Tinta Media: Pendidikan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Juli 2024

Karut Marut Pendidikan, Ulah Sistem Rusak


'Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah'.

Tinta Media - Sepenggal lirik lagu lawas ini menggambarkan indahnya masa sekolah. Namun, kini masa indah sekolah berubah menjadi masa gelisah. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan bangku sekolah saja sulitnya bukan main. Hal ini dirasakan oleh para orang tua murid yang sedang berjuang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri, khususnya di Bandung.

Terkait hal itu, di Bandung Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mendapat perhatian dari Bupati Bandung, Dadang Supriatna. Bupati meminta kepada orang tua murid agar tidak memaksakan anaknya untuk masuk sekolah favorit dan jangan memberikan uang atau menyogok petugas sekolah. Jika dalam proses PPDB tingkat Jabar SMA/SMK terjadi transaksional atau praktik pungli, maka pemerintah hingga polisi akan mengultimatum sekolah-sekolah nakal hingga memprosesnya.

Pungli atau pungutan liar merupakan tindakan meminta sesuatu kepada seseorang, perusahaan, ataupun lembaga tanpa menuruti peraturan yang lazim. Hal ini sama dengan pemerasan, penipuan, dan korupsi. 

Di negara ini, pungli sudah menjadi budaya. Harus diakui, di setiap sektor publik, aktivitas pungli selalu ada. Salah satunya adalah pungli di sektor pendidikan.

Walaupun praktik pungli ini dilarang dan akan merusak integritas instansi sekolah, tetapi aktivitas satu ini semakin merajalela. Moment PPDB saat ini dimanfaatkan oleh oknum nakal di sekolah negeri atau favorit untuk mendapatkan keuntungan dari orang tua murid yang ingin menyekolahkan anak-anaknya.

Kurangnya jumlah kouta sekolah negeri tidak seimbang dengan banyaknya calon siswa baru. Ini bukti bahwa negara tidak serius dalam mewujudkan pemerataan pendidikan, sehingga hal ini membuka celah kecurangan. 

Faktanya, selama proses PPDB tahun 2023, banyak terjadi kecurangan manipulasi data kependudukan. Bahkan, menurut Ketua DPR RI, Puan Maharani, di Bogor, Jawa Barat ditemukan sekitar 300 aduan indikasi manipulasi PPDB jalur afirmasi dan zonasi.

Inilah PR besar pemerintah untuk mencari solusi yang komprehensif, agar PPDB ini benar-benar mampu memeratakan pendidikan dengan adil dan merata, bukan malah menambah masalah baru.

Namun, inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme. Di sistem yang rusak ini, agama (Islam) tidak dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan. Halal haram tidak jadi patokan. Materi, kebahagiaan, dan keuntungan duniawi adalah orientasi, sehingga yang hak dan batil pun dicampuradukkan. Sistem yang senantiasa melahirkan masalah ini juga menyelesaikan masalah dengan menghadirkan masalah baru. 

Artinya, sistem ini tidak mampu menyelesaikan masalah hingga akarnya. Sistem bobrok ini pun melahirkan mental yang bobrok pula. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya hukuman yang membuat efek jera bagi pelaku, mengakibatkan pungli semakin mewabah. Kalau kemaksiatan seperti ini sudah menjadi budaya, masih bisakah hanya diberi ultimatum saja? Harus ada penerapan aturan yang mampu mencegah tindakan pungli.

Problematika pendidikan semakin ke sini semakin mengkhawatirkan. Hadirnya kurikulum merdeka yang masih menjadi pro dan kontra tak lantas menjadi solusi. Sistem zonasi yang malah membuat masalah baru termasuk maraknya pungli, menambah deretan prestasi buruk dunia pendidikan.

Negara telah gagal memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Artinya, negara harus mengevaluasi sistem PPDB secara menyeluruh dan mengganti dengan sistem pendidikan yang mampu mewujudkan pemerataan secara adil.

Namun, pemerataan dan keadilan seperti itu hanya ada dalam sistem Islam (Khilafah). Dalam Islam, semua sekolah adalah berstatus favorit. Bagaimana tidak, biaya sekolah di semua jenjang pendidikan gratis. Pendidikan berkualitas dan berbasis akidah Islam. Fasilitas sains atau teknologi terpenuhi. Akses mendapatkan pendidikan dipermudah. Seluruh rakyat mendapatkan hak pendidikan dan yang pasti tidak ada pungli.

Dalam Islam, pungli atau al-muksu adalah termasuk dosa besar karena telah menyusahkan dan menzalimi orang lain dengan cara mengambil harta secara paksa pada orang lain. 

Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 188, yang artinya, 

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya."

Oleh karena itu, setiap muslim tidak akan mencari harta dengan cara yang melanggar syariat Islam, termasuk melakukan pungutan liar. Jika ada yang melanggar, maka akan dikenai sanksi atau hukuman oleh hakim sesuai kadar kesalahannya.

Selain itu, negara akan terus meningkatkan mutu pendidikan untuk memenuhi kebutuhan asasi rakyat. Anggaran pendidikan akan dibiaya oleh negara melalui baitul mal. Salah satunya bersumber dari pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara, bukan pihak swasta atau asing.

Maka dari itu, negara mampu mewujudkan pemerataan pendidikan secara adil dan merata, karena negara bukan hanya wajib menyediakan infrastruktur sekolah. Namun, negara juga bertanggung jawab menerapkan sistem pendidikan berbasis Islam, agar mencetak generasi yang mempunyai pola pikir dan sikap Islam. Kelak, mereka akan menjadi generasi penerus peradaban, yang memiliki kesadaran akan adanya hubungan dirinya dengan Allah Swt. Maka, setiap amal perbuatannya dilakukan semata-mata karena ketaatan kepada Sang Pencipta.
Wallahualam bisshawab.


Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Minggu, 30 Juni 2024

Benarkah Zonasi Jadi Solusi?

Tinta Media - Pendidikan merupakan suatu hak yang seharusnya ditunaikan oleh negara. Pendidikan sangat berperan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Namun bagaimana jadinya jika pendidikan yang seharusnya mudah diakses kini malah dipersulit dengan adanya zonasi yang diterapkan.

   Sebagaimana dilansir dari TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021.

   Ubaid mengatakan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur. “Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya. kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024.

   Hal tersebut tidak lepas dari sistem yang diterapkan hari ini. Dalam sistem sekuler kapitalis yang berasaskan keuntungan menjadikan dunia pendidikan tidak luput menjadi salah satu sumber meraup keuntungan. Akibatnya para pelajar sulit mengakses pendidikan akibat biaya yang mahal.

   Inginnya  rakyat berpendidikan tinggi, namun nyatanya hanyalah halusi. Itulah yang terjadi hari ini. Terlebih dalam dunia pendidikan hari ini kian dipersulit dengan diadakannya sistem zonasi. Harapan pemerintah dengan diterapkannya zonasi adalah menjadikan pendidikan dapat merata, serta menghilangkan stigma sekolah favorit, dan menyamakan semua sekolah menjadi unggul.

   Namun adanya zonasi yang diterapkan tidak menjadikan pendidikan menjadi merata. Sebab zonasi hanya menghadirkan berbagai kecurangan terjadi. Seperti memanipulasi dokumen kependudukan atau penyuapan berupa praktik jual beli kursi.

Sementara itu berbagai modus pun dilakukan agar dapat mendapatkan sekolah impian. Hal ini menunjukkan solusi yang diberikan sistem saat ini tidak dapat mengentaskan problem yang tengah terjadi.

   Berbeda jadinya jika sistem Islam yang diterapkan, Islam akan memberikan pendidikan yang adil serta mudah diakses oleh kalangan pelajar.

   Pendidikan dalam daulah Islam merupakan salah satu tanggung jawab tugas negara. Alhasil pendidikan di dalam sistem Islam akan ditanggung oleh negara, sehingga rakyat tidak akan dipungut biaya di dalamnya.

Islam akan memberikan solusi yang dapat mengentaskan problem dalam bidang pendidikan, diantaranya :

1. Islam akan memberikan fasilitas sekolah gratis bagi umatnya, sebab pendidikan adalah tanggung jawab negara.

2. Islam akan memberikan kualitas pendidikan yang sama bagusnya di berbagai sekolah yang ada.

3. Jumlah kursi dan sekolah di dalam daulah Islam juga akan diperhatikan dana disesuaikan dengan kebutuhan banyaknya jumlah pelajar.

4. Daulah Islam juga akan menerapkan kurikulum yang sesuai koridor syariat.

   Sayangnya solusi tersebut tidak dapat diterapkan di sistem sekuler kapitalis hari ini. Hanya dengan menerapkan sistem Islam di bawah naungan khilafahlah problem ini akan musnah.

Wallahu'alam Bissowab.

Oleh: Salma Rafida, Sahabat Tinta Media 

Pendidikan Kewajiban Negara, Hak Warga Negara

Tinta Media - Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Sebuah cita-cita luhur dari para pendiri bangsa yang hendak diwujudkan oleh negara dengan harapan dapat membangun sumber daya manusia yang unggul guna tercapainya kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. 

Namun cita-cita luhur hanyalah ilusi dalam sistem kapitalis, karena pendidikan dijadikan bisnis untuk mencari keuntungan. Padahal,  kewajiban bagi negara untuk menyediakan pendidikan berkualitas agar bisa mewujudkan generasi cerdas, unggul, dan cemerlang dan menyiapkan mereka menghadapi tantangan zaman dengan keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan.  

Fakta, menunjukkan biaya pendidikan mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat kebanyakan dengan penghasilan rendah. Negara seolah ingin lepas tangan terhadap pengadaan pendidikan.  

Sejumlah perguruan tinggi negeri ternama bekerja sama dengan lembaga keuangan penyedia pinjaman online atau pinjol terkait pinjaman mahasiswa untuk pembayaran kuliah. Kerjasama tersebut dilakukan dalam rangka memberikan pilihan jalan keluar bagi mahasiswa yang kesulitan melakukan pembayaran UKT. Bukan solusi bagi mahasiswa, tapi pinjol bisa menjerat kehidupan mereka dalam lilitan hutang riba yang membuat mereka tidak berdaya dan putus asa. 

Bagaimana Islam  memandang tentang pendidikan? Seperti halnya pelayanan kesehatan, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara. Hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, dan kewajiban bagi Negera untuk menjamin kebutuhan dasar mereka. 

Negara harusnya mampu untuk menyediakan pendidikan yang murah bahkan gratis dengan pengelolaan sumber daya alam secara maksimal, bukan diserahkan pada perusahaan asing. Sungguh miris, hidup di negeri yang kaya sumber daya alamnya serta keindahannya bagaikan penggalan tanah surga, tapi Negara tidak mampu menyediakan pendidikan yang berkwalitas dan terjangkau oleh seluruh rakyatnya. 

Saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang akan menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, bukan sistem kapitalis yang mana negara berbisnis dengan rakyatnya. Pendapatan negara dari sektor pajak ditingkatkan, tapi tidak menjamin kebutuhan dasar rakyat. Pejabat kaya raya, sedangkan rakyat hidup sengsara.

Oleh: Mochamad Efendi, Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 22 Juni 2024

Akibat Sistem Kapitalisme, Rakyat Sulit Mendapatkan Pendidikan Terbaik

Tinta Media - Kondisi Indonesia yang jumlah penduduknya besar, ditambah banyaknya wilayah dengan topografi pegunungan, termasuk  beberapa wilayah di Kabupaten Bandung, menjadikan keberadaan sekolah menengah atas (SMA), terutama SMA negeri belum dimiliki secara merata. Hal ini menyebabkan sulitnya mencari SMA bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikannya, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok.

Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan sistem zonasi membuat mereka tidak dapat masuk ke SMA karena berada di luar zonasi. Akhirnya, mereka kalah saing dengan yang  rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Dengan keadaan seperti ini,  ketua DPRD Kabupaten Bandung Sugianto mengatakan bahwa Pemkab Bandung bisa saja mengajukan sekolah baru kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memfasilitasi siswa yang rumahnya ada di luar zonasi. Salah satunya yang jauh dari titik terluar Kabupaten Bandung. Bila pengajuan ini tidak juga disetujui, maka bisa memberi intervensi dalam bentuk lain, seperti mengajukan sekolah satu atap, yaitu SMA dan SMP terdekat, atau intervensi anggaran.

Akan tetapi, biasanya pemerintah provinsi tidak mengabulkan permohonan tersebut karena ada beberapa persyaratan, seperti ketersediaan lahan dan lainnya. Padahal, bisa saja dilakukan dengan memberikan hibah lahan milik pemerintah daerah, sehingga Pemkab Bandung bisa memberi intervensi lebih agar anak yang di luar zona tetap  bisa melanjutkan pendidikan.

Sarana pendidikan di Kabupaten Bandung memang belum tersedia secara merata, sehingga banyak anak didik yang ingin melanjutkan sekolahnya belum bisa terpenuhi. Padahal, pendidikan adalah kebutuhan asasi rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, karena sangat penting. Di sisi lain, peserta didik usia SMP dan SMA merupakan generasi muda,  generasi penerus bangsa. Di tangan merekalah  keberlangsungan bangsa ini akan ditentukan.

Oleh karena itu, pendidikan merupakan indikator yang dapat menentukan maju-tidaknya bangsa ini. Akan tetapi sayang, sistem zonasi yang katanya ingin memperbaiki penyebaran siswa agar lebih merata, nyatanya tidak terwujud, karena akhirnya banyak siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri. Ini karena mereka berada di luar wilayah (zona) sekolahnya.

Banyaknya siswa yang berharap bisa masuk sekolah negeri, terutama yang kurang mampu, tidak sebanding dengan ketersediaan sekolah. Untuk membatasinya, akhirnya pemerintah memberlakukan empat jalur PPDB bagi SD, SMP, SMA, yaitu  jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan, dan jalur prestasi.

Melalui empat jalur ini, para peserta didik berpeluang untuk dapat masuk ke sekolah yang dituju, mulai dari jalur prestasi yang di tahun ini berdasarkan prestasi ekstrakurikuler, yaitu prestasi di bidang olahraga  seperti bola, renang, silat dan lain sebagainya. Sedangkan jalur afirmasi bagi yang kurang mampu dengan syarat-syarat yang rumit, yang kadang tidak tepat sasaran.

Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi ini banyak menuai kekecewaan pada para peserta didik, karena tidak masuk kategori atau jarak sekolah yang jauh. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan di tengah kebingungan masyarakat  yang membutuhkan sekolah yang gratis atau murah dengan kualitas yang baik. Akhirnya, mereka menawarkan jalur belakang agar bisa masuk sekolah negeri, dengan syarat harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar.

Kejadian ini terus berulang setiap tahun tanpa ada sanksi hukum untuk para oknum yang melakukan kecurangan, sehingga masyarakat sudah tidak takut atau malu ketika mereka mengambil jalan belakang (kecurangan) supaya anaknya bisa masuk sekolah negeri. 

Situasi seperti ini bisa saja dapat merugikan peserta didik lain,  karena dengan kuota yang terbatas, akhirnya dapat menggeser posisi siswa yang masuk  kategori  empat jalur PPDB, dengan uang 'pelicin' tersebut.

Pada akhirnya, bagi yang tidak lolos masuk ke sekolah negeri, mereka  terpaksa ke swasta walaupun berbiaya mahal. Bagi yang tidak mempunyai biaya untuk pendidikan, mereka terpaksa putus sekolah.

Sungguh miris, di saat negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pendidikan, pada saat yang sama ada oknum-oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, dan rakyatlah yang selalu dirugikan.

Inilah realitas pendidikan di negeri ini yang berwajah kelam dari berbagai sisi, akibat penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Pendidikan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk meraih keuntungan, tidak lagi menjadi kewajiban (tanggung jawab) negara yang wajib dipenuhi.

Negara memberikan peluang seluas-luasnya kepada swasta untuk mendirikan lembaga pendidikan dan memanfaatkan peluang ini untuk menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Sehingga, sering kita dapati bahwa di sekolah swasta yang biayanya mahallah rakyat bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan di sekolah negeri yang menjadikan sekolah terpinggirkan.

Di sisi yang lain, yang dapat mengenyam sekolah mahal dan berkualitas hanyalah orang kaya. Sementara, rakyat kebanyakan berebut kursi sekolah negeri dengan sistem zonasi yang belum tentu berkualitas baik. Itu pun berpotensi timbul kecurangan.

Padahal, kebutuhan akan pendidikan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya dan merupakan hak rakyat. Penyelenggaraan pendidikan semestinya dilakukan secara maksimal, mulai dari pengadaan sarana prasarana berupa gedung dengan berbagai fasilitasnya, tenaga pengajar beserta perangkatnya, kurikulum yang dapat memajukan peserta didik. Jadi, bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki ketakwaan yang kuat, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan tsaqafah demi kehidupan masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan ini tersebar hingga ke pelosok wilayah pedesaan, baik di gunung ataupun di tepi pantai. Dengan akses jalan dan transportasi yang memadai untuk memudahkan rakyat di mana pun mereka berada, mampu menjangkaunya, sehingga hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tapi gratis, bisa mereka peroleh, tanpa menjadi beban atau bahkan menjadi celah kecurangan bagi oknum-oknum manusia yang serakah.

Gambaran tersebut hanya dapat terwujud dalam penerapan sistem hidup yang sahih, yang diterapkan oleh penguasa yang hanya ingin memelihara kehidupan rakyat secara benar, sebagai wujud tanggung jawabnya kepada Sang Khalik. Inilah sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah. Keberadaan khalifah sebagai pemimpin ibarat penggembala, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

"Al Imam (khalifah) adalah penanggung jawab, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala yang diurusnya."

Melalui konsep kepemimpinan tersebut, pendidikan sebagai kebutuhan asasi rakyat akan dipenuhi oleh negara secara gratis dan berkualitas. Negara akan membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut dari kas di Baitul Mal, di salah satu pos pemasukan harta kepemilikan umum. Salah satunya dari hasil pengelolaan SDA milik umum, yang dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Negara hadir sebagai pengurus  dan pelayan rakyat. Negara tidak akan menyerahkannya kepada swasta untuk diambil keuntungan sehingga menyebabkan rakyat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan terjadi kecurangan, negara akan membuat mekanisme yang rapi dalam penyelenggaraan pendidikan ini, mulai dari pengadaan sarana prasarana, SDM pendidik, kurikulum, mekanisme penerimaan siswa didik, dan sebagainya yang jauh dari unsur-unsur manipulasi atau celah kecurangan karena dilandaskan kepada kekuatan akidah aparatur negara, termasuk SDM pendidik.

Jikapun terjadi kecurangan oleh pihak tertentu yang memanfaatkan situasi demi keuntungan mereka, negara akan  menindak tegas dengan sanksi yang bersifat zawajir dan jawabir, efek jera dan penebus dosa, sehingga menutup celah munculnya orang yang berbuat kecurangan.

Selain itu, ketakwaan pada masyarakat akan menghidupkan amar makruf nahi mungkar,  sehingga mereka akan terhindar dari perbuatan curang, baik yang mungkin dilakukan oleh oknum rakyat maupun oknum aparat atau pegawai negara.

Maka, negara akan fokus dalam mencapai tujuan pendidikan, yaitu mencetak generasi berkepribadian Islam yang unggul sebagai penerus dan pengisi peradaban Islam yang mulia. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem Islamlah yang pernah melahirkan peradaban mulia pada masa penerapannya selama lebih dari 13 abad.

Di masa kejayaannya, peradaban Islam telah melahirkan banyak ilmuwan dan cendekiawan, sekaligus ahli fikih dan calon-calon pemimpin umat. Cahaya ilmu dari peradaban Islam bukan hanya menerangi kehidupan kaum muslimin, tetapi juga kehidupan umat manusia di dunia, hingga mereka bangkit bersama-sama, memajukan peradaban manusia. Betapa kita merindukan peradaban Islam kembali yang akan memberikan keberkahan bagi manusia dan alam semesta. Wallahu alam bi shawab.

Oleh: Dela, Sahabat Tinta Media

Dunia Pendidikan Tidak Baik-Baik Saja

Tinta Media - Dari tahun ke tahun, sejumlah masalah berulang kali muncul dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hal ini menjadi kekhawatiran bagi orang tua siswa yang akan mendaftar anaknya dalam pelaksanaan PPDB 2024.

Jajaran pemerintah hingga aparat kepolisian mengultimatum agar tidak ada proses transaksional dalam pelaksanaan PPDB 2024. Bupati Bandung, Dadang Supriatna menegaskan bahwa selama PPDB, di Kabupaten Bandung tidak ada transaksi uang. Semua harus sesuai mekanisme. Apa yang menjadi afirmasi, ataupun prestasi, zonasi, ini harus betul-betul dihilangkan. (Detik.com, 10/6/2024)

Kendati demikian, imbauan ini dari tahun ke tahun tidak diindahkan oleh sejumlah pihak pelaksana PPDB. Dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa masalah seperti pungutan liar, kesulitan dalam pendaftaran, kurangnya daya tampung, numpang KK, pemalsuan dokumen, hingga jual beli kursi.

Sungguh miris melihat kondisi dunia pendidikan saat ini, melakukan segala cara demi tercapainya tujuan pribadi. Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalis-sekuler. Selama memiliki modal atau uang, semua bisa dilakukan tanpa melihat halal dan haramnya. Meski sudah ada aturan dan hukum yang sudah dilaksanakan, nyatanya tidak membuat pelakunya jera.

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban dan hak setiap masyarakat. Dalam pelaksanaannya, sistem pendidikan harus senantiasa diatur dan dijaga sesuai syariat agar menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan peserta didik yang mumpuni. 

Selain itu, masyarakat dan negara berperan penting dalam pelaksanaan dan pengawasan sistem pendidikan. Negara akan menindak tegas semua pelanggaran sesuai syariat, bukan sesuai keinginan manusia.

Maka, sudah saatnya kita kembali pada penerapan syariat Islam yang datang dari Allah Swt. dan meninggalkan penerapan peraturan sekularisme yang menjadikan manusia berjalan sesuai keinginannya saja. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Yumna Nur Fahiimah, Muslimah Peduli Generasi

Jumat, 21 Juni 2024

Menyelamatkan Pendidikan dari Ancaman Kapitalisme: Urgensi Implementasi Sistem Pendidikan Islam

Tinta Media - Universitas Muhammadiyah Pontianak kembali mendapatkan hibah Erasmus Plus untuk program pertukaran staf ke Eropa, yang berlangsung dari 15-19 April 2024 di Granada dan 22-26 April di Huelva, Spanyol. Hibah Erasmus KA171 ini diberikan kepada dosen atau karyawan, dan Ufi Ruhama’, dosen serta Kepala Kantor Urusan Internasional, menjadi penerima hibah fully funded tersebut di Universidad de Granada dan Universidad de Huelva. Universidad de Granada, sebagai kampus terbesar di Kota Granada, mengadakan Staff Training Week (STW) yang diikuti oleh 62 peserta dari 30 negara, di mana Ufi merupakan satu-satunya peserta dari Indonesia. Selama lima hari, STW menghadirkan workshop, pengenalan budaya, internasionalisasi, pengenalan bahasa Spanyol, dan tur studi, serta beberapa peserta mempresentasikan kampus dan budaya negara mereka. Dalam pertemuan dengan berbagai fakultas dan Kantor Urusan Internasional di Granada, Ufi berusaha membuka dan mencari peluang kerja sama yang bermanfaat bagi kedua pihak (tribunnews.com).

Kerja sama antara perguruan tinggi di Indonesia dengan lembaga pendidikan internasional telah menjadi tren, terutama dalam hal pertukaran mahasiswa atau staf akademik. Meskipun terlihat menguntungkan, namun pada kenyataannya, kebijakan ini menimbulkan ancaman yang patut diperhatikan. Perguruan tinggi luar negeri memiliki kurikulum yang tentunya mencerminkan visi dan misi pendidikan yang didasarkan pada prinsip sekularisme kapitalisme, sebuah konsep yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini memberikan masalah tersendiri bagi negara Muslim yang mengedepankan pendidikan berlandaskan ajaran Islam.

Masalah semakin rumit ketika pemikiran Barat dengan mudahnya masuk ke dalam sistem pendidikan di Indonesia, bahkan keberadaannya telah merasuk secara masif di perguruan tinggi dalam negeri. Kehadiran kampus-kampus asing semakin menegaskan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia semakin terkapitalisasi, di mana pendidikan lebih cenderung diarahkan pada pencapaian materi atau aspek ekonomi daripada kepentingan ilmu itu sendiri. Tujuan pendidikan pun terlihat lebih mementingkan reputasi dan jumlah lulusan yang siap terjun ke dunia kerja, daripada membangun SDM yang unggul secara intelektual dan karakter yang sesuai dengan ajaran Islam.

Seharusnya, pembangunan pendidikan sejalan dengan konsep penting dari fungsi pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai alat untuk menghasilkan SDM yang unggul dalam segala aspek. SDM tersebut tidak hanya berkualifikasi dalam bidang keilmuan, tetapi juga memiliki karakter Islami yang kuat serta kemampuan untuk menjadi pemimpin yang mampu memecahkan berbagai masalah di masyarakat. Namun, pendidikan tinggi yang didominasi oleh nilai-nilai kapitalisme akan menghasilkan lulusan yang lebih cenderung mengikuti ideologi kapitalis, yang pada akhirnya akan memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri.

Jadi, secara implisit, kebijakan ini seolah membajak potensi generasi muda untuk kepentingan kapitalisme. Kampus-kampus asing yang berbasis kapitalisme bukanlah tempat yang sesuai untuk mengembangkan karakter dan moralitas yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sejati. Oleh karena itu, diperlukan reformasi mendalam dalam tata kelola pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan landasan nilai-nilai ajaran Islam yang murni. Perguruan tinggi negeri haruslah dikelola secara langsung oleh negara dengan kurikulum yang mencerminkan nilai-nilai Islam, untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter Islami dan dedikasi tinggi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, bukan semata berorientasi pada aspek ekonomi dalam kerangka sistem kapitalisme. Dengan demikian, pendidikan Islam menjadi jaminan bagi pembangunan SDM yang akan membawa negara ini menuju kemajuan sejati, sesuai dengan ridha Allah. Itulah mengapa pentingnya penerapan sistem Khilafah Islam yang akan menegakkan sistem pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang autentik.

Oleh : Syifa, Sahabat Tinta Media 

Senin, 17 Juni 2024

UKT Naik Drastis, Pendidikan Makin Miris


Tinta Media - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa tahun ini tidak akan ada kenaikan tarif uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa Perguruan-perguruan tinggi negeri (PTN). Mendikbudristek Nadiem Makarim kemudian menerjemahkannya. Dia meminta pada jajarannya untuk memberi tahu para rektor perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH). 

Jokowi menyatakan bahwa dia akan melakukan evaluasi terlebih dahulu setelah menerima laporan Nadiem tentang kontroversi UKT. Namun, dia menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan kalau kenaikan UKT itu dapat dilaksanakan tahun depan. (cnnindonesia.com, 29-05-2024).

Mahasiswa kelimpungan menghadapi besarnya biaya UKT yang berdampak dari adanya perubahan PT menjadi PTN-BH. 

Dengan perubahan ini, kewajiban negara untuk membiayai pendidikan bagi perguruan tinggi pun hilang. Akibatnya, semua biaya perguruan tinggi negeri didasarkan pada SSBOPT atau Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Selain itu, perguruan tinggi harus mencari sumber dana sendiri. (cnnindonesia.com, 31-05-2024).

SSBOPT diputuskan berdasarkan capaian standar nasional pendidikan tinggi untuk jenis program studi dan indeks kemahalan wilayah. Akhirnya, komersialisasi pendidikan tinggi tidak terhindarkan lagi. 

Di samping itu, sistem pendidikan saat ini tidak menghasilkan generasi yang berkualitas karena mahasiswa diberikan kurikulum yang memenuhi tuntutan industri. Ini merupakan konsekuensi logis program WCU atau World Class University terhadap perguruan tinggi.

Program ini mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang membutuhkan biaya mahal, termasuk konsep triple helix yang menjalin kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi. Akibatnya, orientasi pendidikan tinggi terfokus pada kebutuhan industri daripada pendidikan.

Kenaikan UKT beserta faktor yang memengaruhinya merupakan kezaliman dari sistem kapitalisme, yaitu sistem yang berorientasi pada materi sehingga menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis. Makin lama, makin terasa bahwa pendidikan hanya digunakan untuk mencari pekerjaan dan uang semata, bukan ilmu. Oleh karena itu, masalah biaya kuliah pasti akan makin parah selama kapitalisme diterapkan. 

Pendidikan berkualitas dan gratis hanya menjadi impian kosong jika sistem kapitalisme tidak mampu mewujudkannya. Ini tidak sama dengan sistem Islam yang dianut Daulah Khilafah Islamiyyah. Daulah Khilafah mampu menciptakan pendidikan gratis dan berkualitas karena beberapa tuntunan syariat:

Pertama, Islam memiliki tujuan politik di bidang pendidikan, yaitu memelihara hak-hak manusia sebagaimana Allah Ta'ala jelaskan dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Kedua, pendidikan merupakan wasilah seseorang memiliki ilmu. Ilmu akan menjauhkan manusia dari kebodohan dan kekufuran. Ilmu juga digunakan untuk tadabur, ijtihad, dan berbagai aktivitas lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan akal manusia dan memuji keberadaan ilmuwan.

Ketiga, tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan oleh negara dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menjabat sebagai Kepala Negara Islam di Madinah. Sebagai tebusan, para tahanan Perang Badar diminta untuk mengajarkan kaum muslimin baca tulis. Tindakan ini bukan semata-mata dari kebaikan beliau secara personal, tetapi ada makna politis, yakni perhatian negara terhadap pendidikan.

Pendidikan dalam sistem Islam dipandang sebagai kebutuhan dasar publik, bukan barang komersial apalagi dianggap sebagai barang tersier, karena Islam mewajibkan semua manusia berilmu. Negara harus memberikan pendidikan gratis kepada seluruh warganya. Mereka memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh gelar sarjana tanpa biaya.

Hanya saja, untuk mewujudkan pendidikan yang seperti ini dibutuhkan dukungan dana yang besar. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam akan mendukung sistem pendidikan Islam, karena sumber keuangan negara akan berpusat pada baitul mal. 

Baitul mal sendiri memiliki tiga pos pendapatan, yaitu pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Masing-masing pos memiliki sumber pemasukan dan alokasi dana untuk pendidikan, misalnya Khilafah mengalokasikan dana dari pos kepemilikan umum untuk biaya sarana dan prasarana pendidikan sehingga negara bisa membangun gedung-gedung sekolah/kampus. Bahkan, Khilafah juga bisa memberi beasiswa kepada seluruh mahasiswa tanpa syarat, baik dari keluarga miskin ataupun kaya, berprestasi atau biasa saja. Semua akan mendapatkan layanan yang sama rata.

Sementara, untuk gaji para guru dan dosen serta tenaga administrasi, Khilafah akan mengalokasikan anggarannya dari pos kepemilikan negara. Baitul mal merupakan sumber pendanaan yang kokoh dan stabil dalam daulah sehingga mampu membiayai pendidikan agar sesuai syariat Islam. 

Seluruh masyarakat pun akan menjadi orang berilmu dengan kepribadian Islam dalam dirinya. Karena itulah, sepanjang Daulah Khilafah berdiri selama kurang lebih 14 abad, banyak ilmuwan, para pemikir, dan  para ulama membangun kapasitas keilmuan untuk umat, bukan memenuhi tuntutan industri seperti saat ini. Wallahua’lam bishawwab.

Oleh: Amellia Putri 
(Mahasiswi dan Aktivis Muslimah )

Kamis, 13 Juni 2024

Mustahil, dalam Sistem Kapitalis Pendidikan Gratis


Tinta Media - Pendidikan adalah salah satu aspek penting bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang wewenang harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang efektif dan merata. Negara harus bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas.

Terkait persoalan pendidikan, di Kabupaten Bandung ternyata masih banyak daerah yang belum memiliki sekolah SMA, terutama nb sekolah negeri. Kondisi ini mengakibatkan banyak calon siswa baru yang kesulitan mencari sekolah SMA, Pasalnya, dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saat ini, mereka tidak bisa masuk  dalam zonasi atau kalah saing dengan calon siswa yang rumahnya terdekat dari sekolah.

Kebijakan zonasi yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan yang adil dan merata bagi semua warga, faktanya malah mendapat kritikan. Beberapa murid malah diterima di sekolah yang berjarak lebih jauh daripada yang terdekat dengan tempat tinggalnya. 

Artinya, efisiensi sistem zonasi harus dipertanyakan, jangan-jangan kebijakan ini malah disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Misalnya, memperjualbelikan kursi sekolah atau menjadi ajang suap-menyuap.

Selain itu, kebijakan zonasi ini berdampak pada hilangnya kesempatan di sekolah negeri yang akhirnya menjadikan para orang tua harus memutar otak agar tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Seperti yang kita ketahui, bahwasanya untuk bersekolah di sekolah swasta, ada harga yang tidak sedikit untuk dibayarkan.

Persoalan ini harusnya menjadi fokus negara. Pendidikan yang berkualitas adalah hal terpenting yang bisa menjadikan anak-anak bangsa menjadi generasi emas. Namun sayangnya, pemerataan pendidikan ini masih belum menemui titik terang. Sebab, antara pemerintah pusat dan daerah masih saling lempar tanggung jawab, sehingga masih dilematis. 

Inilah bukti bahwa dalam sistem kapitalisme, urusan riayah seperti pada aspek pendidikan banyak pertimbangan untung ruginya. Karenanya, tidak ada yang gratis dalam sistem kapitalis. Pelayanan pendidikan yang mengadopsi prinsip-prinsip komersial  bertujuan mengambil keuntungan dari masyarakat. Sejatinya, hal ini semakin memberatkan masyarakat berekonomi rendah. 

Di tengah impitan ekonomi yang menimpa masyarakat kecil, persoalan kurangnya infrastruktur sekolah, kebijakan yang rumit, diperparah dengan mahalnya biaya sekolah swasta, menjadi penyebab meningkatnya jumlah siswa putus sekolah, juga tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya. 

Bukankah seharusnya pendidikan adalah kebutuhan asasi yang wajib dipenuhi oleh negara? Kalau begitu, sistem zonasi telah gagal menjadi solusi meningkatkan akses pendidikan yang adil dan merata.

Dalam sistem kapitalisme, negara malah lepas tangan, kemudian menjual aset negara (sebidang tanah) kepada para pemilik modal besar (kapitalis) atau pihak swasta. Alih-alih untuk memeratakan pendidikan, negara malah menyerahkan periayahan pendidikan kepada pihak swasta.

Alhasil sekolah swasta pun menjamur di negeri ini. Kendati demikian, hikmahnya adalah semakin banyak sekolah swasta Islam yang bonafide karena jumlah sekolah negeri terbatas.

Tren positif masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren telah memperjelas, betapa sekolah negeri harus introspeksi dan berbenah diri perihal kurikulum dan suasana kegiatan belajar-mengajarnya.

Berbeda halnya dengan Islam yang begitu sempurna mengatur persoalan kehidupan, termasuk pendidikan. Negara Islam (Khilafah) bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan pokok masyarakat, yaitu sandang, pangan, papan, juga layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Dalam hal ini, negara wajib memberikan layanan pendidikan secara gratis pada semua jenjang pendidikan.

Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam (kepala negara) itu penggembala yang bertanggung jawab atas gembalaannya." (HR.Bukhari dari Ibnu Umar).

Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak dasar yang bertujuan  untuk mengajarkan kepada rakyat sesuai apa yang mereka butuhkan agar mendapat maslahat dari ilmu tersebut dan menolak kemudaratan. 

Negara akan menyediakan infrastruktur sekolah dengan kualitas keilmuan dan penjagaan akidah Islam yang terjamin. Tidak akan ada kebijakan yang membuat siswa kesulitan dalam mendapatkan pendidikan, apalagi karena terjebak batas wilayah domisili.

Sistem pendidikan dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan kepribadian Islam dan menciptakan keterampilan dan kemampuan warganya, sehingga mampu membawa negara menjadi terdepan dan paling maju secara teknis di dunia. 

Selain itu, pada semua jenjang pendidikan, tsaqafah Islam akan diajarkan. Siswa pun diperbolehkan mengikuti pendidikan informal, seperti di rumah, masjid, kelompok kajian, media masa, dan sebagiannya.

Negara juga akan membiayai seluruh jenjang pendidikan formal. Penerapan sistem ekonomi Islam berdampak pada melimpahnya penghasilan negara. Salah satunya melalui pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara. Kemudian hasilnya dikumpulkan di kas negara untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat.

Khalifah sadar betul bahwa thalabul Ilmi (menuntut ilmu) adalah kewajiban setiap muslim. Maka, hanya negara Islam yang mampu mewujudkan  pemerataan pendidikan yang berkualitas. Wallahu'alam bisshawab.



Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

UKT Melejit, Mahasiswa Menjerit

Tinta Media - Mengenyam pendidikan tinggi adalah cita-cita setiap insan. Akan tetapi, sangat  disayangkan, meningkatnya biaya UKT mengubah segalanya. Bukan hanya pendidikan semata, tetapi kampus pun sekarang ini berubah menjadi lahan korporasi. Terbukanya jalan bisnis antara pendidikan tinggi dengan swasta membuat perguruan tinggi berorientasi profit.

Yang terjadi sekarang ini, dunia pendidikan mendapatkan guncangan. Bahkan, telah viral di sosial media terkait kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) lewat jalur mandiri. Ada pula yang daftar melalui jalur prestasi dengan harapan uang kuliah tidak mahal. Namun, yang terjadi mereka justru harus membayar dengan biaya cukup tinggi (Tribune News, 24-5-2024).

Kenaikan UKT mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan juga demo dari mahasiswa. Pemerintah, melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun, yakni dari SD, SMP, hingga SMA.

Fakta ini sangat memberatkan mahasiswa dan orang tua. Di tengah sulitnya ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pokok, mahalnya biaya pendidikan melengkapi penderitaan rakyat. Padahal, intelektualitas akan tetap terjaga dan keunggulan peradaban suatu bangsa didapatkan dari pendidikan.

Komersialisasi kampus ini sejatinya merupakan konsekuensi dari penetapan tata kelola perguruan tinggi dengan prinsip-prinsip liberalisme dan kapitalisme. Ditambah lagi, terjadi disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Seharusnya, kampus menjadi tempat melahirkan para ilmuwan.

Secara empiris, Islam pernah menjadi negara adidaya. Dua pertiga dunia ada dalam naungan Daulah Islam. Saat itu, Islam menjadi mercusuar dunia. Para ilmuwan dan sejarawan sejati dari dunia Barat sangat mengetahui bahwa dahulu umat Islam pernah berjaya memimpin bangsa-bangsa di muka bumi, baik dalam hal pemerintahan maupun kemajuan peradaban dunia.

Tengoklah kejayaan Islam dalam bidang pendidikan. Islam bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi dunia Barat. Seperti jasa Ibnu Sina (Avicenna), saintis Islam yang telah berhasil memosisikan dirinya sebagai pelopor lahirnya ilmu kedokteran modern, dan banyak ilmuwan-ilmuwan IsIam lainnya dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, baik sains maupun teknologi. Mereka telah berhasil mengukir dunia.

Pada masa kejayaannya, dunia Islam juga sarat dengan lembaga-lembaga pendidikan, unggul dalam perpustakaan umum yang penuh dengan karya para ulama dan ilmuwan IsIam. Sebagai contoh, perpustakaan Darul Hikam di Kairo. Di sana ada 2 juta judul buku. 

Pendidikan dalam IsIam merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariat dan juga merupakan kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum muslimin, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Oleh karena itu, pendidikan dalam IsIam bukanlah kebutuhan tersier atau kebutuhan orang kaya saja.

Dengan demikian, akan terwujud  kejayaan suatu bangsa bila umat dan negara menjalankan aturan Allah Swt., termasuk menyelenggarakan pendidikan sebagai pelayanan untuk umat seluas-luasnya hingga jenjang yang tinggi. 

IsIam akan menjadikan umat ini sebagai kekuatan adidaya yang tidak bergantung, apalagi ditekan oleh negara-negara asing seperti saat ini. Semuanya akan terwujud jika umat mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Wallahualam bissawab.

Oleh: Titien Khadijah, Muslimah Peduli Umat 

Selasa, 11 Juni 2024

UKT Naik, Rakyat Tercekik


Tinta Media - Kabar tentang kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) menjadi polemik di negeri ini. Menurut pernyataan Muhammad Ravi, Presiden Mahasiswa UNRI (Universitas Riau) bahwa banyak Camaba (Calon Mahasiswa Baru) UNRI yang lolos SNBP (Seleksi  Nasional Berdasarkan Prestasi) undur diri karena tidak mampu membayar UKT.  Hal ini pun direspons oleh Prof. Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), “Pada prinsipnya orang tua mahasiswa diberikan ruang untuk mengajukan keringanan.” Selain itu, beliau juga mengatakan, “Kami secara intens telah berkomunikasi dengan Rektor UNRI untuk memegang teguh asas keadilan dalam penetapan kelompok UKT serta penempatan Mahasiswa dalam kelompok UKT.” (Kompas.com, 20-5-2024)

Berangkat dari respons, Prof. Abdul Haris, muncul pertanyaan, apabila UKT bisa ditentukan di bawah nominal yang telah ditetapkan saat ini, mengapa UKT dinaikkan sedemikian rupa? Belum lagi, beliau juga menyatakan bahwa telah menjalin hubungan intens dengan pihak UNRI untuk memegang teguh asas berkeadilan dalam penetapan dan penempatan Mahasiswa dalam  kelompok UKT, apakah hal ini merupakan solusi untuk mengatasi ketidakmampuan rakyat dalam pembiayaan pendidikan?

Miris, pernyataan demi pernyataan ngawur keluar dari lisan seorang pelayan rakyat, jelas yang beliau sampaikan bukanlah solusi yang solutif untuk mengatasi problem rakyat terkait UKT, justru hanya berupa opsi-opsi yang bisa mengakibatkan timbulnya kesenjangan antar Mahasiswa terkait perbedaan pembiayaan pembelajaran di kampus dan membuat rakyat tetap dalam kesulitan meski ada pengajuan keringanan biaya pendidikan.

Setiap orang pasti mempunyai impian dan harapan dalam hidupnya, tak terkecuali terkait jenjang pendidikan. Tetapi, impian dan harapan tersebut akan lebih mudah diwujudkan apabila didukung adanya sarana dan prasarana yang benar-benar diterapkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Faktanya, tidaklah demikian. Bukan hal yang tabu, apabila terjadi kenaikan harga pada semua bidang kehidupan, tak terkecuali mengenai UKT (Uang Kuliah Tunggal).

Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan untuk menunjang kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), apabila untuk mendapatkan pendidikan yang layak rakyat dipersulit, wajar jika kualitas SDM rendah. Seharusnya, negara menjamin hal ini untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di mulai dari meningkatkan kualitas SDM mereka, melalui pendidikan. Bukan malah memalak rakyat dengan berbagai program bahkan mewajibkannya. Faktanya memang demikian, dalam sistem kapitalisme tidak menyuguhkan kemudahan. Karena, mereka menstandarkan segala sesuatu pada asas kebermanfaatan dan materi. Mereka hanya ingin keuntungan pribadi, tidak memikirkan akibat yang ditimbulkannya.

Sedangkan dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan maka negara tidak memungut biaya karena untuk menyejahterakan rakyat caranya adalah meningkatkan kualitas SDM. Sehingga, sudah menjadi kewajiban bagi negara menyelenggarakan atau memberi sarana dan prasarana yang mendukung terwujudnya hal tersebut. Biaya pendidikan dalam sistem Islam di peroleh dari pos pendapatan negara bukan pajak (jizyah, ghanimah, kharaj), kontribusi kaum muslim yang mampu atau berlebih harta (wakaf atau sedekah).

Dengan demikian apakah patut rakyat masih berharap kesejahteraan pada sistem kapitalisme? Berbagai fakta tidaklah membenarkan bahwa sistem kapitalisme mampu mewujudkan laju kehidupan yang lebih baik dan menjamin kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Lalu, mau sampai kapan dipimpin oleh sistem kufur? Sudah saatnya umat paham dan menegakkan sistem Islam untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik dan menjamin.

Allahua’lam.

Oleh: Suyatminingsih, S.Sos.i., Sahabat Tinta Media 

Senin, 10 Juni 2024

Pendidikan Mudah Dijangkau dengan Penerapan Islam Kaffah



Tinta Media - Gelombang protes mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terjadi. Mereka menuntut agar UKT tidak dinaikkan sehingga tidak memberatkan. Beberapa di antaranya UGM, lebih dari 70 persen menolak. Ratusan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto melakukan hal yang sama. (tempo.co)

Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto mengatakan bahwa kenaikan UKT untuk angkatan 2024 itu didasari aturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (tempo.co)

Rektor Unsoed menyatakan bahwa sistem pembiayaan UKT di Unsoed masih mengacu pada aturan tahun. 
2012. (beritasatu.com)

Mahalnya biaya UKT ini merupakan dampak dari berlakunya PTN berbadan hukum (PTN BH), sehingga mengakibatkan terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi.

Ketika kelembagaan BLU ditawarkan sebagai pengganti PTN BH, otonomi menjadikan kelembagaan PTN BH sebagai pengelola perguruan tinggi berbasis kemandirian di bidang akademik maupun non-akademik. Ini menjadikan perguruan tinggi mengalami masalah keuangan karena tidak mendapat biaya pendidikan dari pemerintah. 

Alhasil, PT harus mencari biaya mandiri untuk operasional kampus, tak lain akibatnya adalah adanya kenaikan biaya perguruan tinggi.

Kapitalisme Sekularisme Biang Mahalnya Dunia Pendidikan Perguruan Tinggi

UKT mahal disebabkan karena adanya komersialisasi ala kapitalisme sekularisme. Kapitalisme sekularisme di dunia pendidikan menghilangkan peran negara sebagai penjamin pendidikan. Negara bertindak hanya sebagai regulator sekaligus berpandangan materialisme. 

Negara menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis dan keuntungan materi semata. Kapitalisme sekularisme tidak berpihak pada peran dan kekayaan intelektual sebagai problem solver yang diperhitungkan dalam memberikan kontribusi kemanfaatan bagi negeri. Karena itu, kekayaan intelektual menjadi tersumbat, terhenti hanya pada pemenuhan target akreditasi semata, sehingga tidak mampu melahirkan generasi emas pembangun peradaban.

Penerapan Islam Kaffah Solusi Mahalnya Dunia Pendidikan

Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Negara berkewajiban memenuhi dan menjamin segala kebutuhan rakyatnya.

Dalam Islam, peran negara adalah sebagai raa'in (pengurus) rakyat. Sabda Rasulullah saw.

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus) rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). 

Jaminan pendidikan yang didapatkan masyarakat harus merata, tidak membeda-bedakan strata atau golongan ekonomi rakyat. Pemerintah memfasilitasi secara gratis tanpa mengeluarkan biaya.

Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan dan pengelolaan ekonomi yang tepat dan benar.
Dalam konsep ekonomi Islam, aspek pemasukan dan pengeluaran diatur sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Pemasukan pembiayaan untuk pendidikan diperoleh dari kas negara dan harta orang-orang kaya, antara lain:

Kas Negara

Sumber pemasukan dan pengeluaran kas negara dikumpulkan di baitul mal untuk mencukupi kebutuhan umat.

Pertama, harta fa'i dan kharaj. Digunakan untuk mengatur kepentingan dan kemaslahatan rakyat, terdiri dari jenis ghanimah, kharaj, jizyah, fa'i, pajak (dalam kondisi khusus).

Kedua, kepemilikan umum terdiri dari minyak dan gas, listrik, pertambangan, kelautan (perairan sungai dan mata air), hutan dan padang rumput, tempat khusus yang dilindungi oleh negara 

Ketiga, shadaqah terdiri dari zakat mal, zakat pertanian, zakat ternak yang didistribusikan sesuai pemenuhan syarat penerimaan zakat yang di tetapkan dalam syariat (delapan asnaf)

Jenis pemasukan tersebut sebagian akan dikelola untuk fasilitas pendidikan, seperti pembangunan gedung-gedung universitas, dan sarana pendidikan lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dan lain-lain, bahkan alat belajar yang diperlukan, seperti pena, tinta, dan kertas secara gratis. 

Contohnya, di Baghdad dibangun universitas Al Mustanshiriyyah. Khalifah Hakam bin Abdurrahman an-Nashir mendirikan Universitas Cordoba yang menampung mahasiswa dengan gratis.

Contoh lain, Sultan Nuruddin Muhammad Zanky (abad XI hijriyah) mendirikan Madrasah an Nuriyah di Damaskus. Di sekolah ini, terdapat fasilitas seperti asrama siswa, perumahan, staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruang besar untuk ceramah dan diskusi.

Selain itu, terdapat fasilitas pembangunan eksperimen/praktikum/laboratorium. Contohnya pembangunan perkebunan untuk melakukan eksperimen para intelektual muslim di Baghdad, Cairo, Cordoba, dan lain-lainnya.

Seluruh fasilitas tersebut gratis, tidak dipungut biaya. Para intelektual terjamin fasilitas belajarnya, baik berupa sarana prasarana gedung belajar, tempat tinggal, laboratorium, bahkan alat belajar. 

Dengan demikian, pendidikan menghasilkan produktivitas tinggi berupa kekayaan berpikir dan para intelektual, serta terwujud kemandirian dan peradaban negara yang gemilang, tercapai kemaslahatan dengan ilmu yang bermanfaat untuk menyelesaikan problem negara.

Harta Orang-Orang Kaya

Orang-orang kaya di era khilafah berlomba-lomba mewakafkan hartanya untuk menyediakan fasilitas pendidikan. Banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf yang bersifat khusus, seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fiqih dan ilmu-ilmu Al-Qur'an. 

Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan. (Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu Idaratuhu Tanmiyatuhu)

Perwujudan pendidikan gratis akan terealisasi dengan penerapan Islam kaffah melalui peran serta pemerintah, berasaskan akidah Islam, dan ketakwaan individu masyarakat dan khalifah sebagai raa'in dan pelaksanaan kekuatan sistem ekonomi/keuangan Islam.

Oleh: Juhaini, S.Pd
Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juni 2024

Gim Masuk Dunia Pendidikan, Generasi Muda Terancam!



Tinta Media - Miris! Banyak remaja dan anak-anak mengalami kecanduan gim daring ataupun luring. KPAI mendesak pemerintah melalui Kemenkominfo untuk memblokir gim daring yang mengandung unsur kekerasan dan seksualitas (news.detik.com, 24/04/2024). 

Namun, pemerintah justru memandang industri gim sebagai komoditas ekonomi. Mereka mendorong pelaku industri kreatif untuk menciptakan lebih banyak gim agar mendapat keuntungan yang lebih besar. Parahnya, pemerintah menggandeng Kemendikbudristek dalam rangka mencetak talenta-talenta baru yang mampu menciptakan gim-gim menarik untuk kalangan muda dan anak-anak.

Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah juga menghendaki dukungan dari sektor pendidikan. Sekolah dan kampus memiliki peran untuk membentuk produk pendidikan yang mempunyai kemampuan digital tinggi. Tidak hanya fokus pada teknis, tetapi juga kompeten dalam pengembangan manajerial dan bisnis. Maka, SMK dan berbagai perguruan tinggi beramai-ramai membuka program studi, jurusan, maupun memuat mata pelajaran yang berkaitan dengan gim. 

Ini wajar terjadi sebab kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme dikembangkan mengikuti permintaan pasar/industri. Ketika gim menghasilkan keuntungan materi, maka disusunlah kurikulum yang akan menumbuhsuburkan gim, tak peduli pada dampak negatif yang membahayakan masa depan generasi. Padahal, kurikulum seharusnya disusun dan diterapkan untuk menjawab tantangan permasalahan bangsa.

Maka, pendidikan tinggi pun mengalami disfungsi. Institusi yang seharusnya mencetak generasi unggul dan bertakwa, berubah mencetak  “monster mengerikan” yang siap menghancurkan generasi melalui pengembangan industri gim. Dengan kata lain, pendidikan tinggi hanya mencetak profil lulusan yang berorientasi materi, asal kerja, dan tidak peduli persoalan masyarakat.

Mindset keuntungan materi yang akan didapatkan, membuat generasi muda terlena. Mereka tidak akan berpikir bahwa persoalan bangsa ini sesungguhnya adalah penjajahan Barat melalui pemikiran dan eksploitasi sumber daya alam. 

Selain itu, industri gim akan membawa efek yang lebih besar karena generasi dimanjakan dengan berbagai inovasi dari gim. Gim menjadi salah satu strategi Barat untuk menghancurkan generasi yang tetap tumbuh secara kuantitas, tetapi lemah dari kualitas. Bahaya gim juga makin menjadi karena konten gim rawan disusupi tayangan kekerasan, pornografi, bahkan perusakan pemikiran. 

Inilah upaya nyata Barat untuk mengalahkan umat Islam tanpa harus bersusah payah mengangkat senjata, memperlambat kebangkitan Islam, dan menjauhkan generasi muda muslim dari visi Islam. Begitulah potret sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang merusak generasi.

Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Visi Islam dalam kehidupan yaitu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Generasi muda berperan penting sebagai penerap, penjaga, dan penyebar dakwah ke seluruh penjuru negeri. 

Generasi dalam Islam adalah generasi yang mampu menjadi pemimpin berkarakter dan tangguh. Pendidikan Islam mampu menghasilkan lulusan yang dibutuhkan, mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim dan ahli hukum sehingga umat dapat berkembang, mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.


Oleh: Ummu Hagia
Sahabat Tinta Media

UKT Mahal, Pendidikan Rakyat Miskin Terganjal

Tinta Media - Namanya Siti Aisyah. Pendidikannya terpaksa dilepaskan begitu saja saat mengetahui UKT yang harus dibayarkan terlampau mahal. Padahal, Siti Aisyah adalah pelajar berprestasi yang mampu masuk universitas negeri tanpa melalui tes seleksi. Namun sayang, kini harapannya hanyalah mimpi. Siti Aisyah hanyalah satu dari banyaknya pelajar yang bernasib sama.

Dilansir dari kompas.com (16/5/2024), sebanyak 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan undur diri dari Universitas Riau. Alasannya karena merasa tidak mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT). Kabar ini dibenarkan oleh Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi, dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR.

Kapitalisasi Pendidikan

Panasnya polemik tentang kenaikan UKT, berujung pada kebijakan pembatalan UKT oleh pemerintah. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim memutuskan untuk membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) (kompas.com, 28/5/2024). Nadiem juga meminta perguruan tinggi segera menyesuaikan biaya UKT setelah kebijakan ini ditetapkan.

Terkait UKT yang tidak jadi naik, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan mengungkapkan, pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara (tempo.co, 30/5/2024). Subkhan melanjutkan,  kemungkinan tahun depan UKT kembali naik, karena pembatalan ini tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep pendidikan hak setiap rakyat. Parahnya lagi, sekolah yang siswanya lolos SNBP namun tidak mengambilnya, sekolah bisa dicoret dari daftar penerima undangan masuk perguruan tinggi negeri.

Inilah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan negara kapitalis. Negara abai atas hak pendidikan rakyat miskin. Mau tidak mau rakyat dipaksa berusaha mandiri agar mampu mengenyam pendidikan tinggi. Sementara, taraf ekonomi rakyat Indonesia, didominasi oleh golongan ekonomi menengah ke bawah melahirkan masalah yang tidak sudah-sudah. Keadaan ini membuat sebagian besar individu menyerah. Alhasil, pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh kalangan mampu secara ekonomi.

Di sisi lain, pendidikan yang merupakan sektor strategis menjadi obyek sasaran bisnis yang menjanjikan keuntungan fantastis. Konsep pengaturan biaya pendidikan dialihkan kepada masing-masing perguruan tinggi, yakni status PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Status ini menjadikan perguruan tinggi sibuk "mencari dana operasional" agar universitas tetap berjalan. Dan salah satu sumber pemasukan yang dibidik adalah uang kuliah tunggal yang disetorkan dari mahasiswa per semesternya. Konsep ini berhasil menggeser fungsi perguruan tinggi yang semestinya menjadi lembaga pengajaran yang mampu mencerdaskan generasi menjadi lembaga "bisnis" yang terus menyasar ekonomi rakyat.

Segala bentuk masalah yang kini ada karena negara memosisikan kebutuhan rakyat hanya sebagai beban. Bukan amanah yang harus dijaga. Paradigma inilah yang menjadikan negara gagal mengurusi rakyat.

Buruknya akibat yang ditimbulkan konsep kapitalisme sekuleristik. Konsep ini hanya mengutamakan keuntungan materi di atas segala-galanya. Bahkan di atas kepentingan pendidikan generasi. Padahal generasi yang berkualitas adalah modal dasar yang mampu mengantarkan suatu bangsa pada kekuatan dan kemajuan.

Lantas, bagaimana pendidikan di tanah air dapat mencetak generasi berkualitas?

Jaminan Pendidikan dalam Islam

Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara  dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis.

Pendidikan tinggi dengan kualitas memadai akan menjadi kunci suksesnya kemajuan bangsa. Gemilangnya pendidikan akan menghantarkan generasi menjadi generasi tangguh dan cemerlang.

Dalam sistem Islam, pendidikan menjadi prioritas utama yang wajib disediakan negara untuk seluruh individu rakyat. Negara pun berkewajiban menetapkan biaya murah bahkan gratis serta pendidikan berkualitas. Paradigma ini ditetapkan sebagai ketundukan sistem pada hukum syara'. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. dalam hadits Bukhori,

bahwa pemimpin adalah ra'in (pengurus) urusan rakyat dan negara wajib mengurusi setiap urusan rakyat.

Semua konsep ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi terpercaya yang mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya.

Anggaran pendidikan dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan mekanisme kebijakan yang bersandar pada hukum syara'. Anggaran ditetapkan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dana yang digunakan berasal dari pos-pos Baitul Maal. Pos pemasukan Baitul Maal bersumber dari hasil tata kelola sumber daya alam yang diurus negara secara mandiri, terprogram dan amanah. Tidak hanya itu, pos Baitul Maal juga didapatkan dari pos-pos jizyah, kharaj, fa'i dan ghanimah.

Rakyat tidak akan dibebani dengan biaya pendidikan yang menyusahkan, karena pembiayaan pendidikan diurus dengan amanah sehingga mampu menjamin pendidikan seluruh rakyat.

Tangguhnya kehidupan dalam pengaturan Islam. Pendidikan menjadi senjata utama yang mampu menghantarkan pada peradaban gemilang.

Wallahu alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Jumat, 07 Juni 2024

Pendidikan Tinggi, Kebutuhan Tersier?

Tinta Media - Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri menaikkan UKT ( Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat - lipat. (Detik.com, 22/5/2024).

Naiknya UKT ini adalah dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di Indonesia. Perguruan tinggi negeri harus mengikuti Standar Satuan Operasi Pendidikan Tinggi ( SSOPT), yang mengharuskan perguruan tinggi negeri harus mengikuti program WCU ( World Class Universiti), kampus harus bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan dan perguruan tinggi itu sendiri.

Inilah yang mengubah orientasi pendidikan, dari menuntut ilmu berubah untuk pemenuhan tuntutan dunia industri.

 Syarat-syarat inilah yang akhirnya berakibat biaya pendidikan menjadi mahal.

Ditambah adanya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN, yang jauh dari cukup untuk pembiayaan pendidikan itu sendiri.

Akibat kekurangan dana inilah,  perguruan tinggi negeri akhirnya  diberi otonomi seluas - luasnya untuk mencari sumber dananya, diantaranya dengan kenaikan UKT ini. (Ibid).

Kenaikan UKT merupakan kebijakan zalim pemerintah yang akan merampas hak berupa pendidikan bagi rakyatnya, yang pada dasarnya pendidikan adalah kebutuhan dan wajib dipenuhi oleh pemerintah, tetapi karena mahalnya biaya pendidikan dan perkuliahan akhirnya biaya pendidikan bagi rakyat miskin seolah sesuatu yang sangat sulit di jangkau.

Tidak hanya itu, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tertier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.

Berbeda dengan Islam pendidikan bukan pilihan apalagi kebutuhan tertier, tetapi pendidikan adalah kewajiban bagi setiap muslim baik yang kaya maupun yang miskin.

Ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW  " Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim" ( HR Ibnu Majah).

Di dalam Islam negara tidak boleh membebani biaya pendidikan bagi rakyatnya, pun tidak boleh membebani rakyat dengan berbagai pajak.

Pembiayaan pendidikan dalam Islam bisa dari individu, infak, donasi berupa wakaf dari umat untuk pendidikan, yang akan digunakan untuk sarana dan prasarana pendidikan, kebutuhan hidup para guru, dan pelajar, serta orang - orang yang berada dilingkungan pendidikan seperti pegawai administrasi dan penjaga sekolah maupun kampus tempat mereka bekerja.

Juga pendapatan negara,  dari sumber daya alamnya, dari kharaj, jizyah dan lain sebagainya.

Seluruhnya dialokasikan untuk kepentingan umat. Termasuk biaya pendidikan.

Ini bisa terlihat saat Islam mengalami kejayaannya, dari masa kenabian, khulafaur rasyidin, hingga era kekhilafahan Islam, bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi manusia, dan dunia Barat hingga sekarang.

Kejayaan ini bisa terwujud karena umat dan negara, setia menerapkan syariat Islam, yang tidak bisa ditekan apalagi tergantung pada negara - negara asing seperti saat ini, yang tujuan utama mereka adalah kehancuran Islam dan umat Islam itu sendiri.

Wallaahu a'lam.

Oleh: Juliyani, Muslimah Peduli Generasi

Kamis, 06 Juni 2024

FDMPB: Pendidikan Itu Penting, Sangat Strategis, Investasi Masa Depan Bangsa

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. menyampaikan bahwa pendidikan itu penting, sangat strategis, investasi masa depan bangsa.

"Kalau kita coba baca filsafat pendidikan baik di dalam Islam maupun di Barat itu secara ontologis sama, bahwa pendidikan itu penting, pendidikan itu sangat strategis bahkan menjadi investasi masa depan bangsa," tuturnya dalam live FGD FORDOK #43. UKT dan Kapitalisme Pendidikan: Membedah Akar Masalah Pendidikan Nasional di kanal YouTube Forum Dokter Muslim Peduli Bangsa, Sabtu (25/5/2024).

Ia berasumsi bahwa dalam sebuah kepengurusan negara itu harus ada pergantian generasi. Tidak mungkin seseorang itu akan hidup terus, tidak mungkin pemimpin itu akan selamanya hidup. Pasti akan ada regenerasi, akan ada pergantian generasi. Karena itu, generasi yang disebut bangsa atau anak bangsa itu kemudian disiapkan. Adapun kekayaan sumber daya alam, kalau tidak dikelola oleh SDM yang berkualitas itu juga sama saja. "Karena itu, bicara soal pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang memanusiakan manusia tetapi juga lebih dari itu adalah menentukan masa depan bangsa," jelasnya.

"Nah, kalau kita melihat dari sisi aksiologi atau manfaat atau nilai di dalam filsafat pendidikan maka kita bisa membayangkan bahwa bagaimana kemudian relasi antara negara atau pemerintah dengan rakyat," ucapnya.

Filosofis UKT

Ia menggambarkan UKT secara filosofis kaitannya dengan relasi dengan gambaran sederhana yakni kalau rumah tangga itu ada orang tua, ada anak, orang tua itu bahkan rela berhutang untuk menyekolahkan anak-anaknya karena orang tua itu punya harapan bahwa anak itu akan menggantikan dirinya di masa depan. Berkaitan dengan kesejahteraan, mungkin orang tua sedang membayangkan bahwa bolehlah orang tua tidak sekolah, tapi anak harus sekolah, harus meningkatkan kemuliaan dan martabat keluarga, kemudian rela berhutang.

"Coba kita bayangkan, sebuah negara Indonesia yang sering kita bangga-banggakan sebagai negara yang besar, sumber dayanya sangat melimpah, mungkin terkaya di dunia, kemudian kita lihat kisruh UKT, tadi ketika sudah ditekankan tentang pandangan bahwa pendidikan itu tersier, dalam arti pendidikan secara umum itu adalah kesalahan. Maka kita bisa katakan jangan sampai pemerintah itu gagal paham pendidikan," tekannya.

Gagal Paham Pendidikan

"Karena kalau gagal paham pendidikan, memang efeknya akan sangat beragam. Efek dominonya akan luar biasa. Padahal kalau dilihat dari amanah undang-undang, sudah sangat jelas di situ, semua juga baca itu," ungkapnya.

Ia mempertanyakan bahwa aparat pemangku negara, apakah membaca, apakah benar menafsirkannya, menginterpretasikannya, bagaimana mensosialisasikannya, bagaimana kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang lebih mikro dan seterusnya. Ketika pemerintah kemudian anggaplah gagal paham dengan salah satu statement tentang sebutan tersier itu, maka ini berarti pemerintah sedang mendudukkan relasi dengan rakyat tidak sebagaimana orang tua kepada anaknya. "Coba kita bayangkan misalnya orang tua itu ketika anaknya makan di rumah kemudian disuruh bayar, atau orang tua mengatakan kamu harus sekolah, harus bayar sendiri padahal masih TK, masih SD misalnya. Ini kan sebenarnya secara filosofis mudah sekali ditangkap," tukasnya.

Pengelolaan Potensi Negara

Sementara, lanjutnya, negara sebesar Indonesia ini, kenapa kemudian mendudukkan relasi tidak tepat bagaimana sudut pandang relasi antara negara kepada rakyat. Walaupun di lapangan ada hitung-hitungan tetapi sebenarnya berkaitan dengan bagaimana mengelola potensi negara yang luar biasa ini.

Ada Masalah Keuangan Negara

Ia pun mengajak untuk membayangkan bahwa ternyata yang dikorupsi saja sudah berapa triliun, berapa sumber daya alam yang dikelola oleh orang lain, bagaimana tanah-tanah di negeri ini yang harusnya wakaf ternyata jutaan hektar dikelola oleh orang lain. "Nah ini kan memang sebuah sistem. Artinya negara kita sebenarnya sedang ada masalah keuangan secara umum, terkait pengelolaan sistem, pengelolaan negara ini. Berarti ada masalah sehingga akhirnya memberikan dampak kepada pendidikan," ujarnya.

"Jadi pemerintah kemudian menempatkan diri hubungannya dengan rakyat itu mungkin jadi pedagang kemudian bisnis kemudian meletakkan pendidikan sebagai kebutuhan private sehingga ketika kampus diberi satu keleluasaan karena minimnya anggaran, akhirnya kampus juga kebingungan sendiri," tukasnya.

Ia mengungkapkan bahwa memang ada kampus-kampus yang kemudian membuat usaha-usaha ekonomi, tetapi kampus itu tidak seperti itu. Memang sebagai dosen, diminta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan mahasiswa bukan untuk berdagang, bukan untuk mencari uang. Dalam arti membuka usaha-usaha karena memang ini bagian dari kebutuhan negara sebagai pendidikan. "Nah ini memang ada kompleksitas di sini," terangnya.

Filosofi Adanya Negara

Ia membeberkan bahwa filosofi adanya negara secara sederhana yakni negara ada untuk mengurus rakyat. Sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang bahwa adanya negara untuk mengurus rakyat baik kesejahteraannya, keadilannya. Penjagaan dan penjaminan negara terhadap keimanan, ketakwaan, akhlak bangsa, adab. "Cukup miris melihat ketika pendidikan atau hasilnya ternyata nir adab, nir akhlak, hatinya tidak disentuh," mirisnya.

Ia mengatakan bahwa pemerintah mestinya dalam konteks pendidikan itu, bagaimana mewujudkan bangsa yang beriman, bertakwa, beradab. Karena tiga hal ini akan menumbuhkan bangsa yang beradab, yang tidak korupsi, tidak terjebak judi online. Negara juga tidak menerapkan riba misalnya. Ini kan ada relasi seorang hamba, dengan Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Taa'la yang memiliki hukum-hukum terkait kehidupan.

Nah tentang kesehatan, lanjutnya, kesehatan berarti hubungannya dengan makanan, minuman, kebutuhan primer individu. Artinya pemerintah harus betul-betul menyiapkan kebutuhan makanan, minuman yang baik, yang memberikan kesehatan, berdampak kepada kesehatan rakyatnya. "Yah beriman kalau tidak sehat, ini kan hubungannya nanti produktivitas sebuah bangsa untuk negaranya," tuturnya.

"Nah bagaimana dengan hari ini, juga luar biasa terkait makanan, minuman ini bahkan menjadi satu keprihatinan. Padahal mestinya menjadi tugas negara dengan para pemimpinnya untuk menjamin bahwa rakyatnya itu harus sehat," bebernya.

'Itulah kenapa di dalam Islam itu kesehatan, keamanan, pendidikan betul-betul menjadi kebutuhan publik yang harus diurus oleh negara sebaik mungkin," imbuhnya.

Kemudian lanjutnya, tentang akal, tentang intelektualitas yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Berarti bicara soal lembaga pendidikan. Jadi jika hatinya sudah baik, akhlaknya sudah baik, baru bicara soal kecerdasan, dalam arti akalnya. Akal ini yang kemudian akan melahirkan peradaban, di sana ada sains dan teknologi meskipun sudah diklarifikasi bahwa tidak semua harus jadi dokter. "Tetapi kalau dilihat kebutuhan yang namanya kesehatan itu memang wajib hukumnya dijamin oleh negara dan tentu kebutuhan dokter itu mestinya mungkin setiap desa harus ada dokter yang melayani," tambahnya.

Ia melanjutkan bahwa bicara tentang rezeki itu tidak bicara tentang bertambahnya rezeki, yang bertambah itu ilmu, akalnya bertambah cerdas, mencerdaskan kehidupan bangsa. Bicara tentang keberkahan, berarti tentang bagaimana halalnya rezeki, berarti negara harus menjamin yang namanya ekonomi itu harus halal jadi nanti menjadi berkah bukan bertambah. Kenapa, karena rezeki itu sudah dikasih emas, air, ikan di laut, minyak ada di Indonesia, sudah melimpah, hutan yang luar biasa jutaan hektar, tidak perlu meminta lagi sudah kaya negeri ini. "Hanya, bagaimana mengelola supaya rezeki, anugerah dari Allah Subhanahu Wa Taa'la di Indonesia ini menjadi berkah. Nah keberkahan ini sudah disampaikan, bagaimana kemudian Islam itu mestinya menjadi dasar kita berpikir, dasar berparadigma tentang bagaimana mengelola negara ini," tegasnya.

"Lagian juga, kita juga mayoritas muslim dan Allah Subhanahu Wa Taa'la tahu betul tentang bagaimana mengelola bumi yang diciptakannya, mengelola manusia yang diciptakannya," paparnya.

"Catatan dari saya bahwa negara jangan sampai salah paham tentang pendidikan baik secara konstitusi maupun secara filosofis. Apalagi menempatkan relasi bangsa ini dengan Tuhannya, kalau dalam Pancasila itu kan disebut ketuhanan yang maha esa. Dimana letak Tuhan di dalam mengelola negara ini," pungkasnya.[] Ajira

Selasa, 04 Juni 2024

Mimpi Pendidikan Gratis dan Berkualitas dalam Sistem Kapitalisme


Tinta Media - Beberapa waktu yang lalu, protes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di banyak perguruan tinggi negeri (PTN), seperti Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed), Universitas Riau (Unri), dan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Protes ini juga dilakukan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang. 

Menanggapi hal tersebut, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah adanya kenaikan UKT saat ini. Menurutnya, bukan UKT yang naik, melainkan kelompok UKT. Selain itu, Tjitjik mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier alias pilihan yang tidak termasuk dalam pendidikan tinggi, atau wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar di Indonesia saat ini hanya berlangsung selama 12 tahun, mulai dari SD, SMP, dan SMA.

Kebingungan mahasiswa atas mahalnya biaya UKT sebenarnya merupakan dampak nyata dari peralihan PT ke PTN-BH.
Perubahan ini akan menghilangkan peran negara dalam mendanai pendidikan tinggi dan memaksa universitas mencari sumber pendanaan sendiri.

Seluruh biaya PTN kini mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT). SSBOPT ditetapkan dengan memperhatikan kinerja standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks biaya lokal. Akhirnya, komersialisasi pendidikan tinggi tidak bisa dihindari.

Di sisi lain, sistem pendidikan saat ini belum mampu melahirkan generasi yang berkualitas. Di perguruan tinggi, mahasiswa mendapat kurikulum yang memenuhi persyaratan industri. Tuntutan ini merupakan konsekuensi logis dari program WCU (World Class University) pada pendidikan tinggi.

Program ini memerlukan syarat-syarat tertentu, seperti inisiatif "Triple Helix'' yang menjalin kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi, dan tentunya memerlukan biaya yang besar. Akibatnya, arah pendidikan tinggi tidak lagi terfokus pada pengajaran, melainkan memenuhi kebutuhan industri.

Maraknya UKT dan faktor-faktor yang memengaruhinya merupakan kejahatan sistem kapitalis. Sistem yang berorientasi materi ini mengubah sektor pelayanan publik seperti pendidikan menjadi sektor bisnis. Ada kesan yang semakin meningkat bahwa pendidikan saat ini bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi hanya berguna untuk mencari pekerjaan dan uang.

Selama sistem kapitalis masih ada, masalah biaya sekolah pasti akan semakin serius.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan gratis yang berkualitas hanyalah mimpi kosong.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang diperkenalkan oleh Daulah Khilafah.

Daulah Khilafah mampu memberikan pendidikan gratis dan berkualitas karena beberapa ketentuan syariah, yaitu:

Pertama, Islam memiliki tujuan politik di bidang pendidikan, yaitu memelihara akal manusia sebagaimana yang Allah Ta'ala jelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah Ayat 90-91, Al-Qur'an surat Azzumar ayat 9 dan Al-Qur'an surat Mujadalah ayat 11.  

Kedua, pendidikan adalah sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu membawa manusia jauh dari kebodohan dan kekafiran. Dengan ilmu, manusia melakukan tadabur, ijtihad, dan berbagai hal lainnya yang dapat mengembangkan potensi akal manusia dan memuji keberadaan orang yang berilmu.

Ketiga, tanggung jawab negara dalam memberikan pendidikan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. pemimpin Daulah Islam di Madinah. Saat itu, para tawanan Badar diwajibkan mengajari umat Islam membaca dan menulis sebagai tebusan. Tindakan tersebut bukan hanya karena kebaikan pribadinya, tetapi juga mempunyai makna politis sebagai pertimbangan bagi pendidikan bangsa.

Keempat, dalam sistem Islam, pendidikan tidak dianggap sebagai barang komersial, apalagi barang tersier, melainkan kebutuhan dasar masyarakat. 

Islam setiap orang untuk menuntut ilmu. Arahan syariah ini menjadi konsep manajemen pendidikan pada masa Khilafah.

Hal tersebut juga dijelaskan oleh seorang mujtahid mutlak dan ulama terkenal Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah Dustur pasal 173, yaitu:

"Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma."

Namun, mewujudkan pendidikan semacam ini memerlukan dukungan finansial yang besar. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus didukung oleh sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya keuangan negara terkonsentrasi pada sistem Baitul-Maal.

Baitul Mal mempunyai tiga pos pendapatan, yaitu barang milik negara, barang milik umum, dan barang zakat. Setiap pos mempunyai sumber pendapatan dan alokasinya sendiri untuk pendidikan. Misalnya, Khilafah dapat mengalokasikan dana dari domain publik untuk biaya lembaga dan infrastruktur pendidikan, sehingga negara dapat membangun gedung kampus, termasuk perpustakaan, laboratorium, balai, klinik, asrama mahasiswa, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Khilafah bahkan dapat memberikan beasiswa tanpa syarat kepada semua siswa, baik yang berasal dari keluarga miskin atau kaya, siswa yang berprestasi atau rata-rata.
Setiap orang mempunyai akses terhadap layanan gratis dan berkualitas tinggi. Di sisi lain, Khilafah akan mengalokasikan anggaran Baitul Maal milik negara untuk membayar gaji dosen dan tenaga administrasi.

Sumber pendanaan Baitul Maal yang kuat dan stabil tentunya dapat menunjang kemandirian pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam, yaitu membantu masyarakat menjadi manusia yang berilmu dan berkarakter Islami.

Oleh karena itu, sepanjang kekhalifahan berlangsung selama 1300 tahun, banyak ilmuwan, pemikir, dan ulama yang bekerja siang malam untuk membangun kapasitas keilmuan umat, bukan untuk memenuhi tuntutan industri seperti saat ini. Bukankah pendidikan seperti ini yang diimpikan banyak orang?

Oleh: Ummu Farras, Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab