Tinta Media: Perang
Tampilkan postingan dengan label Perang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perang. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Juli 2024

Inilah Bukti Perang Gaza adalah Perang yang Dilancarkan AS

Tinta Media - Keterlibatan Amerika Serikat (AS) sebagai pemasok utama senjata ke Zionis Yahudi dinilai Narator Khilafah News sebagai bukti bahwa perang Gaza di Palestina adalah perang yang dilancarkan AS terhadap umat Islam.

"Itu membuktikan perang Gaza adalah perang yang dilancarkan Amerika  terhadap umat Islam," ujarnya dalam Kabar Pagi: Amerika Serikat Jadi Negara Pemasok Senjata Terbesar ke Israel, di kanal YouTube Khilafah News, Senin (1/7/2024).

Melansir Middle East Eye, Narator mengungkapkan, AS telah mengekspor senjata ke Zionis Yahudi setiap tahunnya.

"Sejak 1961, tercatat lebih dari 70% senjata Israel berasal dari Amerika Serikat," ungkapnya.

Ia juga menyampaikan data dari lembaga penelitian perdamaian Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) sepanjang tahun 2009 hingga 2020.

"Israel memiliki industri senjata yang sangat maju yang kemungkinan dapat melakukan pemboman dalam waktu singkat. Namun, pesawat tempur utamanya berasal dari AS," ucap Narator, sebagaimana yang juga pernah dipaparkan oleh Andrew Smith dari organisasi yang berupaya mengakhiri perdagangan senjata Internasional Campaign Against The Arm Trade (CAAT)  kepada Middle East Eye pada 8 Juni 2024.

*Alat Teror*

Narator juga mengungkapkan, meskipun pemerintah entitas Yahudi sebagai pengendali pangkalannya di kawasan Timur Tengah, akan tetapi posisinya tetap menjadi alat utama bagi Amerika dalam perang ini.

Hal itu, terangnya, untuk meneror umat di Dunia Islam agar tidak bergerak melakukan perubahan dan mengusir AS serta penjajah Yahudi dari kawasan.

"Juga dianalisis banyak pengamat, untuk mencegah kebangkitan umat Islam dan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah (negara adidaya) di wilayah tersebut," pungkasnya.[] Muhar

Sabtu, 27 April 2024

Pengamat: Konstelasi Internasional Berubah karena Perang

Tinta Media - Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana menyatakan bahwa perubahan konstelasi internasional itu umumnya terjadi ketika terjadi perang besar.

"Perang dunia kesatu, itu mengubah konstelasi internasional. Ada dulu Jerman, ada kemudian kekhilafahan Turki Utsmani. Kemudian ketika kalah perang, jadilah Inggris dan Perancis menjadi negara adidaya," tuturnya dalam acara Fokus Reguler: Serangan ke Israel, Nyata atau Drama? Ahad (21/4/2024) di kanal YouTube UIY Official Channel. 

Demikian juga, kata Budi, perang dunia kedua, Amerika bisa memanfaatkan situasi perang dunia kedua untuk kemudian mengambil alih posisi adidaya dari Inggris dan Perancis.

"Dia (Amerika Serikat) negara yang tanpa rival, sudah tidak ada rival yang sepadan dengan Amerika Serikat," ungkapnya. 

Ia melihat di sinilah pentingnya umat Islam untuk memahami peta politik internasional. 

"Memetakan mana negara adidaya, mana negara pendukungnya, negara-negara muslim relasinya dengan negara-negara adidaya seperti apa? Sehingga dengan begitu kita bisa membaca sebenarnya arah dan situasi-situasi yang kita lihat saat ini, itu seperti apa ke depannya," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Selasa, 16 April 2024

Perang Vs Transisi Energi


Tinta Media - Jurus pamungkas untuk melawan transisi energi adalah perang besar, serentak, ya sekelas perang dunia ke dua kira-kira. Mengapa? Karena transisi energi ini akan mengubur petro dolar yang sudah uzur sehingga tidak akan pernah dapat bangkit lagi.


Kapitalisme petrodolar memang tengah sekarat. Rezim keuangan global 1971 ini memang datang dari perang, di negeri-negeri kaya minyak, dibentuk legitimasinya dengan konflik, dipertahankan dengan ancaman produksi minyak, harga minyak hingga krisis ekonomi.

Memang alasan untuk perang hanya akan ada jika ada gerombolan yang membabi buta menyerang bangsa lain tanpa alasan. Jika provokasi beberapa pihak berhasil, diharapkan harga minyak naik, diharapkan banyak negara panik, diharapkan harga-harga naik, chaos terjadi, maka uang printing bermodal kertas dan tinta segera bisa dibuat besar besaran. Uang dibuat di luar kaidah-kaidah moneter dengan alasan mengatasi krisis.

Namun sekarang perang tidak dapat menghasilkan momentum apa-apa bagi keuntungan transaksi minyak. Ini dikarenakan konsumsi minyak tidak lagi pada level dapat menghasilkan ketergantungan dan menjadi alat membuat krisis. Harga minyak naik tidak membuat dunia panik. Akibatnya perang tidak akan sampai menemukan legitimasi untuk membuat uang bermodalkan kertas, tinta dan mesin printing.

Petro dolar sudah tidak relevan lagi di era digitalisasi dan transparansi. Dunia tidak lagi dapat menerima uang hasil printing bermodal kertas dan tinta yang mereka buat. Sekarang dan ke depan nilai akan ditentukan oleh masyarakat, oleh netizen, dari bawah, buttom up, bukan oleh segelintir orang secara exlusive.

Sekarang dunia tengah bersiap mengantikan jangkar uang dari  jangkar minyak menjadi jangkar green energy, maka dolar akan digantikan dengan mata uang global baru, yang ditransparansikan dengan digitalisasi, nilainya datang dari bawah, secara inclusive. Darimama semua ini akan dimulai, dari pembentukan super power baru, yakni climate change super power.

Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia

Senin, 15 April 2024

Mau Perang Tapi Kere, Bagaimana?


Tinta Media - Dunia Barat sekarang ini memperlihatkan keinginannya untuk perang. Tapi kita tahu mereka sedang kere kerenya. Inggris dilanda resesi. Amerika terpaksa menaikkan suku bunga setinggi langit untuk menarik uang dari seluruh dunia, uang 2 triliun dolar untuk membiayai APBN mereka yang bolong. Sementara The Fed tidak boleh cetak uang dengan modal kertas dan tinta saja karena dilarang.

Seberapa pun kuatnya provokasi perang, kalau negaranya sedang kere itu perang akan menjadi bunuh diri alias perang negara gila. Perang selama ini adalah investasi global yang dijadikan alat untuk mencari uang. Perang negara gila adalah menghabiskan uang. Ya memang negara gila itu memang ada?

Sementara perang butuh banyak uang, untuk bayar tentara, beli senjata, untuk makan dan minum semua orang yang terlibat dalam perang. Sementara uang untuk perang tidak ada. Semua negara sibuk bayar utang. Juga tidak ada swasta lagi yang bisa membiayai perang karena utang swasta juga cukup besar.

Biasanya setiap perang di negara Barat itu ada yang kasih utang untuk perang. Tapi sekarang utang untuk perang sudah tidak menjanjikan masa depan. Perang untuk merebut tanah, minyak, bahan bakar fosil sudah tidak relevan lagi. Orang sibuk berebut dunia maya sekarang. Karena dunia maya lebih menjanjikan masa depan.

*Lagi pula utang dunia sekarang sudah terlalu banyak. Lebih dari 300 triliun dolar. Dunia yang sangat buruk. Karena PDB global hanya 90 triliun dolar. Utang sebesar ini karena barat terlalu rakus. Mereka bukan hanya memakan sumber daya alam yang ada, tapi juga memakan yang belum ada yakni memakan masa depan.*

Sekarang perang besar itu adalah melawan hawa nafsu agar jangan merusak alam. Perang agar harga minyak naik, perang lagi harga minyak naik, itu sudah berakhir dan tidak ada lagi! Minyak itu sudah masa lalu. Minyak itu sudah dianggap menantang hukum alam. Minyak akan membuat reaksi alam sangat besar, bukan hanya akan memusnahkan manusia tapi juga jin-jin dan setan-setan jahat akan musnah melawan reaksi alam. Reaksi climate change ini sangat dahsyat. Tidak akan bisa dihindari, tidak akan bisa dimanipulasi. Semua yang menghalangi akan disapu badai!

Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia

Selasa, 20 Februari 2024

Direktur FIWS: Gencatan Senjata Sebagai Strategi Perang Dibolehkan!



Tinta Media - Menanggapi usulan gencatan senjata yang diajukan oleh Hamas dalam perang di Palestina, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi mengatakan, jika gencatan senjata itu sebagai strategi perang maka dibolehkan.

“Kalau gencatan senjata yang dimaksud untuk strategi perang, bukan untuk menghentikan perang, dalam pandangan Islam strategi itu bisa dilakukan selama tidak melanggar syariat Islam,” tuturnya di Kabar Petang: AS Merancang Gencatan Senjata Israel-Hamas? di kanal Khilafah News, Sabtu (17/2/2024). 

Meski demikian Farid memberikan catatan, perang melawan entitas Zion*s Y4hudi adalah perang yang harus dituntaskan, bukan hanya oleh Hamas tapi oleh seluruh kaum muslimin. 

“Ukuran tuntas dari perang ini adalah diusirnya entitas Zion*s Y4hudi dan kembalinya tanah Palestina kepada kaum muslimin. Inilah ukuran dari tuntasnya persoalan Palestina, karena persoalan Palestina adalah keberadaan penjajah Zion*s,” tegasnya. 

Kepentingan Amerika

Farid menilai, ajuan proposal gencatan senjata yang dirancang Amerika, Mesir, Qatar, untuk menjembatani perbedaan pendapat antara Hamas dan Zion*s, itu demi kepentingan Amerika Serikat (AS).

“Terkait proposal yang diusulkan oleh AS, Mesir ,dan Qatar jelas ini adalah proposal untuk kepentingan AS, karena kita tahu bahwa posisi Mesir dan Qatar secara umum di bawah kontrol Amerika,” jelasnya.

Ia melanjutkan, kepentingan AS terkait krisis P4lestina adalah mempertahankan eksistensi Zion*s Y4hudi, yang ini merupakan harga mati bagi AS. 

“Karena itu tawaran apa pun yang dilakukan oleh AS, pasti tetap pada prinsip mempertahankan keberadaan Entitas Penjajah Y4hudi. Sejauh apa pun perbedaan pendapat antara elite politik AS dengan Netanyahu tapi prinsipnya entitas Zion*s harus dipertahankan,” ulasnya. 

Selain itu, Farid juga menyebut kepentingan AS yang lain di Palestina adalah mewujudkan two state solution, ada negara penjajah Y4hudi ada Palestina. “Jadi skenario ini berujung pada dilegalkannya dua negara ini untuk kepentingan AS,” tandasnya. 

Farid memberi alasan, Amerika tetap mempertahankan  penjajah Y4hudi ini untuk kepentingannya di Timur Tengah. 

“Dengan keberadaan Entitas Penjajah Y4hudi ini, Timur Tengah akan terus bergejolak karena kelakuan Zion*s. Selama Timur Tengah bergolak, AS akan punya legitimasi untuk melakukan intervensi di wilayah itu dengan melakukan kontak dan berbagai hubungan dengan penguasa di Timur Tengah. Dengan hubungan ini,  AS memastikan Timur Tengah tetap di bawah kontrolnya melalui para penguasa itu,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Kamis, 08 Februari 2024

Memenangkan Perang Pemikiran lewat Tulisan



Tinta Media - Memenangkan perang pemikiran adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum muslimin dewasa ini. Karna memang, kondisi kaum muslimin saat ini yang jauh dari nilai ajaran-ajaran agamanya adalah bukti dari berhasilnya musuh-musuh Islam dalam mempengaruhi pemikiran mereka, dan salah satu cara efektif untuk melakukan perlawanan terhadap pemikiran kufur adalah melalui media tulisan. 

Perang pemikiran telah berhasil membuat kaum muslimin tidak lagi perduli terhadap apa yang menimpa diri mereka dan apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka. Misalnya dalam hal pekerjaan, kaum muslimin tidak lagi mempertimbangkan aspek halal-haram dalam melakukan pekerjaan mereka. Dalam hal pakaian juga begitu, mereka tidak lagi perduli apakah pakaian mereka memperlihatkan aurat mereka dimuka umum atau tidak. Lebih-lebih lagi dalam hal pergaulan, campur baur pria wanita  hingga pacaran yang berujung zina adalah sebuah trend yang melekat erat pada diri mereka. 

Semua yang terjadi pada kaum muslimin itu sudah dirancang sedini mungkin melalui buku-buku dan bacaan anak yang berisikan paham-paham sekuler dari tingkat sekolah yang paling dasar hingga yang paling tinggi. Maka dari itu, untuk mengimbangi serangan pemikiran sekuler tersebut tulisan-tulisan yang memuat pemahaman ideologi Islam menjadi sangat penting untuk terus dibuat oleh para cendekiawan muslim agar menjadi benteng yang mampu melindungi pemikiran umat dari bahayanya pemikiran kufur tersebut. 

Tulisan-tulisan yang dibuat hendaknya mampu menjelaskan kebenaran ajaran Islam secara komprehensif dan menjelaskan keburukan pemikiran kufur secara nyata. Mampu memberikan arahan dan petunjuk yang menghantarkan kualitas hidup yang lebih baik kepada kaum muslimin sehingga melakukan aktivitas kehidupan dengan standar halal-haram adalah prioritas utama bagi mereka. 

Memang benar, rendahnya minat baca kaum muslimin juga menjadi salah satu faktor penyebab mudahnya mereka terpapar pada pemikiran yang bertentangan dengan ajaran islam. Untuk itu dibutuhkan kemampuan yang ekstra bagi para penulis untuk bisa membuat tulisan yang mampu membangkitkan  𝙨𝙥𝙞𝙧𝙞𝙩 beragama bagi kaum muslimin, tulisan yang menggugah ketaatan mereka agar konsisten pada ketaatan, serta tulisan yang mampu menunjukkan jalan yang benar dari kesesatan yang mereka perbuat. 

Para penulis juga hendaknya sadar bahwa tulisan-tulisan mereka adalah satu roda penggerak agar kaum muslimin itu semakin cepat memenangkan perang pemikiran dan terbebas dari penderitaan mereka yang hidup jauh dari aturan islam, banyaknya tulisan tentang Islam yang sebenarnya akan mampu membuat tulisan propaganda dari musuh Islam semakin terlihat kesesatannya yang diharapkan berimbas pada berkurangnya minat baca kaum muslimin terhadap tulisan yang berisikan propaganda tersebut. Seperti kata pepatah 'jika dirimu tidak disibukkan oleh ketaatan maka dirimu akan disibukkan oleh kemaksiatan'. 

Begitu juga dengan kaum muslimin, apabila tidak ada tulisan dari cendekiawan muslim yang bisa mereka baca untuk menambah pemahaman mereka terhadap Islam, maka mereka akan membaca tulisan yang mendiskreditkan agama mereka. Sehingga tidak salah jika dikatakan, tulisan cendekiawan muslim adalah modal awal kebangkitan kaum muslimin dan cara paling ampuh untuk memenangkan perang pemikiran. 

Wallahu a'lam

Oleh: Rudi Lazuardi
Komunitas Medan Beriman

Senin, 24 April 2023

Perang antar Jendral di Sudan untuk Meraih Kekuasaan

Tinta Media - Pengamat Hubungan Internasional Ustadz Umar Syarifuddin menegaskan, perang antar jenderal yang terjadi di Sudan adalah untuk meraih kekuasaan. 

"Pertarungan dua jenderal untuk mendapatkan kekuasaan, yakni pemimpin angkatan bersenjata Jenderal Abdel Fattah Burhan dan kepala paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF)," tegasnya kepada Tinta Media, Kamis (20/4/2023). 

Umar mengutip dari saluran TV Al-Hadats yang mengatakan bahwa ini adalah masalah internal. 

"Ketika konfrontasi meletus dan mereka menumpahkan darah yang diharamkan, mereka mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah masalah internal! Hal ini disebutkan oleh channel TV Al-Hadath mengutip Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken, yang menegaskan bahwa mereka tidak peduli dengan darah kita yang ditumpahkan, mereka hanya peduli dengan kepentingannya untuk menguasai potensi negara dan menjarah kekayaannya," ungkapnya. 

Padahal, lanjut Umar, Mesir yang mendukung militer Sudan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab meminta semua pihak untuk mundur tetapi pertempuran masih tetap saja berlanjut. 

"Mesir, yang mendukung militer Sudan, serta Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki hubungan dekat dengan RSF, juga telah meminta semua pihak untuk mundur. Tetapi pertempuran berlanjut segera setelah dimulainya gencatan senjata dan berlanjut sepanjang malam," pungkasnya. [] Robby Vidiansyah Prasetio

Jumat, 17 Februari 2023

BABAK BARU PERANG PERADABAN, DIMANA POSISI UMAT ISLAM?

Tinta Media - Francis Fukuyama dalam The End of History-nya menyatakan bahwa pasca ambruknya Uni Soviet 1991 dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap Demokrasi Liberal. Ia berasumsi bahwa Demokrasi Liberal adalah akhir dari evolusi ideologi setelah runtuhnya berbagai ideologi lain seperti Monarki, Komunis, Fasisme, dan seterusnya. Tercabiknya Uni Soviet dalam beberapa negara seolah-olah menjadi momentum pembanding antara Kapitalisme dan ideologi serta isme-isme lain di muka bumi. Tesis Francis Fukuyama dibantah oleh Samuel Hutington.

Bagi Samuel P Hutington penasehat politik kawakan Gedung Putih menyebut konflik Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya. Sedangkan konflik antara Kapitalis dan Marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32 konflik besar dunia di tahun 2000-an dua per tiganya adalah antara Islam dengan Non-Islam tanpa ia mengurai secara detail sebab akibat dan mengapa konflik itu terjadi.

Istilah ‘konflik peradaban’ diperkenalkan Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996). Menurut Huntington, dengan berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya ideologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase Barat, dan yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta antarperadaban non-Barat itu sendiri.

Huntington mengelompokkan negara-negara bukan atas dasar sistem politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan budaya dan peradaban. Ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, yaitu, peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks.

Benturan yang paling keras – menurut Huntington - akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Pendek kata, bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam.

Dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap demokrasi liberal sebagaimana diungkap oleh Francis Fukuyama agaknya memang meleset, sebab pada faktanya umat muslim sedunia dengan ideologi Islamnya mulai menggeliat bangkit menjadi lawan ideologi demokrasi liberal yang secara institusi diwakili oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan model nation statenya. Pada faktanya, nation state itu memang harus tunduk patuh kepada PBB. Sederhananya, abad ini tengah dimulai perang peradaban antara ideologi Islam dengan sistem khilafah dengan ideologi demokrasi liberal dengan sistem nasionalisme yang induknya PBB.

Tiga tokoh pendiri PBB adalah Franklin D. Roosevelt,  Winston Churchill dan Joseph Stalin yang mewakili tiga negara yakni  Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet yang disebut sebagai “The Big Three”. Kesepakatan pembentukan PBB itu berlanjut pada Konferensi Dumbarton Oaks di Washington DC, di mana para diplomat AS, Inggris, dan Uni Soviet berunding dengan diplomat Cina. Sidang Umum pertama kali digelar pada 10 Januari 1946 di London dan dihadiri oleh wakil dari 51 negara setelah sebelumnya Piagam PBB diratifikasi oleh lima anggota tetap keamanan, yakni Perancis, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, dan Inggris, serta 46 negara lainnya.

Kembali kepada tesis Hutington, pada gilirannya dia merekomendasi perlunya Pre-emtive Strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum Militan Islam. Idenya sangat efektif mewarnai politik luar negeri Amerika Serikat (AS) era George W Bush. Awal Juni tahun 2002, Pre-emtive Strike menjadi doktrin baru AS dan diumumkan ke publik. Meskipun itu menimbulkan kontroversi baik di kalangan dalam maupun luar negeri, sebab sewaktu perang dingin saja memakai metode penangkisan dan penangkalan, kenapa menghadapi musuh baru --teroris, yang masih samar-samar justru AS menggunakan metode serangan dini?

Maka, ada dua kemungkinan positioning umat Islam dalam perang peradaban ini, pertama berjuang menegakkan khilafah dan kedua tunduk kepada PBB. Dua hal ini adalah pilihan, namun tentu saja umat Islam semestinya memilih posisi sebagai pejuang khilafah dan menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sumber hukum Islam itu ada empat Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka, sangat aneh, jika ada muslim menolak sistem Islam dan menerima hukum yang dibuat oleh PBB. Islam sebagai ideologi melahirkan sistem pemerintahan khilafah, sementara PBB melahirkan ideologi kapitalisme dan atau komunisme.

Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam.

Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya. Ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini.

Kejayaan umat Islam hanya akan bisa diwujudkan jika terikat dengan hukum Islam, jika meninggalkan Islam, maka peradaban umat Islam akan runtuh. Karena itu, pasca runtuhnya khilafah ustmaniyah di Turki, negeri-negeri muslim dan umat Islam dalam kemunduran yang luar biasa. Bukan hanya mundur, namun juga terjajah, terzolimi, terusir, terbunuh dan terjerat kemiskinan.

Nasionalisme ala PBB yang menjerat negeri-negeri muslim menyebabkan kaburnya mana kawan dan mana lawan. Bahkan sesama negeri muslim bisa saling bermusuhan karena nasionalisme. Maka, jika khilafah tegak, PBB dengan Amerika sebagai bossnya akan kehilangan banyak negeri-negeri muslim yang dijajah. PBB akan terus melakukan penolakan tegaknya khilafah dengan berbagai cara, termasuk mengajak negeri-negeri muslim untuk ikut dalam barisan PBB.

Namun, ibarat bunga, mereka mungkin bisa mematikan bunga, namun tak akan mampu menghentikan tibanya musim semi. Tegaknya khilafah sebagai janji Allah juga seperti terbitnya matahari dan turunnya air hujan, tak mungkin bisa dihentikan oleh manusia, bahkan jika seluruh manusia di dunia bersatu padu sekalipun.

Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.

 

Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.

Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati  agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."

Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal  al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.

Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja.

Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."

Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.


 


Jadi, perang peradaban tengah berlangsung, maka umat Islam semestinya memilih untuk berjuang tegaknya khilafah, bukan malah patuh kepada PBB.  

Oleh: Dr. Ahmad Sastra

Ketua Forum Doktor Muslim 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/02/23 : 23.08 WIB)


 

Kamis, 20 Oktober 2022

Perang Rakyat Semesta, Mampukah Hadapi Resesi Dunia?

Tinta Media - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan tiba-tiba menyerukan ‘perang rakyat semesta’. Istilah yang biasa digunakan dalam dunia militer tersebut, kali ini dipakai untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi dunia. Selama ini, sebagian masyarakat menilai, Luhut merupakan menteri yang memiliki akses dan informasi lebih dibanding menteri-menteri lain. Artinya, jika Luhut menyerukan ‘perang rakyat semesta’, bisa jadi Indonesia memang dalam kondisi waspada. 

Penggunaan istilah ‘perang rakyat semesta’ seolah menunjukkan keseriusan pemerintah mengantisipasi ancaman resesi ekonomi global yang diprediksi terjadi tahun depan. Pemerintah ingin melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk bersatu padu menghadapi ancaman tersebut. Namun sayang, Luhut sekadar mengimbau masyarakat menanam cabai dan sayuran di pekarangan rumah masing-masing. Suatu narasi besar, tetapi mendapat solusi yang terkesan receh. Rakyat memang membutuhkan cabai dan sayuran, tetapi ada hal yang lebih vital dari itu. 

Jika masyarakat diminta menanam cabai dan sayuran, akankah pemerintah menjamin harga sembilan bahan pokok (sembako) terjangkau? Sampai saat ini, beras, jagung, kedelai, gandum, bawang, gula, hingga garam yang merupakan kebutuhan pokok masyarkat masih impor. Artinya,  masyarakat tetap akan terbebani karena nantinya ada potensi kenaikan harga. Akhirnya, mustahil ketahanan pangan terwujud. Kondisi saat ini sangat kontras dengan kondisi saat Indonesia pernah menjadi negara swasembada pangan.

Di samping itu, gaung ‘perang rakyat semesta’ akan sulit terwujud di saat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menyusut. Penyelesaian hukum kasus Ferdy Sambo belum jelas endingnya, disusul pelanggaran aparat dalam tragedi Kanjuruhan yang meninggalkan duka. Padahal, rakyat sementara menderita akibat kebijakan kenaikan harga minyak goreng, BBM, elpiji, tarif listrik dan lainnya. Sementara, para elit politik dan pejabat negara sibuk copras-capres. Kondisi sosial seperti ini, mengurangi kekompakan pemerintah dengan masyarakat.

Perang Rusia-Ukraina belum juga berakhir. Kondisi ini disebut-sebut memengaruhi ketahanan energi dan pangan dunia. Meski demikian, ketergantungan Indonesia terhadap dua negara tersebut sebenarnya masih bisa diatasi. Selama ini, Indonesia mengekspor komoditas lemak dan minyak nabati ke Rusia-Ukraina. Sementara impor Indonesia dari Rusia-Ukraina lebih banyak besi-baja serta serealia. Di tengah kondisi mahalnya harga minyak goreng, minyak nabati sebaiknya difokuskan untuk pasokan dalam negeri. Hal ini turut membantu pemerintah mengantisipasi resesi. Sementara besi-baja, masih bisa tersedia dalam negeri.   

Dunia saat ini dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalis liberal. Sistem ekonomi ini berasaskan idiologi sekuler. Ancaman resesi global setidaknya menunjukan bahwa sistem ekonomi yang berlaku di dunia saat ini sangat rapuh. Seharusnya, pemerintah dan para elit pejabat negeri menyadari hal ini, kemudian mencari alternatif sistem lain yang mampu menyelamatkan kehidupan manusia sekarang dan di masa akan datang. Pemerintah seharusnya tidak membebek perjalanan sistem ekonomi dunia yang jelas-jelas salah arah. 

Ketika membahas resesi dunia, seharusnya juga membahas kedaulatan negara. Wajib bagi  pemerintah menguatkan kedaulatan negara agar tidak selalu tergantung kepada negara luar. Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Indonesia, insha Allah mampu berdiri di atas kaki sendiri. Keberanian untuk mandiri dengan mengandalkan SDA dan SDM inilah yang harus dikuatkan. 

Di sisi lain, ketika kita berhadapan dengan isu global, kita berhadapan dengan ideologi. Indonesia mengklaim memiliki Ideologi Pancasila, sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Namun, pada faktanya sistem dan kebijakan yang lahir berasaskan sekularisme, me memisahkan agama dari segala urusan dunia, termasuk terkait ekonomi. Jika Indonesia ingin selamat dari ancaman resesi dunia, hanya ada satu cara yaitu mengembalikan segala urusan rakyat pada hukum yang ditetapkan Tuhan Pencipta Alam, yaitu Allah Swt.  

Wallahu’alam bish shawab.

Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Sahabat Tinta Media, Pemerhati Sosial dan Politik

Senin, 08 Agustus 2022

Pengamat: Rusia Serang Ukraina sebagai Respon Upaya Perluasan NATO di Eropa Timur

Tinta Media - Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana mengungkapkan bahwa serangan Rusia terhadap Ukraina merupakan respon Rusia atas upaya perluasan NATO ke negara-negara Eropa Timur.

"Kita bisa menyimpulkan bahwa memang benar, serangan Rusia terhadap Ukraina adalah bagaimana respon Rusia terhadap upaya perluasan NATO ke negara-negara Eropa Timur," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Peta Ancaman Geopolitik Global, Sabtu (06/08/2022) di Kanal Youtube Khilafah News.

Menurutnya, saat ini presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dia menunjukkan keinginan kuat untuk turut bergabung terhadap NATO.

"Kita harus bisa baca bahwa posisi Ukraina ini adalah negara yang berbatasan langsung dengan Rusia. Tidak hanya berbatasan langsung, karena di atas kan Latvia itu sudah menjadi anggota NATO. Tapi Ukraina beda dengan Latvia, dia negara yang secara kapabilitas negara, bisa menjadi ancaman secara langsung terhadap Rusia," terangnya.

Ia menjelaskan bahwa luas wilayah Ukraina itu cukup besar, jumlah penduduknya banyak, juga keberadaan sumber daya alamnya cukup banyak. Terlebih sama-sama akan menjadi ancaman Rusia untuk bisa akses ke Laut Hitam itu kan masuk ke Laut Mediterania.

"Makanya kemudian menjadi harga mati bagi Rusia agar Ukraina ini tidak bergabung dengan NATO," jelasnya.

Dan itu, lanjutnya, harus dicegah dengan segala cara. "Bahkan sampai yang kita saksikan sendiri terjadilah serangan Rusia terhadap Ukraina," ungkapnya. 

Ia menilai, serangan Rusia atas Ukraina, adalah serangan yang terukur, tidak dalam rangka mengambil alih Ukraina, walaupun itu bisa dilakukan oleh Rusia.

"Tetapi terukur dalam arti memberikan warning buat NATO, buat Barat, buat Amerika, bahwa Ukraina itu menjadi harga mati untuk tidak masuk menjadi anggota NATO," simpulnya.

Tarik Ulur

Budi memandang ada tarik ulur, baik secara diplomasi atau mungkin juga bagaimana perkembangan-perkembangan situasi politik.

"Kita tidak tahu bagaimana nanti akhirnya. Kita masih tunggu bagaimana akhir dari konflik Rusia dengan Ukraina ini. Dan kita tahu bahwa di balik NATO itu, ya Amerika Serikat," ungkapnya.

Karena, sambungnya, Amerikalah yang mendirikan NATO pasca Perang Dunia kedua, dan Amerikalah yang menjadikan NATO sebagai upaya mencengkeram Eropa dalam konteks hegemoni keamanan.

"Maka, kalau ditanyakan dibalik konflik Ukraina adalah NATO dan Amerika, ya itu benar. Seperti itu," tandasnya. 

Karena, lanjut Budi, Amerika harus tetap menjaga hegemoninya di Eropa dan lebih luas di dunia. "NATO itu juga berperan untuk menjadi alat Amerika untuk mewujudkan upayanya tersebut," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Selasa, 05 Juli 2022

FIWS: Ukraina Menjadi Obyek Kepentingan Negara-Negara Besar

Tinta Media - Merespon krisis Ukraina-Rusia, Direktur Forum on Islamic World Studeis (FIWS) Farid Wadjdi menilai, Ukraina menjadi obyek kepentingan negara-negara besar.

“Dalam krisis ini, Ukraina sebenarnya menjadi obyek kepentingan dari negara-negara besar yaitu Rusia, Amerika dan Eropa,” tuturnya dalam Kabar Petang: Krisis Ukraina Pembuka Perang Dunia ke-3? Rabu (29/6/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
 
Menurut Farid, ketiga negara besar tersebut kini mulai memikirkan bagaimana cara paling efektif untuk menghentikan krisis, karena krisis ini telah menyedot energi dari negara-negara yang terlibat di dalamnya.
 
“Eropa misalkan, harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan bantuan kepada Ukraina. Di sisi lain, Eropa selama ini mengandalkan gas dari Rusia. Ini menjadi problem tersendiri bagi Eropa kalau krisis ini berkepanjangan,” ulasnya.
 
Demikian pun bagi Amerika Serikat, lanjutnya, Amerika Serikat telah memberikan bantuan dana cukup besar ke Ukraina, sebagaimana yang disampaikan juru bicara Gedung Putih, dengan pengiriman terbaru ini berarti kontribusi Amerika Serikat untuk militer Ukraina itu telah mencapai sekitar 6,1 miliar US$. “Ini tentu suatu beban yang cukup berat bagi Amerika Serikat,” imbuhnya.
 
Farid mengatakan, krisis Ukraina ini juga berdampak besar pada ekonomi internasional mengingat  Rusia memiliki kapasitas ekonomi yang  cukup signifikan di dunia terutama terkait dengan tambang, gas, dan juga perdagangan.
 
“Demikian halnya dengan Ukraina. Kerugian Ukraina cukup signifikan sebagaimana dikatakan oleh Presiden Ukraina yang mengakui bahwa Rusia saat sekarang ini menguasai sekitar 20% wilayah negaranya. Jadi, Ukraina tentu dalam kondisi yang sangat tertekan. Praktis ekonomi mereka kalaupun tidak lumpuh  pasti akan melambat, mengingat salah satu andalan Ukraina ekspor gandum. Dengan kondisi perang seperti ini  tentu tidak mudah untuk melakukan produksi gandum, apalagi mengekspornya, ke dunia lain. Ini tentu sangatlah menyulitkan Ukraina,” terangnya.
 
Rusia, lanjut Farid,  kalau berkepanjangan terlibat dalam perang ini, tentu akan menyedot  energi mereka. Apalagi Rusia memiliki pengalaman pahit terkait dengan kondisi perang  dingin yang menyebabkan negara Soviet  bubar.
 
Win-Win Solution

Melihat kondisi di atas, Farid menduga akan terjadi win-win solution. “Ada beberapa wilayah Ukraina yang diberikan kepada Rusia. Demikian juga Ukraina tetap berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka, tidak  benar-benar dicaplok Rusia,” prediksinya.
 
Dengan adanya win-win solution, Farid menilai ini merupakan upaya mereka untuk menghindari  peristiwa seperti perang dunia kedua  dan perang dunia pertama. “Saya kira  Eropa tidak akan mau  krisis Ukraina ini akan berakhir seperti  perang dunia pertama atau perang dunia kedua,” tukasnya.
 
“Amerika Serikat sendiri melihat Ukraina bukan suatu harga mati, karena wilayah Ukraina jauh dari wilayah Amerika. Amerika  jika sampai batas yang menguntungkan mereka telah tercapai tidak masalah” jelasnya.

Berhasil
 
Terkait dampak perang terhadap tatanan politik regional maupun internasional Farid menyoroti bahwa kalau target masing-masing pihak sudah tercapai (meski tidak sepenuhnya) sudah dianggap sebagai keberhasilan.

Menurutnya, target Rusia memposisikan Ukraina itu tetap menjadi wilayah strategis Rusia sehingga Ukraina harus mereka kendalikan. “Kalau solusinya itu  memberikan sebagian wilayah Ukraina kepada Rusia, demikian juga ada kesepakatan bahwa Ukraina tidak akan masuk ke NATO, sementara sejak awal  Amerika dan Eropa mengatakan tidak akan terlibat perang secara terbuka dan berhadap-hadapan  dengan Rusia. Jadi sampai batas seperti itu Rusia mungkin akan mencukupkan target mereka dalam krisis ini,” ulasnya.
 
“Sementara target Amerika mempertahankan eksistensi  NATO sejauh ini telah berhasil (dalam perspektif Amerika), untuk mempertahankan NATO, Amerika punya peran strategis di sana,” tambahnya.
 
Demikian juga, lanjutnya, target Amerika menghentikan hubungan ekonomi yang erat  antara Rusia dan Eropa terkait dengan  ekspor gas dari Rusia bisa disebut berhasil.
 
Farid mengatakan yang justru benar-benar dirugikan adalah Ukraina. “Ya itulah resiko sebagai negara kecil, negara yang bergantung kepada negara-negara besar,” tukasnya.
 
Negara Besar
 
Dari krisis Ukraina, Farid menegaskan bahwa kalau negeri-negeri Islam ingin menjadi negara yang berpengaruh harus menjadi negara besar bukan negara pengekor, karena kalau negara pengekor kebijakan-kebijakannya tidak sepenuhnya untuk kepentingan negara itu tapi lebih kepada kepentingan negara tuannya.
 
“Karena itu kalau umat Islam ingin memiliki pengaruh dalam konstelasi politik internasional umat Islam harus memiliki negara besar (ad-daulatul kubro) yang nanti akan mempengaruhi negara utama. Hanya dengan itulah umat Islam akan memiliki peran  besar dalam dunia internasional,” yakinnya.
 
Farid menyayangkan, negara besar itu sudah tidak ada di dunia Islam setelah diruntuhkannya khilafah Islam pada 1924. “Umat Islam tidak lagi memiliki negara yang  merepresentasikan ideologi Islam, merepresentasikan visi Islam, dan merepresentasikan kepentingan umat Islam,” sesalnya.
 
“Umat Islam terpecah belah menjadi negara-negara  bangsa (nation state) yang diadu domba, lemah dan tak berdaya, dan dikendalikan oleh  negara-negara besar.  Maka tidak ada ceritanya  dunia Islam mempengaruhi konstelasi  politik internasional,” tandasnya.
 
Farid berharap agar dunia Islam memiliki negara sendiri yang independen, dengan basis Islam yang jelas, visi  Islam yang jelas, dan mewakili kepentingan-kepentingan umat Islam.
 
“Bukan seperti sekarang, negeri-negeri Islam dipimpin oleh para penguasa-penguasa yang  hanya sekedar untuk kepentingan elit mereka sendiri, oligarki mereka, dan untuk melayani kepentingan  negara-negara tuan-tuan mereka.  Tidak ada sama sekali kepentingannya dengan kemaslahatan umat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Sabtu, 07 Mei 2022

Bagi Islam dan Para Ulama, Perang Melawan Penjajah adalah Jihad


Tinta Media  - Intelektual Muslim yang juga Sejarawan, Moeflich H.Hart menyampaikan bahwa bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad.

"Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (5/5/2022).

Menurutnya, tujuan para ulama melawan penjajah, bukan hanya merdeka, tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama.

"Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan," tandasnya.

Ia mengurai alasan pemilihan diksi penjajah dibanding kolonial yang dituliskan oleh Tokoh Sejarawan, Ahmad Mansur Suryanegara, di buku Api Sejarah.

Pertama, Ahmad Mansur Suryanegara paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.

Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling'.

"Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan penjajah," terangnya.

Ketiga, Ahmad Mansur Suryanegara memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.

Atas ketiga alasan itulah, Ahmad Mansur Suryanegara ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama.

"Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan," imbuhnya.

Atas penjelasan itu, sambungnya, artinya Ahmad Mansur Suryanegara, ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama, slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi.

"Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen)," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab