Tinta Media: Penghapusan
Tampilkan postingan dengan label Penghapusan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penghapusan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juli 2022

Aktivis Muslimah: Rencana Penghapus Tenaga Honorer Timbulkan Masalah Baru


Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah menyatakan rencana penghapusan tenaga honorer  justru menimbulkan masalah baru.

“Rencana penghapusan tenaga honorer justru menimbulkan masalah baru,” tuturnya dalam Program Muslimah Talk: Rencana Penghapusan Tenaga Honorer. Apa Dampak dari Kebijakan Ini? Kamis (30/6/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Dikatakannya, kebijakan (rencana penghapusan tenaga honorer) ini bukan hanya menimbulkan masalah baru tapi juga tidak menyelesaikan masalah yang ada. “Kalau dikatakan ini akan meningkatkan kesejahteraan tenaga honorer maka kesejahteraannya dimaksud hanya terbatas pada segelintir orang yang bisa diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK),” katanya.

Ia mengkritisi kebijakan ini justru memberi dampak lainnya. “Sementara ada lebih banyak lagi tenaga honorer yang justru kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran,” kritiknya.

Ia mengungkapkan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini, antara lain:

Pertama, akan memberikan dampak makin bertambahnya jumlah pengangguran karena tidak diangkatnya semua tenaga honorer dan tidak ada guru honorer sehingga tentu berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

“Tenaga honorer selama ini mendapatkan gaji dari APBD yang dialokasikan oleh setiap pemerintah daerah, baik itu bagi tenaga kependidikan ataupun tenaga honorer lainnya di bidang administratif dan layanan publik, maka nanti bulan November tahun 2023 itu ditiadakan,” ungkapnya.

Hal ini, menurutnya, akibat dari kebijakan pemerintah untuk menghapus tenaga honorer itu maka pemerintah daerah tidak lagi mengalokasikan dana dari APBD atau pun menghidupkan dana-dana lain untuk menggaji tenaga non ASN atau non PPPK.

Kedua, kita akan menemukan kekosongan pos-pos, baik itu tenaga kependidikan atau pelayanan publik yang akan mengganggu berlangsungnya kegiatan belajar mengajar maupun berlangsungnya layanan-layanan publik yang ada.

Iffah menilai, ketika kebijakan ini diberlakukan maka sekolah yang jauh dari perkotaan dan selama ini tidak cukup mendapat perhatian dan bergantung pada guru-guru sukarelawan ataupun honorer tidak mendapat pembelajaran semestinya.

“Demikian dengan layanan-layanan publik, fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan pembuatan surat-surat ataupun layanan-layanan administratif lainnya. Itu boleh jadi ada kekosongan, dari aspek pelayanannya akan berkurang kualitasnya karena jumlah yang dibutuhkan lebih banyak dari tenaga yang diangkat sebagai ASN ataupun PPPK,” paparnya.

Ketiga, kebijakan ini memunculkan masalah-masalah baru terkait dengan kondisi sosial, politik, maupun masalah baru itu terkait dampak dari kedua aspek di atas.“Kebijakan ini menghasilkan masalah baru,” ujarnya.

Paradigma Kapitalisme

Ia menuturkan pangkal persoalan munculnya kebijakan yang justru menghasilkan masalah baru ini disebabkan paradigma pengelolaan negara berdasarkan sistem kapitalisme.

“Sistem kapitalisme pada hari ini, perekrutan tenaga kerja oleh negara bukan didasarkan pada kebutuhan tapi lebih banyak disandarkan pada ketersediaan dana yang dialokasikan untuk tenaga-tenaga yang dimaksud,” tuturnya.

Menurutnya, pemerintah seringkali beralasan anggaran negara tidak mencukupi untuk mengangkat pegawai negara yang baru atau memberikan tunjangan lebih besar pada tenaga kependidikan ataupun pegawai-pegawai negara yang lain.

Masalah klasik ini, kata Iffah, hanya dapat diselesaikan dengan perubahan pengelolaan sumber daya alam maupun pengelolaan kekayaan milik negara maupun kekayaan milik umum sesuai Islam.

“Kesejahteraan bagi tenaga kerja di negeri ini, tidaklah cukup hanya dengan kebijakan merekrut menjadi ASN dan memberikan gaji yang naik secara berkala tanpa adanya perubahan pada pemberian layanan publik yang ditanggungkan kepada negara, diberikan secara gratis oleh negara dan berkualitas kepada setiap individu rakyat,” bebernya.

“Dan setiap tenaga kerja menikmati gaji yang mereka dapatkan untuk makin meningkatkan kesejahteraan bukan terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya saja,” urainya.

Ia menegaskan jika hukum-hukum Allah diterapkan akan memberikan hasil terbaik.
“Bukankah hukum-hukum Allah ini, kalau kita lakukan secara nyata menghasilkan kesejahteraan, keadilan, dan tidak memunculkan masalah baru,” tegasnya.

Baginya, kesejahteraan yang diberikan saat ini tidak dinikmati oleh semua tenaga kerja. Karena meskipun gaji tenaga kerja dinaikkan ataupun gaji aparatur negara terus mendapat kenaikan, tetapi harga-harga barang kebutuhan makin naik melambung.

“Demikian juga kebutuhan publik berupa kesehatan, pendidikan mengambil porsi yang tidak sedikit dari gaji yang didapatkan oleh para tenaga kerja,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 12 Juni 2022

Tenaga Honorer Dihapus, Gus Uwik: Tidak Tepat, Ada Something Wrong?


Tinta Media -
Penghapusan tenaga kerja honorer dari instansi-instansi pemerintah dinilai tidak tepat oleh Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik.

“Menurut saya, jelas kebijakan penghapusan tenaga honorer tidak tepat. Kelihatan ada something wrong, sesuatu yang salah,” tuturnya dalam Kabar Petang: Honorer Dihapus, Harapan Pupus? Selasa (7/6/2022) di kanal Youtube Khilafah News.

Ia berpendapat reasoning yang tepat tidak muncul atas keputusan menghapus tenaga honorer. “Sangat tidak tepat dalam konteks saat ini. Pasca pandemi di mana kebutuhan ekonomi sangat luar biasa, banyak orang mencari kerja. Tapi yang sudah bekerja tiba-tiba diresignkan sehingga menimbulkan pertanyaan,” ucapnya.

Gus Uwik meyakini kebijakan ini tidak tepat dan kontradiksi karena kebijakannya bergulir di saat pemerintah membuka lowongan pekerjaan untuk ASN tetapi tenaga honorer akan dihapuskan.

“Di satu sisi pemerintah ini membuka lowongan pekerjaan, ada pendaftaran ASN tapi di sisi lain justru tenaga yang sudah ada walaupun dalam konteks honorer mau dihapuskan, kan ini jadi kontradiksi,” bebernya.

Seorang tenaga honorer pastinya sudah memiliki tolok ukur, kriteria yang bagus dan sudah bekerja on the track.
“Ketika sudah on the track, sudah punya pengalaman bekerja, tentu dia akan lebih ahli, kenapa tenaga honorer ini yang dihapuskan,” ujarnya.

Selain kebijakan kontradiksi, Gus Uwik menyatakan tidak tepatnya karena meyakini tenaga-tenaga honorer ini memiliki potensi setelah sekian lama bekerja. Padahal pemerintah membutuhkan pegawai berpotensi.

“Ketika potensi telah ada, kemudian kompetensi bagus dan secara kinerja juga bagus. Apa alasannya kemudian diputuskan, toh kemudian pemerintah membutuhkan itu,” katanya.

Ia mempertanyakan secara reasoning, alasan yang logis memberhentikan tenaga honorer itu. Sehingga akhirnya timbul perlawanan dalam tanda kutip dari para tenaga honorer yang selama ini telah bekerja.

“Apa alasan yang logis itu untuk kemudian memberhentikan mereka, apakah negara tidak punya uang, bangkrut? Ya sudahlah sepakat, apakah itu alasannya? Subhanallah tenaga honorer ini dilihat dari gajinya jauh sekali dari standar. Oleh karena itulah saya tidak setuju,” ungkapnya.

Dampak

Gus Uwik menjelaskan dampak dari penghapusan tenaga honorer adalah pertama, penambahan pengangguran. Menurutnya, ini akan berdampak luar biasa dari sisi penambahan pengangguran.

“Mereka bukan hanya satu persen, banyak yang sudah berkeluarga. Artinya nanti dampaknya ke arah sana. Dampak sosial dari sisi keluarga, bukan satu keluarga saja tapi banyak keluarga,” bebernya.

“Kedua adalah muncul dampak multiplayer karena bukan hanya berdampak pada satu persen yang akan dinonaktifkan tapi berdampak di sisi lingkungan keluarga dan lingkungan yang lainnya,” tuturnya.

Menurutnya apabila pemutusan ini terjadi secara bersamaan, tidak ada saluran-saluran pekerjaan yang lain maka akan menimbulkan hal-hal yang lain, bisa positif, dan bisa negatif. “Ketika terjadi pemutusan bersamaan tentu akan membawa efek syok yang sangat luar biasa,” ujarnya.

“Oleh karena itulah saya memandang akan muncul banyak hal yang berefek ke sesuatu yang tidak baik, baik dari sisi sosial, masyarakatnya, dan yang lainnya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Sabtu, 11 Juni 2022

Tenaga Honorer Dihapus, MMC: Imbas Pemerintah Kapitalisme yang Memandang Rakyat secara Ekonomi


Tinta Media - Terkait penghapusan tenaga kerja honorer yang tertuang dalam surat Menteri PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei 2022, Narator Muslimah Media Center (MMC) mengungkapkan bahwa ini imbas dari Pemerintah kapitalisme yang memandang rakyat secara ekonomi, yakni untung dan rugi. 

"Sekularisme melahirkan kepemimpinan bercorak kapitalisme. Kapitalisme adalah paham yang bersifat materialistis. Imbasnya ketika sistem ini digunakan mengatur rakyat, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat hanya dipandang secara ekonomi, yakni untung dan rugi," tuturnya pada Serba-serbi MMC: Tenaga Honorer Dihapuskan, Kapankah Derita Honorer Berakhir? Di Kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (5/6/2022).

Menurutnya, inilah realita ketika rakyat hidup dalam kepemimpinan sistem sekulerisme kapitalisme. Paham sekuler membuat manusia berdaulat atas sebuah hukum. Manusia bisa membuat, menjalankan, menghapus, maupun merevisi hukum sesuai dengan kepentingannya.

"Padahal manusia adalah makhluk. Seorang makhluk tidak pantas dan tidak layak membuat aturan sendiri untuk kehidupan mereka. Karena kemampuan mereka terbatas," ujar narator.

Narator menjelaskan, pada awalnya kebijakan rekrutmen tenaga honorer dikeluarkan sebagai upaya mengurangi pengangguran. Keuntungan lain pemerintah juga mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah sesuai budget negara, karena mereka belum berpengalaman, atau karena janji direkrut sebagai PNS, atau aparat sipil negara.

"Namun kebijakan yang awalnya dianggap solusi kini justru jadi bumerang bagi penguasa. Keberadaan tenaga honorer dianggap pengacau hitungan ASN. Bahkan pernyataan sebelumnya tenaga honorer dituduh menjadi beban negara. Tentu saja alasan-alasan yang diberikannya justru menambah sakit hati rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan untuk rakyat tidak kunjung dipenuhi. Yang ada lapangan pekerjaan justru terbuka lebar untuk tenaga asing," jelasnya.

Narator pun berpendapat, oleh karena itu wajar jika tenaga honorer yang awalnya dianggap solusi, kemudian dianggap beban negara dan pengacau perhitungan ASN. Demikianlah bukti kesekian kalinya kegagalan yang dipertontonkan sistem sekulerisme kapitalisme dalam mengurus rakyat.

"Sistem ini tidak mampu menyejahterakan 400 ribu tenaga honorer, yang 120 ribu diantaranya adalah tenaga pendidik, 4000 tenaga kesehatan, dan 2000 penyuluh, berdasarkan catatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)," papar narator.

Narator pun menegaskan, sangat berbeda dengan kebijakan sistem Khilafah yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Sistem khilafah berdiri atas akidah Islam. Seluruh aturan yang dikeluarkan akan didasarkan pada hukum syariat.

"Untuk masalah tenaga kerja dan lapangan pekerjaan, Islam mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang mampu bekerja, agar dapat memperoleh pekerjaan," ungkapnya.
Ini berkaitan dengan hadist, Rasulullah Saw. Bersabda : "Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggung jawabannya atas urusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam khilafah, lanjutnya, rekrutmen pegawai negara tak mengenal istilah honorer. Karena mereka akan direkrut sesuai dengan kebutuhan riil negara. Negara akan menghitung jumlah pekerja yang diperlukan untuk menjalankan semua pekerjaaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.

"Seluruh pegawai yang bekerja pada khilafah diatur sepenuhnya dibawah hukum-hukum _ijarah_, atau kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan. Khilafah boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak.  Maksudnya, para pekerja boleh dari muslim atau kafir dzimmi. Khilafah juga akan menjamin para pekerja mendapat perlakuan adil sesuai hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai juga akan dilindungi oleh khilafah. Sebagai contoh, pada masa Khalifah bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 Dinar atau setara Rp 114.750.000," bebernya.

Narator pun menjelaskan, Khilafah mampu menggaji dengan jumlah yang fantastis, sebab sistem keuangan khilafah berbasis Baitul Mal. Dalam Baitul mal, terdapat pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa'i, kharaj, jizyah, ghaninah, usyur dan sejenisnya.  Dari pos ini, khilafah bisa mengalokasikan anggaran untuk gaji para pegawai negara.

"Demikianlah cara khilafah menyelesaikan masalah honorer yang tidak akan mampu diselesaikan secara tuntas oleh sistem kapitalisme," pungkasnya. []Willy Waliah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab