Tinta Media: Penyakit
Tampilkan postingan dengan label Penyakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyakit. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Maret 2023

Miris, Penyakit TBC Indonesia Menduduki Peringkat Kedua di Dunia

Tinta Media - Penyakit TBC atau Tuberkulosis menjadikan Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia. Ini bukanlah sebuah prestasi. Namun, kabar ini membuat miris, khususnya kita sebagai rakyat Indonesia. 

Menurut WHO Global TB Report 2022, diperkirakan kasus TBC di Indonesia mencapai 969.000 dengan incidence rate/temuan kasus sebanyak 354 per 100.000 penduduk. Berita ini disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr. Imran Pambudi pada acara konferensi pers daring Hari Tuberkulosis Sedunia 2023 (17/03/2023).

Menurutnya, Penyakit TBC di Indonesia mengalami kenaikan, terutama pada anak-anak, yaitu naik sampai 200%. Dari 42.187 kasus pada 2021, naik lagi menjadi 100.726 kasus pada 2022 dan 18.144 kasus pada 2023. 

Penyakit TBC bukanlah kasus baru atau penyakit baru sebagaimana munculnya Covid-19 dua tahun silam. Kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Hanya saja, peningkatan kasus TBC akhir-akhir ini sangat mencengangkan. Bayangkan saja, jumlah kematian TBC di Indonesia setara dengan tiga orang meninggal setiap menitnya. 

Banyak faktor yang melatarbelakangi jumlah kasus TBC Indonesia sehingga bisa menduduki peringkat kedua di dunia setelah India, salah satunya adalah faktor lingkungan. Mengutip laman Alodokter (10/6/2022), ada beberapa kelompok berisiko tinggi tertular TBC, salah satunya ialah orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh, orang lanjut usia dan anak-anak orang yang kurang gizi, orang yang kekebalan tubuhnya lemah seperti penderita HIV, kanker, dsb. 

Tempat tinggal dan lingkungan yang bersih sangat penting untuk mencegah penyakit TBC. Bahkan, ada anggapan di masyarakat bahwa penyakit TBC adalah penyakit orang miskin dikarenakan tinggal di lingkungan kumuh dan kotor, walaupun tidak sedikit ada sebagian orang atau kelompok menengah ke atas menjadi penderita TBC.

Ketua UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih mengatakan bahwa kasus TBC berkaitan dengan kondisi kemiskinan di suatu wilayah. Kondisi sosial ekonomi seseorang dapat memengaruhi kesehatannya. Biasanya kualitas penanganan kesehatan orang yang lebih baik, kondisi sosial ekonominya atau kalangan atas lebih baik daripada yang berasal dari kalangan bawah atau miskin. 

Rendahnya pendidikan dan pemahaman masyarakat terkait penyakit TBC juga sangat berpengaruh. Hal ini karena masyarakat miskin tidak bisa mengakses pendidikan secara layak. Karena itu, negara harus menjalankan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan rakyat secara merata. 

Dari berbagai faktor di atas, akar masalah dari meningkatnya penyakit TBC di Indonesia ini adalah penerapan sistem kapitalis di tengah-tengah masyarakat. Sistem kapitalis ini membuat kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dll dikapitalisasikan. Jadi, masyarakat harus berusaha keras untuk memenuhi semua kebutuhan nya. 

Sangat berbeda tatkala Islam masih diterapkan di tengah-tengah umat. Islam mempunyai solusi bagi setiap masalah, termasuk kasus penyakit TBC ini. 

Negara Islam akan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan secara layak. Negara akan membuka lapangan kerja seluas luasnya agar kepala keluarga dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, dan juga dapat meminimalisir pengangguran. Negara juga akan memberikan layangan pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk seluruh rakyatnya. 

Negara mengelola SDA dan memberikan hasilnya kepada rakyat. Hasil pengelolaan SDA dapat dipakai untuk membangun sarana dan prasarana, termasuk untuk kesehatan masyarakat secara mudah dan murah. 

Negara akan memberikan pengobatan sampai sembuh terhadap orang-orang yang mempunyai penyakit menular, salah satunya kasus TBC ini. Negara pun akan melakukan deteksi dini agar penyakit menular tersebut tidak menyebar ke daerah yang lain. 
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mempersiapkan diri untuk bersama-sama memperjuangkan Islam secara kaffah, agar diterapkan di tengah-tengah umat. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Oleh: Wanti Ummu Nazba 
Muslimah Peduli Umat 

Jumat, 02 September 2022

Penyakit Menular Melanda, Minim Proteksi Negara

Tinta Media - Kementerian kesehatan telah mengumumkan temuan kasus cacar monyet atau monkeypox pertama di Indonesia melalui konferensi pers pada Sabtu, 20 Agustus lalu. Dilaporkan bahwa pasien cacar monyet pertama adalah seorang WNI, yakni pria berusia 27 tahun yang sempat melakukan perjalanan luar negeri (Republika, 27/08/2022).

Cacar monyet telah ditetapkan berstatus darurat kesehatan global sejak Sabtu, 23 Juli 2022 lalu oleh WHO karena telah terjadi di lebih dari 70 negara. Saat ini, sedikitnya 40.000 orang dari 90 negara terinfeksi virus cacar monyet dan 12 orang di antaranya meninggal dunia.

Penularan dari binatang ke manusia diyakini terjadi akibat perjalanan internasional ke negara-negara yang terpapar virus ini atau melalui binatang impor. Kemenkes menegaskan bahwa penyakit ini menular lewat kontak langsung dengan orang yang terjangkit virus cacar monyet, misalnya dengan droplet, lesi kulit dan benda yang terkontaminasi virus tersebut. Artinya, meskipun monkeypox tidak seganas Covid-19, tetap saja merupakan penyakit menular yang bisa menyerang siapa saja yang kontak dengan penderita. 

Masuknya cacar monyet membuktikan tiadanya proteksi atas penyakit menular di negeri ini sejak awal kemunculannya.
Dunia kapitalisme tidak segera mengambil tindakan untuk menghentikan penyebaran virus di awal kemunculannya. Hal ini nampak dari penetapan darurat penyakit menular setelah tersebar di lebih dari 70 negara.
Kematian akibat penyakit ini pun diukur dengan persentase dan dianggap tidak berbahaya selama kematian di bawah satu persen dari total pasien tertular. Dari sini, negara diharapkan bisa bersikap tegas, jangan sampai kesalahan penanganan Covid-19 kembali terulang. 

Namun, negara kapitalis sendiri telah menempatkan kepentingan materi di atas kepentingan pemeliharaan jiwa manusia. Penutupan akses antarnegara untuk mencegah penularan virus yang belum tersebar luas tentu dipandang sebagai kerugian bagi negara-negara yang menerapkan sistem kapitalis. Sebab, hal ini akan menghambat distribusi barang dan jasa dan tentunya merugikan para korporasi yang sejatinya menjadi pengendali dunia hari ini, meskipun kesehatan dan nyawa manusia jadi taruhannya. 

Berbeda dengan khilafah atau negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Sistem Islam memandang bagaimana seluruh problematika manusia selesai. Menjaga jiwa manusia adalah salah satu tujuan dari penerapan syariat Islam. Karena itu, saat ditemukan satu saja pasien yang terinfeksi penyakit menular, maka khalifah sebagai pemimpin negara akan segera mengambil tindakan untuk mencegah penularan tanpa menunggu penemuan pasien di wilayah lain ataupun kematian yang diakibatkannya.

Rasulullah saw. bersabda, "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar dari tempat itu" (HR. Muslim)

Kemudian negara akan segera memisahkan antara yang sehat dan yang sakit. Hal ini bisa dilakukan dengan dua pendekatan, 

Pertama, penelusuran orang yang terjangkit penyakit menular. pada setiap pasien yang mengalami keluhan kesehatan, dilakukan pengecekan apakah ada yang terpapar. 

Kedua, melakukan penelusuran umum, yakni pemeriksaan pada warga masyarakat umum agar diketahui apakah terjadi penyakit menular. Hal ini bisa dilakukan melalui tempat-tempat publik, seperti bandara, stasiun, terminal, dan lain-lain.

Khalifah juga akan segera melakukan penelitian terkait virus yang menimbulkan penyakit dan dampak mortalitas atau kematian, serta mengembangkan vaksin dengan prosedur yang efektif dan efisien. Khalifah juga mengembangkan dan menyediakan obat-obatan yang penting untuk mengobati pasien yang terinfeksi penyakit menular. Penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan akan mencegah penyakit menular dan menuntaskan hingga ke akarnya.

Sebagai orang beriman yang memiliki tanggung jawab besar, sudah selayaknya para pemimpin muslim belajar dari sejarah. Jangan sampai kasus Covid-19 kembali terulang. Wallahu alam.

Oleh: Riana Annisa
Sahabat Tinta Media

Kamis, 16 Juni 2022

Demi Kapitalis, Reformasi Hancurkan Larangan Impor Hewan Berpenyakit PMK


Tinta Media - Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai reformasi telah menghancurkan azas maximum security yang melarang melakukan impor hewan dari negara yang masih mengidap penyakit mulut kuku (PMK).

"Dahulu, Indonesia melalui azas maximum security melarang melakukan impor hewan dari negara yang masih mengidap penyakit mulut kuku (PMK) demi menghindari penyakit ini menular di dalam negeri. Tapi reformasi menghancurkan larangan itu dan membuat undang-undang baru demi kepentingan pembisnis dan importir semata," ujarnya kepada Tinta Media, (Rabu, 15/6/2022).

Menurutnya, salah satu Undang-Undang  tersebut adalah UU Nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. "UU ini menghapus azas maximum security tersebut. UU ini memberi peluang melakukan impor dari negara yang masih terjangkit PMK. Pembukaan impor ini, katanya untuk membuat harga daging sapi, kerbau dll di dalam negeri menjadi murah. Solusi instan dengan cara impor,” tuturnya.

Sehingga demi kewaspadaan nasional, Daeng dan beberapa organisasi menggugat UU Nomor 18 tahun 2009 ke  Mahkamah Konstitusi (16/10/2009). Organisasi tersebut terdiri dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Institute for Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan (PDHI), Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), masyarakat korban, serta Badan Eksekutif Mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

“Selamat gugatan dikabulkan dengan alasan bahwa UU Nomor 18 tahun 2009 melanggar konstitusi. Indonesia tidak boleh impor dari negara yang masih belum terbebas dari penyakit mulut kuku (PMK),” katanya.
 
Tidak Menyerah
 
Meski demikian, menurut Daeng, importir tidak menyerah. “Mereka merangsek masuk dengan usaha membuat regulasi baru agar bisa impor hewan dan daging murah demi alasan agar harga murah di dalam negeri,” ungkapnya. 

“Undang-Undang  baru dibuat dan disahkan yakni UU nomor 41 tahun 2014 tentang Perubahan UU peternakan dan Kesehatan Hewan. Atas dasar UU ini pemerintah membuka peluang impor dari manapun termasuk dari negara yang masih mengalami PMK,” jelasnya.

Kata Daeng, berdasarkan UU ini Presiden Jokowi membuka peluang impor dari negara atau zona yang masih terjangkit mulut kuku segera setelah dia menjadi Presiden.

“Presiden Jokowi menerbitkan peraturan baru yakni PP Nomor 4 Tahun 2016 yang membuka peluang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.  Izin impor diberikan kepada BUMN,” ungkapnya.

Tidak cukup itu, lanjut Daeng, Presiden kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu Yang Berasal Dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

“Menurut peraturan ini, selain badan usaha milik negara, pelaku usaha lainnya dapat melakukan pemasukan produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setelah memenuhi persyaratan tertentu," bunyi Pasal 7 Ayat 2 aturan tersebut,” paparnya.
 
Luar Biasa
 
Daeng menilai, upaya pemerintah menjebol azas maximum security yang telah dianut sejak Indonesia merdeka luar biasa.

“Kini Indonesia boleh mengimpor dari negara manapun, meskipun negara tersebut masih terjangkit penyakit menular berbahaya pada hewan. Alasan utamanya demi murahnya harga daging sapi dan kerbau,” ungkapnya.

Meski demikian Daeng mempertanyakan apakah benar  sejak DPR dan pemerintah Jokowi mengeluarkan peraturan liberalisasi impor yang mengorbankan aspek kesehatan itu, lalu harga daging di Indonesia menjadi murah?

“Malah sekarang yang terjadi adalah penyakit mulut kuku menjadi isu nasional kembali. Katanya sudah menjangkiti hewan ternak di Indonesia,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab