Tinta Media: Perlindungan
Tampilkan postingan dengan label Perlindungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perlindungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Februari 2024

Perlindungan Sertifikasi Halal Tugas Negara, Bukan Objek Dagang



Tinta Media - Pada era globalisasi saat ini, sertifikasi halal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi umat Islam, tetapi juga telah menjadi standar dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan hingga kepada pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mulai mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan memiliki sertifikat halal.

Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan wajib untuk mengurus sertifikasi tersebut paling lambat 17 Oktober 2024. Aqil menegaskan bahwa semua pedagang, termasuk mereka yang beroperasi dalam skala usaha mikro dan kecil, harus memproses sertifikasi halal untuk produk mereka. Mereka yang terbukti tidak memiliki sertifikat halal akan menghadapi hukuman.

Menurut Aqil, hukuman yang dikenakan bisa beragam, mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, sampai penghentian distribusi produk di pasaran. Penerapan sanksi ini mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 mengenai Pengaturan Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang diwajibkan memiliki sertifikat halal pada akhir tahapan pertama pada bulan Oktober.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan mentah, bahan tambahan pangan, dan bahan bantu untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. 

Kami mendorong para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH, paling lambat 17 Oktober 2024.

Aqil juga menjelaskan dalam pernyataannya bahwa peraturan sertifikasi halal berlaku untuk semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima. Artinya, produk makanan, baik yang diproduksi oleh usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro seperti pedagang kaki lima, semuanya sama-sama terikat kewajiban sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan regulasi.(tirto.id, 3/2/2024)

Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalis

Terdapat dua jenis tarif dalam proses sertifikasi halal, yakni tarif pelayanan utama yang mencakup sejumlah aspek seperti sertifikasi halal untuk, barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, pelatihan auditor dan supervisor halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan supervisor halal dan tarif pelayanan penunjang yang melibatkan biaya terkait dengan penggunaan lahan, ruangan, gedung, bangunan, peralatan, mesin, bahkan kendaraan bermotor. 

Tarif yang berlaku berkisar antara Rp300.000 hingga Rp12.500.000, sedangkan tarif perpanjangan berkisar antara Rp200.000 hingga Rp5.000.000.  Besarnya tarif tergantung pada jenis usaha yang bersangkutan.(liputan6.com, 2/2/2024).

Untuk mendukung usaha mikro dan kecil (UMKM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) telah memulai program pendaftaran sertifikasi halal secara GRATIS sejak 2 Januari 2024. Para pemilik usaha dapat mendaftar melalui tautan khusus yang disediakan oleh Kemenkop UKM dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan.

Langkah ini, walaupun berniat baik dalam menjamin konsumsi yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi menimbulkan beberapa dilema. Proses pengurusan sertifikat halal yang berbiaya menjadi beban baru bagi pelaku usaha kecil seperti PKL. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan layanan sertifikasi halal gratis sejak Januari 2023 untuk 1 juta layanan, jumlah tersebut terasa sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PKL yang mencapai sekitar 22 juta di seluruh Indonesia. Selain itu, sertifikat ini memiliki masa berlaku, memaksa pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi ulang secara berkala.

Belum lagi komersialisasi dalam jaminan halal tercermin dari tarif layanan sertifikasi yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Sebagai contoh, biaya permohonan sertifikat halal untuk produk barang dan jasa usaha mikro kecil (UMK) sebesar Rp300 ribu, dengan tambahan biaya pemeriksaan produk halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) hingga maksimal Rp350 ribu. Dengan demikian, total biaya yang diperlukan mencapai Rp650 ribu.

Sementara untuk usaha menengah yang memproduksi makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya mencapai Rp8 juta, terdiri dari biaya permohonan sertifikat sebesar Rp5 juta dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3 juta. Belum lagi jika sertifikat halal kedaluwarsa, pembaruan atau perpanjangan masa berlaku sertifikat akan menambah biaya lagi. Situasi ini menunjukkan bahwa negara sedang menjadikan jaminan halal sebagai objek komersialisasi untuk usaha rakyat.

Perspektif Islam

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2: 168)

Di sinilah perlunya peran negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat untuk hadir. Sertifikasi halal seharusnya menjadi salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat, mengingat bahwa kehalalan merupakan kewajiban agama yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan komersialisasi, segala sesuatu sering kali dijadikan objek dagang, termasuk jaminan atas kehalalan produk.

Islam memberikan panduan bahwa negara harus bertindak sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam melindungi akidah atau agama. Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan jaminan halal secara gratis dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Produk yang halal tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik manusia di dunia, tetapi juga memiliki implikasi spiritual yang berdampak pada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam atau Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”  (HR. Al-Bukhari)

Untuk mewujudkan perlindungan sertifikasi halal sebagai tugas negara, sistem pemerintahan Khilafah dapat menjadi contoh. Dalam sistem ini, negara akan mengedukasi para pedagang dan setiap individu rakyat agar sadar pentingnya halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. Pendidikan tentang kehalalan produk tidak hanya akan meningkatkan pemahaman masyarakat, tetapi juga akan mendorong praktik bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

Lebih lanjut, Khilafah akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal untuk seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi beban biaya yang harus ditanggung oleh para pedagang kaki lima atau pelaku usaha kecil lainnya. Layanan sertifikasi halal oleh pemerintah harus disertai dengan proses birokrasi yang cepat dan mudah agar dapat diakses oleh semua pelaku usaha tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi

Kamis, 22 Desember 2022

ABI: RUU PPRT Tidak Menjamin Adanya Perlindungan

Tinta Media - Terkait dengan percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Sekjen Aliansi Buruh Indonesia (ABI) Imam Ghozali menilai, RUU tersebut tidak menjamin adanya perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). 

“Rancangan Undang-undang itu jelas tidak menjamin adanya perlindungan,” tutur Imam dalam acara Kabar Petang : Cegah ‘Perbudakan’ PRT! Rabu, (21/12/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Imam menjelaskan, meskipun nantinya RUU PPRT tersebut menjadi Undang-undang, tapi permasalahan PRT tidak semata-mata karena adanya penganiayaan dan kedzaliman.

Menurutnya, permasalahan muncul karena adanya faktor ekonomi. Maksudnya, adanya profesi PRT adalah karena ada dorongan ekonomi. 

“Mereka ingin kesejahteraannya meningkat atau yang tadinya pra sejahtera ingin menjadi sekedar sejahtera saja. Sehingga mendorong mereka untuk bekerja,” ungkapnya. 

Berprofesi sebagai PRT, menurut Imam, PRT juga tahu konsekuensinya. Ketika menjadi PRT, job desk-nya memang cuma mengikuti instruksi dari majikan. Akan tetapi, realitanya banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan bisa menimbulkan banyak masalah. Belum lagi hidup bersama majikan dan jauh dari rumah, resiko dan bahaya tidak ada yang menjamin perlindugan. 

“Tapi, mereka terpaksa melakukan itu karena dorongan ekonomi. Jadi, kalau ingin menjamin tidak adanya kedzaliman kepada PRT, ya selesaikan faktor ekonomi,” tegas Imam 

Tak Cukup UU PPRT

Sementara itu, menurut Imam, untuk menyelesaikan masalah ekonomi tidak cukup hanya dengan UU PPRT. Akan tetapi, bagaimana sistem ekonomi ini dikelola dengan baik hingga semua warga negara bisa sejahtera. “Kalau sejahtera, mungkin pembantu rumah tangga tidak terlalu banyak dibutuhkan,” tambahnya.
 
Imam mencontohkan kehidupan di negara-negara maju, termasuk Qatar. Di negara-negara yang maju dan sejahtera, banyak fungsi-fungsi PRT digantikan oleh teknologi dan robot. “Inilah yang tidak disadari oleh penguasa di negeri ini. Bagaimana mereka seharusnya melindungi tidak hanya dari sisi undang-undang atau hukum saja tapi juga dari sisi ekonomi,” tegas Imam.

Pemerintah saat ini, menurut Imam, kurang memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Akhirnya, pendidikan dan skill PRT rendah karena tidak mendapat kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. 

“Karena faktor orientasi terhadap pembangungan sumber daya manusia ini relatif rendah. Yang dipikir cuma proyek-proyek, bangun-bangun infrastruktur,” ungkapnya. 

Solusi Tuntas

Untuk mendapatkan solusi yang tuntas, menurut Imam, perlu dicari penyebab utama atau akar permasalahannya. Menurutnya, akar permasalahan dari penganiayaan dan eksploitasi terhadap PRT bukan sekedar dari sisi individu. “Kita lihat terkait eksploitasi terhadap PRT, karena kita berada di negeri kapitalis,” kata Imam.
 
Ketika Islam ribuan tahun lalu muncul di dunia Arab, di masyarakat saat itu juga ada budak. Islam pun mengakui adanya perbudakan. Akan tetapi, menurut Imam, budak dalam sistem Islam dengan sistem kapitalis jauh berbeda.

“Nasib budak-budak di dalam sistem Islam, sangat berbeda jauh dengan budak-budak di era kapitalis, di mana eksploitasi perempuan ditingkatkan sementara moralitas rendah sekali,” bebernya.

Jadi, menurut Imam, jika pemerintah menyelesaikan masalah PRT dengan sistem kapitalis, maka tidak akan tuntas. Kapitalis sendiri menyelesaikan masalah berdasarkan akal semata. Menurutnya, masalah manusia hanya bisa diselesaikan secara tuntas oleh pembuat manusia yaitu Allah Swt.
 
“Maka, saya tawarkan kepada para pemimpin, jangan mencari alternatif yang tidak jelas. Mari mencari alternatif baru. Atau alternatif lama tapi sekarang tidak dipakai lagi. Apa itu? Yakni alternatif Islam. Alternatif yang dulu pernah dipakai dan berhasil, tapi sekarang ditinggalkan,” pungkas Imam.[] Ikhty

Jumat, 23 September 2022

Perlindungan Anak Masih Sebatas Cita-Cita

Tinta Media - Sudah cukup banyak regulasi  yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Meski demikian, anak Indonesia belum aman dari tindak kekerasan. Tren kekerasan terhadap anak justru semakin meningkat.
 
Kekerasan seksual misalnya, miris! Mungkin itu kata paling tepat untuk mengomentari kasus kekerasan seksual pada anak. Bukan hanya korban yang masih anak-anak, pelakunya pun masih anak-anak. Lebih miris lagi, pelakunya justru orang-orang terdekat dengan korban.
 
Data Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkap 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah pernah melakukan kegiatan seksual.
 
Bukan hanya kekerasan seksual yang menimpa anak, tetapi juga kekerasan fisik dan psikis,  seperti menjadi korban traficking, korban prostitusi, penyekapan, pembunuhan, dan lain-lain.
 
Kota layak anak yang dirintis sejak 2006 dengan tujuan akhir 2030 Indonesia mencapai kondisi 'Indonesia Layak Anak'  nampaknya masih sebatas cita-cita. Hingga 2022, anak masih menjadi korban kejahatan luar biasa di kota-kota yang bahkan dianggap kota layak anak.
 
Peraturan Presiden 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/5/2022 sepertinya juga sekadar harapan palsu.
 
Kegagalan regulasi yang ada menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan penerapan sekularisme dalam kehidupan yang juga sebagai dasar dalam pembuatan regulasi.
 
Kehidupan sekuler yang berorientasi pada materi dan pemenuhan hawa nafsu telah membutakan mata dan hati sehingga hukuman pidana, denda, bahkan kebiri tidak menumbuhkan rasa takut. Pembuatan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan banyak arti.
 
Hanya dalam Naungan Islam Anak Terjamin
 
Anak akan mendapat perlindungan hakiki hanya jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Negara diwajibkan  menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk anak sehingga anak hidup aman, serta tumbuh dan berkembang secara sempurna.
 
Anak yang belum baligh berada dalam pengasuhan orang tuanya. Islam mewajibkan kepada orang tua untuk memberikan pengasuhan terbaik sesuai tuntunan syariat, juga pengasuhan penuh kasih sayang untuk menjaga fisik dan mental anak.
 
Rasulullah saw. memberikan arahan bagi orang tua melalui sabdanya, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
 
Memukul anak memang dibolehkan dalam Islam untuk membangun kesadaran anak-anak akan kewajiban salat. Meski demikian, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik menuju perbaikan, bukan pukulan yang menimbulkan luka, apalagi mencelakai anak. Pukulan juga tidak boleh di wajah atau tempat yang membahayakan.
 
Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara berkewajiban memahamkan nilai-nilai, norma, moral, budaya, pemikiran, dan sistem Islam melalui beragam institusi, saluran dan sarana, semisal jalur pendidikan formal, non-formal, pengajian dan lain-lain.
 
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada hari akhir sehingga setiap individu sadar akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dengan keimanan ini,  rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalangi dirinya untuk berbuat kriminal, terhindar dari gaya hidup hedonis, akan bisa menyaring pemikiran yang merusak, serta merasa selalu diawasi oleh Allah Swt.
 
Sistem sangsi Islam yang diterapkan berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Keduanya menjadi benteng yang akan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, termasuk kejahatan terhadap anak.
 
Jadi, penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai Khilafah adalah jaminan perlindungan anak yang sebenarnya dalam kehidupan.[]

Oleh: Irianti Aminatun
Sahabat Tinta Media                                                          
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab