Lebih dari 100 Korban Jiwa, Konflik Sudan Terus Berlanjut
Tinta Media - Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana mengatakan bahwa Konflik Sudan terus berlanjut antara militer dan milisi RSF (Rapid Support Forces), sudah lebih dari 100 korban jiwa.
“Konflik eskalasi terjadi ketika terjadi perbedaan pendapat antara Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo dari RSF dan Jenderal Abdul Fatah dari militer Sudan mengenai integrasi RSF ke militer Sudan. Konflik ini menyebabkan kerugian besar dengan lebih dari 100 korban jiwa dan masih berlangsung hingga sekarang. Meskipun dunia internasional menawarkan bantuan untuk menyelesaikan konflik ini, kedua belah pihak masih belum mencapai titik temu mengenai kepentingan masing-masing,” tuturnya dalam Kabar Petang: Mencekam! Menguak Fakta Kudeta Sudan. Senin, (24/4/2023) di kanal Youtube Khilafah News.
Budi mengatakan, konflik di Sudan yang terjadi sejak tanggal 15 April melibatkan dua pihak, yaitu militer Sudan dan milisi RSF, yang awalnya digunakan sebagai milisi Janjaweed pada masa pemerintahan Presiden Umar Basyir. Pada tahun 2019 Presiden Umar Basyir digulingkan dan digantikan oleh pemerintahan sipil. Namun, masalah muncul ketika upaya integrasi dari RSF ke militer tidak berjalan dengan baik. Militer Sudan memiliki tatanan kemiliteran yang formal dan aturan yang ketat, sedangkan RSF tidak.
“Sejarah Sudan menunjukkan bahwa negara ini merupakan jajahan Inggris yang menjadi incaran Amerika Serikat karena potensi sumber daya alam yang dimilikinya, termasuk sumber emas dan mineral lainnya. Pada masa pemerintahan Umar Basyir, Amerika Serikat mendukung penuh dan menghilangkan pengaruh Inggris di Sudan," ungkapnya.
Namun, kata Budi, ketika pemerintahan Umar Basyir digulingkan, terjadi ketidakstabilan politik dan milisi RSF mulai menguasai wilayah tambang dan memberikan konsesi kepada negara-negara selain Amerika, seperti Rusia. Ada dugaan bahwa Rusia mendapatkan supply dari hasil tambang emas Sudan dan membantu dalam konflik di Ukraina.
“Penjajahan Inggris di masa lalu ini melahirkan munculnya nilai-nilai barat yang kemudian mereka tanamkan termasuk yang memanfaatkan keberadaan etnis untuk kemudian dikonflikkan satu sama lain, sehingga akhirnya kekuatan dunia Islam yang dulunya menyatu, tidak hanya Sudan tetapi juga Sudan dengan Mesir dulu menjadi satu kesatuan diadu domba satu sama lain sehingga umat Islam menjadi terpecah belah termasuk di Sudan, yang akhirnya melahirkan negara baru Sudan Selatan, di situ hanya di kuasai oleh kaum Nasrani,” ujarnya.
Budi menegaskan, apa yang terjadi di Sudan bukti dari tertancapkannya kolonialisme barat di dunia Islam. Sudan adalah Negeri muslim, dulu dijajah oleh Inggris termasuk Mesir. Makanya ini menjadi catatan bahwa paham nasionalisme ini menjadi alat bagi negara-negara barat untuk bisa memecah belah. Indonesia yang mayoritas islam menjadi satu kesatuan akhirnya kemudian bisa diadu domba satu sama lain bahkan mereka di iming-imingi dengan sebuah keuntungan yang sangat remeh dan keuntungan materi, penguasaan potensi lahan yang mungkin menjadi kepentingan-kepentingan yang sifatnya kelompok dan pribadi.
“PR-nya adalah bagaimana umat Islam ini menjadi satu termasuk juga menyatukan Sudan dengan negeri-negeri muslim lain, dan juga bagaimana umat Islam itu bisa betul-betul mandiri dari lingkungan pengaruh negara-negara barat kapitalis Global Amerika Serikat. Sekarang tanpa adanya kesatuan Islam dan juga tanpa adanya upaya untuk bisa mewujudkan kekuatan Islam yang bisa menandingi kekuatan adidaya Global yang sekarang ini eksis, yaitu sulit kita bisa melihat dunia Islam ini lepas dari konflik-konflik yang memang merupakan rekayasa dari negara-negara barat,” imbuhnya.
“Menjadi PR dari berbagai krisis yang terjadi di dunia Islam tidak hanya Sudan tapi juga banyak krisis yang terjadi di Yaman, di Irak bahkan juga di negeri negeri lain. PR -nya adalah karena memang umat Islam tidak bersatu, sehingga diadu domba dan istilah kepentingan asing masuk untuk memanfaatkan konflik yang terjadi maka umat Islam ini harus bersatu,” pungkasnya [] Abi Bahrain