Tinta Media: Perpanjangan
Tampilkan postingan dengan label Perpanjangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perpanjangan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Februari 2023

Perpanjang Masa Jabatan, Melanggengkan Oligarki dan Korupsi


Tinta Media - Sejumlah kepala desa (kades) dari berbagai wilayah melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 Januari 2023 menuntut pemerintah dan DPR merevisi aturan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode. Mereka juga menuntut untuk mengembalikan wewenang penggunaan dana desa kepada desa hingga revisi UU Desa.


Menurut politisi PDIP Budiman Soejatmiko, konflik sosial diawal kemenangan menyebabkan masa efektif kades hanya 2-3 tahun, sehingga kepala desa tidak bisa maksimal mewujudkan visi dan misinya membangun desa. Mereka berpendapat dengan diwujudkannya 9 tahun masa jabatan maka akan memiliki waktu untuk mewujudkan visi-misinya, juga mengurangi biaya-biaya dan pergesekan antarelemen desa.


Jika kita lihat, aksi ini secara tidak langsung menunjukkan ketidakmampuan kepala desa dalam memimpin selama 9 tahun dengan 2 periode jika terpilih kembali, sekaligus juga mengakui betapa mahalnya biaya pemilihan dalam sistem demokrasi sekalipun dalam lingkup  kecil.

 

Menelaah tuntutan mereka membuat miris, pasalnya mereka tidak menyampaikan aspirasi tentang kondisi dan kebutuhan rakyatnya, mereka rela datang dari berbagai penjuru hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka dan adanya dugaan untuk semakin mudahnya mereka dalam penyalahgunaan dana desa.

 

Aksi ini menuai kritik dari berbagai kalangan, salah satunya dari peneliti kebijakan dari IDP-LP, Riko Novianto berpendapat indikator keberhasilan pembangunana desa bukan dari masa jabatan, tetapi diukur dari kepercayaan warga desa terhadap kerja-kerja nyata aparatur desa. Ia juga menambahkan sebaiknya kepala desa fokus kerja daripada memikirkan masa jabatan, kinerja yang baik tentu akan membawa efek elektabilitas. Perpanjangan masa jabatan kades dikhawatirkan upaya mendorong kepentingan politik pribadi. Hal ini diperkuat jika tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang.

 

Mengutip dari Tirto.id, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menerangkan, kondisi desa saat ini masih banyak masalah. Salah satunya soal tata kelola yang masih eksklusif dari partisipasi publik hingga isu korupsi. ICW menilai sebaiknya fokus pemerintah bukan pada penambahan masa jabatan, melainkan perbaikan sistem yang efektif untuk kemajuan pembangunan desa.

 

Menurut data ICW, korupsi di level desa masih menempati posisi pertama atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021 dengan 592 kasus korupsi  di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Angka korupsi tersebut berbanding lurus dengan besaran anggaran yang digelontorkan untuk desa. Yakni sejak 2015-2021, Rp 400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrem.

 

Hal tersebut perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Karena hingga saat ini belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa. Malah perpanjangan masa jabatan akan berpotensi melanggengkan oligarki di desa dan politisasi desa.

 

Dalam sistem demokrasi tidak akan pernah berpihak kepada umat, karena hanya untuk memberi manfaat pada oligarki dan pemilik modal. Bagaimana tidak, biaya pemilu yang mahal mengharuskan untuk menggandeng para pemilik modal, selanjutnya ketika sudah duduk dalam kekuasaan yang terjadi adalah politik transaksional, sehingga kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang hanya berputar pada kepentingan korporasi dan oligarki. Seluruh program kerja akan berjalan jika menguntungkan partainya sendiri dan penyuntik dana. Sehingga wajar jika visi-misinya selama kampanye tidak pernah tuntas dan menjadi solusi permasalahan umat.

 

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang mereka genggam digunakan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memandang halal-haram dan memperhatikan hak-hak rakyat.

 

Lalu bagaimana Islam memandang kekuasaan? Dalam hadits riwayat Bukhari dijelaskan, ”Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Sehingga lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan, selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat yang disadari kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala.

 

Seorang khalifah atau wali akan diberhentikan jika ia menyalahi hukum syariat. Seorang khalifah atau wali akan tetap berkuasa selama ia taat kepada Allah dan menjalankan syariat. Kelanggengan kekuasaan tidak akan menjadi celah untuk memperkaya dirinya dan keluarganya, tidak juga menggunakan kekuasaan untuk berbuat sesukanya. Sejarah kegemilangan politik Islam dalam bingkai khilafah sudah membuktikan, diantaranya ada dua Umar sebagai khalifah yang adil dan berhati-hati dalam menggunakan kekuasaannya.

 

Maka sudah jelas, jika menginginkan pembangunan desa berhasil, visi-misinya tuntas bukan dengan perpanjang masa jabatan kades, tetapi mengganti sistem politik dengan sistem Islam, karena sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang takut kepada Allah, memandang jabatan hanya sebatas amanah yang diemban dengan penuh kehati-hatian, karena kelak akan dipertanggungjawabkan atas apa yang diembannya.[] 

Oleh: Musofah

Pengajar/Guru di Depok

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab