Tinta Media: Pendidikan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Mei 2024

Korban Kapitalisme di Dunia Pendidikan, Kemuliaan Tenaga Pendidik Terabaikan


Tinta Media - Profesi dosen memiliki privilege tersendiri di tengah masyarakat. Namun, kini masyarakat yang menjalani profesi tersebut merasa resah. Ini terlihat dari tagar #janganjadidosen pada bulan Februari lalu yang kemudian menjadi pembicaraan di media sosial.

Munculnya tagar itu disertai dengan cuitan sejumlah dosen yang mengungkapkan bahwa gaji mereka masih di bawah upah minimum regional atau UMR. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus atau SPK yang mengungkap bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta. 

Pada kuartal pertama 2023 termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari 6 tahun, sekitar 76% dosen mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan karena rendahnya gaji dosen. Pekerjaan itu membuat tugas utama mereka sebagai dosen menjadi terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. 

Selain itu, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah, bahkan peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari Rp2 juta. Kemudian, sebanyak 61% responden merasa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka. Tidak hanya itu, beberapa dosen merasa kurang dihargai.

Pengamat pendidikan mengatakan bahwa rendahnya gaji dosen dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi. (bisnis.tempo.co.id, 02/05/2024)

Fakta ini memang sangat ironis, karena rendahnya gaji dosen menggambarkan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi yang memengaruhi masa depan bangsa. Bahkan mirisnya, fakta ini tampaknya akan menggeser cara pandang generasi terkait ilmu.

Orang pintar atau ilmuwan yang seharusnya dimuliakan bisa saja kelak tidak dimuliakan, apalagi diidolakan. Maka dari itu, kesejahteraan yang belum terwujud dan pemberian upah tidak layak di kalangan dosen sejatinya tidak lepas dari kapitalisasi pendidikan di negeri ini.

Tata kelola negara kapitalistik berlandaskan pada paradigma good governance atau reinventing government. Paradigma ini berperan besar melahirkan petaka pada biaya pendidikan dan menjadikan pemimpin berlepas tangan dari tanggung jawab utamanya sebagai pelayan rakyat. Salah satunya dalam menjamin pendidikan setiap individu rakyat dan pemberian upah yang layak bagi tenaga pendidik, termasuk dosen.

Kondisi ini diperparah dengan tata kelola keuangan dan ekonomi negara yang kapitalistik dan memiskinkan negara. Tata kelola keuangan yang rusak ini menjadikan negara tidak memiliki cukup dana untuk menggaji pegawai, termasuk dosen.

Sistem kapitalisme yang lahir dari akidah sekularisme telah memisahkan peran agama dari kehidupan. Sistem ini telah menjadikan individu, masyarakat, hingga negara meletakkan standar kemuliaan pada materi. Wajar, dosen sekadar dipandang sebagai profesi.

Kapitalisme telah menggerus kemuliaan atas jasa besar para dosen akibat prinsip materi yang dipandang berharga tersebut. Bahkan, kebijakan negara malah cenderung pada kepentingan para kapital atau pemilik modal. Oleh karena itu, problem rendahnya gaji dosen merupakan problem sistemik akibat penerapan sistem kapitalisme dalam segala aspek kehidupan di negeri ini.

Berbeda halnya dengan Islam, sistem kehidupan sempurna yang sangat menghormati ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu. Kedudukan mereka sangat tinggi dalam Islam.

Begitu pula dengan dosen dalam Islam, profesi ini dihormati dan dimuliakan karena peran mereka dalam mencetak generasi pemimpin, bukan hanya sekadar pekerjaan. Pasalnya, ilmu akan memelihara akal manusia dan menjadi investasi masa depan sebuah bangsa.

Negara adalah pihak yang diamanahi dalam menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyat, sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang dipimpin oleh khalifah.

Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya,

“Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia  bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” HR. Al-Bukhari.

Negara akan mencegah pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi seperti saat ini. Kebijakan negara secara sistemik akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting sistemnya.

Negara Khilafah wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya secara gratis. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya. Ini termasuk dosen di pendidikan tinggi beserta penggajian yang layak bagi tenaga pengajar dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.

Dosen adalah profesi mulia dalam menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin masa depan. Oleh karena itu, gaji para dosen tentu bukan hanya dihargai sebagai jasa, tetapi kemuliaan ilmu yang tidak bisa ditukar dengan materi.

Sejarah Islam mencatat bagaimana Islam memuliakan tenaga pengajar, termasuk dosen. Buktinya adalah pada masa kejayaan Khilafah Abbasiyah yang memberikan gaji fantastis bagi para pengajar dan ulama. Kala itu, gaji para pengajar mencapai 1000 dinar per tahun.

Sistem ekonomi Islam yang tangguh dan kuat akan mampu membiayai pendidikan rakyatnya hingga bisa diakses secara gratis, tetapi tetap dengan penggajian fantastis bagi seluruh tenaga pengajar. Dengan demikian, permasalahan dosen yang tidak dimuliakan hanya bisa terselesaikan dengan penerapan Islam kafah di muka bumi ini. wallahualam bishawwab.

Oleh: Amellia Putri (Aktivis Muslimah dan Mahasiswi)

Kamis, 23 Mei 2024

Pendidikan Tersier: Bukti Nyata Kapitalisasi Pendidikan


Tinta Media - Bulan Mei yang identik dengan adanya peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas) di tahun ini bulan ini banyak sekali muncul gelombang protes terhadap dunia pendidikan terkhusus Perguruan Tinggi. Protes ini terkait dengan masalah semakin mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ditengah memanasnya mahasiswa dengan kebijakan ini muncul pernyataan dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Sekretaris Direktoral jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie.

Tjitjik menyebut kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Tjitjik menyebutkan pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti negara lain. sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Terkait banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni SD, SMP hingga SMA. (CNNIndonesia.com, 16/5/2024)

Namun, pernyataan itu seperti kontraproduktif dengan statement Presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden pada Januari 2024 lalu justru mengaku kaget ketika mengetahui rasio penduduk di Indonesia masih sangat rendah yakni di angka 0.45 persen. Bahkan Indonesia tercatat masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju sendiri angka rasionya sudah mencapai 9.8 persen. Data yang lebih mengenaskan ada di tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah mendapatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. (RepublikaNews.com, 17/5/2024)

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengapa hal tersebut terjadi karena biaya yang mahal. Apalagi ditambah dengan pemerintah menganggap Pendidikan Tinggi sebagai kebutuhan tersier. Hal ini menurutnya telah melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Menurut, ubai meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar. (MediaIndonesia.com, 17/5/2024)

Kapitalisasi Pendidikan

Sulitnya menggratiskan biaya pendidikan tinggi saat ini dikarenakan oleh paradigma kapitalis liberal yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat saat ini. Tak terkecuali dengan dunia pendidikan. Paradigma yang lahir atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan memiliki standar materi (keuntungan) dalam kehidupan sehingga apa pun dinilai dari manfaat dan untung-rugi. Wajar dalam lini kehidupan apa pun akan dijadikan ladang bisnis oleh paradigma kapitalis-liberal.

Hal ini pun diterapkan dalam dunia pendidikan sehingga kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang pro pada kepentingan pasar industri. Pendidikan menjadi produk pasar yang dapat ditransaksikan dan untuk hal demikian negara tidak akan mungkin mau rugi. Rakyat di sini diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar dengan harga tertentu jika ingin mengakses pendidikan tersebut. Pendidikan menjadi komoditi bisnis sehingga wajar biaya pendidikan makin hari makin menjulang tinggi dan wajar pemerintah menyampaikan bahwa pendidikan adalah kebutuhan tersier. Bagi yang mampu silakan untuk lanjut pendidikan hingga jenjang Pendidikan Tinggi jika tidak maka tidak usah dipaksakan (pilihan).

Pendidikan Tinggi Islam

Islam memberikan perhatian yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Islam memandang bahwa pendidikan adalah kebutuhan primer. Pendidikan Tinggi adalah institusi pencetak calon pemimpin penerus estafet kepemimpinan bangsa serta mencetak para intelektual yang ahli dalam bidangnya yang akan bertanggung jawab atas kemaslahatan umat dari hasil keintelektualannya. Sehingga penting memastikan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Sistem Islam memiliki seperangkat mekanisme agar kebutuhan akan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh rakyat. Salah satunya adalah dengan kemandirian dalam bidang ekonomi. Sistem Islam memiliki sistem politik ekonomi yang akan mewujudkan kemaslahatan umat sehingga pendidikan pun bisa digratiskan. Salah satunya adalah dengan mengelola sumber daya alam yang melimpah sesuai dengan syariat Islam. Sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh individu dan tidak boleh diserahkan kepada swasta. Hal ini harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan dalam berbagai bentuk termasuk dalam pembiayaan pendidikan.

Tidak hanya pembiayaan pendidikan. Pendanaan ini juga akan digunakan Daulah Khilafah untuk menyediakan sarana prasarana yang memadai seperti kelas, observatorium, perpustakaan, laboratorium, asrama, kamar mandi bahkan gaji para pengajar/dosen pun diberikan yang terbaik sehingga pengajar/dosen hidup sejahtera di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam merupakan role model dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi dunia selama belasan abad. Kuliah di univesitas-universitas Daulah Khilafah menjadi impian para pelajar dunia. Bahkan telah ditemukan dokumen surat dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia yang dikirimkan kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia yang mana memohon untuk pangeran dan putri mereka bisa mendapatkan pendidikan di Khilafah.  

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media 

Kebijakan Nirempati Bergaya Kapitalisasi


Tinta Media - Bergulirnya polemik kenaikan biaya UKT terus menuai kontroversi. Di tengah isu panasnya uang kuliah tunggal, pemerintah justru merespons negatif terkait hal ini. Pemerintah dinilai gagal paham menyikapi fakta tersebut. Di tengah raport merah pendidikan di Indonesia, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan pendidikan tinggi tak wajib (CNNIndonesia.com, 17/5/2024). Tanggapan santai ini tentu menuai kritikan berbagai pihak.

Tjitjik menyebutkan bahwa pendidikan tinggi sifatnya tertiery education (CNNIndonesia.com, 17/5/2024). Maknanya pendidikan tinggi bukanlah hal yang wajib bagi pelajar SLTA atau SMK. Hal ini sifatnya pilihan.

Pendidikan Tinggi Dinilai sebagai Barang Mewah

Kenaikan UKT di berbagai Perguruan Tinggi Negeri tanah air tidak lepas dari penetapan status PTN BH, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Penetapan ini menciptakan status kampus memiliki otonomi penuh dalam mengelola sumber daya dan teknis operasional kampus, termasuk di dalamnya penetapan uang kuliah tunggal. Tidak hanya itu, kampus pun memiliki hak penuh dalam poin pelaporan keuangan. Perlu diketahui juga bahwa penetapan PTN BH pun melahirkan berbagai kebijakan terkait pembiayaan pendidikan tinggi. Salah satunya, pengurangan subsidi dari pemerintah untuk kampus PTN BH. Penetapan status ini pun menggeser tugas pendidikan tinggi yang seharusnya mendidik, melakukan riset dan mengabdi pada masyarakat, menjadi pebisnis yang mencari biaya operasional agar kehidupan kampus tetap berjalan. 

Di tengah pertandingan berbagai kampus negeri yang berlomba mendapatkan status PTN BH, kini kualitas pendidikan kian dipertanyakan. Kualitas pendidikan terus menukik di tengah kenaikan biaya kuliah yang tinggi.

Tampaknya pemerintah tengah gagal paham menilai sektor pendidikan. Kini, sektor pendidikan dijadikan sektor strategis yang sangat mudah dikapitalisasi. Berbagai regulasi dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah saat ini justru menjauhkan generasi dari nilai pendidikan yang berkualitas. Pemerintah pun hilang arah, saat menetapkan status PTN BH yang berujung pada angkat tangannya pemerintah pada masa depan pendidikan. Padahal jelas, pendidikan adalah salah satu faktor utama yang mendobrak nasib menuju peradaban maju dan gemilang.

Konsep yang kini diadopsi adalah konsep rusak yang menempatkan kepentingan rakyat bukan hal yang utama. Konsep inilah yang terus menyengsarakan kehidupan. Pendidikan terus disasar demi keuntungan berlimpah. Konsep untung rugi terus mewarnai kebijakan terkait pendidikan. Padahal mestinya, pendidikan ditetapkan sebagai sektor strategis yang mudah dan murah diakses seluruh individu. Demi kemajuan peradaban, kecerdasan pemikiran yang mampu menciptakan negara tangguh dan kuat. Namun sayang, konsep destruktif kini melenyapkan segala harapan terkait kemajuan peradaban.

Wajar adanya, saat pemerintah menilik pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang tidak layak didapatkan setiap individu rakyat. Sungguh miris.

Kemajuan dalam Genggaman Pendidikan Islam

Kemajuan bangsa diawali dengan majunya pendidikan. Tanpa pendidikan tinggi berkualitas, mustahil terlahir pemikiran cerdas cemerlang yang memajukan suatu bangsa.

Dalam sistem Islam, pendidikan menjadi prioritas utama yang wajib disediakan negara untuk seluruh individu rakyat. Negara pun berkewajiban menetapkan biaya murah bahkan gratis serta pendidikan berkualitas. Paradigma ini ditetapkan sebagai ketundukan sistem pada aturan syara’ yang menetapkan bahwa pemimpin adalah ra’in (pengurus) urusan rakyat. Dan negara wajib mengurusinya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Dalam hadits Bukhori.

Semua konsep ini hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi amanah yang mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya.

Anggaran pendidikan dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan mekanisme kebijakan khas ala khilafah. Yakni dengan mempersiapkan anggaran pendidikan yang mampu membiayai seluruh kebutuhan rakyat, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dana yang digunakan berasal dari pos-pos Baitul Maal. Pos pemasukan Baitul Maal bersumber dari hasil tata kelola sumber daya alam yang diurus negara secara mandiri, terprogram dan amanah. Tidak hanya itu, pos Baitul Maal juga didapatkan dari pos-pos jizyah, kharaj, fa’i dan ghanimah.

Rakyat tidak perlu dibebani dengan biaya pendidikan yang mahal, karena dengan tata kelola amanah yang sesuai syariah, menjamin pendidikan seluruh rakyat terpenuhi optimal.

Indahnya kehidupan dalam pengaturan Islam. Pendidikan berkualitas dalam genggaman, peradaban gemilang menjamin masa depan.

Wallahu alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Minggu, 19 Mei 2024

Mengharapkan Pemuda Berkualitas, Modal Pendidikan Tak Ikhlas?


"Kak, mau ngajar di lembaga ini? Nggak, ah, gajinya nggak sesuai."

Tinta Media - Miris, pernyataan semacam ini sering penulis temui. Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa saat ini banyak orang bersedia mengajar di lembaga tertentu sesuai dengan nilai materi yang diinginkan.

Maka, wajar jika ternyata hasil dari pendidikan saat ini tidak bisa membentuk kepribadian yang baik pada anak karena mereka bekerja hanya untuk mendapatkan nilai materi, bukan sebagai orang yang bertanggung jawab besar mencerdaskan generasi untuk kehidupan masa depan.

Jika kondisi ini terus berlangsung, maka masa depan bangsa ini sangat menghawatirkan. Sejatinya, seorang guru menjadi tempat atau rujukan dalam menimba ilmu untuk bekal kehidupan di masa depan. Nyatanya, mereka tidak begitu mempedulikan hal tersebut. Yang terpenting bagi mereka adalah masuk kelas, lalu mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan.

Tidak ada yang salah jika seorang guru mengharapkan upah lebih untuk bisa mencukupi semua kebutuhannya. Namun, jika hanya itu yang menjadi standar dalam mengajar, maka para siswa akan kehilangan hakikat pendidikan yang semestinya mereka dapatkan.

Penulis rasa, sudah begitu banyak fakta yang menunjukkan tentang kebobrokan para pelajar saat ini. Mereka mabuk-mabukan, tawuran, pacaran, balap liar, hamil di luar nikah, dan lain-lain. Tentu semua itu bisa terjadi karena pola pendidikan yang salah. Sebab, jika proses pendidikan dijalankan dengan tepat dan benar, pasti akan membekas pada pemahaman mereka tentang kebenaran dan kebaikan.

Fakta Buruk pada Pelajar

Akibat kurangnya tanggung jawab seorang guru kepada pelajar, akhirnya kebobrokan generasi saat ini semakin meluas. Salah satunya adalah kasus bullying  dan perundungan yang terjadi di mana-mana.

Tidak cukup hanya pelajar yang melakukan pelanggaran hukum, para pendidik pun juga banyak yang terlibat.

Kerusakan generasi saat ini sangatlah fatal. Mereka sudah tidak memiliki batasan dalam melakukan aktivitas. Semuanya dibebaskan. Mengingat kebebasan berekspresi yang dilakukan pendidik dan juga pelajar, penulis sedikit berkaca dari kurikulum merdeka yang saat ini digencarkan secara masif. Bukan karena apa-apa, hanya saja kita perlu sedikit menyoroti terkait makna merdeka yang saat ini sedang digaungkan.

Makna merdeka itu sendiri adalah bebas. Namun perlu digaris bawahi, ketika ada yang menggaungkan kebebasan, kita harus mencari tahu kebebasan dalam hal apa terlebih dahulu. Sebab, jika kebebasan yang dimaksud adalah membiarkan kerusakan merajalela, maka itu adalah tindakan yang salah.

Hal demikian juga berlaku dalam dunia pendidikan. Jika di dalam kurikulum merdeka saat ini pendidikan dimasifkan dengan gerakan kebebasan dalam berekspresi, maka patut bagi kita untuk memprotes hal tersebut. Ini karena dari situlah cikal bakalnya kerusakan generasi.

Atas kurangnya tanggung jawab seorang guru, maka tidak heran jika generasi saat ini tidak lagi peduli baik buruk, pantas tidak pantas, sopan dan tidak sopan. Bisa dikatakan, mereka minim kepribadian. Oleh karena itu, mereka akan berbuat sesuatu sesuai dengan kesenangannya.

Maka, muncullah istilah hedonisme. Melihat fakta generasi saat ini, pikiran penulis melompat jauh ke negara Barat. Apakah semua sikap hedon yang dilakukan generasi saat ini terpengaruh oleh budaya Barat yang serba bebas?

Pendidikan Langkah Awal Mencerdaskan Generasi Masa Depan

Jika benar generasi saat ini telah terpengaruh oleh budaya hedon Barat, maka hancurlah negeri ini kalau tidak segera diputus rantai penyebarannya. Sebab, generasi muda adalah pewaris kehidupan di masa depan.

Oleh karena itu, mari kita saling bahu-membahu untuk menyadarkan generasi saat ini agar tidak lagi terjerumus pada jebakan hidup yang heodnis ini.  Ini karena tujuan awal mereka diberi pendidikan adalah untuk menjadi generasi berkualitas supaya kelak bisa menjadi problem solver untuk bangsa ini.

Seperti yang pernah dikatakan oleh presiden pertama Afrika Selatan, yaitu Nelson Mandela bahwa, "Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia."

Apa yang disampaikan oleh Nelson Mandela itu benar. Pada zaman Rasulullah, beliau telah berhasil mencetak generasi tangguh, sehingga saat ini kita bisa menikmati indahnya beragama Islam.

Tidak bisa dibayangkan, tanpa perjuangan generasi setelah Rasulullah, bisa dipastikan kita tidak akan pernah bisa merasakan, walaupun hanya mencium baunya Islam. Dari sejarah yang pernah terjadi, penulis menarik kesimpulan bahwa sistem Islam telah berhasil mendidik generasi menjadi generasi berkualitas dan menjadi agen perubahan pada dunia.

Untuk itu, dalam menjalankan syariat Islam, kita tidak akan pernah mampu melakukan jika negara tidak menerapkan sistem tersebut. Oleh karena itu, setiap negara harus ikut berkontribusi untuk kemerdekaan dunia ini dengan cara, masing-masing negara bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan sistem Islam untuk diterapkan di seluruh dunia. Wa'allahu a'lam bishawab.

Oleh: Winarti, Script Writer dan Content Creator

Sabtu, 04 Mei 2024

Kurikulum Nasional Harus Diarahkan pada Pendidikan Islam

Tinta Media - Sebagai aspek strategis pembangunan suatu  bangsa, pendidikan menjadi perhatian utama bagi setiap negara di dunia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah dan tujuan pendidikan di negeri ini. Pendidikan Islam yang berbasis aqidah Islam akan melahirkan generasi berkepribadian Islam, yang tak hanya unggul dalam sains namun juga berakhlak mulia, beriman, serta bertakwa kepada Allah SWT.

Saat ini, rencana pengesahan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional (Kurnas kurikulum nasional (kurnas) 2024 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Riset dan Teknologi. mendapat perhatian dan kritikan beragam dari berbagai kalangan. Salah satunya  organisasi nirlaba Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) menilai bahwa kurikulum ini tidak pantas menjadi Kurnas dan meminta agar dievaluasi secara menyeluruh. 

Menurut direktur eksekutif Bajik, Kurikulum Merdeka masih belum lengkap dan harus diperbaiki sebelum diresmikan menjadi kurikulum nasional. Hal terpenting yang harus ada dalam kurikulum resmi adalah kerangka kurikulum, Dan kurikulum resmi harus berdasarkan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas dan tertulis dalam naskah akademik. Namun, Kurikulum Merdeka  belum memiliki naskah akademik yang menjelaskan dasar pemikirannya. Oleh karenanya Puti meminta evaluasi menyeluruh untuk Kurikulum Merdeka sebelum dijadikan kurikulum nasional.

Banyak yang menilai bahwa kurikulum ini masih belum memberi kejelasan sebagai kurikulum yang tepat  mengingat peserta didik hanya diarahkan kepada kompetensi atau daya saing atas sesuatu yang bersifat materi, namun melupakan aspek pembinaan agama/mental.

Selain itu dengan masih banyak potret buram pendidikan dalam semua aspek, baik guru maupun siswa yang melakukan berbagai kemaksiatan dan kejahatan serta pelanggaran hukum. Hal ini telah menjadi indikasi bahwa sistem pendidikan kita saat ini masih belum mampu memberikan landasan moral yang kuat bagi generasi penerus bangsa.

Dengan demikian, adanya wacana Kurikulum Merdeka justru akan menguatkan sekularisme dan kapitalisme dalam kehidupan, melahirkan generasi yang buruk kepribadiannya, dan menjadikan generasi terjajah budaya Barat yang rusak dan merusak. Sebagai negara yang memiliki mayoritas penduduk muslim, maka hal ini merupakan kekhawatiran tersendiri.

Islam sebagai agama yang menjadi mayoritas di Indonesia, memiliki sistem pendidikan terbaik berbasis akidah Islam yang terbukti berhasil melahirkan generasi berkualitas, menjadi agen perubahan dan membangun peradaban yang mulia. Dan sebab pendidikan Islam memberikan landasan moral yang kuat dan nilai-nilai keislaman yang mantap bagi peserta didik. Sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik, bertakwa, terampil, berjiwa pemimpin, serta menjadi problem solver yang mampu memecahkan masalah yang kompleks.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, maka tujuan pendidikan nasional harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip keislaman dan nilai-nilai moral yang mulia. Agama dan moral adalah landasan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik dan pendidik. Sebab Negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yang mampu melahirkan generasi yang berakhlak mulia, beriman, serta bertakwa kepada Allah SWT.

Kesimpulannya sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk membangun sistem pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai keislaman dan moral. Adanya Kurikulum nasional seharusnya tidak menjauhkan pendidikan dari nilai-nilai keislaman, namun sebaliknya seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat landasan moral dalam pendidikan.

Maka Negara dan masyarakat harus berpikir dan bertindak nyata untuk mewujudkan generasi yang berkualitas dan bermartabat. Dengan menghadirkan pendidikan Islam berbasis aqidah Islam adalah solusi yang tepat, di sertai dengan adanya sistem Islam yang kaffah niscaya pendidikan berkualitas sehingga melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, yang tidak hanya ahli dalam ilmu dunia tapi juga  berakhlak mulia, beriman, serta bertakwa kepada Allah SWT. Wallahu'alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Senin, 08 April 2024

Pelatihan Vokasi, Apakah Berkolerasi dengan Kesejahteraan?

Tinta Media - Pendidikan merupakan jalan untuk sebuah kemajuan, bahkan pendidikan merupakan alat tolok ukur peradaban manusia dalam suatu bangsa, pendidikan bisa di dapatkan di sekolah, Madrasah , Mesjid dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan pelatihan vokasi apakah memang sangat dibutuhkan? 

Baru - baru ini, kementerian ketenagakerjaan mengadakan pelatihan vokasi yang berkualitas sebagai bentuk komitmen dalam peningkatan kompetensi dan daya saing angkatan kerja RI, baik yang lama ataupun yang baru. Sekretaris jendral kementerian ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pada saat membuka pelatihan berbasis kompetensi (PBK) tahap ke 3 di balai pelatihan vokasi dan produktivitas (BPVP) di Semarang Jateng Jumat (22/03) pelatihan vokasi berkualitas adalah pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang mengutamakan link and match ketenagakerjaan. 

Link and match adalah satu bagian dari strategi kementerian ketenagakerjaan dalam melakukan transformasi balai latihan kerja, yang mana balai latihan kerja tersebut di kelola Kemenaker dan harus mampu menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan industri, sehingga mendorong urusan ketenagakerjaan adalah urusan yang harus di tangani bersama.

Pelatihan vokasi berkualitas sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai pasar kerja, ketika daya saing pekerja saat ini sangat signifikan, karena bersaing bukan hanya dengan lulusan dalam negeri saja, tapi tak sedikit lulusan perguruan tinggi luar negeri pun ikut bersaing dalam mendapatkan pekerjaan di negeri ini. Karena pasar kerja saat ini mewajibkan orang yang sudah berpengalaman dalam satu bidang tertentu, apalagi di dunia industri. 

Namun, sejatinya pelatihan ini tidak mengubah nasib pekerja menjadi lebih baik, baik dari keahlian maupun dari sarana penunjang lain seperti sertifikat atau lulusan sekolah tetap menjadi pengaruh kuat di berbagai perusahaan, terutama perusahaan asing yang di peruntukan untuk para pekerja mereka sendiri yang sudah mempunyai keahlian di bidangnya, karena mereka tetaplah menjadi budak  korporasi. 

Hal ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme, yang hanya menganggap pekerja sebagai salah satu faktor produksi, dan penunjang dari sekian banyaknya modal yang mereka keluarkan demi keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya, maka banyak tenaga ahli yang sudah berkompetisi di dalamnya tidak bisa menjadi pekerja yang di hargai atas prestasi nya. 

Dan pemerintah hanya menjadi perantara antara dunia industri dan angkatan kerja, namun tidak menciptakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan, padahal jika membuka lapangan pekerjaan dari pengelolaan  hasil kekayaan alam sangat besar, bahkan bisa menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, sehingga masalah pengangguran bisa di atasi, angka pengangguran di negeri ini masih sangat tinggi, karena perusahaan - perusahaan yang ada hanya menerima pekerja yang sudah berpengalaman dan mempunyai keahlian. 

Ini tidak lepas dari sistem yang di terapkan saat ini, yaitu sistem sekuler kapitalis yang memisahkan masalah agama dengan kehidupan, agama tidak boleh ikut andil dalam mengurusi masalah negara juga pendidikan dan pelatihan, dan pemerintah hanya tunduk pada pemilik modal. 

Berbeda dengan Islam, Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat termasuk dalam menyediakan lapangan pekerjaan, karena Islam merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh, Islam mempunyai tujuan yang berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang bahwa kebahagiaan itu adalah ketika Allah ridha, jadi setiap aktivitas apa pun termasuk pendidikan vokasi akan menjadikan rakyat terampil bukan hanya untuk pribadi saja tapi juga untuk seluruh masyarakat.

Islam dalam hal ini khilafah akan mempersiapkan ketersediaan tenaga kerja  sesuai dengan kebutuhan negara dan rakyat, bukan untuk kepentingan Oligarki, negara Islam memiliki mekanisme dalam menentukan upah pekerja, sehingga pekerja tidak dizalimi perusahaan oleh perusahaan pemberi kerja. Negara Islam juga menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya, dengan menjamin kebutuhan pokok rakyat dan memenuhi kebutuhan pokok. Wallahu'alam.

Oleh : Ummu Ghifa
Sahabat Tinta Media 


Minggu, 17 Maret 2024

Pendidikan Ideal, Pendidikan ala Islam


Tinta Media - Kabar miris datang dari salah satu sekolah di kabupaten Bandung, yakni SMP Negeri 3 Baleendah yang diduga telah terjadi tindak kekerasan seksual kepada salah satu murid di sekolah tersebut. Keluarga korban melaporkan kasus tersebut karena merasa terancam oleh perbuatan pelaku yang merupakan guru dari korban. Setelah kasus ini diselidiki ternyata korban dari pelaku tak hanya satu orang saja melainkan beberapa murid yang sama-sama mendapatkan perlakuan tak senonoh dari beberapa oknum guru di sana. 

Lagi dan lagi, kita terus saja dihantui dengan perasaan takut terhadap dunia luar yang bisa berakibat buruk bagi anak. Kasus seperti ini bukanlah yang pertama kali, melainkan merupakan kasus berulang yang sering terjadi. Dunia pendidikan yang kita anggap menjadi lingkungan yang aman bagi anak, justru mengungkapkan fakta yang sebaliknya. Sekolah saat ini tak menjamin membuat siswa menjadi nyaman dalam belajar. Seperti kasus-kasus seperti ini yang membuat siswa menjadi tertekan dalam menjalani kegiatan belajar mengajar (KBM). 

Jika kita telisik mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam dunia pendidikan, kita akan mendapati bahwa guru tak menempati posisi sebagaimana mestinya. Guru yang sering kita sebut-sebut sebagai "yang digugu dan ditiru" malah melakukan perbuatan yang buruk dan berdampak buruk pula bagi murid-murid yang diajarnya. Dengan didukung oleh sistem kapitalis yang diterapkan di negeri ini dan juga penerapan sekularisme atau sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, maka orang dapat dengan bebas melakukan perbuatan, bahkan meski melanggar aturan norma masyarakat dan agama. 

Di samping itu, kurangnya edukasi dan pengarahan melalui program oleh pemerintah kepada guru terkait moral dalam dunia pendidikan, membuat guru saat ini hanya mengutamakan aspek ilmu saja. Dengan adanya kurikulum merdeka juga sedikit demi sedikit dapat menyingkirkan peran guru dalam pembelajaran siswa. Aturan kebanyakan sekolah kurang memperhatikan terkait kemaslahatan bagi guru dan siswa. Interaksi yang tidak dibatasi sehingga menimbulkan perlakuan yang tidak bermoral dari oknum-oknum pelaku kejahatan. Ditambah gaji yang tidak memuaskan para guru, membuatnya bekerja tak sepenuh hati dalam mendidik murid-muridnya. Dengan kata kasarnya, mereka bekerja sebagai formalitas semata, tak ada gairah untuk membentuk generasi yang unggul. Inilah sebab dari diterapkannya sistem kapitalisme dalam kehidupan. Sistem ini hanya menambah berbagai permasalahan dalam kehidupan seperti kasus pelecehan oleh guru kepada murid yang banyak terjadi saat ini.


Sedangkan Islam sangat menjunjung tinggi pendidikan, bahkan mewajibkan bagi umatnya untuk menuntut ilmu sebagaimana hadist yang sering kita jumpai yaitu 

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.).


Orang yang berada di jalan menuntut ilmu syar'i, dijanjikan kebaikan oleh Allah yaitu dimudahkan jalannya menuju surga 

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ 

Artinya: "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim, no. 2699). 

Islam sangat memperhatikan mutu pendidikan bagi generasi. Islam juga memperhatikan standar seseorang yang pantas dijadikan guru. Islam akan memilih orang yang tak hanya berkompeten dalam bidang ilmu, tapi hal yang justru lebih dulu diperhatikan adalah akidah dan ketakwaan orang tersebut. Kesesuaiannya dengan syariat Islam, sehingga pola pikir dan pola sikapnya menampakkan pemahamannya yang  sesuai dengan syariat Islam (kepribadian Islam). Hal tersebut meminimalisasi kemungkinan kejahatan yang terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi disertai dengan kontrol masyarakat (lingkungan) yang menghidupkan amar makruf nahi mungkar, dan kuatnya negara dalam melakukan penjagaan melalui penerapan Islam kaffah. 

Negara di dalam Islam  mengatur pengelolaan pendidikan, mulai dari penentuan kurikulum dan tujuan pendidikan, pengadaan sarana-pra sarana pendidikan yang kondusif dan berkualitas, termasuk penyediaan para SDM guru yang memenuhi kompeten. Lingkungan sekolah terjaga dalam aspek pergaulannya, lingkungan pendidikan antara laki-laki dan perempuan terpisah, walaupun dibolehkan untuk interaksi belajar- mengajar antar laki-laki dan perempuan, sebagai siswa dan guru. Namun untuk menjaga, boleh jika  siswa perempuan muslimah akan diajarkan ilmu-ilmu oleh guru perempuan, sebaliknya begitu pun siswa laki-laki yang diajarkan oleh guru laki-laki.


Dalam pendidikan, Islam mengajarkan terkait adab guru terhadap murid dan juga murid kepada gurunya. Dengan akidah yang benar dan tertancap kuat dalam diri para guru serta siswa, maka umat muslim akan senantiasa memperhatikan setiap amal perbuatan yang dilakukannya atas dasar rasa takut kepada Allah, sehingga moral umat muslim akan terjaga. 

Dalam Islam, guru adalah seorang yang dihormati dan memiliki kedudukan mulia diantara umat. Karena Islam meyakini bahwa ilmu adalah harta yang sangat berharga. Dengan demikian, Islam pun akan sangat menghargai jasa seorang guru dalam dunia pendidikan. 

Gaji guru di dalam Islam tidak seperti gaji guru dalam sistem kapitalis yang berasaskan manfaat semata. Tercatat dalam sejarah, Umar bin Khattab menetapkan gaji bagi setiap pengajar sebanyak 15 Dinar setiap bulan. 1 koin dinar memiliki berat sekitar 4,25 gram emas atau 4 juta rupiah lebih yang jika dikalkulasikan maka 15 dinar kurang lebih setara dengan 60 juta. Dengan gaji yang luar biasa tersebut, guru akan mengupayakan sekuat tenaga jeri payahnya untuk membentuk generasi-generasi unggul yang dapat membangkitkan peradaban menuju kejayaan. 

Sebagai perbandingan, saat ini gaji guru di negeri kita berada pada kisaran 2 juta. Jika dinyatakan dalam dinar, gaji guru sekarang hanya berkisar 1 dinar saja. Ini sama saja menyatakan bahwa gaji guru sekarang hanya 1/15 dari gaji guru pada masa Khalifah Umar. 

Maka, tak ada solusi lain untuk mewujudkan  keamanan rakyat yang dijamin oleh negara, termasuk di dunia pendidikan, selain dengan penerapan kembali Islam dalam semua aspek kehidupan di bawah naungan kekhilafahan.


Wallahua'lam bisshawaab.



Oleh: Isnaeni Nur Azizah
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 16 Maret 2024

Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Buah Sekularisme



Tinta Media - Kasus kekerasan  seksual terus berulang di dunia pendidikan, sangat miris sekali apalagi di lakukan oleh tenaga pendidik (oknum guru) terhadap murid didiknya, meski berbagai upaya di buat untuk menekan kasus bahkan dibuatkan UU untuk kekerasan seksual pada perempuan tapi tidak menuntaskan persoalan cenderung meningkat, artinya regulasi yang ada tidak mampu mengatasi persoalan ini. 

Meskipun banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus ini tapi sekularismelah yang menjadi akar persoalannya. Kebebasan untuk berbuat sesuka hati telah menyeret kaum muslimin, serta kurang kontrolnya masyarakat, terlebih negara tidak melakukan tindakan yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual ini, akhirnya yang menjadi korban adalah kaum yang dianggap lemah yaitu anak-anak.

Sangat berbeda dengan Islam. Islam dengan sistem pergaulannya (ijtima'i) memiliki upaya preventif dan kuratif dalam mengatasi masalah seksual pada perempuan dan anak-anak. 

Oleh : Ummi Fadhli 
Sahabat Tinta Media

Kamis, 14 Maret 2024

Beasiswa Pendidikan dalam Kapitalisme, Solusi Tambal Sulam



Tinta Media - Untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, dibutuhkan keseriusan negara. Ini karena negara berkewajiban penuh untuk memenuhi hak rakyat dalam mendapatkan akses pendidikan dengan mudah. Pendidikan menjadi kebutuhan yang urgen karena untuk  membangun dan memajukan suatu negara atau daerah dibutuhkan SDM yang berkualitas.

Hal ini sejalan dengan program Pemkab Bandung, yaitu Besti (Beasiswa Ti Bupati) yang pendaftarannya dimulai tanggal 4-8 Maret 2024. Program ini ditujukan untuk para siswa dan mahasiswa berprestasi yang kurang mampu, penghafal Al-Qur'an dan guru ngaji yang belum mengenyam pendidikan sarjana. Tujuannya adalah untuk meningkatkan RLS (Rataan Lama Sekolah) dan sekaligus mewujudkan pemerataan pendidikan di Kabupaten Bandung.

Untuk mendapatkan beasiswa ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya adalah warga Kab. Bandung, sedang tidak menerima beasiswa lain, surat permohonan pemberian beasiswa kepada Bupati Bandung, lolos seleksi pemberian beasiswa pendidikan, memiliki nilai rata-rata delapan, menyertakan SKCK, nilai IPK terendah di angka 3.00 bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri dan 3.15 bagi mahasiswa perguruan tinggi swasta.

Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan adalah aset besar untuk mempercepat pembangunan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pemerintah harus mengupayakan agar aksesibilitas pendidikan ini bisa didapatkan dengan mudah oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Tapi sayangnya, dunia pendidikan di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Banyaknya permasalahan yang terjadi, seperti meningkatnya siswa putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya karena faktor ekonomi, maraknya kasus bullying dengan kekerasan yang kerap menimbulkan korban jiwa, perzinaan, tawuran antar pelajar, dan dekadensi moral yang menimpa kaum pelajar sangat memprihatinkan.

Persoalan-persoalan tersebut sebetulnya merupakan buah busuk dari penerapan sebuah sistem, yaitu sistem sekuler kapitalisme yang lahir dari pemikiran kafir barat, ketika aturan yang diterapkan memisahkan agama dari kehidupan. Pada hakikatnya hanya akan menimbulkan perdebatan, perselisihan, permasalahan karena hanya berorientasi pada keuntungan duniawi dan materi saja. Akhirnya negara yang harusnya menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan rakyatnya, malah menjadikan pendidikan sebagai barang dagangannya.

Negara lepas tangan dan memberikan peluang kepada pihak swasta yang mempunyai modal besar untuk membangun sekolah. Sistem ekonomi kapitalis yang diemban ini menjadikan penguasa materialistis, ditambah minimnya anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan, membuat pemerataan pendidikan mustahil terjadi.

Faktanya, saat ini banyak sekolah swasta yang fasilitas dan kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri. Rakyat pun terpaksa harus membayar mahal untuk mendapatkan sekolah yang berkualitas. Ini membuktikan bahwa penguasa hanya menjadi regulator atau fasilitator saja dan menyerahkan periayahan rakyat kepada pihak swasta. 

Sistem ini yang membuat negara tidak memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi rakyat, tetapi negara memandang pendidikan sebagai sebuah barang yang hanya bisa dicapai ketika ada uang. 

Negara membiarkan rakyat kalangan menengah ke bawah berjuang sendiri untuk mendapatkan pendidikan berkualitas di tengah ekonomi sulit saat ini. Padahal, jika melihat kekayaan SDA negeri ini, harusnya negara sangat mampu memberikan pendidikan gratis alias secara cuma-cuma dan berkualitas.

Namun, seperti yang kita ketahui bahwa saat ini SDA negeri ini sudah banyak yang dikuasai pihak asing, aseng, dan lokal yang mempunya modal besar. Keuntungan dan kesejahteraan yang didapat pun hanya dirasakan oleh segelintir orang yang berkuasa. Pada akhirnya, hal itu hanya menyisakan penderitaan bagi rakyat kalangan bawah.

Di sisi lain, terkait dengan bantuan dari pemerintah, yaitu pemberian beasiswa untuk siswa atau mahasiswa berprestasi yang kurang mampu yang bertujuan mewujudkan pemerataan pendidikan, apakah ini benar-benar solusi atau hanya cari sensasi?

Dalam program ini, seolah-olah penguasa menjadi penolong bagi rakyat yang kesulitan ekonomi, padahal memang kewajiban negara menjamin seluruh pendidikan generasi, baik fasilitas, pembiayaan, dan segala kebutuhannya. Negara tidak memilah dan memilih Antara kaya atau miskin, nilainya bagus atau tidak. Aksesibilitas pendidikan harus didapatkan tanpa dipersulit dengan segudang persyaratan.

Maka dari itu, program ini sebetulnya tidak relevan. Sampai kapan pun, jika sistem ekonomi kapitalis yang berlandaskan asas manfaat ini diterapkan, tidak akan pernah mewujudkan pemerataan pendidikan di negeri ini.

Berbeda halnya dengan sistem Islam (khilafah) yang memberikan jaminan sepenuhnya kepada seluruh  warga untuk menempuh pendidikan sekolah secara gratis dan berkualitas. Sistem Islam menjadikan pendidikan sebagai hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara tanpa persyaratan yang rumit seperti dalam sistem kapitalisme.

Akses pendidikan yang bisa didapatkan dengan cuma-cuma ini bukanlah perkara sulit bagi khilafah. Negara tidak hanya menjamin pemenuhan aspek pendidikan, tetapi juga kesehatan, keamanan, dan fasilitas publik lainnya yang menjadi kebutuhan vital rakyat. 

Rasulullah saw. bersabda,

"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya yang diurus." (HR.Bukhari).

Dalam Islam, negara wajib memastikan rakyatnya dapat mengakses pendidikan di mana pun berada, tanpa memandang latar belakang dan tanpa melihat berapa nilai akademik. Tentunya, negara membiayai segala sesuatunya agar KBM dapat berjalan dengan baik.

Persoalan pembiayaan tentu bukan perkara sulit bagi khilafah. Sumber harta baitul mal yang diperoleh dari fai', kharaj, dan harta kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Semua akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan rakyat di semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. 

Selain itu, negara tidak hanya bertanggung jawab secara teknis saja, tetapi juga bagaimana mencetak generasi terbaik (khairu ummah). Dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, walhasil generasi yang lahir adalah generasi yang tidak hanya cerdas dan tangguh, tetapi juga memiliki akhlak mulia.

Sudah saatnya kaum muslimin meninggalkan sistem kapitalisme dan berjuang menegakkan sistem Islam karena Islam adalah rahmatan lil'alamin. Wallahualam.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Minggu, 10 Maret 2024

Beasiswa Bukan Solusi Pemerataan Pendidikan


Tinta Media - Program Beasiswa (dari) Bupati dibuka oleh pemerintah  Kabupaten Bandung bagi penghafal Al-Quran dan siswa berprestasi yang ada di Kabupaten Bandung dalam rangka mencapai target meningkatnya rata-rata lama sekolah (RLS) menjadi 10 tahun pada 2024 ini. (MELANSIR.COM) 

Untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang edukatif, Pemkab Bandung menyediakan layanan yang merata dan berkualitas sebagai bentuk implementasi dari misi pemkab tersebut.

Program ini juga diberikan kepada guru ngaji yang belum mengenyam pendidikan sarjana. Pemkab menyediakan 30 tempat dari 130 kuota yang diberikan untuk guru ngaji. 

Lilis Suryani, selaku Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah mengatakan bahwa program ini hanya ditujukan kepada calon mahasiswa yang memiliki prestasi akademik atau nonakademik, termasuk dalam golongan keluarga yang tidak mampu (KETM). Para pelamar bisa mendaftar melalui online pada awal Maret dan akan diseleksi administrasinya, kemudian tes tulis akan digelar pada 19-20 Maret bagi calon penerima. Setelah itu, akan digelar tes tulis bagi calon penerima pada 19 - 20 Maret.

Pendidikan merupakan kebutuhan setiap generasi muda karena pemuda adalah agen perubahan bagi sebuah negara. Generasi yang berkualitas akan bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Namun sayang, biaya pendidikan hari ini tampaknya masih menjadi kendala bagi pemuda untuk bisa mendapatkan pendidikan yang bagus dan berkualitas. 

Biangnya adalah Penerapan Sistem Kapitalisme

Sistem kapitalisme sungguh telah mempersempit dan menyusahkan rakyat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya murah. Boro-boro untuk biaya kuliah ke perguruan tinggi, sekadar sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) saja sudah begitu mahal. 

Selain itu, tidak semua orang tua mempunyai pekerjaan tetap sehingga bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Faktor kemiskinan adalah penyebab tersendatnya anak atau siswa berprestasi bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Sulitnya kondisi perekonomian hari ini adalah buah dari penerapan sistem yang tidak sesuai fitrah manusia, yaitu sistem kapitalisme sekuler. Oleh karena itu, sangat mustahil layanan pendidikan dalam kapitalisme yang berlandaskan manfaat dan keuntungan akan menguntungkan rakyat, terkhusus masyarakat ekonomi rendah. Ini karena dalam kapitalisme semua biaya pendidikan dan sarana prasarana ibarat jual beli dengan rakyat atau masyarakat dengan landasan untung rugi. 

Oleh karena itu, hanya orang-orang yang berduit saja yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas bagus. Padahal, setiap orang tua pasti menginginkan anaknya mengenyam pendidikan dengan kualitas dan prasarana yang baik. 

Adanya program beasiswa yang digagas oleh pemerintah Kabupaten Bandung khususnya memang terlihat bagus. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hal itu bukan solusi yang tepat. Adanya beasiswa hanya sebuah solusi pragmatis, belum mampu mengatasi masalah pemerataan pendidikan. Bahkan, bisa menimbulkan masalah baru yang sering terjadi ketika ada program bantuan seperti beasiswa atau program lainnya seperti KIP.  

Lemahnya hukum serta keimanan dalam kapitalisme menyebabkan maraknya tindakan sewenang-wenang dan tindak korupsi yang sudah menjamur hingga saat ini.

Kembali ke Islam.

Islam adalah sistem yang mampu mengentaskan kemiskinan yang mustahil dilakukan oleh sistem kapitalisme.
Ekonomi dalam Islam sangat stabil. Semua kepala keluarga tidak akan bingung mencari pekerjaan sehingga sangat mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. 

Islam dengan sistem ekonominya akan menjamin pemerataan pendidikan dan pembangunan yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat. Maksudnya adalah rakyat akan dijamin pendidikannya dengan biaya murah, bahkan gratis. Dengan demikian, para orang tua tidak akan pusing memikirkan biaya pendidikan untuk anak-anaknya. 

Pendidikan dalam sistem Islam sangat penting, karena seseorang tanpa ilmu akan mudah terperosok dan terjerumus dalam kesesatan. Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam sehingga mampu berperan sebagai agen perubahan menuju kehidupan Islam. 

Semua dana berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang sangat banyak sehingga cukup untuk menyejahterakan rakyat. Dengan demikian, ekonomi sangat stabil, kemiskinan akan lenyap, biaya pendidikan murah, bahkan gratis. 

Begitulah ketika negara mengelola sumber daya alam sesuai dengan syariat Islam, bukan diserahkan kepada asing. Dengan begitu, hasilnya akan mampu menghidupi dunia pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya secara mudah dan gratis. Semua rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, miskin maupun kaya. Hanya dengan khilafah seluruh aturan Islam bisa diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. 
Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Ilusi PIP dalam Menangani Masalah Pendidikan, Islam Satu-Satunya Solusi



Tinta Media - Program Indonesia Pintar (PIP) yang diluncurkan pada 3 November 2014  menjadi angin segar bagi masyarakat yang ingin menempuh pendidikan di tengah mahalnya biaya pendidikan saat ini. Namun sayang, tidak semua pelajar menerima bantuan itu. Sehingga keberadaan PIP dianggap tidak memberikan solusi bagi dunia pendidikan. Justru memunculkan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan juga menimbulkan kecemburuan antar pihak. Oleh karena itu, penguasa harus lebih teliti dalam memberikan solusi bagi dunia pendidikan.

Bentuk Penanganan PIP dalam Masalah Pendidikan

Menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim melaporkan bahwa PIP hingga 23 November 2023 telah mencapai 100 persen target. Sebanyak 18.109.119 penerima dengan anggaran 9,7 triliun setiap tahunnya. Adapun penyaluran PIP untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan sasaran bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula 1.000.000 menjadi 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK. (REPUPBLIKA.com)

Nadiem juga menuturkan bahwa untuk penyaluran bantuan PIP semakin terjamin dalam hal ketepatan sasaran, waktu, jumlah, dan pemanfaatannya. Ia melibatkan penyaluran bantuan PIP melalui pusat layanan pembiayaan pendidikan (puslapdik), semangat merdeka belajar, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Hal itu ia sampaikan pada saat mendampingi Presiden Joko Widodo pada acara penyerahan bantuan PIP di Magelang (22/1/2024).

Presiden juga menuturkan bahwa PIP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Oleh karena itu pelajar harus pandai dalam mengatur dana bantuan PIP. Terkait ketetapan sasaran PIP, Kepala puslapdik kemendikbudristek, Abdul Kahar mengatakan, sasaran penerima PIP bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah terverifikasi oleh kementerian sosial (kemensos), selanjutnya dipadankan dengan data pokok pendidikan (dapodik) untuk mengecek keberadaan pelajar tersebut di sekolah.

Penguasa Tidak Serius dalam Menangani Masalah Pendidikan

Selama 10 tahun berdirinya ternyata PIP tidak dapat menuntaskan persoalan angka putus sekolah meskipun telah mencapai 100 persen target penerima. Belum ada survei yang secara langsung menunjukkan kehadiran PIP dapat mencegah anak-anak keluarga miskin dan rentan miskin dari putus sekolah. Artinya masih ada kesalahan dalam solusi pengaturan pendidikan saat ini.

Pemerintah seharusnya tidak melihat dari satu sisi saja dalam menangani masalah pendidikan karena banyak sebab terjadinya angka putus sekolah. Seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak hanya biaya SPP, biaya barang keperluan pembelajaran siswa pun tidak bisa dicukupi dengan dana yang diterima di PIP setahun sekali karena kebutuhan akan keperluan pendidikan serba mahal. Belum lagi ongkos kendaraan, biaya internet untuk tugas, seragam sekolah, dan alat pembelajaran lainnya.

Semua itu adalah kebutuhan pendidikan yang tidak bisa diabaikan, salah satunya di era teknologi saat ini. Di sisi lain kehidupan siswa yang miskin menyebabkan mereka harus merelakan pendidikan demi membantu orang tua untuk mencari nafkah. Hal itu bukan karena keinginan tetapi karena dorongan biaya hidup yang serba mahal. Sehingga rasa keterpaksaan menuntut para siswa memilih putus sekolah bahkan tidak bersekolah dan lebih memilih mencari uang. Apalagi banyak pendidikan saat ini yang belum tentu langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai output pendidikannya.

Melihat kondisi yang seperti ini menunjukkan bahwa keberadaan PIP sebagai solusi gagal meskipun pembagiannya telah tepat sasaran. Karena pada realitasnya yang mendapatkan PIP harus memenuhi syarat-syarat yang rumit. Padahal seharusnya sebagai penguasa berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat itu dengan mudah tanpa mempersulit. Dan mengenai penggunaan PIP hanya untuk pendidikan saja itu tidak adil. Karena penguasa hanya berfokus pada satu persoalan saja dan mengabaikan permasalahan yang lain.

Seperti dalam persyaratan penerima PIP hanya diperuntukkan bagi yang bersekolah tanpa melihat permasalahan penyebab anak yang memilih untuk tidak bersekolah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap penguasa yang seperti ini zalim dalam mengurus rakyatnya. Karena mengurus setengah hati tanpa memastikan secara pasti terhadap kondisi rakyatnya. Begitulah bentuk pengaturan penguasa dalam sistem kapitalisme, mengurus masyarakatnya dengan penuh perhitungan materi. 

Manipulasi Kapitalisme dalam Menghambat Kebangkitan Pemikiran Umat

Ideologi kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) meniscayakan materi sebagai tujuan hidup. Ideologi ini sudah merasuki pemikiran kaum muslimin di negeri-negeri mereka. Sehingga kekacauan dari berbagai lini kehidupan terpampang nyata. Meskipun telah jelas fakta kerusakan kapitalisme menyakiti kehidupan umat saat ini, namun mereka larut dalam keadaan dan memilih membiasakan diri untuk menjalani kehidupan di bawah kerusakan ini.

Kondisi umat yang sudah terbelenggu oleh pemikiran kapitalisme semakin menguatkan cengkeraman kapitalisme untuk menghalangi kebangkitan generasi mulia. Sehingga tidak mengherankan mengapa solusi kehidupan yang ditawarkan oleh penguasa tidak menyelesaikan masalah. Karena penguasa menduduki jabatannya untuk meraih materi semata. Alhasil ketika ia ingin memutuskan segala sesuatu harus memikirkan untung rugi materi atau posisi jabatan yang didapat.

Dari situ lahirlah penguasa yang cenderung mengurusi masalah rakyat setengah-setengah. Karena mereka harus memikirkan asas manfaat yang didapat jika mengeluarkan kebijakan, selain dari untuk mendapatkan perhatian rakyat bahwa seolah-olah mereka sudah menjalani perannya. Di sisi lain, dengan solusi seperti ini menghambat umat dari kebangkitan karena mereka gagal dalam memahami peran penguasa yang sesungguhnya. Akibatnya banyak kaum muslimin yang terkecoh dengan bantuan-bantuan dan penyediaan infrastruktur tanpa memahami lebih mendalam fakta kerusakan yang lain.

Semua itu berhasil dimanipulasi oleh kapitalisme untuk tetap eksis walaupun menghasilkan kerusakan. Jadi, melihat PIP sebagai bentuk pelayanan penguasa tidak cukup. Perlu ada pemikiran yang mendalam pada umat mengenai fakta dan solusi yang ditawarkan apakah tepat atau justru hanya solusi sementara. Kalau itu adalah solusi sementara, umat harus lebih meningkatkan lagi proses berpikirnya yaitu dengan pemikiran yang cemerlang yang menghasilkan solusi yang tidak hanya baik tapi benar sesuai akidah Islam.

Islam Solusi Hakiki

Solusi yang benar hanya ada pada akidah Islam. Allah SWT telah berfirman dalam Qur’an surah Al-Imran ayat 19:

 اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Adanya ayat-ayat sebagai hukum menjadikan Islam agama yang sempurna. Karena bukan hanya pengatur ibadah mahdoh saja melainkan pengaturan asas kehidupan yang lain juga yang telah secara lengkap disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw. Terpenuhinya pendidikan di dalam Islam adalah kewajiban penguasa. Begitu pun bagi umat wajib baginya untuk menuntut ilmu. Dengan demikian ketersediaan segala kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dan disediakan oleh Khalifah selaku penguasa di dalam negara khilafah.

Keberadaan program PIP tidak perlu, karena di dalam negara khilafah penguasa berperan sebagai pelayan umat. Oleh karena itu ia wajib melaksanakan segala apa pun untuk melayani umat sesuai ketentuan syariat. Pelayanan Khalifah bukan dari segi pendidikan saja, melainkan juga politik, ekonomi, sosial, dan segala yang membawa kemaslahatan pada umat dengan persyaratan yang sederhana, cepat, profesional, dan sempurna. Semua pelayanan ini harus dipastikan terpenuhi oleh seluruh individu masyarakat.

Begitulah Islam mengatur kemaslahatan umat. Tidak hanya umat yang dibentuk dengan ketakwaan, tetapi pemimpin lebih lagi dibangun kepribadian takwa dalam dirinya. Pengaturan Islam yang demikian sempurna seharusnya menjadi sistem yang mengatur kehidupan kita. Oleh karena itu kita harus menumbuhkan pemahaman Islam di tengah umat dengan mengemban dakwah Islam kaffah dan berjuang menerapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah.

wallahu a'lam.

Oleh : Novi Anggriani, S.Pd.
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 25 Februari 2024

Pendidikan Berkualitas dengan PIP, Mungkinkah?



Tinta Media - Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim melaporkan hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% target, yaitu sudah disalurkan kepada 18.109.119 penerima bantuan dengan menelan anggaran sebesar Rp9,7 triliun setiap tahunnya. Nadiem menyatakan bahwa dengan semangat Merdeka Belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong royong dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. (news.republika.co.id, 26/01/ 2024)

Tahun 2024 ini, pemerintah memberikan bantuan PIP untuk pelajar SD senilai Rp450.000 per tahun, SMP Rp750.000 per tahun, dan pelajar SMA dan SMK sebesar Rp1.800.000 per tahun. Presiden Joko Widodo berkeinginan agar bantuan ini dapat meningkatkan semangat belajar para pelajar dan mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Presiden juga memastikan bahwa bantuan PIP bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Ia pun menyarankan para pelajar agar bijaksana dalam mengelola dana bantuan PIP yang telah diterima.

Memang, sudah keharusan bagi negara memberikan bantuan dana pendidikan 100% pada rakyat. Sayangnya, yang dimaksud 100% adalah dari sisi penyaluran dana yang dialokasikan. Itu pun secara bertahap, bahkan belum mencakup 100% jumlah anak didik yang ada. Akses pendidikan belum merata, baik dari kualitas, kuantitas, maupun sarana prasarana.

Di daerah-daerah pelosok, sarana dan prasarananya kurang memadai, mulai dari tempat belajar yang sulit dijangkau, gedung yang rusak, bocor, dan tidak nyaman, bahan ajar yang seadanya, dan masih banyak masalah lain yang membuat proses belajar mengajar menjadi tidak efektif dan efisien.

Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak PR. Hal ini disebabkan karena kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, tetapi juga kurikulum dan SDM pendidik yang terbaik. Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan di negeri ini disusun berdasarkan paradigma sekularisme. 

Sekularisme adalah pemisahan antara agama dan kehidupan. Alhasil, peserta didik dibina dan dipaksa untuk meyakini nilai-nilai kebebasan atau liberalisme dan orientasi pada materi atau kapitalisme sebagai landasan dalam berbuat. Akibatnya, para pelajar memiliki pandangan hidup bahwa kesenangan materi adalah sumber kebahagiaan. Agama dijauhkan sejauh-jauhnya dari peserta didik. Alhasil, output pelajar kini mengalami kemunduran yang luar biasa. Kehidupan generasi hari ini dihiasi oleh pergaulan bebas, narkoba, tawuran, miras, hingga kriminalitas. 

Nyatalah, potret kemunduran pelajar disebabkan oleh kurikulum pendidikan. Gagalnya sistem pendidikan dipengaruhi oleh kurikulum yang berlandaskan pada sistem kapitalisme. Sistem ini merupakan akar persoalan buruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Kapitalisme meniscayakan komersialisasi pendidikan. Alhasil, hanya orang yang memiliki uang yang bisa mengakses pendidikan. 

Masyarakat yang tidak memiliki uang tidak bisa mengakses pendidikan. Maka, pemerintah pun seolah-olah berperan untuk membiayai pendidikan melalui bantuan-bantuan yang digelontorkan seperti PIP yang nominalnya masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sekolah.

Padahal, kebutuhan pendidikan atas seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara secara mutlak. Negara dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelaksana atau operator yang seharusnya hadir memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan asasi seluruh rakyat, termasuk pendidikan.

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Islam menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dalam semua aspek, baik fisik, SDM, kurikulum, maupun hal terkait lainnya. Islam memberikan pendidikan secara gratis oleh semua rakyat. Sebab, sistem pendidikan Islam yang berjalan dalam sebuah negara memiliki beberapa ketentuan yang digali dari nash-nash syariat, di antaranya:

Pertama, orientasi pendidikan dalam Islam dibangun atas paradigma Islam dengan tujuan membentuk kepribadian Islam dengan tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan, yaitu iptek dan keterampilan berdasarkan tujuan tersebut. Maka kurikulum pendidikan Islam harus berbasis akidah Islam. 

Kurikulum berbasis akidah Islam memastikan tidak ada pemisahan antara agama dan kehidupan. Peserta didik akan memiliki pemahaman bahwa tujuan hidup hakiki seorang hamba adalah meraih rida Allah, dan melandaskan perbuatan hanya pada syariat Islam. Sehingga, peserta didik akan menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, disibukkan pada amal saleh, memiliki iman yang kuat, berjiwa pemimpin dan terampil menguasai teknologi. 

Kedua, fasilitas pendidikan dalam khilafah harus memadai untuk semua jenjang pendidikan agar semua peserta didik dapat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Tentu semua ini menjadi tanggung jawab negara. 

Negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti rumah sekolah, laboratorium, perpustakaan, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung kegiatan belajar mengajar, dan sebagainya. Seluruh pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab negara, bukan peserta didik. 

Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis yang dikomersialisasikan. Pembiayaan pendidikan dalam khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Pembiayaan tersebut bersifat mutlak. Artinya, jika pembiayaan dari dua pos tersebut tidak mencukupi, maka negara akan melakukan mekanisme berikutnya yang dibolehkan oleh syariat dan bersifat temporer.

Ketiga, khilafah akan menyediakan tenaga pengajar profesional dan memberikan gaji yang layak bagi mereka. Inilah sistem pendidikan Islam yang bisa diakses secara gratis oleh siapa pun, baik kaya atau miskin, muslim atau nonmuslim dengan sarana dan prasarana terbaik. Dengan demikian, hanya sistem khilafah Islamiyah yang mampu mewujudkan sistem pendidikan seperti ini.


Oleh: Amellia Putri 
(Aktivis Muslimah)

Sabtu, 24 Februari 2024

Potret Buram Negeri Ini, Pendidikan Gagal Wujudkan Generasi Terpuji



Tinta Media - Sangat miris sekali, baru-baru ini kita dihebohkan dengan kabar pembunuhan yang dilakukan seorang siswa SMK terhadap 1 keluarga yang beranggotakan 5 orang di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Bagaimana bisa seorang pelajar usia sekolah berbuat hal yang sangat di luar batas, bukan hanya membunuh, pelaku juga memperkosa ibu dan anak yang menjadi korban pembunuhan nya sendiri. 

Dalam laman Kompas.com (08/02/2020).  Pelaku yang merupakan pelajar SMK ini masih berumur 17 tahun, sebelum melakukan pembunuhan dikabarkan dia sedang minum minuman keras bersama teman-temannya. Setelah pulang ternyata dia mengambil parang sepanjang 60 centimeter lalu pergi ke rumah korban yang merupakan tetangganya sendiri. Saat ayah korban baru pulang, pelaku mematikan lampu dan melakukan aksinya, istri dan anak-anak korban yang terbangun pun ikut menjadi korban pembunuhan yang dilakukannya. 

Setelah melakukan pembunuhan, pelaku juga memperkosa ibu dan anak tertua korban yang sudah meninggal, pelaku juga sempat berpura-pura menjadi saksi sebelum akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Motif pembunuhan ini lantaran sakit hati hubungannya dengan anak korban tidak direstui, serta masalah pinjaman barang yang tidak kunjung dikembalikan. 

Sistem Sekuler Kapitalis Menghasilkan Individu Sadis 

Jika ditelisik penyebab pembunuhan hanya karena hal sepele, dan pelaku merupakan remaja yang masih duduk di bangku sekolah, bagaimana mungkin anak usia belasan tahun ini tega melakukan pembunuhan dan pelecehan satu keluarga yang masih bertetangga dengan rumahnya, darimana dia belajar sehingga mampu melakukan hal yang sangat tidak manusiawi. Apakah sudah hilang nurani? 

Pemisahan agama dari kehidupan dalam sistem sekuler menjadikan anak-anak generasi muda krisis identitas, tak adanya standar keimanan mengakibatkan mereka berbuat sesukanya, tanpa peduli pada dosa sebab yang mereka kejar hanya kehidupan dunia, obsesi mendapatkan apa saja dengan cara mudah tentu membuat mereka menerjang batas halal haram, karena yang penting keinginan bisa mereka dapatkan. 

Adanya sistem kapitalis juga menimbulkan semua orang berlomba-lomba menjadi yang teratas, meraih keuntungan dan kekuasaan dengan cara menginjak siapa pun yang menjadi hambatan. Hal ini juga terjadi dalam generasi muda, mereka berpikir uang adalah segalanya, jadi bekerja demi mengumpulkan kekayaan, bahkan rela melakukan pekerjaan haram sebab dapat memberikan banyak keuntungan dalam waktu singkat. 

Islam Menghasilkan Generasi Mulia dan Santun 

Dalam sistem pendidikan Islam memberlakukan adab sebelum ilmu, para ulama terdahulu mempelajari adab selama bertahun-tahun, setelah itu barulah mereka mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, Al Qur'an juga ditanamkan pada anak sejak dini, mereka diperkenalkan dan menghafalkan isi Al Qur'an. Itu sebabnya dalam Islam orang berilmu akan sangat disegani, sebab bukan hanya pintar tapi sangat baik akhlaknya. 

Dalam negara Islam, sistem pendidikan memakai hukum syara' sebagai landasan kurikulum pendidikan, memberikan aturan pada anak sesuai dengan syariat Islam, dan juga mendidik anak agar menjadi pribadi yang mau berusaha bersungguh-sungguh jika ingin mendapatkan sesuatu, sebab proses yang tidak instan inilah tercetak generasi yang gemilang dan berbudi luhur. 

Peran guru yang sangat besar dalam mendidik anak juga dihargai dengan pantas, ujroh (gaji) yang diberikan sangat besar, sehingga tak ada guru yang hanya asal mengajar, melainkan benar-benar ingin menghasilkan anak didik yang terbaik. Biaya pendidikan ditanggung oleh negara, jadi tidak ada alasan anak putus sekolah akibat tak punya biaya. 

Terlepas dari peran sekolah dan guru, peran orang tua dan masyarakat juga sangat berpengaruh besar terhadap anak, maka ibu sebagai madrasah pertama bagi anak bisa memaksimalkan perannya di rumah, sebab kebutuhan pokok masyarakat diberikan oleh negara, negara juga menyediakan lapangan pekerjaan terutama bagi kepala keluarga, menciptakan fondasi keluarga yang utuh dan kokoh akan membuat anak tidak mudah goyah ketika menghadapi godaan di luar rumah. Negara juga akan menciptakan lingkungan masyarakat yang Islami, agar anak semakin terjaga. 

Negara bisa memfilter tontonan, baik di media televisi ataupun gadget, agar tidak ada anak yang terpapar hal negatif ketika memakai gadget, serta memberikan batasan umur untuk ada yang boleh memiliki gawai sendiri. Ketika keluarga, masyarakat,  dan sekolah bekerjasama, maka ruang untuk terjadinya penyimpangan pada anak semakin sempit. 

Khatimah 

Saat ini di sekolah atau pun pada masyarakat sudah  banyak tersusupi virus negatif akibat tidak adanya filter dari tontonan yang dapat ditiru oleh anak. Banyaknya pornoaksi sebab masyarakat dibebaskan melakukan apa saja juga sangat berpengaruh dalam merusak pikiran dan akhlak pada anak. Jauhnya agama membuat mereka tsk memiliki benteng pertahanan dari hal buruk yang bisa menimpa atau mereka lakukan. 

Berbeda dengan sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Islam sangat mengutamakan pendidikan terutama akhlak dan akidah pada anak, Islam menjaga batasan antara laki-laki dan perempuan, Islam juga memberikan sanksi tegas yang memiliki efek jera dan tindakan pencegahan agar tidak ada lagi kejadian yang sama. Islam memaksimalkan peran orang tua dalam mendidik anak, juga memberikan pelayanan terbaik dalam pendidikan. 

Sebagai aturan yang berasal langsung dari Allah SWT sang pencipta manusia, tentunya syariat Islam sangat cocok sekali untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Sebab ketika syariat dilaksanakan maka akan datang rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu A'lam Bisshowab.


Oleh: Audina Putri 
(Aktivis Muslimah Pekanbaru) 

Senin, 19 Februari 2024

Masihkah Negara Menjamin Pendidikan bagi Setiap Warganya?


Tinta Media - Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dan ditegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang memajukan kecerdasan, akhlak, dan kesehatan jasmani, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 

Apakah itu masih berlaku hingga saat ini? 

Saat ini biaya pendidikan menjadi sangat tinggi, terutama di perguruan tinggi, menjadi hambatan besar bagi keluarga dengan pendapatan rendah atau menengah untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka. 

Biaya pendidikan yang tinggi di perguruan tinggi merupakan masalah serius yang menghambat akses pendidikan berkualitas bagi banyak keluarga, terutama kalangan menengah kebawah. Dalam realitas ekonomi saat ini, biaya pendidikan di perguruan tinggi sering kali terasa seperti beban finansial yang sangat berat bagi banyak orang tua. Dengan biaya kuliah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, keluarga-keluarga ini sering kali merasa terjebak dalam situasi di mana mereka harus memilih antara memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka atau memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti makanan, perumahan, dan kesehatan. 

Dampak dari biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi terasa tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Ketika anak-anak mereka dihadapkan pada tantangan biaya pendidikan yang tinggi, ini menciptakan kesenjangan akses yang lebih besar dalam kesempatan pendidikan. Siswa-siswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu mungkin merasa terhalang dalam mengejar impian mereka untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi dan mencapai keberhasilan dalam karier mereka. 

Islam mendorong pendidikan yang inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, etnis, atau status sosial, memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Rasulullah juga menekankan pentingnya menghormati guru dan memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang. 

Padahal Islam mendorong pendidikan yang inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, etnis, atau status sosial, memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Rasulullah juga menekankan pentingnya memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak boleh menunda-nunda untuk memberikan ijazah atau pendidikan kepada budak-budak mereka yang berkelayakan untuk memperolehnya. Jika salah seorang dari kalian menemukan satu kesulitan dalam memberikan pendidikan kepada mereka, maka ia bisa mempekerjakan budak tersebut dan memberikan uangnya kepada mereka sebagai imbalan untuk pendidikannya." (HR. Ahmad) 

Dalam sistem pemerintahan Islam atau sering disebut dengan Khilafah, menjamin pendidikan terbaik secara gratis untuk semua kalangan masyarakat. Dengan sistem ini, setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka, akan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Ini akan membuka pintu kesempatan bagi setiap anak untuk mengejar impian mereka tanpa harus terbebani oleh biaya pendidikan yang tinggi. 

Dengan demikian, penekanan pada pendidikan inklusif dan jaminan akses pendidikan yang adil untuk semua menjadi kunci dalam memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih potensi penuh mereka dalam kehidupan. 

Di samping itu Khilafah juga memberikan penghargaan yang layak bagi guru-guru dan siapa pun yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Khilafah juga menjamin pemerataan pendidikan di semua daerah termasuk sarana dan prasarananya. 

Oleh: Tio Kusuma
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 03 Februari 2024

Pinjol untuk Pendidikan, Solutifkah?



Tinta Media - Aksi protes sejumlah mahasiswa terjadi di depan Gedung Rektorat Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jalan Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (29/1/2024). Aksi ini terkait kebijakan kampus dalam skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) yang masih memiliki tunggakan dengan cara mencicil via aplikasi pinjaman online (Pinjol). (kompas.com, 29/01/2024). 

Akhir-akhir ini pinjol (pinjaman online) menjamur di Indonesia, memiliki daya tarik karena berbagai kemudahan yang ditawarkan. Di antaranya, bisa diakses dengan cepat dan mudah melalui hp, pinjaman tanpa agunan, syarat administrasi yang tidak ribet dan lain sebagainya. Perusahaan uang (Fintech) sebagai pemodal yang meminjamkan uang melihat banyak peluang, tidak hanya pada sektor konsumtif, tetapi juga merambah sektor pendidikan. 

Ketika pinjol dianggap solusi dalam masalah keuangan apa pun, termasuk pembiayaan pendidikan, hal itu merupakan buah dari sistem hidup sekuler kapitalisme. Sistem pinjol ini syarat dengan transaksi ribawi yang dalam pandangan Islam termasuk sesuatu yang haram. 

Masyarakat yang dipengaruhi pemikiran dan gaya hidup sekuler kapitalisme, cenderung berpikir pragmatis tanpa melihat halal haram dan melihat segala sesuatu hanya dalam pandangan kesenangan materi. 

Mereka berpikir, ketika ada masalah keuangan, kemudian ada perusahaan keuangan (Fintech) yang menawarkan pinjaman berbasis riba, maka itu dianggap solusi karena mendatangkan manfaat finansial. Padahal, sejatinya tidak menyelesaikan masalah sampai ke akar, bahkan bisa menambah masalah baru. 

Hal itu bisa kita ketahui dari pemberitaan di berbagai media atau sekitar kita. Tidak sedikit korban pinjol yang berakhir dengan bunuh diri yang tragis akibat tidak sanggup membayar bunga yang senantiasa bertambah setiap waktunya. 

Dosa Riba 

Riba merupakan dosa besar yang diharamkan di dalam Islam. Hal ini didasarkan pada Al-Qur'an surat Al-Baqarah Ayat 275, yang artinya: 

"Orang-orang yang memakan riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang telah kerasukan setan karena gila. Demikian itu karena mereka menganggap jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan diharamkannya riba. Barang siapa telah mendapat peringatan dari Tuhannya, kemudian dia berhenti, maka apa yang telah diperoleh sebelumnya menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi itu, maka mereka sebagai penghuni neraka yang kekal di dalamnya." 


Seringan-ringannya dosa riba, seperti menzinai  ibu kandungnya sendiri, seperti sabda Rasulullah saw. 

“Riba itu ada 73 pintu (dosa), yang paling ringan seperti dosa menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah jika seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Hadis ini sahih dilihat dari jalur lainnya dalam syu’abul menurut Syaikh Al Albani). 

Pendidikan Tanggung Jawab Negara 

Kehidupan sekuler kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai regulator. Tanggung jawab pengurusan rakyat, termasuk pendidikan diserahkan pada pengusaha swasta atau oligarki. Akhirnya, semua dikuasai oligarki yang semata-mata untuk mendapatkan keuntungan materi. 

Akibatnya, subsidi berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan mulai dikurangi, sehingga beban biaya pendidikan ditanggung oleh orang per orang. Walaupun sudah ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan program pendidikan dasar gratis, nyatanya di lapangan banyak terjadi penyelewengan dan salah sasaran. Kebutuhan lain terkait pendidikan pun mutlak memerlukan biaya, seperti seragam, alat tulis, dan sebagainya. Apalagi, Perguruan Tinggi yang sudah berstatus BHMN, biaya pendidikannya tidaklah gratis. 

Padahal, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasiah atau mendasar yang bersifat kolektif. Kewajiban menuntut ilmu ada pada tiap individu rakyat, sehingga Islam menjadikan negara bertanggung jawab menjamin setiap rakyat untuk bisa menjalankan kewajibannya dengan mendapatkan pendidikan secara mudah, bahkan gratis. 

Tercatat dalam sejarah bahwa peradaban Islam mampu membangkitkan berbagai aspek kehidupan rakyat, di antaranya dalam pendidikan. Pembiayaan untuk membangun berbagai sekolah dan sarana prasarana pendidikan yang memadai dan berkualitas diambil dari Baitul mal. 

Masyarakat Islam akan berlomba-lomba menginfakkan hartanya untuk memajukan pendidikan. Ketika pun terjadi aktivitas saling pinjam meminjam harta antara masyarakat Islam, semuanya lepas dari riba, karena suasana keimanan setiap rakyat dikondisikan untuk senantiasa menjadikan kehidupan berstandarkan halal dan haram. 

Begitu pun dengan out put pendidikan yang dihasilkan dalam sistem Islam, mereka memiliki kepribadian Islam yang tidak hanya menguasai IPTEK, tetapi juga bertakwa.


Oleh: Evi, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan) 

Senin, 22 Januari 2024

Digitalisasi Pendidikan Meniadakan Peran Guru




Tinta Media - Di era digitalisasi ini, kemajuan sains dan pengetahuan sangat pesat. Perkembangan teknologi dan inovasi yang luar biasa telah dicapai oleh negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Perkembangan teknologi yang begitu pesat memudahkan manusia dalam melakukan pekerjaan. Bahkan, dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, hampir semua sektor digitalisasi. Contohnya di bidang kesehatan dan pendidikan. 

Pendidikan di era digital ini, harus mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam seluruh mata pelajaran, sehingga memungkinkan bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan yang melimpah ruah, serta cepat dan mudah. 

Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPRD RI Hetifah Sjaifudin, beliau mendukung digitalisasi sekolah demi menyambut generasi emas yang akan terjadi pada tahun 2045, untuk mengakselerasi implementasi agenda pendidikan nasional. 

Beliau menilai bahwa perlu untuk melibatkan kecerdasan artifisial dalam sistem pendidikan nasional yang modern. Untuk menciptakan efektivitas kerja stake holder pendidikan, kecerdasan artifisial perlu dimanfaatkan. Beliau juga mengingatkan untuk mempersiapkan perangkat pendukung yang mumpuni kepada segenap elemen pemerintah. Beliau mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah strategis, dengan menyediakan akses gratis, pengembangan platform pembelajaran daring, dan pemantapan konektivitas digital. 

Menurut politisi Fraksi Partai Golkar itu,  kecerdasan artifisial berpotensi membawa sejumlah manfaat, karena kebijakan ini didukung oleh teknologi berbasis digital. Manfaat kecerdasan artifisial ini mulai dari penghematan biaya operasional, peningkatan layanan dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Beliau juga menekankan bahwa upaya tersebut harus diselaraskan dengan pengawasan dan penegakan hukum yang adil. Perlu diketahui bahwa untuk membantu mempercepat proses analisa data terkait administrasi pendidikan diperlukan machine learning dan deep learning karena dukungan kecerdasan artifisial.

Di era peradaban kapitalisme ini, adanya digitalisasi dalam dunia pendidikan tentunya pendidikan akan semakin dikomersialkan. Otomatis, biayanya pun akan mahal, dan tentu saja tidak akan terjangkau oleh masyarakat kecil. 

Digitalisasi dalam pendidikan tentunya akan menjadi lahan profit bagi swasta. Ini karena pemerintah akan menggandeng swasta dalam, meskipun dengan digitalisasi dalam pendidikan akan memotivasi anak bangsa yang memiliki potensi inovasi.  

Memang tidak ada yang salah karena akan membawa kepada kemajuan. Akan tetapi, di sisi lain akan menimbulkan efek negatif bagi pendidikan karena adanya pengabaian program guru dan meminimalkan peran guru. 

Seharusnya, pemerintah menjamin pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh warga negara. Ini adalah kewajiban negara untuk meriayah atau mengurusi rakyat sepenuhnya. Negara tidak boleh berlepas tangan sehingga memberi kebebasan pada swasta untuk mengambil pendidikan sebagai lahan profit. 

Negara juga bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas agar mendapatkan sistem pendidikan cemerlang, kurikulum terbaik, dan pendidikan yang hebat, sehingga semua aspek pendidikan menunjang. 

Di sisi lain, siswa juga membutuhkan peran guru secara langsung, karena mereka harus mendapatkan penjelasan yang terperinci tentang pelajaran yang dipelajari. Siswa juga harus mempunyai figur seorang guru yang langsung memberi contoh kepada siswa didik, juga adanya sentuhan dari seorang guru kepada murid yang akan  memberikan kenyamanan dalam belajar. 

Di dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan rakyat yang dijamin oleh negara. Negara akan memberikan pendidikan yang berkualitas, tidak dipungut biaya, dan dirasakan oleh seluruh warga negara. 

Di dalam Islam, pendidikan tidak berorientasi pada keuntungan, karena pendidikan adalah hak bagi seluruh warga. Negara pun akan meningkatkan kualitas pendidikan, guru, materi pengajaran yang menguatkan akidah, memahami tsaqafah Islam, dan sains teknologi. Ini karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah melahirkan generasi yang berkepribadian Islam dan menguasai sains teknologi, juga menguasai tsaqafah Islam. 

Negara juga berkewajiban menjamin kesejahteraan para pendidik dan meng-upgrade para guru supaya terus berkembang dan berkualitas. Adapun inovasi di bidang pendidikan, ini dilakukan hanya sebagai sarana penunjang untuk memudahkan proses belajar mengajar tanpa meniadakan peran guru. Inilah urgensi penerapan sistem Islam. Hanya dengan Islam, semua persoalan dalam kehidupan akan terpecahkan. Wallahu'alam bishawaab.


Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab