Senin, 01 Juli 2024
Minggu, 30 Juni 2024
Benarkah Zonasi Jadi Solusi?
Tinta Media - Pendidikan merupakan suatu hak yang seharusnya ditunaikan oleh negara. Pendidikan sangat berperan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Namun bagaimana jadinya jika pendidikan yang seharusnya mudah diakses kini malah dipersulit dengan adanya zonasi yang diterapkan.
Sebagaimana dilansir dari TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021.
Ubaid mengatakan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur. “Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya. kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024.
Hal tersebut tidak lepas dari sistem yang diterapkan hari ini. Dalam sistem sekuler kapitalis yang berasaskan keuntungan menjadikan dunia pendidikan tidak luput menjadi salah satu sumber meraup keuntungan. Akibatnya para pelajar sulit mengakses pendidikan akibat biaya yang mahal.
Inginnya rakyat berpendidikan tinggi, namun nyatanya hanyalah halusi. Itulah yang terjadi hari ini. Terlebih dalam dunia pendidikan hari ini kian dipersulit dengan diadakannya sistem zonasi. Harapan pemerintah dengan diterapkannya zonasi adalah menjadikan pendidikan dapat merata, serta menghilangkan stigma sekolah favorit, dan menyamakan semua sekolah menjadi unggul.
Namun adanya zonasi yang diterapkan tidak menjadikan pendidikan menjadi merata. Sebab zonasi hanya menghadirkan berbagai kecurangan terjadi. Seperti memanipulasi dokumen kependudukan atau penyuapan berupa praktik jual beli kursi.
Sementara itu berbagai modus pun dilakukan agar dapat mendapatkan sekolah impian. Hal ini menunjukkan solusi yang diberikan sistem saat ini tidak dapat mengentaskan problem yang tengah terjadi.
Berbeda jadinya jika sistem Islam yang diterapkan, Islam akan memberikan pendidikan yang adil serta mudah diakses oleh kalangan pelajar.
Pendidikan dalam daulah Islam merupakan salah satu tanggung jawab tugas negara. Alhasil pendidikan di dalam sistem Islam akan ditanggung oleh negara, sehingga rakyat tidak akan dipungut biaya di dalamnya.
Islam akan memberikan solusi yang dapat mengentaskan problem dalam bidang pendidikan, diantaranya :
1. Islam akan memberikan fasilitas sekolah gratis bagi umatnya, sebab pendidikan adalah tanggung jawab negara.
2. Islam akan memberikan kualitas pendidikan yang sama bagusnya di berbagai sekolah yang ada.
3. Jumlah kursi dan sekolah di dalam daulah Islam juga akan diperhatikan dana disesuaikan dengan kebutuhan banyaknya jumlah pelajar.
4. Daulah Islam juga akan menerapkan kurikulum yang sesuai koridor syariat.
Sayangnya solusi tersebut tidak dapat diterapkan di sistem sekuler kapitalis hari ini. Hanya dengan menerapkan sistem Islam di bawah naungan khilafahlah problem ini akan musnah.
Wallahu'alam Bissowab.
Oleh: Salma Rafida, Sahabat Tinta Media
Pendidikan Kewajiban Negara, Hak Warga Negara
Sabtu, 22 Juni 2024
Akibat Sistem Kapitalisme, Rakyat Sulit Mendapatkan Pendidikan Terbaik
Tinta Media - Kondisi Indonesia yang jumlah penduduknya besar, ditambah banyaknya wilayah dengan topografi pegunungan, termasuk beberapa wilayah di Kabupaten Bandung, menjadikan keberadaan sekolah menengah atas (SMA), terutama SMA negeri belum dimiliki secara merata. Hal ini menyebabkan sulitnya mencari SMA bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikannya, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok.
Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan sistem zonasi membuat mereka tidak dapat masuk ke SMA karena berada di luar zonasi. Akhirnya, mereka kalah saing dengan yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
Dengan keadaan seperti ini, ketua DPRD Kabupaten Bandung Sugianto mengatakan bahwa Pemkab Bandung bisa saja mengajukan sekolah baru kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memfasilitasi siswa yang rumahnya ada di luar zonasi. Salah satunya yang jauh dari titik terluar Kabupaten Bandung. Bila pengajuan ini tidak juga disetujui, maka bisa memberi intervensi dalam bentuk lain, seperti mengajukan sekolah satu atap, yaitu SMA dan SMP terdekat, atau intervensi anggaran.
Akan tetapi, biasanya pemerintah provinsi tidak mengabulkan permohonan tersebut karena ada beberapa persyaratan, seperti ketersediaan lahan dan lainnya. Padahal, bisa saja dilakukan dengan memberikan hibah lahan milik pemerintah daerah, sehingga Pemkab Bandung bisa memberi intervensi lebih agar anak yang di luar zona tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Sarana pendidikan di Kabupaten Bandung memang belum tersedia secara merata, sehingga banyak anak didik yang ingin melanjutkan sekolahnya belum bisa terpenuhi. Padahal, pendidikan adalah kebutuhan asasi rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, karena sangat penting. Di sisi lain, peserta didik usia SMP dan SMA merupakan generasi muda, generasi penerus bangsa. Di tangan merekalah keberlangsungan bangsa ini akan ditentukan.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan indikator yang dapat menentukan maju-tidaknya bangsa ini. Akan tetapi sayang, sistem zonasi yang katanya ingin memperbaiki penyebaran siswa agar lebih merata, nyatanya tidak terwujud, karena akhirnya banyak siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri. Ini karena mereka berada di luar wilayah (zona) sekolahnya.
Banyaknya siswa yang berharap bisa masuk sekolah negeri, terutama yang kurang mampu, tidak sebanding dengan ketersediaan sekolah. Untuk membatasinya, akhirnya pemerintah memberlakukan empat jalur PPDB bagi SD, SMP, SMA, yaitu jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan, dan jalur prestasi.
Melalui empat jalur ini, para peserta didik berpeluang untuk dapat masuk ke sekolah yang dituju, mulai dari jalur prestasi yang di tahun ini berdasarkan prestasi ekstrakurikuler, yaitu prestasi di bidang olahraga seperti bola, renang, silat dan lain sebagainya. Sedangkan jalur afirmasi bagi yang kurang mampu dengan syarat-syarat yang rumit, yang kadang tidak tepat sasaran.
Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi ini banyak menuai kekecewaan pada para peserta didik, karena tidak masuk kategori atau jarak sekolah yang jauh. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan di tengah kebingungan masyarakat yang membutuhkan sekolah yang gratis atau murah dengan kualitas yang baik. Akhirnya, mereka menawarkan jalur belakang agar bisa masuk sekolah negeri, dengan syarat harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar.
Kejadian ini terus berulang setiap tahun tanpa ada sanksi hukum untuk para oknum yang melakukan kecurangan, sehingga masyarakat sudah tidak takut atau malu ketika mereka mengambil jalan belakang (kecurangan) supaya anaknya bisa masuk sekolah negeri.
Situasi seperti ini bisa saja dapat merugikan peserta didik lain, karena dengan kuota yang terbatas, akhirnya dapat menggeser posisi siswa yang masuk kategori empat jalur PPDB, dengan uang 'pelicin' tersebut.
Pada akhirnya, bagi yang tidak lolos masuk ke sekolah negeri, mereka terpaksa ke swasta walaupun berbiaya mahal. Bagi yang tidak mempunyai biaya untuk pendidikan, mereka terpaksa putus sekolah.
Sungguh miris, di saat negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pendidikan, pada saat yang sama ada oknum-oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, dan rakyatlah yang selalu dirugikan.
Inilah realitas pendidikan di negeri ini yang berwajah kelam dari berbagai sisi, akibat penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Pendidikan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk meraih keuntungan, tidak lagi menjadi kewajiban (tanggung jawab) negara yang wajib dipenuhi.
Negara memberikan peluang seluas-luasnya kepada swasta untuk mendirikan lembaga pendidikan dan memanfaatkan peluang ini untuk menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Sehingga, sering kita dapati bahwa di sekolah swasta yang biayanya mahallah rakyat bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan di sekolah negeri yang menjadikan sekolah terpinggirkan.
Di sisi yang lain, yang dapat mengenyam sekolah mahal dan berkualitas hanyalah orang kaya. Sementara, rakyat kebanyakan berebut kursi sekolah negeri dengan sistem zonasi yang belum tentu berkualitas baik. Itu pun berpotensi timbul kecurangan.
Padahal, kebutuhan akan pendidikan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya dan merupakan hak rakyat. Penyelenggaraan pendidikan semestinya dilakukan secara maksimal, mulai dari pengadaan sarana prasarana berupa gedung dengan berbagai fasilitasnya, tenaga pengajar beserta perangkatnya, kurikulum yang dapat memajukan peserta didik. Jadi, bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki ketakwaan yang kuat, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan tsaqafah demi kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan ini tersebar hingga ke pelosok wilayah pedesaan, baik di gunung ataupun di tepi pantai. Dengan akses jalan dan transportasi yang memadai untuk memudahkan rakyat di mana pun mereka berada, mampu menjangkaunya, sehingga hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tapi gratis, bisa mereka peroleh, tanpa menjadi beban atau bahkan menjadi celah kecurangan bagi oknum-oknum manusia yang serakah.
Gambaran tersebut hanya dapat terwujud dalam penerapan sistem hidup yang sahih, yang diterapkan oleh penguasa yang hanya ingin memelihara kehidupan rakyat secara benar, sebagai wujud tanggung jawabnya kepada Sang Khalik. Inilah sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah. Keberadaan khalifah sebagai pemimpin ibarat penggembala, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:
"Al Imam (khalifah) adalah penanggung jawab, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala yang diurusnya."
Melalui konsep kepemimpinan tersebut, pendidikan sebagai kebutuhan asasi rakyat akan dipenuhi oleh negara secara gratis dan berkualitas. Negara akan membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut dari kas di Baitul Mal, di salah satu pos pemasukan harta kepemilikan umum. Salah satunya dari hasil pengelolaan SDA milik umum, yang dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Negara hadir sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Negara tidak akan menyerahkannya kepada swasta untuk diambil keuntungan sehingga menyebabkan rakyat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan terjadi kecurangan, negara akan membuat mekanisme yang rapi dalam penyelenggaraan pendidikan ini, mulai dari pengadaan sarana prasarana, SDM pendidik, kurikulum, mekanisme penerimaan siswa didik, dan sebagainya yang jauh dari unsur-unsur manipulasi atau celah kecurangan karena dilandaskan kepada kekuatan akidah aparatur negara, termasuk SDM pendidik.
Jikapun terjadi kecurangan oleh pihak tertentu yang memanfaatkan situasi demi keuntungan mereka, negara akan menindak tegas dengan sanksi yang bersifat zawajir dan jawabir, efek jera dan penebus dosa, sehingga menutup celah munculnya orang yang berbuat kecurangan.
Selain itu, ketakwaan pada masyarakat akan menghidupkan amar makruf nahi mungkar, sehingga mereka akan terhindar dari perbuatan curang, baik yang mungkin dilakukan oleh oknum rakyat maupun oknum aparat atau pegawai negara.
Maka, negara akan fokus dalam mencapai tujuan pendidikan, yaitu mencetak generasi berkepribadian Islam yang unggul sebagai penerus dan pengisi peradaban Islam yang mulia. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem Islamlah yang pernah melahirkan peradaban mulia pada masa penerapannya selama lebih dari 13 abad.
Di masa kejayaannya, peradaban Islam telah melahirkan banyak ilmuwan dan cendekiawan, sekaligus ahli fikih dan calon-calon pemimpin umat. Cahaya ilmu dari peradaban Islam bukan hanya menerangi kehidupan kaum muslimin, tetapi juga kehidupan umat manusia di dunia, hingga mereka bangkit bersama-sama, memajukan peradaban manusia. Betapa kita merindukan peradaban Islam kembali yang akan memberikan keberkahan bagi manusia dan alam semesta. Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Dela, Sahabat Tinta Media
Dunia Pendidikan Tidak Baik-Baik Saja
Tinta Media - Dari tahun ke tahun, sejumlah masalah berulang kali muncul dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Hal ini menjadi kekhawatiran bagi orang tua siswa yang akan mendaftar anaknya dalam pelaksanaan PPDB 2024.
Jajaran pemerintah hingga aparat kepolisian mengultimatum agar tidak ada proses transaksional dalam pelaksanaan PPDB 2024. Bupati Bandung, Dadang Supriatna menegaskan bahwa selama PPDB, di Kabupaten Bandung tidak ada transaksi uang. Semua harus sesuai mekanisme. Apa yang menjadi afirmasi, ataupun prestasi, zonasi, ini harus betul-betul dihilangkan. (Detik.com, 10/6/2024)
Kendati demikian, imbauan ini dari tahun ke tahun tidak diindahkan oleh sejumlah pihak pelaksana PPDB. Dalam pelaksanaannya, terjadi beberapa masalah seperti pungutan liar, kesulitan dalam pendaftaran, kurangnya daya tampung, numpang KK, pemalsuan dokumen, hingga jual beli kursi.
Sungguh miris melihat kondisi dunia pendidikan saat ini, melakukan segala cara demi tercapainya tujuan pribadi. Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalis-sekuler. Selama memiliki modal atau uang, semua bisa dilakukan tanpa melihat halal dan haramnya. Meski sudah ada aturan dan hukum yang sudah dilaksanakan, nyatanya tidak membuat pelakunya jera.
Dalam Islam, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban dan hak setiap masyarakat. Dalam pelaksanaannya, sistem pendidikan harus senantiasa diatur dan dijaga sesuai syariat agar menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan peserta didik yang mumpuni.
Selain itu, masyarakat dan negara berperan penting dalam pelaksanaan dan pengawasan sistem pendidikan. Negara akan menindak tegas semua pelanggaran sesuai syariat, bukan sesuai keinginan manusia.
Maka, sudah saatnya kita kembali pada penerapan syariat Islam yang datang dari Allah Swt. dan meninggalkan penerapan peraturan sekularisme yang menjadikan manusia berjalan sesuai keinginannya saja. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Yumna Nur Fahiimah, Muslimah Peduli Generasi
Jumat, 21 Juni 2024
Menyelamatkan Pendidikan dari Ancaman Kapitalisme: Urgensi Implementasi Sistem Pendidikan Islam
Tinta Media - Universitas Muhammadiyah Pontianak kembali mendapatkan hibah Erasmus Plus untuk program pertukaran staf ke Eropa, yang berlangsung dari 15-19 April 2024 di Granada dan 22-26 April di Huelva, Spanyol. Hibah Erasmus KA171 ini diberikan kepada dosen atau karyawan, dan Ufi Ruhama’, dosen serta Kepala Kantor Urusan Internasional, menjadi penerima hibah fully funded tersebut di Universidad de Granada dan Universidad de Huelva. Universidad de Granada, sebagai kampus terbesar di Kota Granada, mengadakan Staff Training Week (STW) yang diikuti oleh 62 peserta dari 30 negara, di mana Ufi merupakan satu-satunya peserta dari Indonesia. Selama lima hari, STW menghadirkan workshop, pengenalan budaya, internasionalisasi, pengenalan bahasa Spanyol, dan tur studi, serta beberapa peserta mempresentasikan kampus dan budaya negara mereka. Dalam pertemuan dengan berbagai fakultas dan Kantor Urusan Internasional di Granada, Ufi berusaha membuka dan mencari peluang kerja sama yang bermanfaat bagi kedua pihak (tribunnews.com).
Kerja sama antara perguruan tinggi di Indonesia dengan lembaga pendidikan internasional telah menjadi tren, terutama dalam hal pertukaran mahasiswa atau staf akademik. Meskipun terlihat menguntungkan, namun pada kenyataannya, kebijakan ini menimbulkan ancaman yang patut diperhatikan. Perguruan tinggi luar negeri memiliki kurikulum yang tentunya mencerminkan visi dan misi pendidikan yang didasarkan pada prinsip sekularisme kapitalisme, sebuah konsep yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini memberikan masalah tersendiri bagi negara Muslim yang mengedepankan pendidikan berlandaskan ajaran Islam.
Masalah semakin rumit ketika pemikiran Barat dengan mudahnya masuk ke dalam sistem pendidikan di Indonesia, bahkan keberadaannya telah merasuk secara masif di perguruan tinggi dalam negeri. Kehadiran kampus-kampus asing semakin menegaskan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia semakin terkapitalisasi, di mana pendidikan lebih cenderung diarahkan pada pencapaian materi atau aspek ekonomi daripada kepentingan ilmu itu sendiri. Tujuan pendidikan pun terlihat lebih mementingkan reputasi dan jumlah lulusan yang siap terjun ke dunia kerja, daripada membangun SDM yang unggul secara intelektual dan karakter yang sesuai dengan ajaran Islam.
Seharusnya, pembangunan pendidikan sejalan dengan konsep penting dari fungsi pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai alat untuk menghasilkan SDM yang unggul dalam segala aspek. SDM tersebut tidak hanya berkualifikasi dalam bidang keilmuan, tetapi juga memiliki karakter Islami yang kuat serta kemampuan untuk menjadi pemimpin yang mampu memecahkan berbagai masalah di masyarakat. Namun, pendidikan tinggi yang didominasi oleh nilai-nilai kapitalisme akan menghasilkan lulusan yang lebih cenderung mengikuti ideologi kapitalis, yang pada akhirnya akan memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri.
Jadi, secara implisit, kebijakan ini seolah membajak potensi generasi muda untuk kepentingan kapitalisme. Kampus-kampus asing yang berbasis kapitalisme bukanlah tempat yang sesuai untuk mengembangkan karakter dan moralitas yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sejati. Oleh karena itu, diperlukan reformasi mendalam dalam tata kelola pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan landasan nilai-nilai ajaran Islam yang murni. Perguruan tinggi negeri haruslah dikelola secara langsung oleh negara dengan kurikulum yang mencerminkan nilai-nilai Islam, untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter Islami dan dedikasi tinggi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, bukan semata berorientasi pada aspek ekonomi dalam kerangka sistem kapitalisme. Dengan demikian, pendidikan Islam menjadi jaminan bagi pembangunan SDM yang akan membawa negara ini menuju kemajuan sejati, sesuai dengan ridha Allah. Itulah mengapa pentingnya penerapan sistem Khilafah Islam yang akan menegakkan sistem pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang autentik.
Oleh : Syifa, Sahabat Tinta Media
Senin, 17 Juni 2024
UKT Naik Drastis, Pendidikan Makin Miris
Kamis, 13 Juni 2024
Mustahil, dalam Sistem Kapitalis Pendidikan Gratis
UKT Melejit, Mahasiswa Menjerit
Selasa, 11 Juni 2024
UKT Naik, Rakyat Tercekik
Tinta Media - Kabar tentang kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) menjadi polemik di negeri ini. Menurut pernyataan Muhammad Ravi, Presiden Mahasiswa UNRI (Universitas Riau) bahwa banyak Camaba (Calon Mahasiswa Baru) UNRI yang lolos SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) undur diri karena tidak mampu membayar UKT. Hal ini pun direspons oleh Prof. Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), “Pada prinsipnya orang tua mahasiswa diberikan ruang untuk mengajukan keringanan.” Selain itu, beliau juga mengatakan, “Kami secara intens telah berkomunikasi dengan Rektor UNRI untuk memegang teguh asas keadilan dalam penetapan kelompok UKT serta penempatan Mahasiswa dalam kelompok UKT.” (Kompas.com, 20-5-2024)
Berangkat dari respons, Prof. Abdul Haris, muncul pertanyaan, apabila UKT bisa ditentukan di bawah nominal yang telah ditetapkan saat ini, mengapa UKT dinaikkan sedemikian rupa? Belum lagi, beliau juga menyatakan bahwa telah menjalin hubungan intens dengan pihak UNRI untuk memegang teguh asas berkeadilan dalam penetapan dan penempatan Mahasiswa dalam kelompok UKT, apakah hal ini merupakan solusi untuk mengatasi ketidakmampuan rakyat dalam pembiayaan pendidikan?
Miris, pernyataan demi pernyataan ngawur keluar dari lisan seorang pelayan rakyat, jelas yang beliau sampaikan bukanlah solusi yang solutif untuk mengatasi problem rakyat terkait UKT, justru hanya berupa opsi-opsi yang bisa mengakibatkan timbulnya kesenjangan antar Mahasiswa terkait perbedaan pembiayaan pembelajaran di kampus dan membuat rakyat tetap dalam kesulitan meski ada pengajuan keringanan biaya pendidikan.
Setiap orang pasti mempunyai impian dan harapan dalam hidupnya, tak terkecuali terkait jenjang pendidikan. Tetapi, impian dan harapan tersebut akan lebih mudah diwujudkan apabila didukung adanya sarana dan prasarana yang benar-benar diterapkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Faktanya, tidaklah demikian. Bukan hal yang tabu, apabila terjadi kenaikan harga pada semua bidang kehidupan, tak terkecuali mengenai UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan untuk menunjang kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), apabila untuk mendapatkan pendidikan yang layak rakyat dipersulit, wajar jika kualitas SDM rendah. Seharusnya, negara menjamin hal ini untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di mulai dari meningkatkan kualitas SDM mereka, melalui pendidikan. Bukan malah memalak rakyat dengan berbagai program bahkan mewajibkannya. Faktanya memang demikian, dalam sistem kapitalisme tidak menyuguhkan kemudahan. Karena, mereka menstandarkan segala sesuatu pada asas kebermanfaatan dan materi. Mereka hanya ingin keuntungan pribadi, tidak memikirkan akibat yang ditimbulkannya.
Sedangkan dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan maka negara tidak memungut biaya karena untuk menyejahterakan rakyat caranya adalah meningkatkan kualitas SDM. Sehingga, sudah menjadi kewajiban bagi negara menyelenggarakan atau memberi sarana dan prasarana yang mendukung terwujudnya hal tersebut. Biaya pendidikan dalam sistem Islam di peroleh dari pos pendapatan negara bukan pajak (jizyah, ghanimah, kharaj), kontribusi kaum muslim yang mampu atau berlebih harta (wakaf atau sedekah).
Dengan demikian apakah patut rakyat masih berharap kesejahteraan pada sistem kapitalisme? Berbagai fakta tidaklah membenarkan bahwa sistem kapitalisme mampu mewujudkan laju kehidupan yang lebih baik dan menjamin kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Lalu, mau sampai kapan dipimpin oleh sistem kufur? Sudah saatnya umat paham dan menegakkan sistem Islam untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik dan menjamin.
Allahua’lam.
Oleh: Suyatminingsih, S.Sos.i., Sahabat Tinta Media
Senin, 10 Juni 2024
Pendidikan Mudah Dijangkau dengan Penerapan Islam Kaffah
Minggu, 09 Juni 2024
Gim Masuk Dunia Pendidikan, Generasi Muda Terancam!
UKT Mahal, Pendidikan Rakyat Miskin Terganjal
Tinta Media - Namanya Siti Aisyah. Pendidikannya terpaksa dilepaskan begitu saja saat mengetahui UKT yang harus dibayarkan terlampau mahal. Padahal, Siti Aisyah adalah pelajar berprestasi yang mampu masuk universitas negeri tanpa melalui tes seleksi. Namun sayang, kini harapannya hanyalah mimpi. Siti Aisyah hanyalah satu dari banyaknya pelajar yang bernasib sama.
Dilansir dari kompas.com (16/5/2024), sebanyak 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan undur diri dari Universitas Riau. Alasannya karena merasa tidak mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT). Kabar ini dibenarkan oleh Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi, dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR.
Kapitalisasi Pendidikan
Panasnya polemik tentang kenaikan UKT, berujung pada kebijakan pembatalan UKT oleh pemerintah. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim memutuskan untuk membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) (kompas.com, 28/5/2024). Nadiem juga meminta perguruan tinggi segera menyesuaikan biaya UKT setelah kebijakan ini ditetapkan.
Terkait UKT yang tidak jadi naik, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan mengungkapkan, pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara (tempo.co, 30/5/2024). Subkhan melanjutkan, kemungkinan tahun depan UKT kembali naik, karena pembatalan ini tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep pendidikan hak setiap rakyat. Parahnya lagi, sekolah yang siswanya lolos SNBP namun tidak mengambilnya, sekolah bisa dicoret dari daftar penerima undangan masuk perguruan tinggi negeri.
Inilah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan negara kapitalis. Negara abai atas hak pendidikan rakyat miskin. Mau tidak mau rakyat dipaksa berusaha mandiri agar mampu mengenyam pendidikan tinggi. Sementara, taraf ekonomi rakyat Indonesia, didominasi oleh golongan ekonomi menengah ke bawah melahirkan masalah yang tidak sudah-sudah. Keadaan ini membuat sebagian besar individu menyerah. Alhasil, pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh kalangan mampu secara ekonomi.
Di sisi lain, pendidikan yang merupakan sektor strategis menjadi obyek sasaran bisnis yang menjanjikan keuntungan fantastis. Konsep pengaturan biaya pendidikan dialihkan kepada masing-masing perguruan tinggi, yakni status PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Status ini menjadikan perguruan tinggi sibuk "mencari dana operasional" agar universitas tetap berjalan. Dan salah satu sumber pemasukan yang dibidik adalah uang kuliah tunggal yang disetorkan dari mahasiswa per semesternya. Konsep ini berhasil menggeser fungsi perguruan tinggi yang semestinya menjadi lembaga pengajaran yang mampu mencerdaskan generasi menjadi lembaga "bisnis" yang terus menyasar ekonomi rakyat.
Segala bentuk masalah yang kini ada karena negara memosisikan kebutuhan rakyat hanya sebagai beban. Bukan amanah yang harus dijaga. Paradigma inilah yang menjadikan negara gagal mengurusi rakyat.
Buruknya akibat yang ditimbulkan konsep kapitalisme sekuleristik. Konsep ini hanya mengutamakan keuntungan materi di atas segala-galanya. Bahkan di atas kepentingan pendidikan generasi. Padahal generasi yang berkualitas adalah modal dasar yang mampu mengantarkan suatu bangsa pada kekuatan dan kemajuan.
Lantas, bagaimana pendidikan di tanah air dapat mencetak generasi berkualitas?
Jaminan Pendidikan dalam Islam
Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis.
Pendidikan tinggi dengan kualitas memadai akan menjadi kunci suksesnya kemajuan bangsa. Gemilangnya pendidikan akan menghantarkan generasi menjadi generasi tangguh dan cemerlang.
Dalam sistem Islam, pendidikan menjadi prioritas utama yang wajib disediakan negara untuk seluruh individu rakyat. Negara pun berkewajiban menetapkan biaya murah bahkan gratis serta pendidikan berkualitas. Paradigma ini ditetapkan sebagai ketundukan sistem pada hukum syara'. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. dalam hadits Bukhori,
bahwa pemimpin adalah ra'in (pengurus) urusan rakyat dan negara wajib mengurusi setiap urusan rakyat.
Semua konsep ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi terpercaya yang mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya.
Anggaran pendidikan dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan mekanisme kebijakan yang bersandar pada hukum syara'. Anggaran ditetapkan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dana yang digunakan berasal dari pos-pos Baitul Maal. Pos pemasukan Baitul Maal bersumber dari hasil tata kelola sumber daya alam yang diurus negara secara mandiri, terprogram dan amanah. Tidak hanya itu, pos Baitul Maal juga didapatkan dari pos-pos jizyah, kharaj, fa'i dan ghanimah.
Rakyat tidak akan dibebani dengan biaya pendidikan yang menyusahkan, karena pembiayaan pendidikan diurus dengan amanah sehingga mampu menjamin pendidikan seluruh rakyat.
Tangguhnya kehidupan dalam pengaturan Islam. Pendidikan menjadi senjata utama yang mampu menghantarkan pada peradaban gemilang.
Wallahu alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor
Jumat, 07 Juni 2024
Pendidikan Tinggi, Kebutuhan Tersier?
Tinta Media - Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri menaikkan UKT ( Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat - lipat. (Detik.com, 22/5/2024).
Naiknya UKT ini adalah dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di Indonesia. Perguruan tinggi negeri harus mengikuti Standar Satuan Operasi Pendidikan Tinggi ( SSOPT), yang mengharuskan perguruan tinggi negeri harus mengikuti program WCU ( World Class Universiti), kampus harus bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan dan perguruan tinggi itu sendiri.
Inilah yang mengubah orientasi pendidikan, dari menuntut ilmu berubah untuk pemenuhan tuntutan dunia industri.
Syarat-syarat inilah yang akhirnya berakibat biaya pendidikan menjadi mahal.
Ditambah adanya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN, yang jauh dari cukup untuk pembiayaan pendidikan itu sendiri.
Akibat kekurangan dana inilah, perguruan tinggi negeri akhirnya diberi otonomi seluas - luasnya untuk mencari sumber dananya, diantaranya dengan kenaikan UKT ini. (Ibid).
Kenaikan UKT merupakan kebijakan zalim pemerintah yang akan merampas hak berupa pendidikan bagi rakyatnya, yang pada dasarnya pendidikan adalah kebutuhan dan wajib dipenuhi oleh pemerintah, tetapi karena mahalnya biaya pendidikan dan perkuliahan akhirnya biaya pendidikan bagi rakyat miskin seolah sesuatu yang sangat sulit di jangkau.
Tidak hanya itu, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tertier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.
Berbeda dengan Islam pendidikan bukan pilihan apalagi kebutuhan tertier, tetapi pendidikan adalah kewajiban bagi setiap muslim baik yang kaya maupun yang miskin.
Ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW " Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim" ( HR Ibnu Majah).
Di dalam Islam negara tidak boleh membebani biaya pendidikan bagi rakyatnya, pun tidak boleh membebani rakyat dengan berbagai pajak.
Pembiayaan pendidikan dalam Islam bisa dari individu, infak, donasi berupa wakaf dari umat untuk pendidikan, yang akan digunakan untuk sarana dan prasarana pendidikan, kebutuhan hidup para guru, dan pelajar, serta orang - orang yang berada dilingkungan pendidikan seperti pegawai administrasi dan penjaga sekolah maupun kampus tempat mereka bekerja.
Juga pendapatan negara, dari sumber daya alamnya, dari kharaj, jizyah dan lain sebagainya.
Seluruhnya dialokasikan untuk kepentingan umat. Termasuk biaya pendidikan.
Ini bisa terlihat saat Islam mengalami kejayaannya, dari masa kenabian, khulafaur rasyidin, hingga era kekhilafahan Islam, bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi manusia, dan dunia Barat hingga sekarang.
Kejayaan ini bisa terwujud karena umat dan negara, setia menerapkan syariat Islam, yang tidak bisa ditekan apalagi tergantung pada negara - negara asing seperti saat ini, yang tujuan utama mereka adalah kehancuran Islam dan umat Islam itu sendiri.
Wallaahu a'lam.
Oleh: Juliyani, Muslimah Peduli Generasi
Kamis, 06 Juni 2024
FDMPB: Pendidikan Itu Penting, Sangat Strategis, Investasi Masa Depan Bangsa
Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. menyampaikan bahwa pendidikan itu penting, sangat strategis,
investasi masa depan bangsa.
"Kalau kita coba baca filsafat pendidikan baik di dalam
Islam maupun di Barat itu secara ontologis sama, bahwa pendidikan itu penting,
pendidikan itu sangat strategis bahkan menjadi investasi masa depan
bangsa," tuturnya dalam live FGD FORDOK #43. UKT dan Kapitalisme
Pendidikan: Membedah Akar Masalah Pendidikan Nasional di kanal YouTube Forum
Dokter Muslim Peduli Bangsa, Sabtu (25/5/2024).
Ia berasumsi bahwa dalam sebuah kepengurusan negara itu
harus ada pergantian generasi. Tidak mungkin seseorang itu akan hidup terus,
tidak mungkin pemimpin itu akan selamanya hidup. Pasti akan ada regenerasi,
akan ada pergantian generasi. Karena itu, generasi yang disebut bangsa atau
anak bangsa itu kemudian disiapkan. Adapun kekayaan sumber daya alam, kalau
tidak dikelola oleh SDM yang berkualitas itu juga sama saja. "Karena itu,
bicara soal pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang memanusiakan manusia
tetapi juga lebih dari itu adalah menentukan masa depan bangsa," jelasnya.
"Nah, kalau kita melihat dari sisi aksiologi atau
manfaat atau nilai di dalam filsafat pendidikan maka kita bisa membayangkan
bahwa bagaimana kemudian relasi antara negara atau pemerintah dengan
rakyat," ucapnya.
Filosofis UKT
Ia menggambarkan UKT secara filosofis kaitannya dengan
relasi dengan gambaran sederhana yakni kalau rumah tangga itu ada orang tua,
ada anak, orang tua itu bahkan rela berhutang untuk menyekolahkan anak-anaknya
karena orang tua itu punya harapan bahwa anak itu akan menggantikan dirinya di
masa depan. Berkaitan dengan kesejahteraan, mungkin orang tua sedang
membayangkan bahwa bolehlah orang tua tidak sekolah, tapi anak harus sekolah,
harus meningkatkan kemuliaan dan martabat keluarga, kemudian rela berhutang.
"Coba kita bayangkan, sebuah negara Indonesia yang
sering kita bangga-banggakan sebagai negara yang besar, sumber dayanya sangat
melimpah, mungkin terkaya di dunia, kemudian kita lihat kisruh UKT, tadi ketika
sudah ditekankan tentang pandangan bahwa pendidikan itu tersier, dalam arti
pendidikan secara umum itu adalah kesalahan. Maka kita bisa katakan jangan
sampai pemerintah itu gagal paham pendidikan," tekannya.
Gagal Paham Pendidikan
"Karena kalau gagal paham pendidikan, memang efeknya
akan sangat beragam. Efek dominonya akan luar biasa. Padahal kalau dilihat dari
amanah undang-undang, sudah sangat jelas di situ, semua juga baca itu,"
ungkapnya.
Ia mempertanyakan bahwa aparat pemangku negara, apakah
membaca, apakah benar menafsirkannya, menginterpretasikannya, bagaimana
mensosialisasikannya, bagaimana kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang lebih
mikro dan seterusnya. Ketika pemerintah kemudian anggaplah gagal paham dengan
salah satu statement tentang sebutan tersier itu, maka ini berarti pemerintah
sedang mendudukkan relasi dengan rakyat tidak sebagaimana orang tua kepada
anaknya. "Coba kita bayangkan misalnya orang tua itu ketika anaknya makan
di rumah kemudian disuruh bayar, atau orang tua mengatakan kamu harus sekolah,
harus bayar sendiri padahal masih TK, masih SD misalnya. Ini kan sebenarnya
secara filosofis mudah sekali ditangkap," tukasnya.
Pengelolaan Potensi Negara
Sementara, lanjutnya, negara sebesar Indonesia ini, kenapa
kemudian mendudukkan relasi tidak tepat bagaimana sudut pandang relasi antara
negara kepada rakyat. Walaupun di lapangan ada hitung-hitungan tetapi
sebenarnya berkaitan dengan bagaimana mengelola potensi negara yang luar biasa
ini.
Ada Masalah Keuangan Negara
Ia pun mengajak untuk membayangkan bahwa ternyata yang
dikorupsi saja sudah berapa triliun, berapa sumber daya alam yang dikelola oleh
orang lain, bagaimana tanah-tanah di negeri ini yang harusnya wakaf ternyata
jutaan hektar dikelola oleh orang lain. "Nah ini kan memang sebuah sistem.
Artinya negara kita sebenarnya sedang ada masalah keuangan secara umum, terkait
pengelolaan sistem, pengelolaan negara ini. Berarti ada masalah sehingga
akhirnya memberikan dampak kepada pendidikan," ujarnya.
"Jadi pemerintah kemudian menempatkan diri hubungannya
dengan rakyat itu mungkin jadi pedagang kemudian bisnis kemudian meletakkan
pendidikan sebagai kebutuhan private sehingga ketika kampus diberi satu
keleluasaan karena minimnya anggaran, akhirnya kampus juga kebingungan
sendiri," tukasnya.
Ia mengungkapkan bahwa memang ada kampus-kampus yang
kemudian membuat usaha-usaha ekonomi, tetapi kampus itu tidak seperti itu.
Memang sebagai dosen, diminta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan
mahasiswa bukan untuk berdagang, bukan untuk mencari uang. Dalam arti membuka
usaha-usaha karena memang ini bagian dari kebutuhan negara sebagai pendidikan.
"Nah ini memang ada kompleksitas di sini," terangnya.
Filosofi Adanya Negara
Ia membeberkan bahwa filosofi adanya negara secara sederhana
yakni negara ada untuk mengurus rakyat. Sebagaimana dijelaskan dalam
undang-undang bahwa adanya negara untuk mengurus rakyat baik kesejahteraannya,
keadilannya. Penjagaan dan penjaminan negara terhadap keimanan, ketakwaan,
akhlak bangsa, adab. "Cukup miris melihat ketika pendidikan atau hasilnya
ternyata nir adab, nir akhlak, hatinya tidak disentuh," mirisnya.
Ia mengatakan bahwa pemerintah mestinya dalam konteks
pendidikan itu, bagaimana mewujudkan bangsa yang beriman, bertakwa, beradab.
Karena tiga hal ini akan menumbuhkan bangsa yang beradab, yang tidak korupsi,
tidak terjebak judi online. Negara juga tidak menerapkan riba misalnya. Ini kan
ada relasi seorang hamba, dengan Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Taa'la yang
memiliki hukum-hukum terkait kehidupan.
Nah tentang kesehatan, lanjutnya, kesehatan berarti
hubungannya dengan makanan, minuman, kebutuhan primer individu. Artinya
pemerintah harus betul-betul menyiapkan kebutuhan makanan, minuman yang baik,
yang memberikan kesehatan, berdampak kepada kesehatan rakyatnya. "Yah
beriman kalau tidak sehat, ini kan hubungannya nanti produktivitas sebuah
bangsa untuk negaranya," tuturnya.
"Nah bagaimana dengan hari ini, juga luar biasa terkait
makanan, minuman ini bahkan menjadi satu keprihatinan. Padahal mestinya menjadi
tugas negara dengan para pemimpinnya untuk menjamin bahwa rakyatnya itu harus
sehat," bebernya.
'Itulah kenapa di dalam Islam itu kesehatan, keamanan,
pendidikan betul-betul menjadi kebutuhan publik yang harus diurus oleh negara
sebaik mungkin," imbuhnya.
Kemudian lanjutnya, tentang akal, tentang intelektualitas
yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Berarti bicara soal lembaga pendidikan.
Jadi jika hatinya sudah baik, akhlaknya sudah baik, baru bicara soal
kecerdasan, dalam arti akalnya. Akal ini yang kemudian akan melahirkan
peradaban, di sana ada sains dan teknologi meskipun sudah diklarifikasi bahwa
tidak semua harus jadi dokter. "Tetapi kalau dilihat kebutuhan yang
namanya kesehatan itu memang wajib hukumnya dijamin oleh negara dan tentu
kebutuhan dokter itu mestinya mungkin setiap desa harus ada dokter yang
melayani," tambahnya.
Ia melanjutkan bahwa bicara tentang rezeki itu tidak bicara
tentang bertambahnya rezeki, yang bertambah itu ilmu, akalnya bertambah cerdas,
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bicara tentang keberkahan, berarti tentang
bagaimana halalnya rezeki, berarti negara harus menjamin yang namanya ekonomi
itu harus halal jadi nanti menjadi berkah bukan bertambah. Kenapa, karena
rezeki itu sudah dikasih emas, air, ikan di laut, minyak ada di Indonesia,
sudah melimpah, hutan yang luar biasa jutaan hektar, tidak perlu meminta lagi
sudah kaya negeri ini. "Hanya, bagaimana mengelola supaya rezeki, anugerah
dari Allah Subhanahu Wa Taa'la di Indonesia ini menjadi berkah. Nah keberkahan
ini sudah disampaikan, bagaimana kemudian Islam itu mestinya menjadi dasar kita
berpikir, dasar berparadigma tentang bagaimana mengelola negara ini,"
tegasnya.
"Lagian juga, kita juga mayoritas muslim dan Allah
Subhanahu Wa Taa'la tahu betul tentang bagaimana mengelola bumi yang
diciptakannya, mengelola manusia yang diciptakannya," paparnya.
"Catatan dari saya bahwa negara jangan sampai salah
paham tentang pendidikan baik secara konstitusi maupun secara filosofis.
Apalagi menempatkan relasi bangsa ini dengan Tuhannya, kalau dalam Pancasila
itu kan disebut ketuhanan yang maha esa. Dimana letak Tuhan di dalam mengelola
negara ini," pungkasnya.[] Ajira