Tinta Media: Perlindungan
Tampilkan postingan dengan label Perlindungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perlindungan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2024

Perlindungan Hakiki bagi Guru dalam Perspektif Islam


Tinta Media - Maraknya kasus guru yang dipidana hanya karena memberi pendidikan kepada siswa kini sedang hangat diperbincangkan oleh publik. Salah satunya adalah kasus guru honorer Supriyani yang dilaporkan seorang polisi karena menghukum anak didiknya di Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa masih banyak guru yang mengalami diskriminasi dan penghakiman yang tidak adil dalam menjalankan tugas mendidik mereka.

Sebelumnya, beberapa kasus serupa telah terjadi, seperti kasus Maya guru di SMPN 1 Bantaeng, Mubazir di SMAN 2 Sinjai Selatan, Darmawati di SMAN 3 Parepare, dan bahkan kasus guru Zaharman yang mengalami kebutaan permanen, karena kekerasan yang dilakukan oleh orang tua siswa setelah guru tersebut menegur siswa yang merokok di lingkungan sekolah.

Dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, guru menghadapi tantangan yang kompleks dalam membimbing generasi. Selain kurangnya kesejahteraan yang diberikan negara kepada para guru, ada tambahan beban administratif serta sistem pendidikan yang memberi tekanan pada prestasi dan angka. Ini menjadikan proses mendidik semakin rumit, terlebih ketika upaya mendidik mereka diinterpretasikan negatif oleh pihak-pihak lain, membuat mereka rentan terhadap tuntutan hukum, terutama setelah undang-undang perlindungan anak diadopsi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan kriminalisasi terhadap guru, selain interpretasi yang salah terhadap tindakan pendidikan sebagai kekerasan, perbedaan dalam pemahaman tujuan pendidikan antara berbagai pihak seperti orang tua, guru, masyarakat bahkan negara memberikan kontribusi besar dalam masalah ini. Misalnya, orientasi pendidikan saat ini lebih tertuju pada angka-angka prestasi atau kesiapan kerja karena adanya tekanan dari masyarakat dan dunia kerja. 

Banyak orang percaya bahwa tingkat kesuksesan seseorang dapat diukur dari prestasi akademik atau kesiapan kerja mereka. Oleh karena itu, pendidikan saat ini cenderung fokus pada hal-hal tersebut untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi persaingan di dunia kerja yang semakin ketat. Namun, pemerintah melupakan pentingnya penekanan pada moral dan agama untuk pengembangan karakter, dan kecerdasan emosional dalam pendidikan.

Bermacam-macam masalah ini muncul di dalam era kapitalisme sekuler sebagai akibat dari pemisahan individu dan negara dari agama, sehingga negara sekuler sering kali memiliki undang-undang yang kurang kuat, karena semata-mata didasarkan pada pemikiran manusia yang terbatas. Contohnya, UU Perlindungan Anak dan UU Guru menjadi terlihat bertentangan.

Sistem kapitalisme juga telah mendorong materialisme yang berdampak pada pendidikan dan tujuannya. Dalam sistem ini, negara hanya fokus pada perubahan kurikulum tanpa memberikan dampak positif yang signifikan pada hasil pendidikan karena tujuannya hanyalah menghasilkan generasi yang siap bekerja. 

Orang tua juga berharap perubahan ekonomi keluarga melalui pendidikan. Sebagai akibatnya, guru semakin terpinggirkan dalam masyarakat yang lebih memprioritaskan hasil akhir dan keuntungan materi, sementara kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi guru semakin menurun tanpa diperhatikan.

Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, maka wajar jika guru enggan menegakkan kedisiplinan terhadap murid, yang sejatinya juga akan berdampak negatif pada hasil pembelajaran. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana guru dapat tetap fokus untuk melaksanakan tugas mulia mereka di tengah kriminalisasi profesi yang semakin meningkat?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami perbedaan antara tugas mengajar dan mendidik. Seorang guru bertanggung jawab tidak hanya untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga membimbing siswa dalam memahami nilai-nilai kehidupan. Pendidikan bukan hanya tentang memberikan informasi, tetapi juga membentuk karakter siswa secara etis dan moral. Sebab, pendidikan tidak hanya berfokus pada peningkatan kecerdasan kognitif, yang mana informasi dapat dengan mudah diakses melalui teknologi dan internet saat ini. Namun, nilai-nilai yang disampaikan oleh guru dalam proses pendidikan tidak dapat tergantikan oleh teknologi. Oleh karenanya, pendidikan mencakup aspek moral dan karakter yang tidak bisa digantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan.

Di dalam paradigma Islam, profesi guru sangatlah mulia, karena ilmu adalah sumber kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah mementingkan pendidikan dan pengajaran, serta menghargai guru sebagai penyebar ilmu dan nilai-nilai agama. Oleh karenanya, Islam mendorong umatnya untuk terus belajar dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Kehadiran guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembentuk karakter generasi mendatang.

Oleh karenanya, penghormatan terhadap guru ditekankan dalam Islam, misalnya, para orang tua siswa dianjurkan untuk menjaga adab terhadap guru. Salah satu adab yang perlu diterapkan oleh murid dan orang tua terhadap guru adalah tidak mencari-cari kesalahan guru tersebut. Bukankah Allah Swt. dalam ayatnya menegaskan bahwa tidak baik mencari-cari keburukan orang lain dan menggunjing? Sehingga, para guru merasa aman dan terlindungi dalam proses belajar mengajar dalam sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam.

Demikian sebaliknya, motivasi utama guru dalam mengajar adalah untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Bukankah Rasulullah saw. mengatakan bahwa amal seseorang akan terus berlanjut setelah kematiannya melalui tiga hal, yang salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. 

Untuk menjadi guru berkualitas dalam Islam, maka fokus utama harus diberikan melalui pengajaran terbaik kepada siswa karena Allah.


Sementara, selain bertanggung jawab dalam menyediakan pendidikan yang merata dan berkualitas untuk seluruh rakyatnya, negara juga sebagai penanggung urusan umat yang wajib menjaga implementasi tujuan pendidikan Islam dengan menetapkan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam. Ini harus dilaksanakan agar mata pelajaran dan pendekatan pengajaran selalu berlandaskan pada nilai-nilai Islam. 

Negara juga harus memuliakan profesi guru dengan memberikan kesejahteraan melalui sistem penggajian yang adil. Berbagai kebijakan tersebut didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunah, sehingga memiliki kekuatan hukum yang valid untuk menyelesaikan masalah.

Dengan berkolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan negara, niscaya akan tercapai tujuan pendidikan Islam. Maka, perlindungan hak guru dan murid juga terjamin oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, sehingga dapat menciptakan generasi yang berkarakter dan membangun masa depan yang gemilang.
Wallahu'alam.



Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Kriminalisasi Guru, Bukti Perlindungan Negara Lemah



Tinta Media - Menjelang peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di akhir bulan November tahun ini, para guru di Indonesia banyak yang mendapatkan kado berupa kasus kriminalisasi. Padahal, sebagai salah satu profesi yang sangat mulia, menjadi seorang guru adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Namun, pahlawan tanpa tanda jasa ini pun kini banyak yang tersandung kasus kriminal akibat pelaporan oleh orang tua dari siswanya masing-masing.

Maraknya Kriminalisasi Guru

Tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya akhir-akhir ini semakin banyak terjadi. Sementara di lain sisi, guru juga dihadapkan pada ketidakpastian nasib dan ketidakjelasan kesejahteraannya. Sehingga, ketika guru bertindak disiplin kepada siswa atau mengajarkan kedisiplinan yang masih dalam batas wajar, mereka malah dituduh melakukan tindakan kriminal. Padahal, tugas dan tanggung jawab utama seorang guru adalah mendidik siswa.

Sebagaimana dialami guru honorer Supriyani yang dituduh memukul paha anak polisi di sebuah SD di Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Bahkan, beliau sempat ditahan di kantor kepolisian. (www.bbc.com, 01/11/2024)

Begitu juga yang terjadi di SMPN 1 Bantaeng. Di sekolah tersebut, ada seorang guru yang juga dijebloskan ke penjara akibat menertibkan murid yang baku siram air bekas pel dengan temannya. 

Ada juga di SMAN 2 Sinjai Selatan, guru honorer Bapak Mubazir yang dipenjara akibat dilaporkan oleh wali muridnya karena memotong paksa rambut murid yang sudah gondrong. Padahal, sebelumnya juga sudah diberikan peringatan berkali-kali. 

Guru di SMAN 3 Parepare juga harus mendekam di penjara dan menghadapi panjangnya proses persidangan karena dituduh memukul siswa yang tidak mengikuti salat Zuhur berjamaah. (www.kompas.com, 30/10/2024). 

Masih banyak kasus serupa yang tidak terpublikasikan. Semuanya menunjukkan bahwa profesi sebagai guru dipertaruhkan dan semakin tidak bernilai di tengah-tengah masyarakat.

Dilema Guru dalam Mendidik Siswa

Di dalam sistem yang ada saat ini, seorang guru cenderung bersifat dilematis dalam menghadapi dan mendidik siswa. Pasalnya, berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak. Keadaan semacam ini hanya terjadi dalam kurun waktu terakhir ini saja, sementara zaman dulu tidak pernah ada hal semacam itu. Hal ini bisa terjadi karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak yang terus digaungkan oleh pemerintah, sehingga menjadikan guru rentan untuk dikriminalisasi.

Sementara di sisi yang lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, dan masyarakat serta negara. Masing-masing pihak memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap pendidikan anak. Akibatnya, muncul gesekan antara berbagai pihak yang terlibat, termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. Pada akhirnya, yang terjadi saat ini, guru mulai ragu dalam menjalankan perannya sebagai pendidik, khususnya dalam menasihati siswa.

Pendidikan dalam Islam

Islam sangat memuliakan dan memberikan perlakuan yang sangat baik terhadap guru. Selain itu, negara juga memberikan jaminan yang baik terhadap profesi guru, dengan cara memberikan sistem penggajian yang terbaik. Oleh negara, guru diharapkan dapat menjalankan amanah dengan baik pula. 

Negara juga berkewajiban untuk memahamkan kepada semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan terkait dengan sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki tujuan yang sangat jelas dan meniscayakan adanya sinergi dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hal itu akan semakin menguatkan tercapainya tujuan pendidikan di dalam Islam. Kondisi tersebut pastinya dapat menjadikan guru semakin optimal dalam menjalankan perannya dengan tenang, karena merasa terlindungi dalam mendidik murid-muridnya. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh: Iin Rohmatin Abidah, S.Pd
Sahabat Tinta Media

Jumat, 15 November 2024

Marak Kriminalisasi Guru, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara



Tinta Media - Dunia pendidikan sedang gempar setelah salah seorang wali murid yang melaporkan seorang guru honorer (Supriyani) ke polisi. Guru SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan tersebut dituduh melakukan penganiayaan terhadap anak didiknya. Namun, Supriyani membantah dengan alasan pada hari itu dia tidak sedang mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi dengan anak tersebut. 

Kejadian pelaporan orang tua murid terhadap guru tidaklah terjadi kali ini saja. Melansir dari viva.co.id (1/11/2024), setidaknya ada beberapa kasus kriminalisasi guru yang pernah terjadi di Indonesia. 

Pertama, pada tahun 2016, Samsudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, dilaporkan karena telah mencubit muridnya akibat tidak mengikuti salat berjamaah di sekolah. Efek dari cubitan tersebut, si murid mengalami memar. Itulah yang membuat orang tuanya tidak terima. Akibatnya, pengadilan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun karena Samsudi dinilai telah melanggar pasal 8 ayat 1 UU Perlindungan Anak. 

Kedua, pada Mei 2016, Nurmayani Salam, guru Biologi SMPN 1 Bantaeng, dilaporkan karena tindakan penganiayaan, yaitu cubitan yang mendarat ke tubuh anak didiknya. Kejadian tersebut berawal saat dua siswanya sedang bermain kejar-kejaran dan baku siram air bekas pel dan Nurmayani terkena siraman itu. Untuk menertibkannya, dua siswa dipanggil ke ruang BK dan dicubit.

Ketiga, pada tahun 2023, Zaharman, Guru SMAN 7 Rejang Lebong, harus bisa menerima dirinya buta pada mata sebelah kanan akibat diketapel orang tua murid karena tidak terima anaknya ditegur dan diberi hukuman setelah kepergok merokok di kantin sekolah.
 
Keempat, pada Februari 2024, Khusnul Khotimah, guru SD Plus Darul Ulum, Jombang, dilaporkan karena kelalaiannya mengawasi para siswa saat jam kosong sehingga ada salah satu murid yang terluka di bagian mata kanannya hingga menyebabkan pendarahan akibat dari lemparan kayu saat bermain dengan temannya di kelas. Posisi Khusnul sedang tidak di kelas sehingga hal tersebut dinilai sebagai sebuah kelalaian. 

Adapun yang menjerat Khusnul adalah Pasal 360 ayat 1 KUHP atau ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat ayat 1 ke 2 KUHP. 

Kelima, kisah Supriyani. Sebenarya, kasus ini sudah dilaporkan sejak April 2024, tetapi baru ada titik terang pada 16 Oktober 2024. 

Dengan maraknya tindakan buruk yang dialami para guru saat melakukan tugas keprofesiannya, maka Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi,  melalui akun Instagram PBPGRI pada 1 November 2024 mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru agar kasus ini tidak terulang kembali. 

UU tersebut tidak hanya melindungi guru, tetapi juga para siswa. Di dalam UU pun diusulkan agar tidak ada lagi kekerasan atau tindak aniaya terhadap guru sebagai tenaga pendidk dan murid sebagai peserta didik. 

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa dalam sistem hari ini, guru mengalami dilema dalam mendidik siswa. Pasalnya, beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi karena ada UU Perlindungan Anak, sehingga guru rentan dikriminalisasi. 

Di sisi lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara karena masing-masing memiliki persepsi terhadap pendidikan anak. Perbedaan persepsi ini disebabkan karena jenjang generasi, pengalaman dan cara pandang masing-masing berbeda. Akibatnya, muncul gesekan atau bahkan menjadi sumber ketegangan dan kesalahpahaman antara berbagai pihak, termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. 

Guru akhirnya ragu dalam menjalankan perannya, khususnya dalam menasihati siswa. Sikap tegas terhadap murid haruslah ada pada sistem didik seorang guru. Dengan sikap tegas tersebut terciptalah kedisiplinan murid. Jika itu tidak ada, maka tidak ada pula nilai-nilai etika atau moral antara guru dan murid. Akibatnya, guru sering disepelekan. 

Pola asuh yang diterapkan orang tua pun juga berpengaruh. Jika dalam keluarga terdapat kultur yang membela dan mempercayai semua yang dikatakan anak tanpa melakukan konfirmasi, maka peran guru pun akan hilang karena dianggap tidak sesuai dengan cara didik orang tua.

Dalam Islam, guru dimuliakan dan diberi perlakukan baik. Selain itu, negara juga menjamin guru dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanah dengan baik pula. Negara yang menggunakan sistem Islam akan memahamkan semua pihak tentang sistem pendidikan Islam. 

Pendidikan Islam memiliki tujuan jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi ini menjadikan guru dapat optimal menjalankan perannya dengan tenang, karena akan terlindungi dalam mendidik siswanya. Ia juga akan mendapatkan kepercayaan dari orang tua murid bahwa gurulah yang akan mengantarkan anaknya menjadi generasi gemilang.
Wallahu a’alam.





Oleh: Dwi R Djohan
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 14 Februari 2024

Perlindungan Sertifikasi Halal Tugas Negara, Bukan Objek Dagang



Tinta Media - Pada era globalisasi saat ini, sertifikasi halal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi umat Islam, tetapi juga telah menjadi standar dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan hingga kepada pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mulai mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan memiliki sertifikat halal.

Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan wajib untuk mengurus sertifikasi tersebut paling lambat 17 Oktober 2024. Aqil menegaskan bahwa semua pedagang, termasuk mereka yang beroperasi dalam skala usaha mikro dan kecil, harus memproses sertifikasi halal untuk produk mereka. Mereka yang terbukti tidak memiliki sertifikat halal akan menghadapi hukuman.

Menurut Aqil, hukuman yang dikenakan bisa beragam, mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, sampai penghentian distribusi produk di pasaran. Penerapan sanksi ini mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 mengenai Pengaturan Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang diwajibkan memiliki sertifikat halal pada akhir tahapan pertama pada bulan Oktober.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan mentah, bahan tambahan pangan, dan bahan bantu untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. 

Kami mendorong para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH, paling lambat 17 Oktober 2024.

Aqil juga menjelaskan dalam pernyataannya bahwa peraturan sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Artinya, produk makanan, baik yang diproduksi oleh usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro seperti pedagang kaki lima, semuanya sama-sama terikat kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan regulasi.(tirto.id, 3/2/2024)

Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalis

Terdapat dua jenis tarif dalam proses sertifikasi halal, yakni tarif pelayanan utama yang mencakup sejumlah aspek seperti sertifikasi halal untuk, barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, pelatihan auditor dan supervisor halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan supervisor halal dan tarif pelayanan penunjang yang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, bahkan kendaraan bermotor. 

Tarif yang berlaku berkisar antara Rp300.000 hingga Rp12.500.000, sedangkan tarif perpanjangan berkisar antara Rp200.000 hingga Rp5.000.000.  Besarnya tarif tergantung pada jenis usaha yang bersangkutan.(liputan6.com, 2/2/2024).

Untuk mendukung usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah memulai program pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS sejak 2 Januari 2024. Para pemilik usaha dapat mendaftar melalui tautan khusus yang disediakan oleh Kemenkop UKM dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan.

Langkah ini, walaupun berniat baik dalam menjamin konsumsi yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi menimbulkan beberapa dilema. Proses pengurusan sertifikat halal yang berbiaya menjadi beban baru bagi pelaku usaha kecil seperti PKL. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak Januari 2023 untuk 1 juta layanan, jumlah tersebut terasa sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PKL yang mencapai sekitar 22 juta di seluruh Indonesia. Selain itu, sertifikat ini memiliki masa berlaku, memaksa pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi ulang secara berkala.

Belum lagi komersialisasi dalam jaminan halal tercermin dari tarif layanan sertifikasi yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk produk barang dan jasa usaha mikro kecil (UMK) sebesar Rp300 ribu, dengan tambahan biaya pemeriksaan produk halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) hingga maksimal Rp350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan mencapai Rp650 ribu.

Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp8 juta, terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp5 juta dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3 juta. Belum lagi jika sertifikat halal kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. Situasi ini menunjukkan bahwa negara sedang menjadikan jaminan halal sebagai objek komersialisasi untuk usaha rakyat.

Perspektif Islam

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: 168)

Di sinilah perlunya peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat untuk hadir. Sertifikasi halal seharusnya menjadi salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat, mengingat bahwa kehalalan merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan komersialisasi, segala sesuatu sering kali dijadikan objek dagang, termasuk jaminan atas kehalalan produk.

Islam memberikan panduan bahwa negara harus bertindak sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam melindungi akidah atau agama. Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan jaminan halal secara gratis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Produk yang halal tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik manusia di dunia, tetapi juga memiliki implikasi spiritual yang berdampak pada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”  (HR. Al-Bukhari)

Untuk mewujudkan perlindungan sertifikasi halal sebagai tugas negara, sistem pemerintahan Khilafah dapat menjadi contoh. Dalam sistem ini, negara akan mengedukasi para pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar pentingnya halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. Pendidikan tentang kehalalan produk tidak hanya akan meningkatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga akan mendorong praktik bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Lebih lanjut, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal untuk seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi beban biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang kaki lima atau pelaku usaha kecil lainnya. Layanan sertifikasi halal oleh pemerintah harus disertai dengan proses birokrasi yang cepat dan mudah agar dapat diakses oleh semua pelaku usaha tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi

Kamis, 22 Desember 2022

ABI: RUU PPRT Tidak Menjamin Adanya Perlindungan

Tinta Media - Terkait dengan percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Sekjen Aliansi Buruh Indonesia (ABI) Imam Ghozali menilai, RUU tersebut tidak menjamin adanya perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). 

“Rancangan Undang-undang itu jelas tidak menjamin adanya perlindungan,” tutur Imam dalam acara Kabar Petang : Cegah ‘Perbudakan’ PRT! Rabu, (21/12/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Imam menjelaskan, meskipun nantinya RUU PPRT tersebut menjadi Undang-undang, tapi permasalahan PRT tidak semata-mata karena adanya penganiayaan dan kedzaliman.

Menurutnya, permasalahan muncul karena adanya faktor ekonomi. Maksudnya, adanya profesi PRT adalah karena ada dorongan ekonomi. 

“Mereka ingin kesejahteraannya meningkat atau yang tadinya pra sejahtera ingin menjadi sekedar sejahtera saja. Sehingga mendorong mereka untuk bekerja,” ungkapnya. 

Berprofesi sebagai PRT, menurut Imam, PRT juga tahu konsekuensinya. Ketika menjadi PRT, job desk-nya memang cuma mengikuti instruksi dari majikan. Akan tetapi, realitanya banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan bisa menimbulkan banyak masalah. Belum lagi hidup bersama majikan dan jauh dari rumah, resiko dan bahaya tidak ada yang menjamin perlindugan. 

“Tapi, mereka terpaksa melakukan itu karena dorongan ekonomi. Jadi, kalau ingin menjamin tidak adanya kedzaliman kepada PRT, ya selesaikan faktor ekonomi,” tegas Imam 

Tak Cukup UU PPRT

Sementara itu, menurut Imam, untuk menyelesaikan masalah ekonomi tidak cukup hanya dengan UU PPRT. Akan tetapi, bagaimana sistem ekonomi ini dikelola dengan baik hingga semua warga negara bisa sejahtera. “Kalau sejahtera, mungkin pembantu rumah tangga tidak terlalu banyak dibutuhkan,” tambahnya.
 
Imam mencontohkan kehidupan di negara-negara maju, termasuk Qatar. Di negara-negara yang maju dan sejahtera, banyak fungsi-fungsi PRT digantikan oleh teknologi dan robot. “Inilah yang tidak disadari oleh penguasa di negeri ini. Bagaimana mereka seharusnya melindungi tidak hanya dari sisi undang-undang atau hukum saja tapi juga dari sisi ekonomi,” tegas Imam.

Pemerintah saat ini, menurut Imam, kurang memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Akhirnya, pendidikan dan skill PRT rendah karena tidak mendapat kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. 

“Karena faktor orientasi terhadap pembangungan sumber daya manusia ini relatif rendah. Yang dipikir cuma proyek-proyek, bangun-bangun infrastruktur,” ungkapnya. 

Solusi Tuntas

Untuk mendapatkan solusi yang tuntas, menurut Imam, perlu dicari penyebab utama atau akar permasalahannya. Menurutnya, akar permasalahan dari penganiayaan dan eksploitasi terhadap PRT bukan sekedar dari sisi individu. “Kita lihat terkait eksploitasi terhadap PRT, karena kita berada di negeri kapitalis,” kata Imam.
 
Ketika Islam ribuan tahun lalu muncul di dunia Arab, di masyarakat saat itu juga ada budak. Islam pun mengakui adanya perbudakan. Akan tetapi, menurut Imam, budak dalam sistem Islam dengan sistem kapitalis jauh berbeda.

“Nasib budak-budak di dalam sistem Islam, sangat berbeda jauh dengan budak-budak di era kapitalis, di mana eksploitasi perempuan ditingkatkan sementara moralitas rendah sekali,” bebernya.

Jadi, menurut Imam, jika pemerintah menyelesaikan masalah PRT dengan sistem kapitalis, maka tidak akan tuntas. Kapitalis sendiri menyelesaikan masalah berdasarkan akal semata. Menurutnya, masalah manusia hanya bisa diselesaikan secara tuntas oleh pembuat manusia yaitu Allah Swt.
 
“Maka, saya tawarkan kepada para pemimpin, jangan mencari alternatif yang tidak jelas. Mari mencari alternatif baru. Atau alternatif lama tapi sekarang tidak dipakai lagi. Apa itu? Yakni alternatif Islam. Alternatif yang dulu pernah dipakai dan berhasil, tapi sekarang ditinggalkan,” pungkas Imam.[] Ikhty

Jumat, 23 September 2022

Perlindungan Anak Masih Sebatas Cita-Cita

Tinta Media - Sudah cukup banyak regulasi  yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Meski demikian, anak Indonesia belum aman dari tindak kekerasan. Tren kekerasan terhadap anak justru semakin meningkat.
 
Kekerasan seksual misalnya, miris! Mungkin itu kata paling tepat untuk mengomentari kasus kekerasan seksual pada anak. Bukan hanya korban yang masih anak-anak, pelakunya pun masih anak-anak. Lebih miris lagi, pelakunya justru orang-orang terdekat dengan korban.
 
Data Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkap 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah pernah melakukan kegiatan seksual.
 
Bukan hanya kekerasan seksual yang menimpa anak, tetapi juga kekerasan fisik dan psikis,  seperti menjadi korban traficking, korban prostitusi, penyekapan, pembunuhan, dan lain-lain.
 
Kota layak anak yang dirintis sejak 2006 dengan tujuan akhir 2030 Indonesia mencapai kondisi 'Indonesia Layak Anak'  nampaknya masih sebatas cita-cita. Hingga 2022, anak masih menjadi korban kejahatan luar biasa di kota-kota yang bahkan dianggap kota layak anak.
 
Peraturan Presiden 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/5/2022 sepertinya juga sekadar harapan palsu.
 
Kegagalan regulasi yang ada menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan penerapan sekularisme dalam kehidupan yang juga sebagai dasar dalam pembuatan regulasi.
 
Kehidupan sekuler yang berorientasi pada materi dan pemenuhan hawa nafsu telah membutakan mata dan hati sehingga hukuman pidana, denda, bahkan kebiri tidak menumbuhkan rasa takut. Pembuatan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan banyak arti.
 
Hanya dalam Naungan Islam Anak Terjamin
 
Anak akan mendapat perlindungan hakiki hanya jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Negara diwajibkan  menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk anak sehingga anak hidup aman, serta tumbuh dan berkembang secara sempurna.
 
Anak yang belum baligh berada dalam pengasuhan orang tuanya. Islam mewajibkan kepada orang tua untuk memberikan pengasuhan terbaik sesuai tuntunan syariat, juga pengasuhan penuh kasih sayang untuk menjaga fisik dan mental anak.
 
Rasulullah saw. memberikan arahan bagi orang tua melalui sabdanya, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
 
Memukul anak memang dibolehkan dalam Islam untuk membangun kesadaran anak-anak akan kewajiban salat. Meski demikian, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik menuju perbaikan, bukan pukulan yang menimbulkan luka, apalagi mencelakai anak. Pukulan juga tidak boleh di wajah atau tempat yang membahayakan.
 
Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara berkewajiban memahamkan nilai-nilai, norma, moral, budaya, pemikiran, dan sistem Islam melalui beragam institusi, saluran dan sarana, semisal jalur pendidikan formal, non-formal, pengajian dan lain-lain.
 
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada hari akhir sehingga setiap individu sadar akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dengan keimanan ini,  rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalangi dirinya untuk berbuat kriminal, terhindar dari gaya hidup hedonis, akan bisa menyaring pemikiran yang merusak, serta merasa selalu diawasi oleh Allah Swt.
 
Sistem sangsi Islam yang diterapkan berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Keduanya menjadi benteng yang akan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, termasuk kejahatan terhadap anak.
 
Jadi, penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai Khilafah adalah jaminan perlindungan anak yang sebenarnya dalam kehidupan.[]

Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media                                                          
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab