Tinta Media: Perceraian
Tampilkan postingan dengan label Perceraian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perceraian. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2023

Perceraian Kembali Meningkat, Islam Solusi Tuntas Permasalahan Umat

Tinta Media - Setiap pasangan suami istri pasti memiliki tujuan ingin hidup bersama di dunia dan akhirat. Bayangan kehidupan yang bahagia selalu menjadi impian setiap rumah tangga. Akan tetapi, dalam praktiknya, lika-liku perjalanan rumah tangga tidak semulus itu. Ada banyak ujian yang membutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam mempertahankan biduk rumah tangga. 

Namun, tidak semua pasangan bisa bertahan dalam ujian. Ternyata, banyak pasangan yang tidak sanggup bertahan yang akhirnya berpisah. Nyatanya, angka perceraian di negara ini cukup tinggi, seperti yang diberitakan oleh republika.id, (22/9/2023). Setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun di Indonesia.

Dari banyaknya angka perceraian tersebut, berarti ada banyak pula anak-anak yang berada dalam keluarga tidak harmonis atau disebut broken home. Lalu, kenapa hal ini bisa terjadi?

Faktor Penyebab Perceraian

Ada berbagai penyebab terjadinya perceraian, yaitu ketidaksiapan pasangan suami istri akan tanggung jawab pernikahan, masalah ekonomi, kemiskinan, persoalan perselingkuhan, juga termasuk orientasi seksual pasangan yang menyimpang, salah satunya menderita gangguan kesehatan reproduksi, menderita penyakit seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Efek dari perceraian ini bukan hanya akan muncul keluarga-keluarga yang tidak lagi utuh, akan tetapi mengakibatkan generasi yang lebih muda memiliki trauma tersendiri untuk melangkah ke pernikahan. Hal ini mengakibatkan generasi takut menikah dan lebih memilih untuk hidup sendiri, termasuk menjalankan hubungan tanpa ikatan pernikahan. Juga munculnya lifestyle seperti pilihan untuk childfree.

Ini sudah jelas merupakan suatu bentuk kemaksiatan karena memilih untuk kumpul kebo. Karena menurut pasangan tersebut, kumpul kebo lebih mudah dijalankan karena tidak harus memikirkan konsekuensi dari hubungan tersebut.

 Jika hal ini terus dibiarkan, nantinya negara ini akan mengalami lost generation seperti negara Jepang, dan lainnya.

Keluarga merupakan lembaga terkecil di dalam masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang tenteram, aman, damai, dan juga sejahtera. Dalam keluarga, ada cinta kasih di dalamnya. Suami bisa menjalankan tanggung jawab dalam hal melindungi, memberikan nafkah, dan lain-lain. 

Hal yang sama juga terjadi pada istri. Ia mempunyai tanggung jawab atas perannya sebagai istri, sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Masing-masing dari suami dan istri yerset menjalankan kewajiban mereka dan mendapatkan hak mereka juga. 

Sehingga, nantinya dari keluarga yang seperti itu, akan lahir generasi calon pemimpin masa depan. Nyatanya, menjadi keluarga yang ideal seperti itu saat ini tidaklah mudah. Sebaliknya, banyak keluarga-keluarga, termasuk keluarga muslim yang ternyata rapuh. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus perceraian.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian. Namun, akar permasalahannya adalah kehidupan yang sekuler kapitalisme. Kehidupan sekuler kapitalisme ini menjauhkan agama dalam mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Kapitalisme ini menjadikan materi sebagai acuan sebuah kebahagiaan. Sehingga, ketika istri banyak menuntut hal yang sebenarnya bukan kebutuhan, hanya sebatas keinginan, lalu tidak terpenuhi, maka akan terjadi konflik. Konflik yang berkelanjutan ini dapat menyebabkan perceraian.

Di samping itu, terjadinya perceraian juga disebabkan karena permasalahan ekonomi. Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi sangat sulit yang diakibatkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Ditambah dengan keadaan seorang ibu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini memungkinkan pudarnya peran masing-masing, sehingga ketahanan keluarga menjadi rapuh yang berujung pada perceraian.

Faktor lainnya adalah perilaku. Liberalisme dengan gaya hidup bebas mengakibatkan banyak perilaku seksual yang menyimpang, perselingkuhan, pelakor, dan pebinor. Hal ini membuat hubungan rumah tangga menjadi rusak dan mengakibatkan perceraian. Pemikiran sekuler yang dimiliki oleh individu juga dapat menjadikannya sebab perceraian. 

Dari sini jelas bahwa fenomena meningkatnya angka perceraian ini bukan hanya karena faktor masing-masing pasangan suami istri yang kurang paham akan tuntunan agama dalam menyelesaikan persoalan kehidupan saja. Akan tetapi, ada faktor besar lain yang menyebabkan perceraian terjadi, yaitu tidak diterapkannya syariat Islam. 

Islam Menjadi Solusi

Islam dengan hukumnya menuntun suami untuk memberi nafkah, menggauli istri dengan baik dan penuh kasih sayang, serta mengatur hak dan kewajiban tiap-tiap pasangan.

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, 

“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku (istriku).” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.). 

Pergaulan antara suami dan istri merupakan pergaulan persahabatan sejati dalam segala hal. Mereka memberikan ketentraman dan kedamaian satu sama lain. Jika ada hal yang tidak disukai dalam diri pasangan, tidak boleh membencinya secara keseluruhan karena pasti ada kebaikan lain dalam diri pasangan yang dapat menutupi kekurangan tersebut. 

Rasulullah saw. bersabda,
 
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si laki-laki tidak menyukai suatu akhlak pada si perempuan, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR Muslim). 

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. juga bersabda, 

“Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah). 

Kehidupan yang sekuler membuat kebahagiaan rumah tangga terkikis. Faktor kemiskinan, penyimpangan seksual, media yang bebas, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya mengakibatkan rapuhnya rumah tangga. Oleh sebab itu, dalam Islam, negara berperan menjaga ketakwaan individu dan mengatur faktor-faktor tersebut agar tidak terjadi terus-menerus.

Dalam Islam, negara akan membuka lapangan pekerjaan seluasnya untuk suami agar dapat mencari nafkah. Negara juga akan menjauhkan individu dari pemikiran di luar Islam dengan cara slpendidikan menggunakan asas akidah Islam sehingga individu paham akan ajaran, Islam termasuk dalam berumah tangga. 

Negara juga akan mengatur media dalam menampilkan tayangan, tidak merusak pemikiran dan pemahaman individu. Karena, keluarga yang rapuh akan memungkinkan menghasilkan generasi yang rapuh pula.

Oleh sebab itu, penerapan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari di seluruh aspek kehidupan merupakan sebuah keharusan. Dengan Islam, seluruh permasalahan akan terselesaikan, kehidupan masyarakat akan tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Generasi pun akan menjadi generasi yang tangguh dan cemerlang. Wallahu 'alam.

Oleh: Ummu Azmi (Aktivis Muslimah)

Rabu, 04 Oktober 2023

Angka Perceraian Meningkat Akibat Peran Agama Dijauhkan dari Kehidupan



Tinta Media - Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Kamaruddin Amin menyampaikan, kasus perceraian di Indonesia yang meningkat tinggi, melahirkan 516 ribu duda dan janda setiap tahun di Indonesia. Sementara angka pernikahan justru mengalami penurunan dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun
(khazanah.republika.co.id 21/09/2023)

Selain faktor kemiskinan ekstrem telah berdampak luas pada kondisi sosial, faktor penyebab meningkatnya perceraian beraneka ragam. Di Karawang misalnya, tercatat 3.070 perkara perceraian. Juru bicara Pengadilan Agama Kelas 1 Karawang, Hakim Asep Syuyuti, mengungkapkan bahwa kasus perceraian semakin meningkat, dengan salah satu faktornya adalah kecanduan judi online. (garut.pikiran-rakyat.com)

Berbeda lagi di Aceh, ada kasus perceraian bukan karena persoalan ekonomi atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.

Sebagaimana diungkapkan Kepala Kanwil Kementerian Agama atau Kakanwil Kemenag Aceh, Drs. Azhari saat bersilaturahmi ke Kantor Serambi Indonesia,.
(aceh.tribunnews.com/2023/08/25)

Tingginya angka perceraian di Indonesia seolah menjadi indikator menurunnya kualitas kehidupan keluarga, akibat agama tidak lagi menjadi landasan dalam menjalani kehidupan pernikahan, sebab sejatinya kehidupan pernikahan tidak hanya berorientasi duniawi atau sebatas memiliki keturunan, akan tetapi untuk meraih kebahagiaan hingga akhirat.

Berawal dari pandangan kapitalisme dalam mendefinisikan manusia sebagai homo economicus atau makhluk ekonomi sehingga tujuannya sebatas  materialisme dan menafikkan  aspek spiritual-ruhani.

Faktor ekonomi adalah faktor tunggal yang menentukan nasib manusia. Namun pada sisi lain, ekonomi kapitalisme hanya berpihak pada para pemilik modal melakukan komersialisasi di segala bidang. 


Bersandar dengan konsep sekularisme yang senantiasa berpendirian bahwa paham agama tidak boleh dimasukkan ke dalam urusan politik, negara, atau institusi publik lainnya. Kapitalisme seperti pabrik besar yang telah memproduksi berbagai problem moralitas manusia. 

Di buai konsep kebebasan ala kapitalisme sekuler, lahirlah  manusia-manusia individualis, materialistis dan cacat pemikiran. Dampaknya menimbulkan berbagai kerusakan dalam tatanan sosial termasuk di dalamnya melemahkan ketahanan rumah tangga.

Dari semangat sekularisme yang hanya memahami agama hanya setengah-setengah, banyak orang gagal paham akan tujuan kehidupan, bahkan hingga muncul pemikiran bahwa pernikahan hanya sebatas tempat penyalur syahwat, yang penting tidak zina.
Ungkapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, sebab salah satu anugerah dari Allah SWT adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatun nau’). Dan Allah juga yang memberikan aturan-Nya tentang bagaimana pemenuhan terhadap gharizah nau’ ini agar terhindar dari perbuatan maksiat, yaitu dengan menikah.

Namun tanpa mengabaikan tujuan pernikahan, yang tidak kalah penting yaitu sebagai penyempurna agama.

Sehingga mengabaikan urgensi ilmu, yang harus dimiliki sebelum menikah, seperti adanya persiapan yang matang mulai dari persiapan ilmu (tsaqofah), emosional, jasmani hingga finansial, bisa jadi boomerang setelah menikah. 

Sebab menyatukan dua kepala untuk memiliki satu visi dan misi yang sama, tidaklah mudah dan tidak lahir dengan sendirinya. Tentunya harus diupayakan oleh seluruh anggota keluarga. Dan tanpa adanya aturan agama yang menjadi landasan pernikahan, maka rapuhlah bangunan rumah tangga tersebut.

Misalnya pada realitas hari ini, marak terjadi KDRT akibat banyak orang kesulitan mengontrol emosinya terhadap pasangan. Padahal hanya keteguhan imanlah yang akan membuat seseorang bisa menguasai emosinya dalam setiap kejadian dengan izin Allah SWT. Sebab dengan iman yang teguh, semua qadha dan qadar akan diterima dengan ridha. 

Selain itu akibat memahami agama hanya setengah muncullah ketidakseimbangan tuntutan, tiap pihak hanya menuntut hak-haknya, namun di sisi lain mengabaikan tanggung jawabnya. Hal-hal inilah yang menjadikan rumah tangga penuh risiko dan siap "meledak" kapan pun.

Di dalam Islam seorang suami adalah kepala keluarga dan kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah, dan yang dipahami masyarakat luas saat ini hanya itu. Padahal ada lagi kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Sebab tugas utama suami adalah menjauhkan keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahriim: 6). 

Apabila suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka suami harus mencarikan guru yang bisa mengajarkan istrinya perkara agama  atau dengan suami memberikan izin istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istrinya bisa belajar perkara agama.

Demikian juga istri, selain bertugas melayani suami, dan taat pada suami, ia pun seorang ibu dari anak-anak, yang berkewajiban dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik sesuai syariat, sebab ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya dengan demikian akan lahirlah generasi shalih yang kelak akan menjadi penolong bagi orang tuanya di akherat.

Semua aturan- aturan tentang hak dan kewajiban, dalam rumah tangga tersebut diatur sedemikian apik dalam Islam, jelas dan terperinci sesuai perannya masing-masing. Untuk mengetahuinya manusia hanya butuh belajar, mendalami Islam dengan pembinaan yang berkelanjutan. 

Sedangkan  tugas negara adalah menyelesaikan masalah kemiskinan yang mengakar, sekaligus menjadi alasan utama banyaknya perceraian, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. 

Selain itu, negara juga wajib melindungi rakyatnya, dengan menjauhkan rakyatnya dari paham-paham yang merusak,  menutup akses perjudian, tidak memberi ruang bagi pelaku L6BT apalagi sampai membiarkan kaum Luth tersebut mengekspos diri di ruang publik, sebab itu sama saja dengan mensosialisasikan paham seks menyimpang untuk dikonsumsi rakyatnya. Dan semua itu wajib dilakukan negara atas dasar ketakwaan, serta rasa takut kepada Allah SWT.

Jadi dari semua ini, bisa diketahui bahwa sebab utama tingginya kasus perceraian, berakar dari salahnya sistem yang diterapkan saat ini, yang menjauhkan agama dari kehidupan. Maka solusinya adalah mengganti sistem saat ini, dengan sistem yang jauh lebih baik yaitu sistem islam kaffah.

Sebab sistem Islam berlandaskan aqidah Islam bersandar pada Al-Qur'an dan Sunnah, dengan aturan- aturannya yang lengkap akan menjadi solusi tepat dalam memperbaiki semua kerusakan yang terjadi hari ini, termasuk di dalamnya, akan mampu mengokohkan bangunan rumah tangga hingga mencapai dengan tujuannya, yakni kebahagiaan dunia hingga akhirat.
Dan yang paling penting nilai Islam tersebut bukanlah semata-mata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh makhluk hidup di muka bumi.

Wallahu 'alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Senin, 13 Maret 2023

PERCERAIAN ITU IBADAH

Tinta Media - Kata perceraian itu memiliki kesan yang pahit, sedangkan membangun rumah tangga bukan hal yang main-main. Pernikahan merupakan sebuah ikatan yang kuat, yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah. 
Perlu kelapangan hati, ilmu, kesiapan mental, dan kedewasaan dalam menjalaninya. 

Menikah bukan berarti tanpa masalah, karena selama masih hidup, maka ujian hidup akan terus menerpa. Tak sedikit yang akhirnya kandas, dan perceraian sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga.

Semua fase manusia sesungguhnya proses menjalani takdir yang sudah Allah gariskan. Ke mana saja manusia melangkah, seungguhnya dia sedang menjalani takdir hidupnya. Kita memandang perceraian sebagai menjalani sebuah takdir dari Allah, akan lebih menenangkan hati. Apa pun juga yang sudah ditetapkan oleh Allah, itu yang terbaik untuk manusia, dan pasti sesuai dengan takaran kemampuannya.

Tujuan kita beriman pada takdir Allah agar kita tak terlalu sedih dalam menjalani sebuah permasalahan hidup seperti perceraian. Apa yang hilang dari kita seungguhnya memang bukan milik kita. Apa yang kita miliki sekarang semata titipan. Masih berada di tangan kita semata Allah yang berkehendak kita masih memilikinya. 

Perceraian bagian dari syariat yang Allah berikan sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Perceraian dikategorikan ibadah ketika dijalankan dengan niat yang benar dan dilaksanakan dengan jalan yang sesuai syariat. Bercerai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mengharapkan keridaan Allah dibanding manusia. Perceraian yang dilakukan untuk menyelamatkan keimanan lebih baik daripada perceraian yang dilakukan demi orang ketiga atau untuk menzalimi pasangan. 

Hadits terkait dengan perceraian, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa perbuatan halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq (cerai). Hadits ini termasuk hadits yang lemah. Dalil ini sering kali dijadikan hujjah dalam membangun paradigma hukum perceraian. Idealnya sesuatu yang dibenci Allah maka diharamkan. 

Ada beberapa kondisi yang harus kita perhatikan dalam menerapkan hukum cerai. Hukum perceraian wajib ketika sudah menjalani proses mediasi, dan tak ada kesepakatan untuk rujuk lagi setelah masa iddah. Perceraian menjadi sunnah ketika pasangan hidup meremehkan kewajibannya kepada Allah dan tidak bisa lagi diajak kepada jalan yang benar. Perceraian menjadi mubah saat sebuah rumah tangga mendatangkan kemanfaatan walau dengan pasangan yang berakhlak buruk tanpa mendapatkan tujuan dari penikahan. Hukum perceraian menjadi makruh saat perceraian dilakukan tanpa sebab syar’i. Perceraian menjadi haram ketika menceraikan istri dalam kondisi haid atau suci, tapi sudah melakukan hubungan suami istri.

Kita harus membangun paradigma positif terkait dengan perceraian. Memandang sebuah proses perceraian sebagai bagian dari jalan menuju ketakwaan pada Allah. Bagi manusia yang bertakwa pada Allah,  maka Allah akan memberikan jalan keluar dan kemudahan dalam segala urusan. 

“Barang siapa yang bertakwa pada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (TQS At Thalaq : 2).

Allah meletakkan ayat ini untuk memberikan motivasi bagi yang sedang mengalami atau sudah mengalami perceraian. Perceraian bukan akhir kehidupan, bahkan seharusnya kita memandang dan mempersiapkan masa depan agar tetap dalam koridor menggapai rida Allah, tidak terbelenggu pada kenangan masa lalu yang membuat sedih. 

Perceraian menjadi ajang muhasabah diri. Sebuah permasalahan yang terjadi pada hidup kita sesungguhnya karena kemaksiatan yang kita lakukan sendiri. Ketika datang sebuah masalah, seharusnya yang dikoreksi adalah diri sendiri terlebih dahulu, bukan menyalahkan orang lain atau pun keadaan. 

Efek dosa itu akan membekas pada diri, keluarga, bahkan pada rumah dan kendaraan yang kita pakai sehari-hari. Selanjutnya berniat untuk memperbaiki diri, menambah ilmu, dan mulai meluruskan niat dalam menjalani kehidupan hanya untuk beribadah kepada Allah.

Oleh : Hayyin 
Sahabat Tinta Media 

Senin, 13 Februari 2023

Maraknya Kasus Perceraian, Islam Solusinya

Tinta Media - Pengadilan Agama (PA) Soreang menangani 8.135 kasus perceraian di sepanjang tahun 2022, dan hampir 80% diajukan oleh pihak istri. Adapun 6.388 sasus merupakan perkara cerai gugat dan perkara cerai talak sebanyak 1.747. Sebagian besar kasus tersebut disebabkan oleh faktor ekonomi.

Menurut Samsul, jika pihak istri yang mengajukan gugat cerai, kebanyakan karena tidak dinafkahi. Kalau gugat cerai diajukan oleh pihak suami, biasanya karena istri yang kurang bersyukur atas nafkah pemberian dari suami. 

Di kabupaten Bandung, kebanyakan gugatan berasal dari pihak istri. Sedangkan dari pihak suami hanya sepertiganya saja dari total perkara perceraian.

Selain masalah ekonomi, perceraian juga terjadi karena adanya PHK (pemutusan hubungan kerja), dan sebagainya. Total perkara yang ditangani di PA Soreang berkisar 9.000 - 10.000 perkara di setiap tahunnya. (PIKIRAN RAKYAT/Rabu 18/01/2023)

Pada dasarnya, hubungan antara suami istri adalah hubungan yang sarat akan ketenangan, kedamaian, kenyamanan dan ketentraman. Seorang istri harus tunduk dan taat pada suaminya. Sedangkan suami membimbing istri dengan cara yang ma'ruf.

Namun, faktanya tidaklah demikian. Banyak kasus perceraian yang terjadi akibat tidak adanya ketenangan dan kedamaian. Ketika ditelisik lebih mendalam, akan kita temukan beberapa faktor yang bukan sekadar dari individu-individu semata. Abainya negara dalam melindungi rakyat juga menjadi sebab maraknya kasus perceraian. 

Keterpurukan ekonomi mengakibatkan banyak perusahaan gulung tikar dan para pekerjanya di-PHK. Walhasil, banyak suami yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Hal ini mengakibatkan istri ikut mengambil peran dalam mencari nafkah, bahkan sampai menjadi TKW keluar negeri. Karena itu, peran suami isteri menjadi bergeser. Suami di rumah mengurus anak, sedangkan istri bekerja keluar negeri atau keluar daerah untuk mencari nafkah.   

Bahkan yang sering terjadi di masyarakat adalah ketika istri susah payah mengais rezeki di negeri orang, suami justru makin keenakan sehingga menjadi malas bekerja. Ia kemudian menggunakan uang kiriman dari istri dengan tidak amanah sehingga menimbulkan konflik antara suami istri. Hal itu sering terjadi di masyarakat saat ini. 

Faktor pemicu lain adalah tidak adanya rasa syukur atas nafkah pemberian dari suami. Istri selalu merasa kurang atas nafkah yang diberikan oleh suami. Istri juga durhaka kepada suami sehingga suami yang menggugat cerai. Masih banyak penyebab lainnya, terutama adalah karena sistem yang diadopsi oleh negeri ini. 

Dari sini bisa kita lihat bahwa maraknya kasus perceraian bukan semata-mata karena tekanan hidup dan kepribadian masing-masing atau sifat individu saja. Namun, ada faktor lain yang ikut andil di dalamnya, yaitu peran negara yang seharusnya hadir menjadi pelindung rakyat. Harusnya pemimpin bisa mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya dengan tata-kelola yang baik dan benar. Sehingga, sedikitnya bisa meminimalisir terjadinya lonjakan angka perceraian.  

Dalam Islam, misi hidup pernikahan adalah menggapai rida Allah. Seorang laki-laki (suami) diposisikan sebagai pemimpin oleh Allah Swt. Ia juga berperan sebagai pelindung istri dan keluarganya, seperti dalam firman Allah,

“Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.” (QS An-Nisaa’:34).

Memang wajar jika di dalam kehidupan berumah tangga pasti akan ada cobaan mendera. Namun, jika seorang suami atau istri mempunyai iman dan akidah yang benar, maka percekcokan akan bisa dihindari. Itu karena seorang suami dan istri menyadari akan tugas dan peran masing-masing, sehingga keduanya sama-sama rida untuk diatur dan mengikuti aturan yang sudah Allah turunkan. Seorang suami adalah pemimpin dan istri wajib dipimpin, serta dituntun sesuai dengan ajaran Islam. 

Dalam Islam, ada adab-adab suami terhadap istri, antara lain bergaul dengan lembut dengan muka berseri-seri dan tidak dengan muka masam, menunjukkan cinta kasih serta tidak gampang menyalahkan istri.

Istri pun begitu, ada adab-adab istri terhadap suami, antara lain selalu tunduk dan menaati perintah suami dalam hal kebaikan. Istri harus bersyukur atas rezeki yang diberikan suami dan tidak membangkang pada suami.  

Itulah mengapa jika suami istri sudah memahami adab-adab dalam berumahtangga dan diterapkan, maka akan terciptanya keluarga yang harmonis, sakinah mawadah warahmah, insyasllah.  

Seorang istri dituntut untuk qonaah dengan segala pemberian nafkah dari suami. Begitupun suami, ia wajib berusaha mencari nafkah yang halal untuk keluarganya. Di antara keduanya (suami dan istri) harus ada kesadaran hubungannya dengan Allah sehingga apap un yang diperbuatnya akan merasa diawasi oleh Allah Swt. Dengan begitu, setiap perbuatannya terjaga sehingga minim  pelanggan  hukum syara. 

Peran negara dalam Islam pun betul-betul diperhatikan, mulai dari penyediaan lapangan pekerjaan yang sangat luas sehingga para suami (kepala keluarga) tidak akan kesusahan untuk mendapatkan pekerjaan.  

Bukan hanya itu saja, negara juga menjamun tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan memastikan bahwa para suami telah menjalankan kewajibannya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dll. 

Sedangkan masalah pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dijamin oleh pemerintah. Karena itu, masyarakat tidak dipusingkan dengan biaya-biaya tersebut di atas. Ini tidak seperti dengan kehidupan disistem  kapitalisme sekuler sekarang, yang biayanya serba mahal . 

Jelas, Islamlah solusi hakiki dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal  berumah tangga. Suami istri dalam Islam adalah ibarat sahabat yang saling menasihati, saling menghormati, dan saling welas asih.

Rasullullah saw. adalah suri teladan terbaik bagi manusia dalam segala hal, termasuk dalam membina hubungan suami (rumahtangga). Ketika aturan dalam Islam tentang rumah tangga diterapkan dalam kehidupan, maka seorang suami maupun istri akan merasa bergairah dalam menjalankannya dan terus merawat hubungan tersebut. Istri merasa disayang, dilindungi dan dijaga. Begitu pun suami, ia akan merasa nyaman dan tenang jika seorang istri selalu tunduk patuh, lemah lembut dan enak jika dipandang.

Begitulah indahnya sebuah pernikahan (rumah tangga) yang didasari dengan keimanan dan ketakwaan.  Kehidupan Islam  yang menerapkan seluruh aturan Islam akan terealisasi jika sebuah negara menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah dalam bingkai KHILAFAH. Sehingga, kehidupan rumah tangga akan selalu tercurah keberkahan dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga diakhirat. Aamiin 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 28 Agustus 2022

Di Balik Tingginya Angka Perceraian

Tinta Media - Perceraian, perbuatan halal yang paling dibenci Allah ini angkanya justru semakin tinggi.  Data menyebutkan bahwa ada 50 kasus perceraian sah terjadi setiap jam.
 
Sebagian orang mengatakan bahwa perceraian terjadi karena masalah ekonomi, rapuhnya ketahanan keluarga, serta pernikahan dini. Akan tetapi, sesungguhnya sebab-sebab di atas hanyalah masalah cabang. Ada masalah pokok yang memicunya, yaitu sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara.
 
Kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan membuat manusia merasa tidak bahagia saat semua kebutuhan, baik primer maupun sekunder tidak terpenuhi.
 
Dikatakan bahagia jika seseorang mempunyai rumah bagus, makan enak,  baju bagus, perhiasan, kendaraan, jalan-jalan, dll. Karena itu, semuanya menjadi kebutuhan. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka ia merasa kurang bahagia hingga muncul konflik di tengah keluarga.
 
Kapitalisme menjadikan semua kebutuhan menjadi ladang bisnis. Pendidikan dan kesehatan menjadi teramat mahal. Tidak heran jika tekanan hidup makin meningkat, suami rentan melakukan KDRT, istri mudah mengambil keputusan cerai.
 
Sisi lain, melimpahnya sumber daya alam di negeri ini hanya bisa diakses oleh kaum bermodal, hingga gap antara yang kaya dan miskin semakin  jauh.  Angka kemiskinan semakin tinggi dan menjadi salah satu pemicu perceraian.
 
Kapitalisme juga beririsan dengan liberalisme (kebebasan). Pergaulan tanpa batas, campur baur laki-laki perempuan, berdua-duaan, aurat terbuka, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Ditambah menjamurnya media sosial, peluang selingkuh menjadi terbuka lebar, tak jarang berujung pada perceraian.
 
Sekulerisme membuat umat memandang agama sebagai ritual saja. Dalam kehidupan sehari-hari, agama ditinggalkan, ketakwaan hilang, suami tak paham kewajiban menafkahi, menelantarkan keluarga, berpoligami secara tidak adil, sehingga berujung pada perselisihan dan keretakan rumah tangga. Kondisi tersebut sering diakhiri dengan gugat cerai istri.
 
Penguatan keluarga yang ditawarkan negara dengan  memberdayakan ekonomi perempuan justru memunculkan persoalan baru. Anak-anak menjadi terabaikan.
 
Pergaulan bebas, tawuran, narkoba, anak-anak korban kekerasan, semua lepas dari perlindungan dan pengawasan keluarga.
 
Pencegahan pernikahan dini juga bukan solusi mengatasi perceraian. Masalahnya bukan pada umur berapa seseorang harus menikah, tetapi pada kematangan emosi dan pemahaman yang benar tentang pernikahan.
 
Islam Meminimalisasi Perceraian
 
Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Dengan aturan ini, perceraian bisa diminimalisasi. Kesejahteraan dalam Islam diukur dengan terpenuhinya kebutuhan individu per individu, baik kebutuhan pokok individual seperti pangan, sandang, papan,  maupun kebutuhan kolektif seperti pendidikan dan kesehatan, dengan mekanisme tertentu. Pemenuhan kebutuhan ini menjadi tanggung jawab negara dengan mekanisme yang sudah digariskan oleh hukum syara.
 
Islam mewajibkan suami menafkahi keluarga. Apabila suami tidak mampu karena suatu sebab, kewajiban berpindah kepada para wali jalur suami. Apabila semua jalur wali miskin, negara yang akan memenuhi kebutuhan mereka.
 
Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para suami bisa bekerja. Islam juga mewajibkan negara mengelola sumber daya alam milik rakyat. Dengan sumber daya alam yang melimpah, negara bisa menciptakan lapangan kerja yang sangat luas dan menjamin kebutuhan individu warganya. Dengan mekanisme seperti ini, penyebab perceraian dari faktor ekonomi dapat dihindari.
 
Islam juga memberi kebebasan pada wanita untuk beraktivitas di luar rumah dengan seperangkat aturan untuk menjaga kehormatan mereka.
Untuk mencegah dampak negatif keberadan perempuan di ruang publik, Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan terikat dengan seperangkat aturan tersebut. Mereka wajib menutup aurat, tidak berkhalwat, menjaga dan menundukkan padangan, serta menjaga kehormatan.
 
Khusus bagi perempuan, mereka wajib berjilbab, tidak tabaruj, dan tidak bepergian lebih dari satu hari satu malam tanpa disertai mahrom.
 
Islam juga memberikan seperangkat aturan dalam rumah tangga untuk menjaga agar tidak mudah terjadi perceraian. Salah satunya dengan menyolusi setiap perselisihan antara suami istri sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 35.
 
Media masa dalam Islam berkewajiban mengedukasi umat dengan Islam, menjaga akidah, menjaga kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
 
Dengan aturan Islam, ketakwaan dan kemuliaan masyarakat akan terjaga, perselingkuhan bisa dicegah sehingga keberlangsungan rumah tangga terjaga.
 
Wallahu a’lam bi shawab.

Oleh: Irianti Aminatun 
Sahabat Tinta Media

 


 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab