Tinta Media: Penetapan
Tampilkan postingan dengan label Penetapan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penetapan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 September 2022

Rasulullah Menolak Kebijakan Penetapan Harga


Tinta Media - Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) mengatakan, Rasulullah menolak membuat kebijakan penetapan harga.

“Pada masa silam, ketika kehidupan Islam pertama di Madinah, mekanisme pasar sangat dihargai. Bahkan Rasulullah Saw. menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga (intervensi harga) ketika tingkat harga di Madinah pada saat itu mendadak naik,” tuturnya di telegram pribadinya, Rabu (7/9/2022).

Ajengan Yuana mengatakan, sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, bukan karena pasar terdistorsi, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Paling tidak, hal itu yang tersurat dalam hadits Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Daud (w. 275 H), Ibnu Majah (w. 275 H), Tirmidzi (w. 279 H), dan yang lainnya.

Ia mengutip hadits dari Anas bin Malik yang  menuturkan bahwa pada masa Rasulullah Saw pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para Shahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah Saw tetapkan harga demi kami!” Rasulullah Saw menjawab:
 
إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ
 
“Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rizki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezhaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta”.

“Berdasarkan hadits ini, mazhab Hanbali dan Syafi’i menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun.  
 
 

Senin, 04 Juli 2022

Ajengan Yuana Jelaskan Lima Hal Seputar Perbedaan Penetapan Awal Dzulhijjah

Tinta Media - Mudir Ma'had Khodimus Sunnah, Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menjelaskan lima hal seputar perbedaan penetapan awal Dzulhijjah.

"Pertama, perbedaan penentuan Idul Adha adalah wilayah khilafiyah," ungkapnya di akun telegram pribadinya, Kamis ( 30/6/2022).

Sependek yang ia tahu, tidak ada kesepakatan ulama (ijmak) dalam penentuan awal Dzulhijjah. "Jadi dalam masalah khilafiyah jangan memutlakkan dan jangan sampai saling mengolok-olok. Fokus pada argumentasi saja," nasehatnya.

"Kedua, para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits rukyat Amir Mekah," ungkapnya.

Ia menukil perkataan Husain bin Al-Harits yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amir Mekah pernah berkhutbah dan menyampaikan, ‘’Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.’’ (HR. Abu Dawud No. 2338).

"Rasul meminta Amir Mekah untuk rukyat hilal Dzulhijjah dalam rangka pelaksanaan ibadah haji," tandasnya.

Menurutnya, disinilah para ulama berbeda pendapat apakah hadits tersebut menjadi standar penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri atau hanya terkait pelaksanaan ibadah haji.  

"Ketiga, justru para ulama madzhab menjadikan hadits rukyat Amir Mekah sebagai dalil dalam persaksian hilal. Hal tersebut, bisa kita lihat dalam kitab Ma'rifah as-Sunan wa al-Atsar karya Imam al-Baihaqi," jelasnya.

YRT menilai, ketika hadits tersebut dijadikan dalil dalam penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri, maka itu termasuk terobosan ijtihad yang sangat menarik. 

"Keempat, sebenarnya ada hadits lain yang menjelaskan tentang rukyat bulan Dzulhijjah secara umum," paparnya sambil membacakan hadits riwayat Muslim nomor 1977, 

"Rasul bersabda: ‘’Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya ia menjaga rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong hingga hari Qurban).’’ 

Hadits ini dinilainya bersifat umum tentang penetapan awal bulan Dzulhijjah berdasarkan rukyat, tanpa menyebutkan rukyat siapa. "Artinya, jika terdapat dalil khusus, maka yang diamalkan adalah dalil khusus. Namun ada tidaknya dalil khusus, para ulama berbeda pendapat," tandasnya.

"Kelima, jadi pangkal diskusinya sebenarnya adalah, pertama, tidak ada ijmak ulama tentang penentuan awal Dzulhijjah, maka perkara yang khilafiyah harus disikapi secara bijak, dan tidak dimutlakkan," pintanya.

"Kedua, hadits rukyat Amir Mekah sendiri oleh para ulama madzhab tidak dijadikan dalil penentuan awal Dzulhijjah," tambahnya.

Menurut YRT, para ulama justru menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dalam masalah persaksian hilal, bukan penentuan awal Dzulhijjah. "Bisa dicek di kitab Ma'rifatus Sunan wal Atsar," tuturnya meyakinkan.

"Ketiga, menjadikan hadits rukyat Amir Mekah sebagai dalil penetapan Dzulhijjah untuk seluruh negeri terkesan sebagai ijtihad "baru" (tajdid), namun in sya Allah lebih kokoh dan menentramkan," simpulnya.

Ia memberikan empat argumen bagi kesimpulannya tersebut. 

"Kesatu, mendahulukan nash meski mafhum daripada qiyas. Kedua, terwujudnya kesatuan dengan manasik haji. Ketiga, mengutamakan kesatuan umat Islam. Keempat, perbedaan yang sekarang terjadi lebih pada aspek politik keberadaan negara bangsa (nation state), bukan masalah fikih semata," pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab