelumnya. Alasan mengganti Aswanto menurut Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto karena kinerja Aswanto mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR. Salah satunya Aswanto ikut menilai UU Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat,” bebernya 
 
Chandra menilai proses pelantikan tersebut akan merusak wibawa Mahkamah Konstitusi dan dikhawatirkan MK akan dianggap sebelah mata. “Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti lembaga pengusul lainnya misalnya Presiden dan Mahkamah Agung juga dikhawatirkan akan memecat hakim konstitusi,” ucapnya.

Ini, lanjutnya tentu tidak dapat dibiarkan. Ditambah lagi dikhawatirkan juga hakim-hakim MK takut kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden dan MA). “Menghadapi kondisi ini MK sepatutnya untuk memproteksi hal tersebut dengan melakukan Judicial Review terhadap UU MK dan UU terkait lainnya,” usulnya
 
Ketiga, Pemerintah menerbitkan Perppu 2/2022. “Penerbitan Perppu ini membuktikan kekuasaan Presiden sangat lah besar termasuk kewenangan dalam legislasi, kekuasaan absolut dalam membentuk dan menetapkan undang-undang,” ujarnya.

Menurut Chandra, hakekatnya, sebuah undang-undang harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat setidaknya melalui parlemen. Sedangkan Perppu tidak perlu partisipasi masyarakat karena Perppu adalah kewenangan absolut Pemerintah.

Chandra menegaskan semestinya Pemerintah menjalankan amanat dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang diberikan waktu selama 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan yaitu UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Dalam Putusan tersebut, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen,” pungkasnya.[] Erlina

Jumat, 06 Januari 2023

3 PEMBANGKANGAN / PERLAWANAN PEMERINTAH & DPR RI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT UU CIPTA KERJA

Tinta Media - Berikut ini beberapa peristiwa politik yang berimplikasi hukum, yang diduga terdapat keterkaitan yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

Peristiwa politik tersebut, saya menilai sebagai bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan MK, diantaranya, yaitu: 
 
PEMBANGKANGAN/PERLAWANAN PERTAMA; DPR & PEMERINTAH MELAKUKAN REVISI UU P3 
 
Tahun 2022 DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang, dugaan merupakan siasat memperbaiki UU Cipta Kerja. UU yang dijuluki Omnibus Law itu dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021.
 
Revisi terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan ini disebut menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Revisi UU P3 itu dilakukan karena pada UU 12/2011, yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan, masih belum mengatur mengenai metode omnibus law. 
 
Selama ini beleid tersebut merupakan patokan utama dalam pembuatan regulasi, dari undang-undang, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi. 
 
UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan Pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus law. Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020. Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3 merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja dan memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja.
 
Revisi Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) ini sebelumnya dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 
 
PEMBANGKANGAN/PERLAWANAN KEDUA; DPR & PEMERINTAH MEMBERHENTIKAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI 
 
Presiden Joko Widodo atau Jokowi melantik Guntur Hamzah sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu pagi, 23 November 2022. Pelantikan Guntur ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 114 B tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR RI.  
 
Patut diketahui Guntur Hamzah menggantikan Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR RI ini sebelumnya. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, kinerja Aswanto mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR. Salah satunya Aswanto ikut menilai UU Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat.
 
Proses pelantikan tersebut akan merusak wibawa Mahkamah Konstitusi, dikhawatirkan MK akan dianggap sebelah mata. Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti lembaga pengusul lainnya misalnya Presiden dan Mahkamah Agung juga dikhawatirkan akan memecat hakim konstitusi. Ini tidak dapat dibiarkan. Ditambah lagi dikhawatirkan juga hakim-hakim MK takut kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden dan MA). Menghadapi kondisi ini MK sepatutnya untuk memproteksi hal tersebut dengan melakukan Judicial Review terhadap UU MK dan UU terkait lainnya;
 
PEMBANGKANGAN/PERLAWANAN KETIGA; PEMERINTAH MENERBITKAN PERPPU 2/2022 
 
Penerbitan Perppu membuktikan kekuasaan Presiden sangat lah besar termasuk kewenangan dalam legislasi, kekuasaan absolut dalam membentuk dan menetapkan undang-undang. Hakekatnya, sebuah undang-undang harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat. Setidak-tidaknya melalui parlemen. Sedangkan Perppu tidak perlu partisipasi masyarakat karena Perppu adalah kewenangan absolut Pemerintah.

Semestinya Pemerintah menjalankan amanat dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang diberikan waktu selama 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan yaitu UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Putusan tersebut, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen; 
 
Demikian 
IG@chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT

Rabu, 04 Januari 2023

PAK MAHFUD MD, KOK BISA JADI BERANTAKAN BEGINI?

Tinta Media - Kalau saja, Perppu Cipta Kerja hanya diteken Presiden Jokowi, penulis bisa maklum. Selain pernah meneken keputusan tanpa membaca isinya, Presiden Jokowi juga kurang memahami proses dan prosedur penerbitan peraturan perundang-undangan, khususnya soal alasan terbitnya Perppu.

Apalagi, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini terdiri dari 1.117 halaman. Bukankah mustahil, Presiden mengecek halaman per halaman, lembar per lembar?

Namun sayangnya, Menkopolhukam Mahfud MD yang ahli hukum yang juga mantan ketua MK turut melegitimasi terbitnya Perppu Cipta Kerja yang kacau ini. Perppu yang oleh Denny Indrayana disebut melecehkan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Mahfud MD, Perppu adalah hak subjektif Presiden. Perppu Cipta Kerja telah memenuhi alasan kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Memang benar, berdasarkan pasal 22 UUD 1945, Perppu adalah hak subjektif Presiden dalam pembentukan peraturan perundang undangan. Hal mana, juga ditegaskan dalam UU No 12 tahun 2011 Jo UU No 5 Tahun 2018 tentang pembentukan peraturan perundang undangan.

Namun demikian, hak subjektif ini telah dibatasi oleh kondisi objektif. Yakni, syarat kegentingan yang memaksa yang telah diatur secara limitatif oleh putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Perppu Cipta Kerja diterbitkan tanpa ada dasar kegentingan yang memaksa. Tidak ada kebutuhan penyelesaian masalah hukum berdasarkan UU. UU yang menjadi basic UU Cipta Kerja ada dan sangat lengkap/memadai. Ada 79 UU yang oleh MK dapat berlaku kembali saat UU Ciptaker inkonstitusional permanen. 

Tenggat waktu untuk merevisi UU Cipta Kerja juga masih sampai 25 November 2023 (dua tahun sejak putusan MK 25 November 2021). Sehingga masih cukup waktu masuk prolegnas untuk dibahas Pemerintah dan DPR pada tahun 2023.

Perppu Cipta Kerja ini jelas bentuk pembangkangan pada konstitusi. Mengingat, putusan MK juga berlaku sebagai konstitusi karena merupakan tafsir terhadap konstitusi yang otoritatif, memiliki kekuatan hukum mengikat, bersifat final & binding.

Penerbitan Perppu juga bentuk pelecehan Presiden Jokowi kepada Mahkamah Konstitusi. Ini adalah bentuk pengabaian amar putusan, yang bisa disimpulkan sebagai sikap ketidakpatuhan, merendahkan, bahkan melecehkan wibawa lembaga peradilan (MK).

Jadi, adalah sangat beralasan Marwan Batubara meminta DPR memproses pemakzulan Presiden Jokowi karena telah melanggar konstitusi. Pasal 7b UUD 1945 harus segera diaktivasi.

Perppu Cipta Kerja ini juga akan mendismotivasi rakyat yang akan enggan terlibat mengontrol jalannya kekuasaan melalui MK. Akan muncul pandangan publik malas berperkara ke MK, sebab sudah capek-capek ke MK, mendapatkan putusan dari MK, putusan tidak dijalankan malah diterbitkan Perppu.

Perppu Cipta Kerja yang membangkang konstitusi, yang melecehkan Mahkamah Konstitusi ini, bukankah terbit atas kontrol dan supervisi dari Menkopolhukam Mahfud MD? Bagaimana bisa semua ini terjadi Pak Mahfud? Kok jadi berantakan begini? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pergerakan Islam

Selasa, 03 Januari 2023

PERPPU CIPTA KERJA: HUKUM SUKA-SUKA PENGUASA!

Tinta Media - Dulu, saat Pemerintah dan DPR merevisi UU KPK, masyarakat protes. Saat itu, segenap elemen masyarakat mendesak Presiden Jokowi agar dapat menerbitkan Perppu untuk membekukan keberlakuan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Nyatanya, tuntutan masyarakat tidak dipenuhi. Situasi genting karena banyaknya demo stas penolakan UU KPK yang baru, tidak menggerakkan Presiden untuk menerbitkan Perppu.

Namun, di penghujung tahun 2022 tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022, tak ada angin tak ada hujan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 

PERPU ini diklaim diterbitkan dalam situasi genting, situasi yang mendesak. Menko Airlangga Hartarto menyebut, pengeluaran Perppu ini sudah sudah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138/PUU-VII /2009.

Dalihnya, kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Jadi, dalihnya bukan lagi pandemi Covid-19, melainkan masalah global.

Memang benar, Presiden memiliki wewenang untuk menerbitkan PERPPU. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, dikatakan:

"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang."

Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 (perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan) yang berbunyi:

"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."

Namun, kewenangan Subjektif Presiden untuk menerbitkan PERPU ini diatur dengan syarat objektif yang limitatif, sebagaimana diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. 

Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU, yaitu:

Pertama, Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

Dalam penerbitan PERPPU No 2/2022 tentang Cipta Kerja ini tidak ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Amanat Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun (25 November 2023) tidak diperbaiki maka akan inkonstitusional secara permanen. 

Namun, dalam rentan hingga dua tahun ini ternyata pemerintah tidak melaksanakan amanah putusan MK untuk memperbaiki tapi malah potong kompas dengan menerbitkan PERPPU. Ini bukan kegentingan yang memaksa, tetapi menciptakan kegentingan untuk kepentingan syahwat diktator konstitusi.

Dalam Putusan MK angka 3 a Quo, menyebutkan:

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”."

Makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK tersebut adalah dalam 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan yaitu tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023, UU Cipta Kerja masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 di antaranya adalah:

1. Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011;

2. Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja; dan

3. Menghindari adanya perubahan substansi yang ‘mendadak’ di sela-sela proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan.

PERPPU Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden ini melanggar 3 konsekuensi putusan MK dimaksud. Karena itu, PERPPU dibuat cacat proses dan prosedur (cacat formil).

Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

Faktanya, kalaupun UU Cipta Kerja tidak direvisi oleh pemerintah dan DPR dalam dua tahun. Dalam amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Itu artinya, tidak ada kekosongan hukum. Sebab, kalaupun pemerintah dan DPR gagal merevisi UU Cipta Kerja selama 2 tahun, maka UU tersebut akan inkonstitusional permanen dan undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja dibuat dengan teknik Omnibus Law, sekitar 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi secara sekaligus melalui UU ini.

Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sebenarnya, masih ada waktu bagi Pemerintah dan DPR untuk mematuhi amar putusan Mk Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selama tenggang waktu 2 tahun pemerintah diberi waktu untuk memperbaiki.

Namun, sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 revisi UU Cipta Kerja ini tidak masuk Prolegnas. Itu menunjukan Pemerintah dan DPR malas bekerja untuk melaksanakan putusan MK.

Alhasil, PERPU Cipta Kerja tidak dibuat dalam situasi genting, tidak ada kebutuhan mendesak, tidak ada kekosongan hukum karena sebelumnya Pemerintah dan DPR diberi waktu 2 tahun untuk merevisi UU Cipta Kerja. PERPPU Cipta Kerja ini sejatinya mengkonfirmasi kemalasan dan ketidakpatuhan Pemerintah dan DPR untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Pejuang Syariah & Khilafah

https://heylink.me/AK_Channel/
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab