Tinta Media: Perpanjangan Masa Jabatan Kades
Tampilkan postingan dengan label Perpanjangan Masa Jabatan Kades. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perpanjangan Masa Jabatan Kades. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Juli 2023

IJM: Perpanjangan Masa Jabatan Kades Berpotensi Suburkan Oligarki dan Politisasi di Desa

Tinta Media - Terkait keputusan perpanjangan masa jabatan kepala desa yabg didukung mayoritas fraksi DPR, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai bisa berpotensi menyuburkan oligarki di desa dan politisisasi desa.

"Selain dianggap bernuansa politis dan berpotensi terjadi tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa. Sebaliknya akomodasi atas usulan tersebut berpotensi akan menyuburkan oligarki di desa dan politisisasi desa," ujarnya dalam acara Aspirasi dengan tema Sah 9 Tahun! Kades Jadi Tirani? dikanal youtube Justice Monitor Senin (26/06/23).

Dia menilai desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah. Mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif, partisipasi bermakna mining full participation masyarakat hingga korupsi. "Akibatnya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal seharusnya ini menjadi yang menjadi fokuslah untuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif," ungkapnya.

"Termasuk di dalamnya mereduksi potensi korupsi bukan malah kemudian membuat kebijakan yang justru berpotensi memperburuk masalah di desa," lanjutnya.

Dia menambahkan belum lagi munculnya fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa. "Akibatnya potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama setahun semakin terbuka lebar," tambahnya
 
Dia membeberkan salah satu masalah mendasar di desa hari ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan pembangunan

Dia juga membeberkan selain transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktek korupsi.

Dia mengungkapkan bahwa alasan bahwa 6 tahun dinilai belum cukup membangun desa. "Karena adanya menimbulkan ketegangan dan polarisasi masyarakat pasca Pilkades bukan alasan tepat untuk dijadikan sebagai justifikasi memperpanjang masa jabatan kepala desa," katanya.

Dia mengatakan solusi atas persoalan ini adalah pembenahan pada sistem di sektor Pilkades yang diketahui transaksional atau rentan jual beli suara serta konflik. 

"Walhasil tidak aneh kalau banyak yang menolak agar kebijakan janggal perpanjangan masa jabatan kepala desa, harusnya sistemnya yang diganti dulu baru kita mencari pemimpin-pemimpin yang berkualitas," pungkasnya. [] Setiawan Dwi 

Rabu, 01 Februari 2023

Pamong Institute: Ada Motif Kekuasaan di Balik Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kades

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengungkapkan bahwa motif di balik usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun adalah ingin memperpanjang dan memperbesar kekuasaan atau kewenangannya dalam berkuasa.


“Adanya usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) motifnya ya satu, yaitu ingin memperpanjang dan memperbesar kekuasaan atau kewenangannya dalam berkuasa,” tuturnya dalam Kabar Petang : Kades 9 Tahun Mengarah ke Jokowi 3 Periode? Di kanal Youtube Khilafah News, Selasa (24/1/2023).


Motif tersebut, menurutnya tanpa melihat atau tidak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat. Hal ini dinilainya cacat moril kecuali jika Kades-nya berprestasi, baik, dan dikehendaki rakyat. Namun dalam konteks UU yang mengatur aparatur  sudah disebutkan masa jabatan Kades hanya 6 tahun dan bisa diperpanjang 3 kali. “Jika berubah menjadi 9 tahun itu kan lebih panjang masa jabatannya. Jadi saya pikir motifnya hanya motif kekuasaan, bukan motif kesejahteraan,” ucapnya.


Wahyudi tidak menyepakati yang menyebutkan salah satu alasan perpanjangan masa jabatan 9 tahun ini karena ada harapan akan membangun desa menjadi lebih maksimal. Jika hasil Pilkades-nya adalah orang yang berkualitas dan sangat dikenal rakyat, lanjutnya, mungkin saja pembangunan bisa lancar dan baik. “Fakta yang terjadi kebanyakan hasil Pilkades melalui Demokrasi itu lebih banyak orang-orang populer, kualitasnya buruk, dan  tidak amanah. Kalau diperpanjang masa berkuasanya, maka penderitaan rakyat akan semakin panjang,” ujarnya.


Wahyudi menyampaikan kondisi ini bisa bermata dua, satu sisi jika Kades-nya amanah, profesional, dan kafaah dalam memikirkan rakyatnya, mungkin saja rakyatnya jadi makin baik. Sisi lainnya, saat ini lebih banyak kualitas kepemimpinannya buruk, tidak mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan lebih banyak ingin mempertahankan kekuasaan serta menyalahgunakan kewenangan termasuk menyalahgunakan anggaran. 


“Yang ada di sini bukan kesejahteraan dan pelayanan kepada rakyat tapi kesejahteraan keluarga dan kroninya maupun kesejahteraan bagi teman-temannya. Jadi kalau dibilang akan menjamin pembangunan jadi lebih baik, makin lebih sejahtera dan makmur, itu belum tentu terjadi. Yang sudah terjadi bahwa praktik korupsi, penyalahgunaan kewenangan, politik dinasti, dan politik pertemanan makin lama dan panjang,” urainya.

 


Adanya dugaan perpanjangan masa jabatan Kades adalah politik pengondisian 3 periode masa jabatan Presiden, dinilai Wahyudi agak jumping atau kejauhan walau jika dibaca ada indikasi ke arah sana. “Jika kita baca ada indikasi motif yang sama yaitu ingin memperpanjang kekuasaan. Jika masa jabatan Kades diperpanjang, maka Pemerintah Pusat kelak kalau ingin memperpanjangnya juga berarti jangan dipermasalahkan. Mungkin saja akan ada beban moril bagi para Kades untuk mendukung upaya perpanjangan sebagai imbal baliknya,” bebernya.  


Menurut Wahyudi, filosofi masa jabatan Kades 6 tahun agar cepat dievaluasi rakyat. Jika kepemimpinannya bagus bisa diperpanjang hingga 3 kali, namun jika buruk maka diganti pemimpin lain di desa tersebut.  “Jika masa jabatannya 9 tahun maka akan semakin kuat cengkeraman dan pengaruhnya dan bahkan bisa memunculkan karakter otoritarian. Karakter yang lebih cenderung ingin menjadikan dirinya besar dan tidak mau tunduk dengan aturan tuhan seperti Firaun. Rakyat pun semakin tidak mempunyai kemampuan untuk mengoreksi dan mengevaluasinya kecuali menunggu 9 tahun,” bebernya.


Menurutnya, kalaupun pemilihan tidak secara langsung –mungkin- biayanya jauh lebih murah, tentu orang tidak akan berbondong-bondong untuk berebut jadi kepala desa. Atau kalau tidak banyak peluang untuk melakukan yang abuse of power maka akan menjadi karakter yang baik.


“Oleh karenanya masa jabatan 9 tahun dengan sistem politik demokrasi yang begitu mahal justru akan berbahaya dan bisa menimbulkan watak-watak otoriter realisme, diktator atau menuju kezaliman. Bahasa kerennya disebut dengan watak Firaun. Sistem yang begitu harus diganti dan diubah dulu. Baru kita bisa mencari orang yang berkualitas dengan karakter yang baik,” pungkasnya.[] Erlina

Pamong Institute: Ada Motif Kekuasaan di Balik Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kades

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengungkapkan bahwa motif di balik usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun adalah ingin memperpanjang dan memperbesar kekuasaan atau kewenangannya dalam berkuasa.

“Adanya usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) motifnya ya satu, yaitu ingin memperpanjang dan memperbesar kekuasaan atau kewenangannya dalam berkuasa,” tuturnya dalam Kabar Petang : Kades 9 Tahun Mengarah ke Jokowi 3 Periode? Di kanal Youtube Khilafah News, Selasa (24/1/2023).

Motif tersebut, menurutnya tanpa melihat atau tidak ada urusannya dengan kesejahteraan rakyat. Hal ini dinilainya cacat moril kecuali jika Kades-nya berprestasi, baik, dan dikehendaki rakyat. Namun dalam konteks UU yang mengatur aparatur  sudah disebutkan masa jabatan Kades hanya 6 tahun dan bisa diperpanjang 3 kali. “Jika berubah menjadi 9 tahun itu kan lebih panjang masa jabatannya. Jadi saya pikir motifnya hanya motif kekuasaan, bukan motif kesejahteraan,” ucapnya.

Wahyudi tidak menyepakati yang menyebutkan salah satu alasan perpanjangan masa jabatan 9 tahun ini karena ada harapan akan membangun desa menjadi lebih maksimal. Jika hasil Pilkades-nya adalah orang yang berkualitas dan sangat dikenal rakyat, lanjutnya, mungkin saja pembangunan bisa lancar dan baik. “Fakta yang terjadi kebanyakan hasil Pilkades melalui Demokrasi itu lebih banyak orang-orang populer, kualitasnya buruk, dan  tidak amanah. Kalau diperpanjang masa berkuasanya, maka penderitaan rakyat akan semakin panjang,” ujarnya.

Wahyudi menyampaikan kondisi ini bisa bermata dua, satu sisi jika Kades-nya amanah, profesional, dan kafaah dalam memikirkan rakyatnya, mungkin saja rakyatnya jadi makin baik. Sisi lainnya, saat ini lebih banyak kualitas kepemimpinannya buruk, tidak mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan lebih banyak ingin mempertahankan kekuasaan serta menyalahgunakan kewenangan termasuk menyalahgunakan anggaran. 

“Yang ada di sini bukan kesejahteraan dan pelayanan kepada rakyat tapi kesejahteraan keluarga dan kroninya maupun kesejahteraan bagi teman-temannya. Jadi kalau dibilang akan menjamin pembangunan jadi lebih baik, makin lebih sejahtera dan makmur, itu belum tentu terjadi. Yang sudah terjadi bahwa praktik korupsi, penyalahgunaan kewenangan, politik dinasti, dan politik pertemanan makin lama dan panjang,” urainya.
 

Adanya dugaan perpanjangan masa jabatan Kades adalah politik pengondisian 3 periode masa jabatan Presiden, dinilai Wahyudi agak jumping atau kejauhan walau jika dibaca ada indikasi ke arah sana. “Jika kita baca ada indikasi motif yang sama yaitu ingin memperpanjang kekuasaan. Jika masa jabatan Kades diperpanjang, maka Pemerintah Pusat kelak kalau ingin memperpanjangnya juga berarti jangan dipermasalahkan. Mungkin saja akan ada beban moril bagi para Kades untuk mendukung upaya perpanjangan sebagai imbal baliknya,” bebernya.  

Menurut Wahyudi, filosofi masa jabatan Kades 6 tahun agar cepat dievaluasi rakyat. Jika kepemimpinannya bagus bisa diperpanjang hingga 3 kali, namun jika buruk maka diganti pemimpin lain di desa tersebut.  “Jika masa jabatannya 9 tahun maka akan semakin kuat cengkeraman dan pengaruhnya dan bahkan bisa memunculkan karakter otoritarian. Karakter yang lebih cenderung ingin menjadikan dirinya besar dan tidak mau tunduk dengan aturan tuhan seperti Firaun. Rakyat pun semakin tidak mempunyai kemampuan untuk mengoreksi dan mengevaluasinya kecuali menunggu 9 tahun,” bebernya.

Menurutnya, kalaupun pemilihan tidak secara langsung –mungkin- biayanya jauh lebih murah, tentu orang tidak akan berbondong-bondong untuk berebut jadi kepala desa. Atau kalau tidak banyak peluang untuk melakukan yang abuse of power maka akan menjadi karakter yang baik.

“Oleh karenanya masa jabatan 9 tahun dengan sistem politik demokrasi yang begitu mahal justru akan berbahaya dan bisa menimbulkan watak-watak otoriter realisme, diktator atau menuju kezaliman. Bahasa kerennya disebut dengan watak Firaun. Sistem yang begitu harus diganti dan diubah dulu. Baru kita bisa mencari orang yang berkualitas dengan karakter yang baik,” pungkasnya.[] Erlina
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab