Tinta Media: Pendidikan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Juni 2024

UKT Mahal, Pendidikan Rakyat Miskin Terganjal

Tinta Media - Namanya Siti Aisyah. Pendidikannya terpaksa dilepaskan begitu saja saat mengetahui UKT yang harus dibayarkan terlampau mahal. Padahal, Siti Aisyah adalah pelajar berprestasi yang mampu masuk universitas negeri tanpa melalui tes seleksi. Namun sayang, kini harapannya hanyalah mimpi. Siti Aisyah hanyalah satu dari banyaknya pelajar yang bernasib sama.

Dilansir dari kompas.com (16/5/2024), sebanyak 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan undur diri dari Universitas Riau. Alasannya karena merasa tidak mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT). Kabar ini dibenarkan oleh Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi, dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR.

Kapitalisasi Pendidikan

Panasnya polemik tentang kenaikan UKT, berujung pada kebijakan pembatalan UKT oleh pemerintah. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim memutuskan untuk membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) (kompas.com, 28/5/2024). Nadiem juga meminta perguruan tinggi segera menyesuaikan biaya UKT setelah kebijakan ini ditetapkan.

Terkait UKT yang tidak jadi naik, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan mengungkapkan, pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara (tempo.co, 30/5/2024). Subkhan melanjutkan,  kemungkinan tahun depan UKT kembali naik, karena pembatalan ini tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Mahalnya UKT jelas bertentangan dengan konsep pendidikan hak setiap rakyat. Parahnya lagi, sekolah yang siswanya lolos SNBP namun tidak mengambilnya, sekolah bisa dicoret dari daftar penerima undangan masuk perguruan tinggi negeri.

Inilah potret kapitalisasi pendidikan dalam bangunan negara kapitalis. Negara abai atas hak pendidikan rakyat miskin. Mau tidak mau rakyat dipaksa berusaha mandiri agar mampu mengenyam pendidikan tinggi. Sementara, taraf ekonomi rakyat Indonesia, didominasi oleh golongan ekonomi menengah ke bawah melahirkan masalah yang tidak sudah-sudah. Keadaan ini membuat sebagian besar individu menyerah. Alhasil, pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh kalangan mampu secara ekonomi.

Di sisi lain, pendidikan yang merupakan sektor strategis menjadi obyek sasaran bisnis yang menjanjikan keuntungan fantastis. Konsep pengaturan biaya pendidikan dialihkan kepada masing-masing perguruan tinggi, yakni status PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Status ini menjadikan perguruan tinggi sibuk "mencari dana operasional" agar universitas tetap berjalan. Dan salah satu sumber pemasukan yang dibidik adalah uang kuliah tunggal yang disetorkan dari mahasiswa per semesternya. Konsep ini berhasil menggeser fungsi perguruan tinggi yang semestinya menjadi lembaga pengajaran yang mampu mencerdaskan generasi menjadi lembaga "bisnis" yang terus menyasar ekonomi rakyat.

Segala bentuk masalah yang kini ada karena negara memosisikan kebutuhan rakyat hanya sebagai beban. Bukan amanah yang harus dijaga. Paradigma inilah yang menjadikan negara gagal mengurusi rakyat.

Buruknya akibat yang ditimbulkan konsep kapitalisme sekuleristik. Konsep ini hanya mengutamakan keuntungan materi di atas segala-galanya. Bahkan di atas kepentingan pendidikan generasi. Padahal generasi yang berkualitas adalah modal dasar yang mampu mengantarkan suatu bangsa pada kekuatan dan kemajuan.

Lantas, bagaimana pendidikan di tanah air dapat mencetak generasi berkualitas?

Jaminan Pendidikan dalam Islam

Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara  dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis.

Pendidikan tinggi dengan kualitas memadai akan menjadi kunci suksesnya kemajuan bangsa. Gemilangnya pendidikan akan menghantarkan generasi menjadi generasi tangguh dan cemerlang.

Dalam sistem Islam, pendidikan menjadi prioritas utama yang wajib disediakan negara untuk seluruh individu rakyat. Negara pun berkewajiban menetapkan biaya murah bahkan gratis serta pendidikan berkualitas. Paradigma ini ditetapkan sebagai ketundukan sistem pada hukum syara'. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. dalam hadits Bukhori,

bahwa pemimpin adalah ra'in (pengurus) urusan rakyat dan negara wajib mengurusi setiap urusan rakyat.

Semua konsep ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Satu-satunya institusi terpercaya yang mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya.

Anggaran pendidikan dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan mekanisme kebijakan yang bersandar pada hukum syara'. Anggaran ditetapkan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dana yang digunakan berasal dari pos-pos Baitul Maal. Pos pemasukan Baitul Maal bersumber dari hasil tata kelola sumber daya alam yang diurus negara secara mandiri, terprogram dan amanah. Tidak hanya itu, pos Baitul Maal juga didapatkan dari pos-pos jizyah, kharaj, fa'i dan ghanimah.

Rakyat tidak akan dibebani dengan biaya pendidikan yang menyusahkan, karena pembiayaan pendidikan diurus dengan amanah sehingga mampu menjamin pendidikan seluruh rakyat.

Tangguhnya kehidupan dalam pengaturan Islam. Pendidikan menjadi senjata utama yang mampu menghantarkan pada peradaban gemilang.

Wallahu alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Jumat, 07 Juni 2024

Pendidikan Tinggi, Kebutuhan Tersier?

Tinta Media - Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri menaikkan UKT ( Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat - lipat. (Detik.com, 22/5/2024).

Naiknya UKT ini adalah dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di Indonesia. Perguruan tinggi negeri harus mengikuti Standar Satuan Operasi Pendidikan Tinggi ( SSOPT), yang mengharuskan perguruan tinggi negeri harus mengikuti program WCU ( World Class Universiti), kampus harus bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan dan perguruan tinggi itu sendiri.

Inilah yang mengubah orientasi pendidikan, dari menuntut ilmu berubah untuk pemenuhan tuntutan dunia industri.

 Syarat-syarat inilah yang akhirnya berakibat biaya pendidikan menjadi mahal.

Ditambah adanya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN, yang jauh dari cukup untuk pembiayaan pendidikan itu sendiri.

Akibat kekurangan dana inilah,  perguruan tinggi negeri akhirnya  diberi otonomi seluas - luasnya untuk mencari sumber dananya, diantaranya dengan kenaikan UKT ini. (Ibid).

Kenaikan UKT merupakan kebijakan zalim pemerintah yang akan merampas hak berupa pendidikan bagi rakyatnya, yang pada dasarnya pendidikan adalah kebutuhan dan wajib dipenuhi oleh pemerintah, tetapi karena mahalnya biaya pendidikan dan perkuliahan akhirnya biaya pendidikan bagi rakyat miskin seolah sesuatu yang sangat sulit di jangkau.

Tidak hanya itu, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tertier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.

Berbeda dengan Islam pendidikan bukan pilihan apalagi kebutuhan tertier, tetapi pendidikan adalah kewajiban bagi setiap muslim baik yang kaya maupun yang miskin.

Ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW  " Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim" ( HR Ibnu Majah).

Di dalam Islam negara tidak boleh membebani biaya pendidikan bagi rakyatnya, pun tidak boleh membebani rakyat dengan berbagai pajak.

Pembiayaan pendidikan dalam Islam bisa dari individu, infak, donasi berupa wakaf dari umat untuk pendidikan, yang akan digunakan untuk sarana dan prasarana pendidikan, kebutuhan hidup para guru, dan pelajar, serta orang - orang yang berada dilingkungan pendidikan seperti pegawai administrasi dan penjaga sekolah maupun kampus tempat mereka bekerja.

Juga pendapatan negara,  dari sumber daya alamnya, dari kharaj, jizyah dan lain sebagainya.

Seluruhnya dialokasikan untuk kepentingan umat. Termasuk biaya pendidikan.

Ini bisa terlihat saat Islam mengalami kejayaannya, dari masa kenabian, khulafaur rasyidin, hingga era kekhilafahan Islam, bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi manusia, dan dunia Barat hingga sekarang.

Kejayaan ini bisa terwujud karena umat dan negara, setia menerapkan syariat Islam, yang tidak bisa ditekan apalagi tergantung pada negara - negara asing seperti saat ini, yang tujuan utama mereka adalah kehancuran Islam dan umat Islam itu sendiri.

Wallaahu a'lam.

Oleh: Juliyani, Muslimah Peduli Generasi

Kamis, 06 Juni 2024

FDMPB: Pendidikan Itu Penting, Sangat Strategis, Investasi Masa Depan Bangsa

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. menyampaikan bahwa pendidikan itu penting, sangat strategis, investasi masa depan bangsa.

"Kalau kita coba baca filsafat pendidikan baik di dalam Islam maupun di Barat itu secara ontologis sama, bahwa pendidikan itu penting, pendidikan itu sangat strategis bahkan menjadi investasi masa depan bangsa," tuturnya dalam live FGD FORDOK #43. UKT dan Kapitalisme Pendidikan: Membedah Akar Masalah Pendidikan Nasional di kanal YouTube Forum Dokter Muslim Peduli Bangsa, Sabtu (25/5/2024).

Ia berasumsi bahwa dalam sebuah kepengurusan negara itu harus ada pergantian generasi. Tidak mungkin seseorang itu akan hidup terus, tidak mungkin pemimpin itu akan selamanya hidup. Pasti akan ada regenerasi, akan ada pergantian generasi. Karena itu, generasi yang disebut bangsa atau anak bangsa itu kemudian disiapkan. Adapun kekayaan sumber daya alam, kalau tidak dikelola oleh SDM yang berkualitas itu juga sama saja. "Karena itu, bicara soal pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang memanusiakan manusia tetapi juga lebih dari itu adalah menentukan masa depan bangsa," jelasnya.

"Nah, kalau kita melihat dari sisi aksiologi atau manfaat atau nilai di dalam filsafat pendidikan maka kita bisa membayangkan bahwa bagaimana kemudian relasi antara negara atau pemerintah dengan rakyat," ucapnya.

Filosofis UKT

Ia menggambarkan UKT secara filosofis kaitannya dengan relasi dengan gambaran sederhana yakni kalau rumah tangga itu ada orang tua, ada anak, orang tua itu bahkan rela berhutang untuk menyekolahkan anak-anaknya karena orang tua itu punya harapan bahwa anak itu akan menggantikan dirinya di masa depan. Berkaitan dengan kesejahteraan, mungkin orang tua sedang membayangkan bahwa bolehlah orang tua tidak sekolah, tapi anak harus sekolah, harus meningkatkan kemuliaan dan martabat keluarga, kemudian rela berhutang.

"Coba kita bayangkan, sebuah negara Indonesia yang sering kita bangga-banggakan sebagai negara yang besar, sumber dayanya sangat melimpah, mungkin terkaya di dunia, kemudian kita lihat kisruh UKT, tadi ketika sudah ditekankan tentang pandangan bahwa pendidikan itu tersier, dalam arti pendidikan secara umum itu adalah kesalahan. Maka kita bisa katakan jangan sampai pemerintah itu gagal paham pendidikan," tekannya.

Gagal Paham Pendidikan

"Karena kalau gagal paham pendidikan, memang efeknya akan sangat beragam. Efek dominonya akan luar biasa. Padahal kalau dilihat dari amanah undang-undang, sudah sangat jelas di situ, semua juga baca itu," ungkapnya.

Ia mempertanyakan bahwa aparat pemangku negara, apakah membaca, apakah benar menafsirkannya, menginterpretasikannya, bagaimana mensosialisasikannya, bagaimana kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang lebih mikro dan seterusnya. Ketika pemerintah kemudian anggaplah gagal paham dengan salah satu statement tentang sebutan tersier itu, maka ini berarti pemerintah sedang mendudukkan relasi dengan rakyat tidak sebagaimana orang tua kepada anaknya. "Coba kita bayangkan misalnya orang tua itu ketika anaknya makan di rumah kemudian disuruh bayar, atau orang tua mengatakan kamu harus sekolah, harus bayar sendiri padahal masih TK, masih SD misalnya. Ini kan sebenarnya secara filosofis mudah sekali ditangkap," tukasnya.

Pengelolaan Potensi Negara

Sementara, lanjutnya, negara sebesar Indonesia ini, kenapa kemudian mendudukkan relasi tidak tepat bagaimana sudut pandang relasi antara negara kepada rakyat. Walaupun di lapangan ada hitung-hitungan tetapi sebenarnya berkaitan dengan bagaimana mengelola potensi negara yang luar biasa ini.

Ada Masalah Keuangan Negara

Ia pun mengajak untuk membayangkan bahwa ternyata yang dikorupsi saja sudah berapa triliun, berapa sumber daya alam yang dikelola oleh orang lain, bagaimana tanah-tanah di negeri ini yang harusnya wakaf ternyata jutaan hektar dikelola oleh orang lain. "Nah ini kan memang sebuah sistem. Artinya negara kita sebenarnya sedang ada masalah keuangan secara umum, terkait pengelolaan sistem, pengelolaan negara ini. Berarti ada masalah sehingga akhirnya memberikan dampak kepada pendidikan," ujarnya.

"Jadi pemerintah kemudian menempatkan diri hubungannya dengan rakyat itu mungkin jadi pedagang kemudian bisnis kemudian meletakkan pendidikan sebagai kebutuhan private sehingga ketika kampus diberi satu keleluasaan karena minimnya anggaran, akhirnya kampus juga kebingungan sendiri," tukasnya.

Ia mengungkapkan bahwa memang ada kampus-kampus yang kemudian membuat usaha-usaha ekonomi, tetapi kampus itu tidak seperti itu. Memang sebagai dosen, diminta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan mahasiswa bukan untuk berdagang, bukan untuk mencari uang. Dalam arti membuka usaha-usaha karena memang ini bagian dari kebutuhan negara sebagai pendidikan. "Nah ini memang ada kompleksitas di sini," terangnya.

Filosofi Adanya Negara

Ia membeberkan bahwa filosofi adanya negara secara sederhana yakni negara ada untuk mengurus rakyat. Sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang bahwa adanya negara untuk mengurus rakyat baik kesejahteraannya, keadilannya. Penjagaan dan penjaminan negara terhadap keimanan, ketakwaan, akhlak bangsa, adab. "Cukup miris melihat ketika pendidikan atau hasilnya ternyata nir adab, nir akhlak, hatinya tidak disentuh," mirisnya.

Ia mengatakan bahwa pemerintah mestinya dalam konteks pendidikan itu, bagaimana mewujudkan bangsa yang beriman, bertakwa, beradab. Karena tiga hal ini akan menumbuhkan bangsa yang beradab, yang tidak korupsi, tidak terjebak judi online. Negara juga tidak menerapkan riba misalnya. Ini kan ada relasi seorang hamba, dengan Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Taa'la yang memiliki hukum-hukum terkait kehidupan.

Nah tentang kesehatan, lanjutnya, kesehatan berarti hubungannya dengan makanan, minuman, kebutuhan primer individu. Artinya pemerintah harus betul-betul menyiapkan kebutuhan makanan, minuman yang baik, yang memberikan kesehatan, berdampak kepada kesehatan rakyatnya. "Yah beriman kalau tidak sehat, ini kan hubungannya nanti produktivitas sebuah bangsa untuk negaranya," tuturnya.

"Nah bagaimana dengan hari ini, juga luar biasa terkait makanan, minuman ini bahkan menjadi satu keprihatinan. Padahal mestinya menjadi tugas negara dengan para pemimpinnya untuk menjamin bahwa rakyatnya itu harus sehat," bebernya.

'Itulah kenapa di dalam Islam itu kesehatan, keamanan, pendidikan betul-betul menjadi kebutuhan publik yang harus diurus oleh negara sebaik mungkin," imbuhnya.

Kemudian lanjutnya, tentang akal, tentang intelektualitas yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Berarti bicara soal lembaga pendidikan. Jadi jika hatinya sudah baik, akhlaknya sudah baik, baru bicara soal kecerdasan, dalam arti akalnya. Akal ini yang kemudian akan melahirkan peradaban, di sana ada sains dan teknologi meskipun sudah diklarifikasi bahwa tidak semua harus jadi dokter. "Tetapi kalau dilihat kebutuhan yang namanya kesehatan itu memang wajib hukumnya dijamin oleh negara dan tentu kebutuhan dokter itu mestinya mungkin setiap desa harus ada dokter yang melayani," tambahnya.

Ia melanjutkan bahwa bicara tentang rezeki itu tidak bicara tentang bertambahnya rezeki, yang bertambah itu ilmu, akalnya bertambah cerdas, mencerdaskan kehidupan bangsa. Bicara tentang keberkahan, berarti tentang bagaimana halalnya rezeki, berarti negara harus menjamin yang namanya ekonomi itu harus halal jadi nanti menjadi berkah bukan bertambah. Kenapa, karena rezeki itu sudah dikasih emas, air, ikan di laut, minyak ada di Indonesia, sudah melimpah, hutan yang luar biasa jutaan hektar, tidak perlu meminta lagi sudah kaya negeri ini. "Hanya, bagaimana mengelola supaya rezeki, anugerah dari Allah Subhanahu Wa Taa'la di Indonesia ini menjadi berkah. Nah keberkahan ini sudah disampaikan, bagaimana kemudian Islam itu mestinya menjadi dasar kita berpikir, dasar berparadigma tentang bagaimana mengelola negara ini," tegasnya.

"Lagian juga, kita juga mayoritas muslim dan Allah Subhanahu Wa Taa'la tahu betul tentang bagaimana mengelola bumi yang diciptakannya, mengelola manusia yang diciptakannya," paparnya.

"Catatan dari saya bahwa negara jangan sampai salah paham tentang pendidikan baik secara konstitusi maupun secara filosofis. Apalagi menempatkan relasi bangsa ini dengan Tuhannya, kalau dalam Pancasila itu kan disebut ketuhanan yang maha esa. Dimana letak Tuhan di dalam mengelola negara ini," pungkasnya.[] Ajira

Selasa, 04 Juni 2024

Mimpi Pendidikan Gratis dan Berkualitas dalam Sistem Kapitalisme


Tinta Media - Beberapa waktu yang lalu, protes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di banyak perguruan tinggi negeri (PTN), seperti Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed), Universitas Riau (Unri), dan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Protes ini juga dilakukan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang. 

Menanggapi hal tersebut, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah adanya kenaikan UKT saat ini. Menurutnya, bukan UKT yang naik, melainkan kelompok UKT. Selain itu, Tjitjik mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier alias pilihan yang tidak termasuk dalam pendidikan tinggi, atau wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar di Indonesia saat ini hanya berlangsung selama 12 tahun, mulai dari SD, SMP, dan SMA.

Kebingungan mahasiswa atas mahalnya biaya UKT sebenarnya merupakan dampak nyata dari peralihan PT ke PTN-BH.
Perubahan ini akan menghilangkan peran negara dalam mendanai pendidikan tinggi dan memaksa universitas mencari sumber pendanaan sendiri.

Seluruh biaya PTN kini mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT). SSBOPT ditetapkan dengan memperhatikan kinerja standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks biaya lokal. Akhirnya, komersialisasi pendidikan tinggi tidak bisa dihindari.

Di sisi lain, sistem pendidikan saat ini belum mampu melahirkan generasi yang berkualitas. Di perguruan tinggi, mahasiswa mendapat kurikulum yang memenuhi persyaratan industri. Tuntutan ini merupakan konsekuensi logis dari program WCU (World Class University) pada pendidikan tinggi.

Program ini memerlukan syarat-syarat tertentu, seperti inisiatif "Triple Helix'' yang menjalin kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi, dan tentunya memerlukan biaya yang besar. Akibatnya, arah pendidikan tinggi tidak lagi terfokus pada pengajaran, melainkan memenuhi kebutuhan industri.

Maraknya UKT dan faktor-faktor yang memengaruhinya merupakan kejahatan sistem kapitalis. Sistem yang berorientasi materi ini mengubah sektor pelayanan publik seperti pendidikan menjadi sektor bisnis. Ada kesan yang semakin meningkat bahwa pendidikan saat ini bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi hanya berguna untuk mencari pekerjaan dan uang.

Selama sistem kapitalis masih ada, masalah biaya sekolah pasti akan semakin serius.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan gratis yang berkualitas hanyalah mimpi kosong.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang diperkenalkan oleh Daulah Khilafah.

Daulah Khilafah mampu memberikan pendidikan gratis dan berkualitas karena beberapa ketentuan syariah, yaitu:

Pertama, Islam memiliki tujuan politik di bidang pendidikan, yaitu memelihara akal manusia sebagaimana yang Allah Ta'ala jelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah Ayat 90-91, Al-Qur'an surat Azzumar ayat 9 dan Al-Qur'an surat Mujadalah ayat 11.  

Kedua, pendidikan adalah sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu membawa manusia jauh dari kebodohan dan kekafiran. Dengan ilmu, manusia melakukan tadabur, ijtihad, dan berbagai hal lainnya yang dapat mengembangkan potensi akal manusia dan memuji keberadaan orang yang berilmu.

Ketiga, tanggung jawab negara dalam memberikan pendidikan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. pemimpin Daulah Islam di Madinah. Saat itu, para tawanan Badar diwajibkan mengajari umat Islam membaca dan menulis sebagai tebusan. Tindakan tersebut bukan hanya karena kebaikan pribadinya, tetapi juga mempunyai makna politis sebagai pertimbangan bagi pendidikan bangsa.

Keempat, dalam sistem Islam, pendidikan tidak dianggap sebagai barang komersial, apalagi barang tersier, melainkan kebutuhan dasar masyarakat. 

Islam setiap orang untuk menuntut ilmu. Arahan syariah ini menjadi konsep manajemen pendidikan pada masa Khilafah.

Hal tersebut juga dijelaskan oleh seorang mujtahid mutlak dan ulama terkenal Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah Dustur pasal 173, yaitu:

"Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma."

Namun, mewujudkan pendidikan semacam ini memerlukan dukungan finansial yang besar. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus didukung oleh sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya keuangan negara terkonsentrasi pada sistem Baitul-Maal.

Baitul Mal mempunyai tiga pos pendapatan, yaitu barang milik negara, barang milik umum, dan barang zakat. Setiap pos mempunyai sumber pendapatan dan alokasinya sendiri untuk pendidikan. Misalnya, Khilafah dapat mengalokasikan dana dari domain publik untuk biaya lembaga dan infrastruktur pendidikan, sehingga negara dapat membangun gedung kampus, termasuk perpustakaan, laboratorium, balai, klinik, asrama mahasiswa, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Khilafah bahkan dapat memberikan beasiswa tanpa syarat kepada semua siswa, baik yang berasal dari keluarga miskin atau kaya, siswa yang berprestasi atau rata-rata.
Setiap orang mempunyai akses terhadap layanan gratis dan berkualitas tinggi. Di sisi lain, Khilafah akan mengalokasikan anggaran Baitul Maal milik negara untuk membayar gaji dosen dan tenaga administrasi.

Sumber pendanaan Baitul Maal yang kuat dan stabil tentunya dapat menunjang kemandirian pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam, yaitu membantu masyarakat menjadi manusia yang berilmu dan berkarakter Islami.

Oleh karena itu, sepanjang kekhalifahan berlangsung selama 1300 tahun, banyak ilmuwan, pemikir, dan ulama yang bekerja siang malam untuk membangun kapasitas keilmuan umat, bukan untuk memenuhi tuntutan industri seperti saat ini. Bukankah pendidikan seperti ini yang diimpikan banyak orang?

Oleh: Ummu Farras, Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab