Tinta Media: Perdagangan Manusia
Tampilkan postingan dengan label Perdagangan Manusia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perdagangan Manusia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Mei 2023

Perdagangan Manusia Kian Marak, Keamanan Rakyat Terancam

Tinta Media - Maksud hati mencari pekerjaan halal dan bisa memenuhi nafkah di tengah kehidupan yang materialis ini membuat sebagian orang mengambil langkah hijrah ke negeri tetangga. Bagaimana tidak, di negeri sendiri mencari pekerjaan tidaklah mudah, ekonomi sulit, harga bahan pokok melambung tinggi. Janji manis seribu lapangan pekerjaan juga tak kunjung diraih. Namun, nasib nahas harus dilalui 20 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Diduga, mereka disekap di Myawaddy, Myanmar. Daerah tersebut adalah wilayah konflik antara militer Myanmar dengan kelompok pemberontak. 

Sebagai informasi, 20 WNI yang diduga disekap di Myawaddy tersebut dilaporkan kerap mengalami penyiksaan, seperti naik kapal dijaga orang bersenjata hingga disetrum kala bekerja. Hal ini sempat disampaikan oleh kerabat salah satu korban. Mereka terpaksa melakukan penipuan (scamming) agar bertahan hidup selama di Myanmar. Jika tak mencapai target, mereka akan disiksa. Mereka juga tidak dapat meminta bantuan dari luar karena hampir semua ponsel disita. (cnbcindonesia.com)

Kasus TPPO ini begitu merebak sehingga presiden Joko Widodo selaku ketua ASEAN mengangakat dan menjadikan isu ini sebagai prioritas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-42 ASEAN pada 9 sampa 11 Mei 2023. 

Presiden dalam keterangan pers di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (8/5/2023), menyatakan, salah satu tema yang sengaja diusung Indonesia pada KTT Ke-42 ASEAN adalah pemberantasan perdagangan manusia, terutama online scams. Hal ini penting karena korbannya adalah rakyat ASEAN, bahkan sebagian besar adalah warga negara Indonesia. (Kompas.id)

Sungguh, hidup sampai detik ini tak menyisakan kesan keamanan yang didamba. Di negeri sendiri bertarung dengan sulitnya ekonomi, mahalnya pendidikan, kesehatan, bahan pangan, tempat tinggal. Di luar sana bertarung nyawa untuk bertahan dan menyambung hidup. Inilah potret kelam dalam kehidupan sekuler kapitalis. 

Untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya adalah dengan jalan menipu, memaksa, mengeksploitasi, memperbudak, dan menyiksa. Tentu saja jiwa kemanusiaan sudah hangus dengan ketamakan. 

Yang bisa dilakukan oleh penguasa adalah melakukan konnferensi, kerja sama antar negara, membuat perjanjian, yang nyatanya sejak tahun 2016 diadakan pun isu TPPO ini justru marak. TPPO ini akan senantiasa muncul dan bahkan meningkat selama tatanan kehidupan masih diselimuti sistem sekuler kapitalis yang hanya mengandalkan materi dan keuntungan semata. Rakyat, jangan ditanya lagi bagaimana nasibnya.

Keamanan adalah hal pokok yang harus dipenuhi oleh negara, sama seperti sandang, pangan dan papan. Hal ini karena negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Negara adalah lembaga yang mengurusi dan memelihara urusan rakyat. Inilah yang harus digenggam erat oleh penguasa hari ini. 

Negara harus benar-benar memastikan rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan pangan, tidak kesulitan dalam membeli bahan pangan, pendistribusian juga maksimal, pendidikan mudah dicapai, kesehatan mudah diakses, sehingga tak perlu sampai rakyatnya harus mengais uang di negeri seberang. 

Selain itu, jika negara memiliki pandangan dan visi dalam mengurusi dan memelihara urusan umat, dia akan menjadi negara yang berdaya, memiliki posisi penting dalam kancah internasional. Sebab, penindakan tegas akan dilayangkan terhadap kezaliman yang terjadi jika ada rakyatnya di negeri lain. Tak tanggung-tangggung, bahkan sampai memerangi negara tersebut adalah cara melindungi rakyatnya. 

Berkaca dari kisah Rasulullah ketika menjadi kepala negara di Madinah, ketika mendengar kabar salah seorang muslimah dilecehkan dengan cara disingkap jilbabnya oleh penduduk Qoinuqa’ kemudian ada seorang pemuda yang mencoba membela muslimah tersebut dan syahid, maka Rasulullah tak menunggu lama, langsung memerangi bani Qoinuqa’.

Demikianlah bagaimana Islam mempunyai caranya sendiri dalam melindungi rakyatnya.
Sungguh disayangkan jika kita tak kembali kepada Islam. Kita akan terus di ambang ancaman kemanan. Inilah satu-satunya cara pasti untuk menjaga rakyat tetap aman.

Oleh: Elima Winanta
Sahabat Tinta Media

Selasa, 18 April 2023

ABI: Maraknya Perdagangan Manusia karena Ekonomi Kapitalis?

Tinta Media - Sekjen Aliansi Buruh Indonesia (ABI) Imam Ghazali menduga maraknya perdagangan manusia disebabkan karena penerapan sistem ekonomi kapitalis.

”Banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi pekerja migran dan diduga telah menjadi korban perdagangan manusia mayoritas disebabkan hasil dari pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis," ujarnya dalam program Kabar Petang: Tangis Pilu Dede Asiah Diduga Dijual di Suriah, di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (11/4/2023).

Imam mengungkapkan, pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis telah membuat biaya kebutuhan menjadi tinggi. "Harga-harga yang mahal dan sulitnya mencari kerja di negeri ini menyebabkan banyak sebagian masyarakat tidak bisa memenuhi biaya kehidupannya, sehingga mereka harus mencari cara  keluar negeri agar bisa bekerja untuk mendapatkan penghasilan," ungkapnya.

Imam juga menjelaskan, penyebab lainnya yang semakin menambah persoalan adalah karena kesalahan sistem ekonomi kapitalis dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak berpihak kepada rakyat.

“Indonesia merupakan negara kaya raya yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, tetapi aneh penduduknya malah mencari makan di negeri orang. Kalau kaya mestinya kan tidak perlu banyak yang bekerja keluar negeri," jelasnya.

“Para investor kapitalis yang diharapkan menciptakan peluang kerja tetapi nyatanya malah tidak terlalu signifikan, karena banyak investor yang masuk ke Indonesia tetapi juga membawa sekalian tenaga kerjanya dari negeri mereka,” imbuhnya.

Ia mencontohkan, tenaga kerja asing seperti yang berasal dari Cina kini dimana-mana banyak terlihat. 

“Kalau jalan-jalan ke bandara, itu sudah banyak orang berbahasa Cina. Di Jepara, ada investasi Cina di kawasan industri yang disitu juga ada tenaga kerja asing sebagai teknisi mesin yang juga mereka ambil dari Cina. Dan ini kenyataan,” tandasnya. 

Imam pun menegaskan penyebab yang terakhir, bahwa kebanyakan TKI yang menjadi pekerja migran adalah mereka yang tidak punya keahlian. Tingkat pendidikan pekerja migran yang rendah sehingga tidak memahami hukum dan birokrasi menimbulkan potensi terjadinya masalah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk perdagangan manusia.

“Inilah kurang lebih penyebab utama maraknya pekerja migran yang menjadi korban perdagangan manusia karena hasil dari pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis yang memandang manusia sebagai sebuah dagangan yang bisa menghasilkan uang,” pungkasnya. [] Muhar

Minggu, 19 Maret 2023

Perdagangan Manusia Berkedok Penyaluran Tenaga Kerja Migran

Tinta Media - Kasus demi kasus perdagangan manusia tiada henti di negeri ini. Terbaru yang dilansir media AYOBANDUNG.COM, seorang warga Kabupaten Bandung hampir saja dijual ke Malaysia. Beruntung korban perdagangan manusia tersebut berhasil diselamatkan oleh Imigrasi Kota Batam, Selasa (07/03/2023).

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPKBP3A) Kabupaten Bandung, Hairun menuturkan bahwa masyarakat jangan mudah tergiur dengan tawaran bekerja yang bergaji besar dan selalu berhati-hati dengan perusahaan yang menawarkan pekerjaan di luar daerah atau luar negeri.

Kasus perdagangan manusia tersebut terjadi pada Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal. Ia hampir menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) akibat tidak mengikuti prosedur pemerintah dan pemberangkatan CPMI tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang sah. 

Tidak dimungkiri, dorongan masyarakat untuk bekerja di luar negeri masih sangat besar, padahal risikonya sangatlah tinggi. Meski payung hukum untuk melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah termaktub dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan PMI, tetapi faktanya hal tersebut tidak mampu melindungi para pekerja migran. 

Di tengah banyaknya masyarakat yang pesimis akan perlindungan dari negara jika menjadi pekerja migran, keinginan untuk mengubah nasib di negeri orang telah mendorong mereka untuk menjadi pekerja migran, padahal berpeluang terjebak dalam CPMI ilegal. Karena itu, jumlah kasus perdagangan manusia (human trafficking) semakin besar dan kompleks. 

Walaupun demikian, faktor kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan bagi rakyat, serta iming-iming upah besar jika bekerja di luar negeri, membuat orang-orang siap mengambil risiko tersebut. Seandainya kehidupan mereka sejahtera, mereka pasti tidak akan nekat bekerja di luar negeri, termasuk para perempuan yang menjadi mayoritas dari para pekerja migran. Mereka harus meninggalkan anak dan suaminya, melupakan fitrahnya sebagai perempuan yang seharusnya dilindungi dan dinafkahi. 

Mirisnya, di saat banyak rakyat negeri ini yang menjadi pekerja migran, para Tenaga Kerja Asing (TKA) justru dibukakan pintu selebar-lebarnya untuk masuk dan menempati lapangan pekerjaan yang tersedia. Kondisi ini membuat rakyat tersingkir dan terpaksa menjadi PMI. 
Inilah bukti bahwa penguasa negeri ini telah gagal menyejahterakan rakyat melalui penciptaaan lapangan kerja, juga kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Karena itu, mereka terpaksa bekerja ke luar negeri. 

Ketika rakyat bekerja ke luar negeri, negara tidak mampu melindungi rakyatnya. Mengapa hal yang miris ini terjadi bertubi-tubi menimpa rakyat?

Indonesia sebagai negara yang menerapkan kapitalisme, memosisikan manusia sebagai bagian dari faktor (alat) produksi. Rakyat dikatakan produktif jika menghasilkan materi sebanyak-banyaknya, sehingga dapat berkontribusi terhadap keuangan negara. Oleh karena itu, para PMI dikatakan "Pahlawan Devisa" karena mampu mendatangkan devisa besar, bahkan angkanya melebihi angka devisa dari penjualan migas. 

Karena itu, negara memobilisasi pemberangkatan pekerja migran ini, dengan  menyediakan berbagai fasilitas penunjang, mulai dari produk UU, kepengurusannya di bawah departemen ketenagakerjaan, dilegalkannya agen-agen penyalur tenaga kerja migran, hingga mengadakan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja migran dalam berbagai bentuk keahlian. Semua itu dilakukan semata-mata untuk keuntungan materi berupa devisa  Padahal, di balik itu semua, nyawa tenaga kerja migran menjadi taruhan. Salah satunya menjadi korban trafficking.

Sebagai seorang muslim, tentu kita sangat gerah dengan kondisi ini. Karena itu, kita harus mengembalikan solusi terhadap masalah trafficking berkedok penyaluran tenaga migran ini kepada Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tentu memiliki seperangkat sistem untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.

Di dalam Islam ditetapkan bahwa pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan, merupakan tanggung jawab (kewajiban) negara. Oleh karena itu, negara akan menyediakan sarana-pra sarana untuk menciptakan lapangan kerja tersebut, sehingga rakyat yang terkena kewajiban mencari nafkah dapat menunaikannya secara maksimal. Terkait penyediaan lapangan kerja ini tentulah harus ditopang oleh sistem ekonomi dan keuangan yang mapan dan kuat, yang semuanya itu ada dalam penerapan aturan Islam secara komprehensif (menyeluruh).

Dengan konsep bahwa negara (penguasa) hadir untuk melakukan ri'ayah (pengaturan) terhadap segala urusan rakyat, maka penerapan Islam dilandaskan kepada akidah Islam dalam sebuah negara khilafah. Melalui institusi negara inilah, penguasa menjalankan pemeliharaan dan pengaturan rakyatnya, sebagai perwujudan dari sabda Rasulullah ﷺ:

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Terkait penyediaan lapangan kerja, negara akan memberikan sarana-sarana pekerjaan bagi para pencari kerja dari rakyat, yaitu para laki-laki dewasa yang berkewajiban mencari nafkah. Bahkan, negara juga akan menyiapkan SDM (laki-laki) dari rakyat agar mampu betanggung jawab dalam memikul kewajiban sebagai pencari nafkah. Ini dilakukan melalui berbagai sarana pendidikan dan pelatihan skil (keahlian) yang akan menjadikan mereka produktif, melalui pengadaan sarana prasarana pendidikan yang terbaharui. Dengan begitu, wawasan dan keahlian rakyatnya akan bertambah, yaitu melalui kurikulum pendidikan di sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. 

Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk membolehkan masuknya investor asing untuk mengelola SDA atau pun memasukkan para TKA akibat kemampuan SDM di dalam negeri yang kurang. Ini sebagaimana yang ada dalam solusi negara penganut kapitalisme sekarang. Inilah bentuk kemandirian negara khilafah. Salah satunya dengan menyempurnakan output pendidikan yang berkepribadian Islam, sebagai pribadi-pribadi yang inovatif dalam mengarungi kehidupannya. Maksimalnya negara dalam menyediakan hal tersebut ditopang oleh APBN negara yang mumpuni, yang ada di baitul mal, dan sistem keuangan yang kokoh yang dilandaskan kepada emas dan perak.

Selain itu, negara khilafah tidak akan mengizinkan pendirian badan usaha swasta yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak, seperti yang terjadi dalam sistem saat ini. Jikalau ada perusahaan milik individu rakyat (swasta), keberadaannya ada di bawah kontrol penerapan syariat oleh negara, semata untuk menciptakan pengaturan urusan rakyat, sehingga hak-hak rakyat dalam upaya pemenuhan kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, dan papan, dapat terpenuhi secara maksimal. Inilah yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Maka, dalam negara khilafah rakyat tidak akan berpikir untuk bekerja ke luar negeri, karena segala kebutuhannya telah dipenuhi oleh negara. Hial ini termasuk pemenuhan  kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga meringankan kehidupan rakyat. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perdagangan manusia (trafficking) pun, tidak akan ada, karena celah yang membuka pintu trafficking yang berkedok penyaluran tenaga kerja migran, tidak ada.

Wallaahu a'lam bi ash-shawwab

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab