Marak Penculikan Anak, Negara Wajib Bertindak
Tinta Media - Ramainya pemberitaan tentang penculikan anak membuat para orang tua resah. Salah satunya kejadian awal Januari lalu, seorang anak berusia 11 tahun diculik dan dibunuh oleh 2 orang remaja di Makassar (tempo.com, 31/1/2023). Kasus Malika yang kala itu juga viral di berbagai media. Kisah seorang anak yang diculik oleh orang yang dikenal keluarganya sendiri. Miris. Beragam video penculikan pun banyak beredar, ada yang diculik paksa saat bermain, ada yang dimasukkan ke dalam karung, bahkan ada foto anak sekitar usia 10 tahun, yang diculik kemudian organnya dihabisi pelaku. Tentu saja berbagai kabar ini menciptakan rasa gusar pada orang tua. Merasa tak aman saat anak jauh dari lingkungan rumah.
Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), pada tahun 2022 kasus penculikan mencapai 28 kasus terlapor (tempo.co, 31/1/2023). Tak heran pemberitaan ini pun menjadi teror bagi para orang tua.
Maraknya penculikan anak bisa disebabkan beberapa hal. Diantaranya, minimnya pengawasan orangtua, faktor kemiskinan yang menggurita, hingga rendahnya penjagaan keamanan yang difasilitasi negara untuk setiap rakyatnya.
Minimnya penjagaan orang tua, bisa jadi, karena kedua orang tua bekerja sehingga sangat sedikit waktu tercurah untuk anak-anaknya. Sistem kapitalisme yang sekuleristik menciptakan kehidupan yang tak seimbang. Anak dan keluarga yang membutuhkan perhatian setiap detiknya, justru terabaikan oleh padatnya pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Demi pendapatan yang wajib diperoleh. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup yang tak murah. Ini pun menjadi tuntutan bagi para orang tua hanpir di setiap daerah.
Segala teror ini pun dominan disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan. Motif penculikan biasa dilakukan demi sejumlah imbalan. Misalnya saja, penculikan di Makassar, pelaku tergiur imbalan sebesar Rp1,2 milyar, dari tawaran jual beli ginjal di media sosial.
Memprihatinkan. Pun demikian dengan motif penculikan lainnya. Yang tergiur dengan biaya tebusan, atau adanya usaha memperbudak anak demi mengais rupiah di jalanan. Inilah potret kemiskinan sistemik yang benar-benar hadir di tengah kehidupan. Minimnya lapangan pekerjaan, sulitnya akses mencari kerja, menggunungnya segala bentuk kebutuhan serta mahalnya biaya hidup. Semua faktor ini menjadi satu membentuk masalah sistemik.
Parahnya lagi, negara tak dapat tegas menjerat para pelaku penculikan. Negara hanya sebatas membuat Undang-Undang tanpa bisa tegas menerapkan. Beragam regulasi tentang perlindungan anak, seperti penetapan Undang-Undang Kota Layak Anak, belum bisa menjamin terjaganya keamanan anak dengan sempurna. Regulasi tersebut tak membuahkan hasil. Malahan, kasus penculikan semakin marak dan mengenaskan. Beragam kasus kekerasan pada anak kian merebak, mulai dari kekerasan fisik, verbal maupun kekerasan seksual.
Sangat memprihatinkan nasib anak dalam cengkeraman kapitalisme yang sekuleristik.
Anak menjadi rentan kejahatan. Tak ada pihak yang dapat menjamin keamanan anak. Memang betul, anak adalah salah satu harta keluarga yang wajib dijaga. Penjagaan dan perlindungan dari pihak keluarga terdekat serta kontrol sosial menjadi kunci terjaganya keamanan anak. Namun, semua usaha ini tak bisa berjalan sempurna tanpa adanya institusi negara.
Sistem kapitalisme yang kini menjadi pedoman, justru menciptakan berbagai sebab kekerasan pada anak. Angka kemiskinan yang curam, jurang sosial ekonomi makin tajam. Membuat para oknum tak bertanggung jawab kian nekat. Diperparah dengan tak adanya pemahaman bahwa agama adalah sumber pengaturan kehidupan. Tak peduli standar benar salahnya perbuatan. Tak peduli halal haram. Standar materi dan keuntungan dijadikan tujuan. Inilah watak yang terbentuk dalam sistem kapitalisme sekuler. Semakin memperumit masalah yang ada. Undang-undang dan berbagai regulasi yang ditetapkan pemerintah pun hanya sebatas solusi semu. Karena tak menyentuh masalah dari akarnya. Solusi yang disajikan hanya solusi temporal yang tak menjamin sempurnanya keamanan.
Sistem ekonomi kapitalisme pun menjadikan negara gagal menciptakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya. Alhasil, banyak kepala keluarga tak memiliki pekerjaan. Dan para ibu menjadi tulang punggung keluarga. Akibatnya, pendidikan dan penjagaan anak-anak pun terabaikan. Negara belum bisa menjadikan keamanan warga negara sebagai prioritas utama dalam pelayanannya.
Paradigma Islam menetapkan, negara wajib seutuhnya menjamin keamanan seluruh warga negara. Termasuk penjagaan terhadap anak-anak. Sistem Islam mensyariatkan bahwa negara wajib menjadi perisai dan pelindung rakyatnya dari berbagai ancaman. Negara dengan sistem Islam menjanjikan solusi menyeluruh, yang menilik masalah dari sumber masalahnya. Masalah penculikan, secara garis besar diakibatkan sebagai akibat dari kemiskinan sistemik. Negara bersistemkan Islam mengentaskan kemiskinan dengan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya yang tersedia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara mengelola dengan amanah. Hasilnya, kesejahteraan merata dan angka kemiskinan dapat ditekan. Negara pun menjamin penyediaan lapangan pekerjaan yang luas dan layak bagi seluruh rakyat. Sehingga tingkat kriminalitas pun dapat dikendalikan negara. Karena semua rakyat mendapatkan pelayanan optimal dan merata dari negara. Peran negara dapat terwujud sempurna di tengah masyarakat, hanya dengan sistem Islam yang menyeluruh. Inilah gambaran luar biasa tentang kepengurusan umat dalam sistem Islam.
Selayaknya kita yakin bahwa Islam-lah satu-satunya pilihan terbaik untuk meraih kesejahteraan dan keamanan seluruh umat. Tak ada pilihan lain. Hanya sistem Islam yang berwadahkan institusi khas sesuai teladan Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor