Tinta Media: Penguasa
Tampilkan postingan dengan label Penguasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penguasa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Mei 2024

Jalan Masih Rusak, Bukti Abainya Penguasa Kapitalis



Tinta Media - Rusaknya jalan menuju Stasiun Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) Tegalluar, Whoosh Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung kembali jadi sorotan. Akses jalan ini sebelumnya merupakan jalan milik desa sampai pada tahun 2023 lalu. Setelah Stasiun KCIC Tegalluar berdiri dan beroperasi, statusnya berubah menjadi jalan Kabupaten. 

Rusaknya jalan tersebut menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Barat, agar pihak Pemkab Bandung dapat melakukan perbaikan jalan. Sayangnya, perbaikan jalan tersebut tidak memuaskan karena sampai saat ini kondisinya masih sama, tetap rusak.

Dadang Silahudin selaku Kepala Desa Cibiru Hilir mengatakan bahwa perbaikan dengan tahap perataan serta pemadatan sempat dilakukan DPUTR Kabupaten Bandung. Hanya saja, tidak dilakukan secara menyeluruh. Beliau pun mengungkapkan bahwa apabila jalan diperbaiki terus menggunakan dana desa Cibiru Hilir, maka untuk kepentingan pembangunan yang lain akan banyak terpangkas. Dadang berharap, baik Pemkab maupun Pemprov Jabar dapat segera melakukan perbaikan jalan tersebut.

Rusaknya fasilitas jalan menjadi pemandangan yang biasa oleh masyarakat. Tentu mereka merasa kesulitan  karena jalan yang rusak membuat kegiatan perekonomian dan aktivitas sehari-hari jadi terhambat, bahkan sampai membahayakan jiwa karena rawan kecelakaan. 

Mirisnya, kerusakan jalan yang ada sering kali disebabkan kendaraan yang kerap melewati jalan umum. Padahal, kendaraan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ataupun terjadi kerusakan pada infrastruktur jalan.

Inilah kenyataan pahit yang harus diterima oleh masyarakat. Penyediaan jalan yang masih berkualitas rendah tentu menyebabkan jalan mudah rusak, ditambah lagi lambatnya penanganan masalah tersebut. Ini semakin menunjukkan abainya penguasa kapitalis terhadap jaminan pemenuhan fasilitas jalan yang aman dan nyaman. 

Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem ini menyebabkan solusi atas berbagai persoalan umat hari ini lamban, bahkan bisa jadi hanya sekadarnya, tambal sulam dan seperti hanya di permukaan saja. 

Jika dicermati, kondisi seperti ini bermula ketika aturan kehidupan masyarakat termasuk di bidang pelayanan umum tidak diambil dari Islam. Kepemilikan yang bersifat umum, pembagian peran dan tanggung jawab negara, pemodal, serta masyarakat juga tidak ditetapkan dengan Islam.

Sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara saat ini memandang sarana transportasi sebagai sebuah industri. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum berupa jalan justru dimanfaatkan oleh penguasa swasta untuk meraup keuntungan semata. Sementara, negara dan penguasa hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan kepentingan korporat.

Maka tak heran, sering kali kebijakan penguasa lebih cenderung berpihak pada pemilik modal ketimbang rakyat. Inilah fakta penguasa dalam sistem kapitalis.

Berbeda dengan Islam yang merupakan agama paripurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah kepemimpinan negara yang akan mengurus seluruh urusan rakyat dan menjadi pelindung bagi mereka. 

Jaminan jasa transportasi disediakan oleh penguasa dalam sistem Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana dan mampu menghubungkan antar kota lainnya. Selain itu, jalan-jalan tersebut berfungsi untuk menopang kegiatan komersial, ibadah, administrasi, militer, dan sejumlah hal lainnya.

Penguasa di dalam Islam wajib membangun infrastruktur yang baik dan merata sampai ke pelosok negeri. Penguasa di dalam Islam adalah penanggung jawab utama bagi terpenuhinya sarana dan prasarana penghubung di masyarakat seperti jalan dan jembatan. Karenanya, haruslah dikelola oleh negara dengan penuh tanggung jawab demi kemaslahatan umat.

Karena itu, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam pembangunan jalan tidak akan diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian, melainkan menjadi sebuah bentuk pelayanan kepada umat.

Sementara, dalam hal kesegeraan merespons kebutuhan masyarakat seperti jalan rusak, Islam sangat cepat. Dananya akan diambil dari Baitul Mal atau kas negara dengan tata kelola yang sangat ketat sehingga akan mencegah penyalahgunaan.
Negara akan membuat regulasi untuk mempertegas penggunaan fasilitas umum oleh pihak swasta serta menyiapkan sanksi tegas bila ada yang melanggarnya.
Wallahua’lam bishshaw


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 06 April 2024

Ziswaf: Bentuk Ketaatan kepada Allah, Bukan Penguasa



Tinta Media - Bulan Ramadan adalah bulan penuh keutamaan. Salah satunya adalah dilipatgandakan pahala. Oleh karena itu, setiap umat Islam berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan dengan mengharap rida dari Allah Swt. Umat mempersembahkan amal terbaik mereka dengan berbagi kepada sesama, misalnya dengan zakat, infak, sedekah dan wakaf (ziswaf).

Momen inilah yang membuat Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengajak dan mendorong masyarakat terutama kalangan ASN dan non-ASN untuk mengeluarkan ziswaf. Beliau yakin bahwa ziswaf punya potensi besar dan menjadi sumber daya besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Hal ini disampaikan saat sosialisasi Instruksi Bupati Bandung 2/2024 tentang optimalisasi zakat, infak dan sedekah profesi ASN dan non-ASN di lingkungan Pemkab Bandung, melalui Badan Amil Zakat (Baznas) di Gedung Korpri, Senin (18/03/2024). Beliau juga mengungkapkan bahwa saat ini rendahnya kesadaran masyarakat untuk zakat dan pengelolaan zakat yang belum optimal menjadi kendala.

Tingginya ruhiyah umat Islam di bulan Ramadan tentu menjadi momen tepat untuk meluncurkan program ziswaf ini. Namun, jangan sampai antusiasme umat untuk memaksimalkan ketaatan di bulan suci ini malah dimanfaatkan oleh penguasa. Khawatirnya, dorongan ziswaf kepada masyarakat terkhusus ASN dan Non-ASN menjadikan pemerintah berleha-leha dan abai terhadap kewajibannya untuk menyejahterakan umat. Ini karena sesungguhnya yang harus menanggung beban kesulitan masyarakat yang tidak mampu adalah tugas negara atau penguasa, bukan ASN dan non-ASN.

Negara tidak boleh mengandalkan zisfaw dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Apalagi, faktanya sebagian besar masyarakat negeri ini berada dalam garis kemiskinan. Bukan karena rendahnya kesadaran mereka untuk berzakat dan sedekah, tetapi karena impitan ekonomi yang membuat sebagian masyarakat muslim tidak mampu mengeluarkan zakat dan sedekah. Jangankan untuk membayar zakat dan sedekah, untuk mengisi perut pun susahnya setengah mati. 

Mirisnya, permasalahan kemiskinan ini terus berlarut-larut dan merembet ke mana-mana tanpa ada solusi pasti dari penguasa. Seharusnya negara mampu menyejahterakan umat dengan hasil kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, bukan hanya mengandalkan ziswaf dari masyarakat. 

Sayangnya, sistem demokrasi kapitalisme yang diemban negeri ini membuat negara menyerahkan pengelolaan SDA ke tangan asing dan aseng, sehingga tidak mampu membiayai kebutuhan rakyat. Alih-alih membuat program ziswaf untuk menyejahterakan rakyat, padahal rencana ini sarat akan asas manfaat, bukan untuk kemaslahatan bersama. 

Jika negara benar-benar peduli terhadap rakyat, harusnya melakukan pengelolaan maksimal terhadap SDA secara mandiri sehingga lapangan kerja terbuka lebar untuk rakyat. Alhasil, tidak akan ada rakyat yang kesulitan untuk mengeluarkan zakat dan sedekahnya.

Inilah bukti ketika sistem demokrasi kapitalisme dijadikan landasan untuk mengelola suatu negara. Maka, yang terjadi dalam sistem ini adalah tidak adanya keseriusan negara atau penguasa dalam meriayah (mengurusi) rakyat. Penguasa memilih para pemilik modal yang jelas-jelas memberikan keuntungan materi secara langsung. 

Penguasa membiarkan masyarakat berjuang sendiri menghadapi kesulitan, karena mereka hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Jadi, sampai kapan pun kesejahteraan rakyat hanya sebatas angan-angan saja, jika sistem ini masih bercokol di negeri ini.

Selain itu, mengenai pengelolaan zakat yang belum optimal, pemerintah harus segera berbenah. Ini karena pengelolaan zakat harus betul-betul dilakukan dengan amanah, tepat sasaran, dan transparan, tanpa meninggalkan celah tindak korupsi, agar kesejahteraan masyarakat bisa terwujud. Tentunya dengan mengambil aturan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Berbeda dengan sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyat, termasuk mengatur masalah ziswaf. Masyarakat yang hidup dalam Daulah Islam tentu paham betul dengan perintah dan larangan Allah Swt. Salah satunya dalam hal membayar zakat dan bersedekah. Masyarakat akan memiliki kesadaran penuh bahwa dengan mengeluarkan zakat bagi yang mampu tidak akan membuat harta berkurang, justru akan membawa keberkahan bagi si pemberi dan penerimanya.

Allah Swt. berfirman yang artinya, 

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mengeluarkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebulir yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa pun yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (TQS. Al Baqarah 2: 261)

Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu lagi didorong untuk beramal saleh, karena penerapan syariat Islam secara kaffah membuat setiap umat Islam dengan penuh keikhlasan menyisihkan sebagian harta untuk membantu saudara yang tidak mampu sebagai bentuk ketaatan dan mengharap rida Allah Swt. bukan karena keterpaksaan atas dorongan penguasa.

Apalagi pada bulan Ramadan, seluruh umat Islam berlomba-lomba dan melakukan kebaikan, memberikan amal terbaiknya untuk berbagi kepada sesama, seperti zakat, infak, dan sedekah. Oleh sebab itu, agar pengelolaan zakat ini bisa optimal, maka harus dikelola oleh negara agar tepat sasaran dan merata, sehingga bisa meringankan kesulitan masyarakat yang tidak mampu.

Tentunya pengelolaan zakat ini harus sesuai hukum syara', tidak boleh dilakukan asal-asalan karena zakat adalah amanah yang harus dilakukan secara transparan, tidak boleh ada manipulasi data demi meraup keuntungan, seperti dalam sistem kapitalisme. 

Dalam Islam, zakat dikumpulkan di baitul mal, termasuk juga hasil SDA, ghanimah, dan jizyah yang dipungut dari kafir zimmi. Seluruh pendapatan negara digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.

Proses pengelolaan zakat pun harus dilakukan dengan cara yang sigap dan disiplin, seperti yang Rasulullah contohkan, tidak pernah menunda penyaluran zakat. Misalnya, setiap kali zakat diterima pagi, maka sebelum siang sudah disalurkan kepada masyarakat. Jika zakat diterima siang hari, maka sebelum malam sudah disalurkan. Tidak ada zakat yang tersisa dan dilakukan secara transparan.

Begitu pula amil yang diberi tugas harus amanah, jujur, dan akuntabel. Maka, hanya dalam Islam, pengelolaan zakat bisa dilakukan dengan optimal sehingga perekonomian negara menjadi stabil, kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin bisa teratasi. 

Maka dari itu, negara harus menerapkan sistem Islam sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat. Saatnya kita kubur sistem demokrasi kapitalisme yang menyengsarakan rakyat dan menggantinya dengan sistem sahih, yaitu Islam.
Wallahualam.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Minggu, 17 Maret 2024

Penguasa Arab Saudi Memainkan Peran sebagai Pengikut AS


Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai, manuver  menteri luar negeri Arab Saudi pada konferensi Davos  yang menegaskan bahwa siap menjalin hubungan damai dan menerima solusi dua negara, membuktikan bahwa penguasa Arab Saudi memainkan perannya sebagai pengikut Amerika Serikat (AS).

"Para penguasa Arab Saudi memainkan peran sebagai b4j*ng4n yang mengamini setiap keputusan dan kemauan para pemimpin AS," ujarnya dalam video yang bertajuk Terbongkar Rencana Jahat yang Kalian Sembunyikan Selama Ini, di kanal Youtube Justice Monitor, Senin (5/3/24).

Agung melanjutkan, manuver dari menteri luar negeri Faisal Bin Farhan Al-Saud membuktikan bahwa di level dalam negeri memerangi Islam dan seruannya untuk menyebarkan permusuhan, kefasikan, abnormalitas.

"Di level luar negeri, melalui hubungannya dengan AS yang sudah begitu jauh serta kesediaannya untuk mengakui entitas Yahudi melalui solusi dua negara," imbuhnya.

AS lanjutnya, menggunakan Arab Saudi dengan rayuan normalisasi dan uang untuk melakukan semua proyek dan rencananya terkait masalah Palestina.

"Itulah ‘wortel’ yang digunakan AS untuk memperdaya entitas Yahudi agar menerima proyek-proyeknya," ungkapnya. 

AS kata Agung, sangat menyadari kelemahan rezim Arab dan menjadikan rezim Arab Saudi bisa digoyangkan dari waktu ke waktu.

“Pemimpin Israel dan  penguasa Arab Saudi tidak pernah menolak permintaan AS atau pun mengecewakannya," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Selasa, 20 Februari 2024

Direktur FIWS: Keberadaan Para penguasa di Timur Tengah Tidak Bisa Dilepaskan dari Negara Bangsa



Tinta Media - Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi mengatakan, keberadaan para penguasa di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari negara bangsa. 

“Keberadaan para penguasa di Timur Tengah itu tidak bisa dilepaskan dari kemunculan negara bangsa yang lahir dari rahim kolonialisme yang memang dirancang oleh AS dan Inggris untuk tetap bisa mengendalikan Timur Tengah,” ungkapnya di Kabar Petang: AS Merancang Gencatan Senjata Israel-Hamas? di kanal Khilafah News, Sabtu (17/2/2024). 

“Dengan terpecahnya Timur Tengah menjadi negara bangsa, ditambah lagi para penguasanya dikontrol terus oleh AS, Amerika bisa memperlambat --bukan menghentikan-- kemunculan kekuatan politik dunia Islam di Timur Tengah,” ulasnya. 

Farid berargumen, dikatakan memperlambat karena masyarakat di Timur Tengah sudah tahu persis bahwa penguasa mereka adalah pengkhianat, dan bahwa negara bangsa adalah prinsip yang dipaksakan atas Timur Tengah untuk memecah belah umat Islam. 

“Keinginan masyarakat Timur Tengah, juga dunia Islam bersatu di bawah naungan Khilafah ‘ala min haj an-nubuwwah adalah sesuatu yang tidak bisa dibendung. Jadi apa yang dilakukan oleh Amerika sebenarnya hanya memperlambat, bukan menghentikan tegaknya kembali Khilafah yang akan mempersatukan kaum muslimin,” yakinnya. 

Pengkhianatan 

Farid menilai, penerimaan para penguasa Timur Tengah terhadap keputusan Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ)  yang meminta Zion*s tidak melakukan genosida merupakan bentuk pengkhianatan. 

“Apa yang dikatakan ICJ adalah meminta Zion*s agar tidak melakukan atau mencegah untuk melakukan genosida. Artinya keputusan ini tidak menetapkan bahwa apa yang dilakukan Zion*s Y4hudi bukanlah genosida, padahal jelas yang dilakukan Zion*s adalah genosida,” tegasnya. 

Artinya, ia menegaskan, keputusan ICJ itu tidak punya arti, dalam pengertian memberikan dampak yang signifikan. 

“Kalau ingin melakukan suatu hal yang signifikan sebenarnya sederhana, yang bisa dilakukan oleh penguasa-penguasa Timur Tengah ya kirim pasukan, bombardir terutama di pangkalan-pangkalan udara militer Zion*s itu akan melumpuhkan pesawat-pesawat tempur mereka, melumpuhkan helikopter-helikopter mereka yang selama ini digunakan untuk membunuh kaum muslimin,” sarannya. 

Di samping itu, ucapnya, para penguasa negeri Islam bisa melakukan langkah ekonomi dengan memutus segala bentuk hubungan ekonomi dengan Zion*s. 

Namun Farid menyesalkan, Turki hingga saat ini masih melakukan hubungan dagang dengan Zion*s, bahkan terus mengirim kebutuhan-kebutuhan yang menjadi kebutuhan vital untuk mesin perang Zion*s Y4hudi berupa baja dan gas. 

“Tidak hanya Turki, negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Yordania, Saudi, membiarkan truk-truk yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan vital untuk menghidupkan ekonomi Zion*s Y4hudi melalui wilayah mereka, setelah ada krisis di Yaman. Apa ini bukan pengkhianatan?” tanyanya retorik. 

Farid berandai, kalaulah negara-negara itu menghentikan pasokan gas, minyak, kebutuhan-kebutuhan pokok untuk entitas penjajah, ini akan melumpuhkannya secara ekonomi. 

“Namun ini tidak dilakukan. Jadi bisa disebut penguasa-penguasa Arab ini adalah lingkaran terdekat yang justru menjaga keberadaan Entitas Penjajah Y4hudi,” sesalnya. 

Farid mengulas, sejak awal berdirinya negara bangsa di Timur tengah memang dirancang untuk kepentingan entitas Zion*s dan menjadi garda terdepan dalam menjaga Entitas Y4hudi dan untuk kepentingan Amerika. 

“Demikian juga keberadaan OKI yang merupakan kumpulan dari penguasa-penguasa pengkhianat tersebut. Maka bisa dipastikan mereka tidak akan melakukan tindakan yang bisa memberikan dampak signifikan yaitu menghilangkan Entitas Penjajah Y4hudi,” paparnya. 

Ini, lanjutnya, sebenarnya sangat disadari oleh dunia Islam saat ini, dan apa yang dilakukan oleh penguasa Arab itu sebenarnya adalah upaya bunuh diri secara politis. 

“Waktunya insyaallah semakin dekat, dan kalau persatuan kaum muslimin muncul tidak akan ada yang bisa menghalangi umat Islam, hatta negara seperti Amerika Serikat sekali pun,” yakinnya memungkasi penuturan.[] Irianti Aminatun

Senin, 11 September 2023

Penguasa Oh Penguasa

Tinta Media - Kejam sekali penguasa di negeri ini, rakyat sudah mulai gelisah karena kebutuhan pokok mulai naik sedangkan gaji buruh masih stagnasi tidak ada kenaikan, eh malah dapat kabar mau dihilangin bahan bakar pertalite di awal tahun 2024 oleh PT Pertamina (Persero). Padahal di dalam pandangan Islam, Sumber Daya Alam (SDA) termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) itu milik rakyat, kalau milik rakyat artinya itu kembali juga kepada rakyat secara gratis, penguasa atau pemerintah hanya mengelola bukan berbisnis.

 

Walaupun saya sepakat, bahwa alasan penghapusan pertalite dengan diganti pertamax green 92 itu adalah karena masalah penghijauan dan lingkungan, tapi penguasa harus fair dong, seluruh hal aktivitas dan juga proyek-proyek yang merusak alam dan lingkungan itu juga harus dihapus dan dihentikan juga. Di satu sisi dihapus karena alasan lingkungan alam, di sisi lain proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) yang jelas-jelas merusak alam diberi jalan dan dikebut.

 

Iya sih setuju dengan perkataan para elite bahwa IKN ini untuk rakyat, tapi cobalah berpikir kira-kira lebih penting mana kesejahteraan rakyat dengan pembangunan proyek IKN. Kalau aku sih sebagai mahasiswa pasti lebih memilih untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat daripada membangun IKN. Kan di dalam Islam kepemimpinan itu amanah yakni mengatur semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok, sandang pangan, papan bagi tiap individu warga negara, bukan tiap keluarga. Dan juga menjamin pemenuhan hidup seperti pendidikan, kesehatan, dan juga keamanan secara cuma-cuma dan gratis, serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman dalam memelihara urusan rakyat.

 

Lantas, bagaimana mau menghidupi rakyat kalau uangnya saja dikorupsi, bakhan rakyat sendiri saja susah untuk menghidupi dirinya sendiri. Coba lihatlah para penguasa di luar sana betapa susahnya mencari pekerjaan, di samping susahnya mencari pekerjaan ,di sisi lain PHK (Pemutus Hubungan Kerja) terjadi dimana-mana, bahkan di perusahaan besar sekali pun. Di lain sisi lagi masyarakat dibebani dengan berbagai macam pajak. Mana nih, peran negara katanya bekerja untuk rakyat?

 

Apa yang ada di pikiranmu wahai penguasa? Anda itu dipilih oleh rakyat loh, perjuangkanlah atas nama hak rakyat. Ingatlah dulu waktu pemilu dekat dengan rakyat, mengayomi, tapi ketika terpilih, rakyat malah ditendang. Apakah engkau masih punya hati?

 

Ya saya sangat berterima kasih kepada Bapak Ir. Bambang Wuryanto atau dikenal dengan nama Bambang Pacul anggota DPR Jateng IV yang dengan lugasnya mengatakan bahwa korea-korea (DPR) ini nurut pada ketua partai, itu informasi yang sangat berguna untuk kami masyarakat, buruh dan warga negara Indonesia bahwasanya hakikatnya para elite dan anggota DPR sejatinya bukan mewakili rakyat tapi mewakili kepentingan partai.

 

Ya benar bagiku para partai politik di negeri ini mewakili rakyat, tapi mewakili rakyat yang mana ternyata rakyat yang sedikit yang dimana lekat akan kepentingan-kepentingan bisnisnya alias para cukong-cukong yang mendanainya diwaktu kampanye, kalau para partai politik mewakili rakyat harusnya tidak menyetujui dan tidak mengesahkan UU Kesehatan, UU Cipta Kerja, Omnibuslaw, penghapusan pertalite yang padahal itu semua sudah secara terang-terangan ditentang oleh masyarakat, oleh para intelektual dan juga para pakar.

 

Ingatlah wahai engkau penguasa, jika kau beragama Islam renungkanlah sabda Rasulullah SAW, "Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya," (HR Al-Bukhari, An-Nasa’i dan Ahmad).

Peringatan Rasulullah SAW ini sudah sangat jelas, maka dari itulah, beliau memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta jabatan dan kekuasaan.

 

Memang menjadi pemimpin itu berat tanggung jawabnya di dunia dan di akhirat sangat luar biasa. Namun banyak orang berambisi, setelah menjadi penguasa, menjadi pejabat tak peduli lagi halal dan haram, segala macam cara dilakukan untuk melanggengkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, partainya dan para oligarki.

 

Maka dari itu, saran saya campakkan sistem ini, karena hanya melahirkan orang-orang haus dan rakus akan kekuasaan. Hidupkanlah sistem yang benar-benar mengatur urusan rakyat yang berpondasi pada akidah yang benar yang tak lain adalah sistem khilafah yang terbukti dan mampu menjamin kesejahteraan rakyat, bahkan bukan hanya muslim saja melainkan non muslim atau kafir juga. []

Oleh: Setiyawan

Mahasiswa Ideologis

 

Sabtu, 17 Juni 2023

Prof. Fahmi Amhar: Penguasa Bermental Pengusaha Menjabat Hanya untuk Menguras Rakyat

Tinta Media Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar membeberkan, penguasa tidak peduli pada permasalahan rakyat, tapi hanya peduli bagaimana cara menguras kekayaan rakyat selagi masih berkuasa.

"Sehingga memang kalau kita berpikir seperti itu, memang jadi negarawan nggak bisa tidur nyenyak. Tapi kalau usahawan kan nggak peduli. Sekarang mumpung berkuasa ngapain gitu? Apa yang bisa kita kuras dari negeri ini," ungkapnya pada live streaming bertema Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Pulau Kecil Tenggelam, Demi Apa? Senin (12/6/2023) di laman YouTube PAKTA Channel.

Ia menambahkan, kalau bermental usahawan negara, nanti kalau presiden baru, musim panceklik nanti, persoalannya rakyat tidak akan bisa melakukan apa-apa. 

"Jadi mungkin ya presiden doesn't read what he sign. Dia dulu ngomong sendiri kan, "I don't read what I sign. Itu kalau dibaca semua capek lah. UU Cipta Kerja itu berapa? Tiga ribu halaman. Siapa yang kuat baca itu? Jadi biar jadi sudah pada diparaf ya. Menteri-menteri sudah paraf, bawa ke DPR. Menteri-menteri sudah paraf, selesailah," kesalnya.

Bahkan, sambungnya, penguasa akan menitikberatkan kesalahan mereka kepada rakyat dengan menyebut bahwa rakyat yang salah karena telah memilih mereka sebagai wakilnya. 

"Ini ditanggung rakyat yang milih gitu jadinya. Itulah konyolnya di sistem ini. Jadi kita hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang yang punya akses pada kekuasaan dan mereka punya legalisasi," pungkasnya. [] Wafi

Jumat, 10 Maret 2023

Bila Hidup Mewah Menjadi Gaya Hidup Penguasa

Tinta Media - Rakyat tak henti-hentinya dizalimi oleh penguasa. Gaya mewah penguasa dan keluarganya sudah sering disaksikan oleh masyarakat, apalagi di jaman sosial media yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Ajakan berbaju sederhana oleh presiden tidaklah sesederhana menyederhanakan gaya hidup pejabat dan keluarganya. Mulai dari tas istri hingga kendaraannya, semua tahu, harganya sangatlah mahal.

Berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Setelah dihantam pandemi, krisis ekonomi sudah dirasakan. PHK ribuan buruh terjadi di berbagai kota. Angka kemiskinan dipastikan semakin meningkat. Sementara, para pejabat direktorat pajak bergelimang harta hasil pajak, rakyat mati-matian mengumpulkan harta untuk membayar pajak, di samping kebutuhan hidup lainnya yang semakin menyesakkan dada.

 Gaya Hidup Mewah Khas Kapitalis

Gaya hidup penguasa yang mewah dan mengarah kepada hedonisme adalah buah kehidupan sistem kapitalis. Orientasi hidup para hedonis adalah untuk kenikmatan dan kesenangan tanpa batas. Maka, materi adalah alat mereka untuk memenuhi semua itu. Tentu saja halal dan haram sudah disingkirkan jauh oleh para hedonis.

Gaya hidup hedonisme pasti beriringan dengan sikap individualisme, sikap bahwa semua hal hanya tentang dirinya, tak perlu memperhatikan apa yang terjadi dengan orang lain. Bisa dibayangkan bila hal ini terjadi pada para penguasa yang seharusnya mengurusi rakyat. Padahal, ada 270 juta lebih rakyat Indonesia yang harus diperhatikan kebutuhannya oleh pemerintah. Apalagi, ada 27 juta lebih penduduk miskin di Indonesia, dengan pendapatan Rp17.851/hari. Padahal di kehidupan nyata, tak terhitung jumlah penduduk Indonesia yang bahkan tidak memiliki sumber penghasilan.

Berbeda dengan Islam yang sangat memperhatikan dan mengatur agar semua manusia bisa menikmati kehidupan dengan baik, halal, dan menentramkan. Islam mengatur agar harta tidak hanya berkumpul di tangan orang-orang kaya, tetapi juga bisa dinikmati oleh semua orang. Ada kewajiban berzakat bagi yang telah sampai nishab dan haul hartanya. Zakat dibagikan kepada para mustahiq (golongan yang berhak menerima zakat). Sedekah sebagai bukti kepedulian seorang muslim juga menjadi amalan utama orang-orang dengan kategori berkecukupan.

Bila ada anggota masyarakat yang kekurangan, yang paling bertanggung jawab adalah penguasanya, setelah keluarga, kerabat dan tetangganya tidak mampu membantu. Mekanisme penanganannya juga tidak menunggu video si Miskin menjadi viral, tetapi cukup dengan perhatian semua aparat dari tingkat pusat hingga daerah atas kondisi rakyatnya.

Tidak perlu prosedur khusus untuk melayani rakyat. Ini seperti apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. dengan memberikan langsung sekarung gandum kepada seorang ibu dan anak-anaknya yang kelaparan. 

Para penguasa, pejabat, juga pegawai negara dijauhkan dari sifat tamak mengumpulkan harta dari jalan yang haram. Kisah seorang sahabat bernama Hakim bin Hizam ra. , yang juga keponakan Ummul Mukminin Khadijah ra. , tidak mau mengambil gajinya sepeser pun dari baitul maal. Beliau adalah seorang yang ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang kaya. Kegemarannya bukan flexing, pamer kekayaan, tetapi bersedekah.

Semua yang mereka lakukan didorong karena ketakwaan mereka kepada Allah Swt., meneladani apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sistem hidup yang dianut adalah Islam kaffah, dengan tegaknya sistem politik Khilafah.

Perubahan Menghentikan Hedonisme

Hedonisme bisa dihentikan bila sistem hidup kapitalisme dilepaskan oleh bangsa ini. Sikap berbangga akan materi yang dimiliki dan bersikap individualisme jelas bukan gaya hidup seorang muslim. Dalam Al-Qur'an, di banyak ayat digambarkan perilaku bermewah-mewahan adalah perilaku musuh-musuh Allah. Nauzubillahi min zaalika.

Perubahan ini tidak berhenti pada taubatan nasuha personal, tetapi harus taubatan nasuha atas sistem hidup yang jauh dari tuntunan Allah dan Rasulullah saw. Kita tidak cukup menolak membayar pajak untuk menghentikan hidup mewah para pejabat pajak, tetapi juga harus menolak sistem hidup kapitalisme yang menjadikan negara hanya bergantung kepada pajak, sementara sumber daya alam yang melimpah diserahkan kepada asing dan swasta dan kita hanya dapat remahannya.

Menjadi pilihan bagi kita, hidup sejahtera dengan rida Allah atau hidup menderita dengan dengan ancaman murka Allah Swt. Wallahu a'lam bisshawab

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Pengajar Ponpes Nibrosul Ulum Sidoarjo

Selasa, 03 Januari 2023

PERPPU CIPTA KERJA: HUKUM SUKA-SUKA PENGUASA!

Tinta Media - Dulu, saat Pemerintah dan DPR merevisi UU KPK, masyarakat protes. Saat itu, segenap elemen masyarakat mendesak Presiden Jokowi agar dapat menerbitkan Perppu untuk membekukan keberlakuan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Nyatanya, tuntutan masyarakat tidak dipenuhi. Situasi genting karena banyaknya demo stas penolakan UU KPK yang baru, tidak menggerakkan Presiden untuk menerbitkan Perppu.

Namun, di penghujung tahun 2022 tepatnya pada tanggal 30 Desember 2022, tak ada angin tak ada hujan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 

PERPU ini diklaim diterbitkan dalam situasi genting, situasi yang mendesak. Menko Airlangga Hartarto menyebut, pengeluaran Perppu ini sudah sudah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138/PUU-VII /2009.

Dalihnya, kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Jadi, dalihnya bukan lagi pandemi Covid-19, melainkan masalah global.

Memang benar, Presiden memiliki wewenang untuk menerbitkan PERPPU. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, dikatakan:

"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang."

Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 (perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan) yang berbunyi:

"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."

Namun, kewenangan Subjektif Presiden untuk menerbitkan PERPU ini diatur dengan syarat objektif yang limitatif, sebagaimana diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. 

Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU, yaitu:

Pertama, Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

Dalam penerbitan PERPPU No 2/2022 tentang Cipta Kerja ini tidak ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Amanat Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun (25 November 2023) tidak diperbaiki maka akan inkonstitusional secara permanen. 

Namun, dalam rentan hingga dua tahun ini ternyata pemerintah tidak melaksanakan amanah putusan MK untuk memperbaiki tapi malah potong kompas dengan menerbitkan PERPPU. Ini bukan kegentingan yang memaksa, tetapi menciptakan kegentingan untuk kepentingan syahwat diktator konstitusi.

Dalam Putusan MK angka 3 a Quo, menyebutkan:

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”."

Makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK tersebut adalah dalam 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan yaitu tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023, UU Cipta Kerja masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 di antaranya adalah:

1. Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011;

2. Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja; dan

3. Menghindari adanya perubahan substansi yang ‘mendadak’ di sela-sela proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan.

PERPPU Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden ini melanggar 3 konsekuensi putusan MK dimaksud. Karena itu, PERPPU dibuat cacat proses dan prosedur (cacat formil).

Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

Faktanya, kalaupun UU Cipta Kerja tidak direvisi oleh pemerintah dan DPR dalam dua tahun. Dalam amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Itu artinya, tidak ada kekosongan hukum. Sebab, kalaupun pemerintah dan DPR gagal merevisi UU Cipta Kerja selama 2 tahun, maka UU tersebut akan inkonstitusional permanen dan undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja dibuat dengan teknik Omnibus Law, sekitar 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal direvisi secara sekaligus melalui UU ini.

Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sebenarnya, masih ada waktu bagi Pemerintah dan DPR untuk mematuhi amar putusan Mk Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selama tenggang waktu 2 tahun pemerintah diberi waktu untuk memperbaiki.

Namun, sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 revisi UU Cipta Kerja ini tidak masuk Prolegnas. Itu menunjukan Pemerintah dan DPR malas bekerja untuk melaksanakan putusan MK.

Alhasil, PERPU Cipta Kerja tidak dibuat dalam situasi genting, tidak ada kebutuhan mendesak, tidak ada kekosongan hukum karena sebelumnya Pemerintah dan DPR diberi waktu 2 tahun untuk merevisi UU Cipta Kerja. PERPPU Cipta Kerja ini sejatinya mengkonfirmasi kemalasan dan ketidakpatuhan Pemerintah dan DPR untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Pejuang Syariah & Khilafah

https://heylink.me/AK_Channel/

Minggu, 18 Desember 2022

Penguasa Harusnya Memiliki Empati Tinggi terhadap Kondisi Rakyat

Tinta Media - "Penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi terhadap kondisi rakyatnya," tutur narator Muslimah Media Center (MMC) rubrik Serba-Serbi MMC: Pernikahan Mewah di tengah Penderitaan Hidup Rakyat, Selasa (13/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Namun dalam demokrasi, sifat tersebut cenderung akan terkikis habis oleh sekularisme yang menjadi asas sistem ini, lanjut narator, memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan, padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya.

"Jika agama dijauhkan dari kepemimpinan negara maka lahir penguasa yang tidak merasa sungkan atau merasa bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi," paparnya.

Demokrasi yang membentuk kepemimpinan transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan, lanjutnya, konsekuensinya kalaupun dalam sistem terdapat banyak aturan tentang urusan rakyat namun selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis, yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih bagi rakyat, tak heran jika keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata.

"Realita tersebut sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang disebut khilafah. Dalam khilafah, akidah Islam menjadi asas kepemimpinan," ungkapnya.

"Karena itu terwujud sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka, sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan berimplikasi pada kehidupan akhirat," tegasnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat." 
(Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim)

"Dalam khilafah, syariah Islam menjadi panduan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan," ungkapnya.

Narator memaparkan bahwa syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah menjadi ra'in (pengurus dan pemelihara) serta menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap aqidah dan syariah Islam ini akan menghasilkan sifat wara dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakan untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya, walaupun hanya sedikit.

"Salah satu teladan yang seperti ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan bahwa beliau ketika sedang menyelesaikan tugas kantor di meja kerjanya datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya," paparnya.

Narator melanjutkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lantas mempersilahkan putranya masuk dan mendekat lalu bertanya, "Ada apa putraku datang ke mari, untuk urusan keluarga ataukah urusan negara?"

Narator mengatakan, sang putra menjawab bahwa kedatangannya untuk urusan keluarga, mendengar jawaban itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas mejanya sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Sikap beliau ini membuat anaknya heran, mengapa ayahnya melakukan itu. Sang Khalifah pun menjawab, "Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai penjabat negara. Minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara sedangkan engkau datang ke sini untuk membahas urusan keluarga kita."

Kemudian Khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya. Beliau pun berkata, "minyak untuk menyalakannya dibeli dengan uang kita sendiri."

"Meski di dalam kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara yang dimaksud hanyalah berupa lampu penerang namun beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi meski hanya sebentar," ujarnya.

Dengan sikap dan perilaku penguasa demikian tak heran jika selama 1.300 tahun keberadaan khilafah, rakyat mendapatkan perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasanya. "Kondisi ini tentu tidak akan pernah bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi sekuler," pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL RELASI PENGUASA DAN RAKYAT DI KUHP

Tinta Media - Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen. Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

 

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

 

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

 

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

 

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”

 

Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

 

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. ”Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

 

Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. ” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. ” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.

 

Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

 

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

 

Dalam Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta. Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.



Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat 'konstruktif'.

Relasi penguasa dan rakyat dalam RKUHP dibandingkan relasi dalam Islam jelas bertentangan 180 derajat. Di RKUHP penguasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat dan sejenisnya dari rakyat. Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan.

 

Padahal mestinya pemimpin itu bersyukur jika rakyatnya peduli dan masih mau memberikan berbagai masukan kepada pemimpinnya. Di RKUHP yang kini menjadi KUHP ini posisi rakyat seolah selalu akan jadi korban dan selalu jadi sasaran untuk disalahkan. Rakyat dianggap tak pernah benar, dilarang bicara, hanya disuruh diam dan menerima apapun yang dilakukan penguasa.

 

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

 

Ini juga pasal yang kontroversial dan agak aneh sebenarnya. Jika mau berpikir sejalan mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng. Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat, kecuali dikuasai oleh asing dan aseng. Makar yang sesungguhnya adalah justru pada penerapan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negeri ini. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.

 

Pasal ini juga bisa jadi pasal karet yang multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri terbukti telah menyengsarakan rakyat. Kapitalisme adalah ideologi imperialisme warisan penjajah.

 

Jika rakyat menginginkan perubahan sistem agar menjadi lebih baik, maka melalui pasal ini, bisa jadi dianggap makar. Sebab secara filosofis, tidak ada yang final di dunia ini, semua terus akan berubah. Apakah jika negeri ini berubah menjadi lebih baik itu tidak boleh. Apakah ada intervensi oligarki dalam pengesahan RKUHP ini? Bukannya pasal 192 itu justru paradoks?

 

Pada pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi pidana Di pasal 188 (1) berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal ini jika mau dipahami dengan baik, maka salah satu paham yang bertentangan dengan pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini seperti sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pragmatisme dan banyak isme lain yang justru sangat bertentangan dengan pancasila. Hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan pancasila, bahkan secara historis, ada yang berpendapat bahwa pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini. Ini secara akademik.

 

Namun demikian, secara politik yang terjadi justru sebaliknya, seringkali penyebaran ajaran Islam seperti syariah dan khilafah dianggap bertentangan dengan Islam, padahal keduanya tidka termasuk isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya, jika Islam tidak bertentangan dengan pancasila, berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan. Menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan. Karena itu pasal 188 ini sangat rawan ditarsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti pancasila.

 

Selama ini tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam, bukan kepada yang lainnya. Dengan adanya pasal 188, kemungkinan berbagai tuduhan kepada umat Islam akan terus digaungkan. Sementara kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan pancasila malah akan terus tumbuh subur.

 

Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. kPada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

 

Istilah menghina kekuasaan ini tentu saya sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa. Pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Dikhawatirkan dengan pasal ini jika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, maka bisa saja ditafsirkan sebagai delik penghinaan, bisa saja kan ?

 

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. ituTentu saja lembaga negara itu harus dihormati oleh rakyat karena mereka itu pelayan rakyat. Namun jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkannya. Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa. Ini relasi kontrakproduktif antara penguasa dan rakyat.

 

Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan bahwa bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Konsistensi demokrasi dipertanyakan lewat pasal ini, sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKHUP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya.

 

RKUHP juga mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media. Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

Bunyi pasal 263 ayat 1 adalah sebagai berikut : Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta. 

 

Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264. 

 

Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab disaat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara. Tentu saja hal ini tidak sehat, terlepas secara etika memang tidak boleh menyebarkan berita bohong. Namun pasal ini selain menimbulkan suasana tidak kondusif bagi diskursus sosial politik di negeri ini, juga telah berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat.

 

Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.

 

Rasulullah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.

 

Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.” Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.

 

Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah.

 

Semisal dari sekitar 627 pasal yang dikutip detik.com, lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) tidak dimasukkan sebagai delik pidana.Padahal sudah lama disuarakan agar disorientasi seksual itu dimasukkan sebagai pelanggaran hukum. Tentu saja telah jelas, bahwa praktek LGBT bertentangan dengan agama sebagai living law negeri ini, termasuk bertentangan dengan Pancasila. Namun apa daya rakyat tak mampu mengatur undang-undang negeri ini, bisanya hanya memberikan masukan dan rasa benci dalam hati sebagai bentuk lemahnya iman karena dibatasi oleh kewenangan.

Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan : Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/12/22 : 14.56 WIB )
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Kamis, 27 Oktober 2022

Narasi Mengancam, Buktikan Saja di Pengadilan

Tinta Media - Semua orang harusnya menghormati keputusan hukum dalam pengadilan yang adil, bukan hasil rekayasa penguasa. Hukum harus ditegakkan untuk semua orang, termasuk mereka yang berlindung di balik kekuasaan. Penguasa harusnya memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyuarakan kebenaran, bukan menekan dan mengancam mereka yang berani menggugat di depan pengadilan. 

Merupakan kemunduran dalam persepektif hukum jika penguasa mengancam, bahkan menangkap rakyat yang berani menggugat kesalahan penguasa. Tidak usah panik atau tergesa-gesa menangkap siapa saja yang dianggap mengancam, karena bisa jadi kritikan dan masukan memang diperlukan untuk perbaikan. Bisa jadi, gugatan dari rakyat merupakan bentuk cinta pada pemimpinnya agar tidak tergelincir pada kesalahan yang membawanya pada kehancuran dan kehinaan.

Siapa yang paling memungkinkan berbuat zalim pada rakyat biasa? Lalu, untuk apa takut dengan gugatan rakyat, jika memang merasa benar?

Semua bisa dibuktikan di depan pengadilan yang bersih dari intervensi penguasa. Datang untuk menghadiri panggilan dan menunjukkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah, serta mendatangkan saksi yang meyakinkan adalah sikap terhormat dari seorang pemimpin, daripada mengumbar narasi-narasi mengecam dan mengancam di sosial media yang tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali.

Untuk apa sibuk membuat podcast yang membantah suara miring atau tuduhan kepadanya? Itu hanya membuat kegaduhan dan menghabiskan energi yang tidak berarti. Kalau memang merasa benar, untuk apa harus membayar buzzer guna mengintimidasi rakyat yang berani menyuarakan kebenaran? 

Sebagai pejabat publik, harusnya penguasa siap dikritik dan dituntut di pengadilan, jika memang dianggap salah. Pemimpin punya hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat biasa di depan hukum. 

Kita teringat dengan keadilan hukum pada sistem Islam melalui kasus baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau menemukan baju besinya di tangan seorang Yahudi yang menemukannya dan Ali lalu mengetahuinya.

Ali pun berkata, "Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq (yang berwarna abu-abu)’. Si Yahudi berkata, ‘Ini baju besiku dan ada di tanganku’. Lalu si Yahudi berkata kepada Ali, ‘Kita bawa perkara ini kehadapan seorang hakim kaum muslimin!”

Meskipun seorang pemimpin nomor satu di suatu negara dan yakin bahwa tuduhannya benar, beliau tidak keberatan kasusnya dibawa  ke pengadilan. Beliau sangat menghargai keputusan hukum, meskipun lawannya adalah rakyat biasa. Beliau juga tidak marah atau memaksa hakim untuk memenangkan perkaranya, meskipun yakin bahwa baju besi itu miliknya. 

Tidak ada narasi mengancam di luar pengadilan pada siapa saja yang berani menyerang beliau. Khalifah Ali juga tidak marah saat hakim memutuskan untuk memenangkan rakyat biasa dengan menyatakan bahwa baju besi itu milik seorang Yahudi. 

Pemimpin besar sangat menghormati keputusan hukum, bukan membuat narasi mengancam agar rakyat bungkam dan tidak berani menyampaikan aspirasinya.

Sungguh, seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi dan harus menghormati keputusan pengadilan. Meskipun punya kekuasaan luar biasa dan bisa mengintervensi keputusan hukum, pemimpin yang adil tidak boleh semena-mena menggunakan kekuasaannya agar bisa memenangkan perkaranya. 

Pengadilan harusnya juga terbuka sehingga rakyat bisa secara langsung menilai jalannya peradilan, apakah adil atau hanya skenario dan direkayasa untuk memenangkan penguasa. 

Kegaduhan di sosial media harus segera dihentikan. Narasi mengancam tidak boleh ada untuk membungkam siapa saja yang ingin menyuarakan aspirasinya yang dianggap benar.

Namun, begitulah kebanyakan pemimpin dalam sistem demokrasi. Mereka tidak mampu bersikap adil dengan kekuasaannya. Demokrasi hanya menciptakan pemimpin culas, pembohong, bermuka manis, tetapi menyimpan kebusukan.  mudah mengobral janji untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat yang ujung-ujungnya untuk kekuasaan. 

Bahkan, seorang yang alim dan saleh akan kehilangan idealismenya saat berpolitik dalam sistem demokrasi karena kekuasaan menjadi tujuannya.   Tujuannya bukan untuk mengurusi rakyat, tetapi menggapai dan mempertahankan kekuasaan agar tetap dalam genggaman. 
Dalam sistem demokrasi, pemimpin bisa membuat hukum dan memainkan sesuai dengan kepentingan.  

Pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan dengan memberikan rasa aman, bukan narasi mengancam yang disebar melalui buzzer bayaran. Ingatlah, rakyat yang membayar dan jangan gunakan uang untuk memusuhi rakyat sendiri. 

Saatnya kita mengganti sistem kapitalisme demokrasi dengan Islam. Seorang pemimpin harus bersikap peduli agar rakyat merasa aman dan sejahtera. Sumber daya alam yang penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai swasta. 

Negara tidak memberi jalan oligarki untuk menguasai negeri ini ketika Islam diterapkan secara kaffah. Keadilan hukum bisa dirasakan semua orang, baik rakyat biasa maupun penguasa. 

Pemimpin tidak memusuhi rakyat dengan menebar narasi mengancam dan menangkap siapa saja yang dianggap ancaman, tanpa proses pengadilan. Yang paling penting, akyat cinta pada pemimpin yang peduli dan mengurusi kepentingan mereka.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 28 Mei 2022

Pandangan Ahmad Khozinudin Terkait Kritik kepada Penguasa


Tinta Media - Menanggapi adanya pendapat yang mengatakan, 'Mau protes apapun kalau pemerintah tetap ngotot bisa apa? Faktanya, semua harga-harga sudah merangkak naik. Apa gunanya mengajukan kritik?' Advokat dan Ketua KPAU Ahmad Khozinudin, S.H. menyampaikan beberapa pandangan.

“Untuk menjawab hal ini, rasanya saya perlu menyampaikan pandangan,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat(27/5/2022).

Pertama, mengajukan kritik atau muhasabah kepada penguasa adalah kewajiban syar'i. “Niat utamanya adalah menjalankan perintah untuk menggugurkan kewajiban, mengharapkan ridho Allah SWT,” jelasnya.

Ia menyampaikan sabda Rasulullah Saw: 
"Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan," (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri).

Menurutnya, mengajukan kritik adalah untuk mengkonfirmasi bahwa kita termasuk orang-orang yang beriman. “Tidak diam melihat kemungkaran, apalagi melegitimasi kezaliman,” tegasnya.

Kedua, tujuan kritik adalah untuk membatalkan rencana zalim pemerintah yang akan menaikkan BBM jenis pertalite, solar, TDL dan gas melon. “Kalau tercapai, Alhamdulillah,” harapnya.

“Namun, ada juga target mengedukasi umat, mendidik umat dengan pemahaman syariat tentang bagaimana mengelola sektor energi dalam Islam. Tujuan ini jelas akan dapat terpenuhi, karena dengan adanya diskusi dan penyampaian pandangan umat menjadi tercerahkan, lanjutnya.

Ketiga, ada pula tujuan untuk membongkar makar penguasa zalim. “Sejatinya mereka tidak pro rakyat melainkan pro oligarki,” ungkapnya.

Ia mengambil contoh saat pemerintah mencari celah untuk menaikkan harga pertalite. “Jokowi, berulangkali mengeluhkan harga pertalite di Indonesia hanya Rp. 7.650 per liter. Kalah jauh dengan Singapura yang sudah Rp 35.000/liter, Jerman Rp 31.000/liter, atau Thailand yang Rp 20.000/liter,” bebernya.

“Padahal, pendapatan per kapita Singapura nyaris US$ 60.000. Sementara Indonesia, hanya US$ 3000-4000. Itu artinya, penghasilan rakyat Singapura nyaris 90 juta per bulan, sehingga enteng beli bensin Rp 35.000/liter. Sementara Indonesia, penghasilannya cuma 5 jutaan per bulan,” bebernya lebih lanjut.

Menurutnya, kalau penghasilan rakyat Indonesia Rp 90 juta perbulan, ga ada masalah harga pertalite disamakan dengan Singapura Rp 35.000/liter. “Kalau penghasilan cuma 5 jutaan, dipaksa 35.000 per liter, ini gila. Membayar Rp 7.650 per liter saja kepayahan,” tuturnya.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa Singapura tidak punya tambang minyak. “Beda dengan Indonesia yang memiliki tambang minyak. Aneh dan konyol, kalau harga BBM Indonesia dipaksakan sama atau setidaknya dibanding-bandingkan dengan Singapura,” pungkasnya.[] Raras 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab