Tinta Media: Pendidikan Tinggi
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Tinggi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Tinggi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Juni 2023

Cabut Izin Operasional Perguruan Tinggi, Akankah Selesaikan Masalah Pendidikan Negeri Ini?

Tinta Media - Gaes pernah denger, tidak, soal ungkapan bahwa “pendidikan adalah tonggak dari sebuah bangsa?” Itu adalah ungkapan yang sering dibicarakan oleh kebanyakan orang kan, Gaes? Namun, akhir-akhir ini muncul berita yang justru mencederai ungkapan tersebut. 

Dilansir dari CNN Indonesia (26/05/2023) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai provinsi per tanggal 25 Mei 2023. Puluhan perguruan tinggi itu disebut bermasalah, Gaes. 

Menurut Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbud Ristek, Lukman mengatakan bahwa pencabutan izin operasional 23 perguruan tinggi ini dilakukan berdasarkan pengaduan dari masyarakat setempat dan hasil penyelidikan tim evaluasi kinerja. Dari data tersebut dapat diputuskan sanksi bagi perguruan tinggi yang bersangkutan dengan klasifikasi mulai dari sanksi ringan, sedang, berat, hingga pencabutan izin operasionalnya, Gaes. 

Sanksi berupa pencabutan izin operasional sendiri dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi. Selain itu, izin operasional kampus-kampus tersebut dicabut karena telah melaksanakan praktik kecurangan seperti  pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan adanya penyimpangan pada mekanisme beasiswa KIP Kuliah. 

Lukman menambahkan bahwa semua kampus yang dihentikan tersebut termasuk dalam perguruan tinggi swasta (PTS) (Kompas, 27/05/2023). 

Dengan adanya fakta pencabutan izin perguruan tinggi ini, kita bisa tahu, Gaes, bahwa jual beli ijazah itu bukan sekadar isu saja. Praktik-praktik terlarang memang benar adanya, Gaes. Praktik jual beli ijazah ini juga membuktikan kepada kita betapa lekatnya kapitalisasi pendidikan di negara kita ini. Ijazah yang seharusnya menjadi bukti resmi bagi seseorang telah menamatkan pendidikan tertentu, sekarang malah dengan gampangnya dapat diperjualbelikan. Asalkan ada uang, maka ijazah dapat dengan mudah terpegang.

Jika secara umum mahasiswa S1 membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk menamatkan studi dan menambahkan gelar pada namanya, dengan membeli, ijazah dapat diterima dalam waktu singkat saja. Mereka tidak perlu susah-susah mengikuti perkuliahan selama berjam-jam, tidak perlu mengikuti ujian atau hadir dalam praktikum, tidak harus mengerjakan tugas dan laporan, tidak usah menghadapi bagaimana rumitnya menyusun skripsi sampai begadang, tidak perlu juga melakukan kegiatan wajib seperti kuliah kerja nyata (KKN) ataupun praktik kerja lapangan (PKL). Semua proses yang sangat melelahkan itu dilewati begitu saja. Cukup dengan rebahan di rumah dan menyetor segepok uang, selembar ijazah dapat dengan mudah dimiliki dan siap menjadi bekal mencari pekerjaan.

Adanya pelaksanaan praktik jual beli ijazah ini tentu bisa menjamur sampai sekarang karena adanya permintaan dan penawaran. Ada individu-individu bermental lembek yang tidak mau menjalani proses pendidikan, tetapi ingin mendapatkan ijazah karena tuntutan pekerjaan. Di sisi lain, ada juga penawaran dari perguruan tinggi swasta nakal yang ingin meraup cuan sebesar-besarnya dalam waktu cukup singkat. 

Dengan banyaknya jumlah permintaan dan adanya penawaran yang bisa memfasilitasi, maka terjadilah bisnis jual beli ijazah yang eksis di tengah masyarakat, Gaes.

Kondisi ini dapat mudah terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme, yaitu sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Semua jalur yang muaranya menghasilkan keuntungan akan ditempuh, Gaes. Mereka tak peduli lagi mana halal mana haram, mana yang diridai Allah, dan mana yang dimurkai.  

Agama tidak digunakan sebagai pedoman, bahkan justru dikesampingkan. Agama juga hanya dijadikan sebagai panduan dalam ibadah ritual saja. Namun, dalam menjalani kehidupan, manusia hanya mengandalkan hawa nafsunya. 

Melalui kasus jual beli ijazah ini, sudah seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak, terutama para pemegang kekuasaan bahwa terdapat hal yang keliru dalam mekanisme sistem pendidikan di negeri kita selama ini, Gaes. 

Adanya kapitalisasi pendidikan yang massif digencarkan, telah membuka jalan terjadinya kecurangan berupa praktik jual beli ijazah. Namun, kita perlu membuka mata dengan lebar bahwa kapitalisasi pendidikan tidak hanya mampu membukakan jalan praktik jual beli ijazah yang terlarang, tetapi juga menyebabkan semakin mahalnya biaya pendidikan, baik di swasta atau perguruan tinggi negeri sekalipun. 

Kurikulum pendidikan juga senantiasa diubah mengikuti permintaan industri dan hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi pun diarahkan untuk kepentingan para pemilik modal, bukan untuk kemaslahatan umat, Gaes.

Dengan demikian, adanya kapitalisasi pendidikan ini juga telah mencederai tujuan pendidikan yang sesungguhnya dan mengubahnya menjadi asas materialistis semata. 

Tujuan kuliah hanya sekadar untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi dan sukses dalam hal finansial, sedangkan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk insan yang bertakwa menjadi sebatas jargon saja. 

Pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan bukan tidak mungkin akan dapat menghasilkan lulusan berupa generasi yang serba boleh karena segala hal dapat ditempuh asalkan bisa mewujudkan impian. 

Jika kita selisik lebih jauh, jual beli ijazah dan kuliah fiktif yang dapat berujung  pada pencabutan izin operasional ini terjadi pada perguruan tinggi swasta. Artinya, di sisi lain, perguruan tinggi negeri (PTN) idealnya dapat terhindar dari praktik ilegal tersebut karena dikelola dan diawasi secara langsung oleh negara. 

Namun, ekspektasi yang melangit sering kali dikecewakan oleh realita yang membumi, Gaes. Jumlah perguruan tinggi negeri yang disediakan oleh negara ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan yang ada sehingga tugas ini akhirnya diambil alih oleh perguruan tinggi swasta. Lebih parahnya, karena sistem kapitalisme yang mencengkram kehidupan kita berorientasi materi (keuntungan) semata, maka dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta terjadi kapitalisasi pendidikan.

Membiarkan kehidupan terus berada dalam cengkeraman kapitalisme akan membuat generasi saat ini sulit mendapatkan haknya untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, Gaes. Karena itu, dibutuhkan solusi komprehensif untuk menangani masalah ini. Solusi tersebut hanya ada pada Islam. 

Dalam Islam, ada beberapa hal yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pendidikan yang mumpuni.

Pertama, pendidikan akan dibekali materi yang memperdalam kepribadian Islam untuk mempersiapkan generasi yang menempuh dapat menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani problem vital umat kelak; memperjuangkan penegakan Islam ketika belum ada; melestarikan dan mempertahankan penerapan Islam di tengah umat, ikut berkontrusi mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta bersedia dalam membela persatuan umat. 

Dengan adanya pendidikan Islam, Gaes, akan terbentuk profil sarjana yang dihasilkan adalah mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim, dan ahli hukum (fukaha) yang akan mampu memimpin umat untuk melaksanakan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia. 

Kedua, visi dan misi pendidikan harus berlandaskan pada akidah Islam, Gaes. Sebagaimana fungsi ilmu dalam Islam ‘bahwa ilmu bagaikan air dalam kehidupan’.

Rasulullah saw. bersabda,

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah Swt. mengutusku karenanya adalah seperti air hujan yang menyirami bumi. …” (HR Bukhari).

Ketiga, menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Negara akan memberikan fasilitas mulai dari pendanaan, infrastruktur, peningkatan SDM, hingga ikut terjun langsung dalam menyelesaikan masalah di tengah masyarakat. 

Dengan adanya ekosistem seperti ini, Gaes, yang jauh dari orientasi materialistis maka para generasi penuntut ilmu akan bisa fokus menuangkan ilmunya yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Seperti pada masa kejayaan Islam, telah banyak ilmuwan baik muslim maupun muslimah yang berkat kegigihannya, ilmu dan apa yang mereka ciptakan bisa bermanfaat hingga sekarang. 

Seperti Maryam Al Asturlabi yang menciptakan astorlabe sebagai cikal bakal GPS, Al Khawarizmi yang menciptakan angka nol, Al Jazari yang menciptakan jam air dan lain sebagainya. Kalaupun hasil dari sebuah penelitian yang dihasilkan perlu untuk diperbanyak, maka negara sendirilah yang akan melakukannya. 

Keempat, perlu diterapkan sistem politik Islam secara kaffah (keseluruhan) dalam naungan Khilafah juga, Gaes. Dengan adanya penerapan Islam secara kaffah, maka sistem kehidupan seperti sistem pendidikan akan mampu menjamin tercetaknya generasi yang mumpuni. 

Pendidikan tinggi dalam Khilafah akan terbebas dari praktik curang jual beli ijazah maupun kuliah fiktif karena diselenggarakan secara gratis. Mahasiswa tidak akan dibebankan satu dirham pun untuk bisa kuliah. 

Lalu, dari mana diperoleh sumber pendanaannya? Semua pembiayaan pendidikan dalam Khilafah, tak terkecuali pendidikan tinggi, akan diambil dari baitulmal, yaitu dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum (milkiyyah ‘aammah). 

Untuk mewujudkan pendidikan yang gratis ini, negara tidak sendirian dalam menjalankannya. Individu rakyat yang kaya akan turut mendukung pembiayaan pendidikan melalui pemberian wakaf. 

Masyaallah ... begitu luar biasa Allah dalam memberikan pedoman bagi kita, Gaes. Allah tidak hanya menciptakan kita sebagai manusia, tetapi juga sekaligus dengan petunjuk-Nya yang luar biasa. Sudah seharusnya para pemegang kekuasaan saat ini menengok pada solusi Islam. Dengan Islam, maka generasi penuntut ilmu tidak hanya mendapatkan ilmu yang berguna untuk dirinya sendiri, tetapi juga berguna untuk kemaslahatan umat. Wallahua’lam bi shawwab []

Oleh : Ananda, S.T.P
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab