Tinta Media: Pendidikan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2024

Peran Guru dan Tantangannya dalam Memutus Kekerasan di Dunia Pendidikan

Tinta Media - Kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi isu serius yang semakin mendapat perhatian, terutama setelah beberapa kasus tragis yang melibatkan guru dan siswa. Dalam konteks ini, penting untuk menelusuri peran guru sebagai pendidik dan pembimbing serta tantangan yang mereka hadapi, terutama dalam rangka memperingati Hari Guru Dunia yang jatuh pada 5 Oktober dengan tema "Valuing Teacher Voices: Towards a New Social Contract for Education".

Tema Hari Guru tahun ini menekankan pentingnya suara guru dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang efektif. Iman Zanatul Haeri, seorang guru dan Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), menyatakan bahwa guru harus menjadi sentral moral dan etika bagi siswa. Suara guru sangat diperlukan untuk memanfaatkan potensi terbaik setiap anak didik, sehingga kebijakan pendidikan yang diambil dapat mencerminkan realitas di lapangan. Ketika guru terlibat dalam tindakan kekerasan, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus tragis, hal ini menciptakan krisis kepercayaan dan memperburuk kondisi pendidikan.

Kasus Kekerasan di Sekolah

Belakangan ini, beberapa insiden kekerasan yang melibatkan guru telah mengungkapkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan. Kasus-kasus seperti siswa yang meninggal akibat hukuman fisik menunjukkan bahwa pemahaman dan penerapan disiplin dalam pendidikan masih sangat rendah. Hal ini tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga menciptakan atmosfer yang tidak aman di sekolah. Ketika guru menjadi pelaku kekerasan, hal ini bertentangan dengan peran mereka sebagai pendidik yang seharusnya memberikan bimbingan moral dan etika.

Tantangan yang Dihadapi Guru di Indonesia

Di tengah tantangan ini, guru di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah. Di antaranya adalah gaji yang tidak menyejahterakan bahkan jauh dari kata cukup. Kurikulum yang terus berubah seiring dengan berubahnya menteri pendidikan juga menjadi tantangan. Belum sampai seorang guru memahami kurikulum tersebut dengan baik, kurikulum sudah diganti. Ketika di tataran para pendidiknya saja masih kebingungan, bagaimana dengan anak didiknya? Tugas administratif yang harus dikerjakan oleh seorang guru juga menambahkan deretan persoalan. Tantangan ini dapat berkontribusi pada stres dan tekanan yang dialami guru. Sehingga pada gilirannya dapat menyebabkan mereka mengambil tindakan kekerasan terhadap siswa. Ini menunjukkan bahwa ketika guru merasa tidak dihargai dan tidak didukung, dampak negatifnya dapat merembet ke siswa.

Kekerasan di sekolah, baik fisik maupun psikologis, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Iman menekankan pentingnya pemahaman guru dan siswa tentang berbagai bentuk kekerasan, yang sering kali dianggap sepele atau tidak terdeteksi. Ini menunjukkan bahwa pelatihan dan edukasi mengenai kekerasan di lingkungan pendidikan perlu ditingkatkan.

Pandangan Islam dalam Pendidikan

Islam memandang bahwa kurikulum pendidikan itu harus berlandaskan pada akidah Islam. Sehingga mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikit pun dalam pendidikan dari asas tersebut.

Dalam konteks pendidikan Islam, peran guru sangat dihormati dan dimuliakan. Pendidikan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan, tetapi juga membentuk kepribadian siswa. Guru diharapkan memiliki akhlak dan kualifikasi yang tinggi, sehingga mereka dapat menjadi teladan yang baik. Dengan adanya penghargaan yang layak untuk guru, baik secara finansial maupun emosional, diharapkan mereka dapat lebih fokus pada pengembangan siswa tanpa terganggu oleh masalah pribadi.

Maka perlu ada sistem yang dapat mendukung agar peran mereka dapat berjalan secara optimal. Artinya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan gaji yang layak. Menetap kurikulum pendidikan yang jelas dan terarah. Serta memikirkan bagaimana agar semua guru memiliki kualifikasi yang sama. Memberikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang sistem pendidikan tersebut.

Menghargai dan Memuliakan Guru

Pentingnya menghargai suara guru tidak hanya menjadi tema peringatan Hari Guru, tetapi juga menjadi kunci untuk mengatasi masalah kekerasan di sekolah. Ketika guru merasa dihargai dan mendapatkan dukungan yang memadai, mereka cenderung lebih mampu mendidik siswa dengan cara yang humanis dan edukatif. Ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan, karena guru yang sejahtera secara finansial dan emosional memiliki kapasitas yang lebih baik untuk mendidik.

Memutus lingkaran kekerasan di sekolah adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan tentu saja, guru itu sendiri. Suara guru perlu didengar dan dihargai dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan produktif. Ini bukan hanya tentang mengurangi kekerasan, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana setiap siswa dapat belajar dan berkembang tanpa rasa takut. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat kembali menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih baik.

Oleh: Asrofah, Pemerhati Remaja

Kamis, 17 Oktober 2024

Sistem Pendidikan Kapitalis Sekuler Diadopsi, Masa Depan Generasi Terdegradasi

Tinta Media - Kasus penganiayaan terhadap seorang ibu berinisial SS (64) oleh anaknya SA (39) di Makassar, Sulawesi Selatan, masih dalam penyelidikan polisi. SS mengalami luka serius akibat dibacok berkali-kali oleh pelaku dengan parang. Pelaku diduga melampiaskan amarahnya setelah diminta membersihkan rumah. (detik.com, 29-9-2024).

Kasus di atas menjadi salah satu contoh kasus penganiayaan yang dilakukan anak terhadap orang tuanya.

Sekarang ini, tidak dapat dipungkiri semakin banyak orang tua yang mengeluhkan perilaku buruk anak-anak mereka, yang tidak hanya menunjukkan ketidakpatuhan, tetapi juga memperlihatkan bentuk kedurhakaan yang nyata. Fenomena ini kian nyata ketika kita melihat banyak orang tua hidup dalam nestapa di usia senjanya, terabaikan oleh anak-anak mereka yang lebih mementingkan kehidupan pribadi dan materialistis. Ini bukan hanya persoalan moral, tetapi juga masalah sistemik yang diperparah oleh pengaruh sistem kapitalis sekuler yang mendominasi kehidupan masyarakat.

Hukum Anak Durhaka dalam Islam

Dalam pandangan Islam, kedudukan orang tua sangat tinggi, dan kewajiban berbakti kepada orang tua termasuk salah satu amalan yang paling besar pahalanya. Islam menempatkan hubungan antara anak dan orang tua sebagai hubungan yang penuh penghormatan dan kasih sayang. Al-Qur'an dan Hadis menegaskan pentingnya memuliakan orang tua, bahkan setelah kewajiban untuk menyembah Allah, perintah berbakti kepada orang tua selalu disebutkan.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Isra ayat 23-24, "Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." Ayat ini menegaskan bahwa sekadar mengucapkan perkataan kasar kepada orang tua sudah termasuk bentuk kedurhakaan, apalagi jika sampai menganiaya atau menelantarkan mereka di masa tua.

Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada orang tua bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan untuk meraih ridha Allah.

Sebaliknya, anak yang durhaka kepada orang tua mendapatkan ancaman berat dalam Islam. Kedurhakaan, yang dalam istilah Islam dikenal dengan istilah ‘uquq al-walidain, merupakan dosa besar yang tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa ganjaran. Dalam satu riwayat, Rasulullah menyebutkan bahwa salah satu dosa besar yang bisa mempercepat datangnya azab di dunia adalah kedurhakaan kepada orang tua. Maka, dapat dipastikan bahwa kedurhakaan anak terhadap orang tua adalah pelanggaran serius dalam pandangan Islam.

Penyebab Anak Durhaka dalam Sistem Kapitalis Sekuler

Fenomena anak durhaka tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Salah satu penyebab utama yang sering diabaikan adalah pengaruh sistem kapitalis sekuler yang saat ini mendominasi hampir semua aspek kehidupan. Sistem ini menekankan kebebasan individu dan materialisme, sehingga nilai-nilai kebersamaan, penghormatan kepada keluarga, dan hubungan harmonis antara anak dan orang tua sering terpinggirkan.

Sistem kapitalis mendorong masyarakat untuk mengejar kesuksesan duniawi, harta, dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup. Orang tua sering kali sibuk bekerja, mengumpulkan harta demi memenuhi kebutuhan material, sementara anak-anak dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan dan pendidikan moral yang memadai. Akibatnya, anak-anak terbiasa hidup dalam lingkungan yang hanya menilai kebahagiaan dari sisi materi, dan mengabaikan nilai-nilai agama serta etika sosial.

Selain itu, pendidikan sekuler yang diadopsi di banyak negara juga memberikan andil besar dalam membentuk mentalitas generasi muda yang kurang menghargai orang tua. Sistem pendidikan saat ini sering kali mengabaikan nilai-nilai agama dan moralitas dalam kurikulum, sehingga anak-anak tumbuh tanpa memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Pendidikan yang terfokus pada aspek intelektual dan prestasi akademik semata, tanpa menekankan akhlak dan karakter, telah melahirkan generasi yang cenderung egois dan tidak peduli pada keluarga.

Solusi dalam Islam

Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah anak durhaka. Pertama, pendidikan agama yang benar harus menjadi fondasi dalam keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak dini kepada anak-anak mereka, mengajarkan tentang kewajiban berbakti kepada orang tua, serta mengenalkan mereka pada ajaran-ajaran Islam yang menekankan kasih sayang dan penghormatan kepada keluarga.

Kedua, perubahan sistem harus dilakukan. Sistem kapitalis sekuler yang mementingkan materi harus digantikan dengan sistem Islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip moral dan spiritual. Dalam sistem Islam, keluarga adalah unit sosial yang sangat penting dan harus dijaga keharmonisannya. Negara pun memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai keluarga melalui kebijakan yang mendukung pendidikan agama, kesejahteraan keluarga, dan mencegah eksploitasi ekonomi yang sering kali merusak hubungan keluarga.

Ketiga, peran masyarakat dalam membangun lingkungan yang mendukung pendidikan moral anak sangat penting. Masyarakat harus saling mendukung dalam menegakkan nilai-nilai Islam, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial.

Dengan kembali kepada ajaran Islam dan menyingkirkan pengaruh sistem kapitalis sekuler yang merusak, kita dapat membentuk generasi yang lebih berbakti kepada orang tua, menghormati keluarga, dan hidup dalam harmoni sesuai tuntunan agama. Pada akhirnya, solusi ini bukan hanya akan menyelesaikan masalah anak durhaka, tetapi juga memperbaiki tatanan sosial secara keseluruhan.

Oleh : Novi Ummu Mafa, S.E., Sahabat Tinta Media 

Output Pendidikan Rendah, Buah Sekularisme

Tinta Media - Pekan ini, sosial media Tiktok dan X ramai membahas permohonan untuk menteri pendidikan yang akan datang, agar lebih baik dalam mengatasi pendidikan. Ramainya para konten kreator membahas permasalahan ini, karena salah satu video sosial eksperimen beredar mendapati beberapa pelajar yang berisikan seputar ilmu pengetahuan umum tidak mampu dijawab. Beberapa pertanyaan adalah kepanjangan dari MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat). Mereka juga tidak bisa menjawab ibu kota dari provinsi Jawa Timur, bahkan mereka juga tidak mengetahui Jakarta berada di provinsi mana. (www.kompas.com, 10/10/24 )

Permasalahan pendidikan hari ini sebenarnya bukan hanya pada lemahnya ilmu pengetahuan umum saja. Beberapa bulan ke belakang, beredarnya sebuah video yang menayangkan puluhan siswa SMP di Jawa Barat masih belum bisa membaca. Terlepas dari berbagai faktor tersebut, rendahnya pengetahuan umum pelajar dan juga kemampuan pelajar dalam hal yang mendasar perlu menjadi bahan refleksi diri bahwa ada yang perlu di benahi dan di cek kembali dalam sistem pendidikan, seperti kurikulum.

Inilah hasil dari merebaknya pemikiran sekuler di masyarakat yang bahkan masuk dalam ranah pendidikan. Kurikulum mendekatkan siswa kepada kebebasan, terfokus kepada hal menyenangkan, sehingga mengesampingkan hal penting dan urgen untuk dipertahankan. Inilah yang diinginkan kapitalisme, manusia menjadikan kesenangan menjadi tujuan kehidupannya, sehingga yang terfokus dalam dirinya adalah kebahagiaan jasmani dan kesenangan dunia.

Sejatinya sekularisme adalah pemikiran yang bebas. Bebas bukan berarti melepaskan diri dari pada belenggu penjajahan atau belum merdeka. Bebas di sini adalah membebaskan diri dari pada ikatan dengan agama. Agama dianggap menjadi hal yang mengikat kebebasan manusia, sehingga orang yang berpikiran sekuler akan cenderung menjadi bebas yaitu memisahkan agama dari kehidupannya.

            Ditambah para guru disibukkan dengan administrasi yang tak kunjung usai, hingga akhirnya waktu tatap muka terhadap murid banyak yang tak terpenuhi. Belum  lagi pergerakan para guru juga dibatasi dengan  undang–undang HAM sehingga para murid semakin semena-mena terhadap guru. Guru tak lagi bisa memberikan hukuman atau arahan guna untuk mengubah pola perilaku para murid. Begitu pun nilai, dengan adanya ambang batas nilai terendah ini menjadikan guru banyak yang menaikkan nilai muridnya. Padahal murid tersebut belum layak untuk mendapatkan nilai itu. Namun, dikarenakan tuntutan dari yang berwenang maka mau tak mau, seorang guru harus mampu menaikkan nilai para muridnya. Maka tak heran guru kini kehilangan marwahnya, maka hal yang wajar jika ilmu tak sampai kepada muridnya.

            Bukan hanya itu saja, sistem kapitalisme yang bersarang di dalam pemerintahan pusat juga menjadi salah satu penyebab rendahnya output pendidikan Indonesia. Tidak sejalannya antara tujuan pendidikan dengan aktualisasi pembelajaran menjadi salah satu penyebab rusaknya output pendidikan. Tujuan Pendidikan nasional dalam UU 20 2013 pasal 3 “Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Namun pada faktanya, Moderasi Beragama yang berisikan jalan tengah terhadap agama terus digaungkan di ranah pendidikan. Jika ditinjau maka akan menghasilkan generasi yang kebingungan terhadap agamanya. Jelas hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan. Begitupun halnya dengan pembentukan watak karakter tidak bisa hanya dibangun dalam wilayah sekolah saja. Namun juga diperlukan tanggungjawab dari orang tua untuk membangun karakter dalam diri para murid.

Inilah buah dari pemikiran sekuler yang menjangkiti masyarakat, ketidaksinkronan antara pendidikan dengan target negara yang akhirnya menjadikan tujuan pendidikan hanya menjadi formalitas yang tertera dalam lampiran undang–undang.

Sangat berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam pendidikan bukan hanya tentang berbagi ilmu antara guru dengan murid saja. Tetpi ada yang dibangun yaitu hablum minallah, habblum binafsih dan juga habblum minannas. Bagaimana seorang guru akan menjadi suri tauladan dari muridnya. Ketundukan seorang guru kepada Allah, akan menjadikannya memiliki wibawa yang murni yang dengan lisannya mampu menginspirasi para muridnya sebagaimana Imam Nawawi seorang murid dari Imam Syafi’i.

Guru juga bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum, namun hal yang paling awal dibangun adalah ketauhidan kepada Allah swt. Hakikat bahwa kita hidup adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka untuk beribadah kepada Allah membutuhkan ilmu sebagai jalan ibadah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Hal ini hanya akan tercermin jika tujuan pendidikan sejalan dengan tujuan dari sebuah Negara yaitu Khilafah. Negara yang menerapkan Islam dalam seluruh lapisan kehidupannya. Dalam sistem Khilafah pendidikan akan dimulai dengan pemantapan terhadap akidah dan tauhid, lalu kemudian fiqih dan selanjutnya ilmu tentang pengetahuan umum. Maka hakikat kehidupan akan terlebih dahulu diajarkan,  tentang Allah dan Rasul-Nya sehingga tujuan kehidupan manusia menjadi jelas yaitu untuk mengharapkan ridho Allah. Wallahua'lam.

Oleh : Zayyin Afifah, A.Md, S.AK., Pengajar dan Aktivis Dakwah

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab