Tinta Media: Pencitraan
Tampilkan postingan dengan label Pencitraan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pencitraan. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Benarkah Rakyat Puas terhadap Kinerja Pemerintah atau Hanya Pencitraan Saja?



Tinta Media - Deputi Protokol dan Media Sekertariat Presiden, Yusuf Permana mengapresiasi hasil Survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukan tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya, yaitu mencapai 75 persen. Yusuf mengatakan bahwa tingkat kepuasan yang tinggi ini merupakan bukti bahwa upaya keras pemerintah dalam berbagai bidang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga penanganan selama pandemi, dan juga dalam pemulihan ekonomi.

Dalam Rilis Temuan Survei Nasional, evaluasi publik terhadap 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi Widodo Burhanuddin mengungkapkan bahwa untuk masalah pemberantasan korupsi, lebih banyak dinilai buruk. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan hasil pemantauan bahwa tren korupsi 2023 yang terus meningkat sejak periode kedua Jokowi, yang melonjak hampir tiga kali lipat, dari 271 kasus menjadi 791 kasus pada 2023.

Semakin maraknya tren korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara untuk memberikan hukuman berat kepada para koruptor. Dari data trend vonis bagi koruptor 2020-2022, mereka hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan. Akibatnya, korupsi makin marak. Di antara kasus korupsi terbesar di Indonesia yaitu:

Pertama, kasus korupsi PT. JIWASRAYA yang merugikan negara  sebesar Rp16,81 Triliun

Kedua, kasus korupsi PT. Timah yang merugikan negara mencapai RP300 Triliun

Masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya tidak punya kemampuan politik untuk menegakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sementara, terkait hasil survei tentang kepuasan yang sangat tinggi dari masyarakat Indonesia terhadap kinerja Jokowi dalam berbagai bidang selama sepuluh tahun menunjukan bahwa hal  tersebut hanyalah pencitraan saja, karena kondisi sebenarnya tidak menunjukkan hal yang demikian.

Buktinya, negara masih banyak mengalami berbagai problematika di tengah-tengah masyarakat, tetapi pencitraan menutupi semua itu dan mengelabui rakyat. Banyak kebijakan yang menunjukan keberpihakan negara kepada oligarki dan bukan kepada rakyatnya sendiri. 

Contohnya dalam aspek sosial, semakin banyak rakyat Indonesia tersangkut judi online yang menjamur di tengah-tengah masyarakat, sampai pada tarap menghawatirkan, meningkatnya kasus kekerasan pada anak dari tahun ke tahun, kasus perundungan (bulliying) tidak pernah ada habisnya, kasus bunuh diri yang marak terjadi, dan masih banyak lagi berbagai kasus kriminalitas lainnya yang makin meningkat. 

Dalam aspek kesejahtraan, kewajiban wajib pajak saat ini terus digulirkan oleh pemerintah. Ini semakin membebani rakyat, seperti naiknya PPN, pembatasan subsidi BBM, wacana tapera (tabungan perumahan rakyat), PNS dan pekerja yang akan dipotong upahnya sebesar 2,5 persen, yang sangat tidak jelas. 

Berbagai kebutuhan pokok makin melejit membuat rakyat  semakin menjerit. Ditambah lagi biaya pendidikan yang terus mengalami kenaikan, terutama di perguruan tinggi, kebijakan UKT naik semakin meroket.

Kebijakan pembangunan 10 tahun di masa pemerintahan Jokowi tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Malah, banyak rakyat yang merasakan penderitaan akibat perampasan lahan dan ruang hidup. Juga banyak satwa liar yang kehilangan tempat hidup. Alam menjadi rusak dan menimbulkan banyak bencana, longsor, banjir dan lainnya akibat dari pembangunan yang berlangsung.

Tidak cukup di situ saja, kesulitan rakyat makin bertambah dengan angka PHK yang terus meningkat. Ini mengakibatkan ekonomi semakin sulit yang berefek kepada semua lini kehidupan. 

Berbagai problematika yang terjadi diakibatkan karena peran negara bukan sebagai pengurus rakyat, tetapi sebagai regulator dan fasilitator sehingga hanya menguntungkan para Investor dan para oligarki. Kebijakan-kebijakan negara bukan menjadi solusi, malah makin menguntungkan oligarki dan mencekik rakyat.

Negara menjadikan sumber pemasukan negara saat ini dari utang dan pajak. Semakin negara meningkatkan utang untuk pembelanjaan negara, maka rakyat yang akan membayar utang tersebut melalui pembayaran pajak yang akan dinaikan untuk pembelanjaan negara. Akibatnya, rakyat makin menderita dan menimbulkan aneka persoalan yang nyaris ada di seluruh dimensi kehidupan.

Hal ini disebabkan karena agama tidak dipakai untuk mengatur kehidupan. Aturan agama tidak dijadikan sebagai standar halal dan haram. Pemenuhan terhadap kebutuhan rakyat tidak terpenuhi oleh negara.

Ini semua diakibatkan sistem kapitalisme sekulerisme yang memberikan dampak buruk bagi rakyat dan negara. Sistem ini melahirkan manusia yang tamak, egois, hanya bepikir kepentingan diri dan kelompoknya. 

Sistem demokrasi yang lahir dari kapitalis-sekuler memberikan wewenang kepada manusia untuk membuat aturan yang sesuai dengan kepentingannya. Segala macam cara dilakukan untuk meraih uang dan kedudukan. Akhirnya, pencitraan dilakukan untuk menutupi semua kebobrokan masa kepemimpinan pemerintahan era Jokowi selama 10 tahun. Ini membuktikan bahwa negeri kita tidak baik-baik saja.

Saatnya rakyat kembali kepada sistem sahih yang berasal dari allah Swt., yaitu sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu dengan menerapkan syari'at Islam secara kaffah, yang sempurna dalam mengatur segala aspek kehidupan, yaitu: 

Pertama, pturan Islam yang berbasis akidah Islam, menjadikan negara memiliki aparat yang handal, profesional, amanah dan beriman, dan  yang tidak dikendalikan oleh kepentingan oligarki. Dasar pengaturan urusan dan kegiatan ekonomi rakyat oleh negara diatur sesuai dengan ketentuan syariah. Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi dibangun oleh 3 prinsip, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara masyarakat. 

Kedua, sistem yang mendukung perwujudan sumber daya manusia yang berkualitas melalui penerapan sistem pendidikan yang gratis. Sehingga, rakyat dapat menikmati pendidikan gratis sampai perguruan tinggi, yang diarahkan untuk menciptakan tenaga ahli di berbagai bidang. Tujuannya untuk menjaga urusan vital rakyat, melayani rakyat, serta memajukan negara sehingga menjadi negara yang mampu mengontrol urusannya sesuai dengan visinya, serta mandiri, tidak tergantung pada oligarki.

Ketiga, pengelolaan sumber daya yang melimpah oleh negara, yang akan dijadikan sumber devisa bagi negara yang merupakan milik umum yang dikelola oleh negara bukan kepada para oligarki seperti di sistem kapitalis. 

Keempat, sistem Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dan dorongan pengembangan kekayaan. Islam mewajibkan negara agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yaitu pangan, papan, sandang, serta penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara mewajibkan laki-laki sebagai penanggung jawab dan pencari nafkah untuk bekerja dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas, memberikan modal kerja. Negara akan membantu rakyat yang tidak mampu.

Kelima, sistem Islam juga mendukung pertumbuhan bisnis dan investasi

Keenam, negara Islam mampu mewujudkan stabilitas sistem moneter dan keuangan. Ini dilakukan dengan menjadikan emas dan perak sebagai standar, dan mendorong kemajuan ekonomi yang lebih baik.

Ketujuh, APBN yang mengoptimalkan pelayanan dan kekuatan negara. Dengan SDA yang melimpah, negara akan memiliki aset yang besar, sehingga tidak akan menjadikan pajak dan utang sebagai pemasukan, seperti di sistem demokrasi. 

Dengan penerapan aturan Islam yang paripurna, akan terjamin kesejahteraan rakyat di segalap aspek kehidupan. Islam juga melarang pencitraan  yang merupakan kebohongan untuk menutupi kebobrokan aparat yang lahir dari sistem rusak yang merusak. Islam menjungjung tinggi kejujuran. Adanya pertanggungjawaban kepada Allah menjadikan semua amanah ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan secara profesional. Wallahu alam bis shawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 19 Oktober 2024

Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Pencitraan di Tengah Problem Struktural

Tinta Media - Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, data terkait kepuasan publik menjadi salah satu isu yang kontroversial. Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia melaporkan bahwa 75 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja pemerintah. (detik.com, 04-10-2024). Namun, di balik angka ini, timbul pertanyaan kritis: apakah hasil survei ini mencerminkan realitas di lapangan atau hanya sebatas upaya pencitraan yang menyamarkan problematika struktural yang ada?

Secara teoritis, eksposisi ini akan menganalisis kontradiksi antara hasil survei dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Pertama, peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bukti kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang nyata bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memperlebar ketimpangan ekonomi dan mengabaikan kebutuhan pokok masyarakat.

Dari perspektif agama, khususnya Islam, negara memiliki tanggung jawab sebagai pengurus rakyat. Hal ini mencakup pengelolaan sumber daya secara adil dan transparan, serta pengambilan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan umum, bukan kepentingan segelintir elite. Dalam Islam, negara dituntut untuk memiliki aparatur yang profesional, amanah, dan beriman. Penerapan nilai-nilai ini hanya mungkin terjadi dalam sistem yang berlandaskan akidah Islam, yang memandang amanah sebagai tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.

Terdapat hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ketika ia meminta jabatan kepada Rasulullah SAW:

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah dan jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya ia pada hari kiamat nanti menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban yang ada padanya." (HR. Muslim).

Hadis ini memberikan peringatan bahwa jabatan kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dan akan menjadi sumber penyesalan kecuali bagi mereka yang mampu menunaikannya dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan amanah. Salah satu prinsip utama yang ditekankan dalam Islam adalah kejujuran. Dalam sistem Islam, pemimpin dan aparat negara memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi, karena mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah. Kesadaran akan pertanggungjawaban ini menjadikan mereka lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugas mereka. Mereka memahami bahwa setiap tindakan yang mereka ambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat.

Islam sangat menentang pencitraan atau manipulasi yang bertujuan untuk menutupi kelemahan atau memalsukan realitas. Pencitraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebagai bentuk kebohongan, dan dalam Islam, kebohongan adalah dosa besar yang akan mendatangkan hukuman di dunia dan akhirat.

Lebih jauh lagi, Islam secara tegas menentang praktik pencitraan yang bertujuan menutupi kebenaran. Prinsip kejujuran dan transparansi menjadi fondasi dalam setiap tindakan dan kebijakan. Dalam konteks ini, upaya pencitraan yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, di mana kejujuran menjadi kunci utama dalam menjalankan amanah publik.

Sebagai solusi, diperlukan reformasi yang berbasis pada nilai-nilai agama, terutama Islam, yang mengedepankan tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjalankan kekuasaan. Solusi yang ditawarkan berupa peralihan menuju sistem Islam bisa menjadi solusi konkret yang layak dipertimbangkan. Dalam sistem ini, keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab moral menjadi pilar utama yang mendasari setiap kebijakan yang diambil, dengan tujuan utama menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Dengan demikian, kontradiksi antara pencitraan dan realitas dapat diatasi, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara adil dan merata. Hanya dengan pendekatan solutif dalam sistem Islam yang berlandaskan pada keadilan dan moralitas agama, negara dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan bukan sebagai alat pencitraan bagi kepentingan politik semata.

Oleh: Novi Ummu Mafa, S.E., Sahabat Tinta Media 

Rabu, 28 Februari 2024

Pencitraan Skor PPH Hanya Bikin Sakit Hati



Tinta Media - Apalah makna dibalik capaian angka jika hanya skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang meningkat, namun rakyat masih banyak yang menahan lapar karena harga pangan tak tergapai. Badan Pangan Nasional memberi apresiasi atas capaian skor PPH di tahun 2023 yang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Ditahun 2023 skor PPH mencapai angka 94,1 lebih tinggi dari skor di tahun 2022 yang berada di angka 92,9. Plt Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy menyatakan bahwa tolok ukur dalam melihat situasi keberagaman konsumsi pangan adalah “entry point” yang dimasukkan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang kokoh, mandiri dan berdaulat. Ia juga menetapkan target capaian skor PPH tahun 2024 bisa menembus angka 95,2 dari capaian skor ideal 100. 

Sarwo Edhy juga mengatakan bahwa peningkatan ini adalah upaya dalam mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat untuk menangani berbagai permasalahan pangan di antaranya menuntaskan masalah daerah rawan pangan dan gizi, serta menurunkan kasus stunting di Indonesia. (m.antaranews.com 16 Februari 2024)

Apakah hanya dengan tercapainya skor PPH yang tinggi bahkan ideal 100 persen permasalahan kerawanan pangan dan gizi serta stunting yang menjerat generasi negeri ini akan selesai? Jika kita teliti mengenai PPH yang digunakan sebagai metode menilai jumlah dan komposisi serta ketersediaan pangan di suatu wilayah, apakah sudah cukup hanya dengan memastikan ketersediaan pangan tanpa melihat lagi pemerataan distribusi pangan di kalangan masyarakat?. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Negeri ini tidak kekurangan sumber pangan yang berkualitas dengan berbagai macam jenisnya. Yang menjadi masalah di sini adalah apakah semua lapisan masyarakat sudah dipastikan mampu mencukupi kebutuhan pangannya?. 

Di tahun 2023 saja tercatat 25,9 juta rakyat miskin di Indonesia dengan rata- rata pengeluaran per bulan sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan atau sekitar Rp18.348,6 per hari. Melihat kemampuan daya beli yang kurang dari Rp 20.000 per hari tentu akses memperoleh pangan yang bergizi dan beragam hanyalah mimpi, apalagi jumlah itu juga harus dibagi- bagi lagi untuk memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan pangan. 

Saat ini dunia bernaung dan dipimpin oleh sistem kapitalisme, mirisnya kepemimpinan dunia di bawah sistem ini telah menghasilkan masalah sistemik di berbagai bidang termasuk di bidang ekonomi. Kemiskinan yang menimpa masyarakat Indonesia saat ini sebenarnya adalah permasalahan global yang juga menimpa masyarakat di berbagai belahan dunia lainnya. Semua itu terjadi karena dalam sistem ekonomi kapitalisme memberikan kebebasan seluas-luasnya pada para kapital (pemilik modal) dalam menguasai sumber daya alam yang merupakan harta kepemilikan umum yang keberadaannya seharusnya digunakan untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat yakni kebutuhan akan layanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. 

Lebih dari itu penguasaan para kapital dalam sistem kapitalisme menjadikan ketersediaan lapangan kerja dan kebutuhan pokok masyarakat ada dalam kendali mereka. Sehingga tak heran jika hari ini kemiskinan bukan terjadi karena sifat malas saja namun memang karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Dan akibatnya akses pangan bergizi dan layak pun sulit untuk digapai. Keadaan ini semakin diperparah dengan mandulnya peran negara dalam sistem kapitalisme. Yang memosisikan negara hanya sebagai regulator yang mengeluarkan regulasi atau kebijakan saja, akibatnya masyarakat hanya bisa berjuang sendiri menghadapi berbagai persoalan pelik yang menimpanya saat ini.

Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta diatur sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Harta kepemilikan umum seperti halnya sumber daya alam yang terkandung di negeri-negeri kaum muslim merupakan harta kepemilikan umat yang penguasaan dan pengurusannya haram dilimpahkan pada pihak swasta dan asing. Pengurusan harta kekayaan umum dilakukan negara dengan tujuan untuk menyejahterakan rakyat.

 Mekanisme sistem ekonomi Islam juga berjalan sesuai dengan tuntunan syariat, oleh karena itu praktik-praktik yang tidak sesuai dengan aturan syariat dalam kegiatan ekonomi seperti praktik ribawi, perjudian, penipuan, dan tindakan melanggar syariat lainnya akan dihapuskan keberadaannya sehingga hal ini akan berdampak pada meratanya distribusi kekayaan, stabilitas pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan angka kemiskinan  secara signifikan. 
Dalam menjamin pemenuhan pangan masyarakat, Islam mempunyai dua mekanisme yaitu secara tidak langsung melalui jalur penafkahan.

 Dengan memastikan para kepala keluarga atau individu (laki- laki) yang memiliki tanggungan nafkah dapat bekerja sehingga negara berperan untuk menyediakan pelatihan dan pendidikan, serta memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Adapun mekanisme jaminan secara langsung melalui pemenuhan pangan secara layak dan bergizi oleh negara kepada pihak yang lemah dan tidak mampu seperti golongan orang sakit, cacat, perempuan, lansia yang sudah tidak mampu bekerja dan lain sebagainya. Begitulah mekanisme negara dalam Islam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

 Penguasa dalam sistem Islam akan dengan sungguh- sungguh dan didorong oleh ketakwaan kepada Allah mengurusi urusan rakyat yang menjadi tanggungannya karena semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR Bukhari Muslim)
Wallahu’alam bishawab

Oleh : Selly Nur Amalia
Aktivis Muslimah

Kamis, 14 Desember 2023

Piala Citra di Kontestasi Pemilu



Tinta Media - Masa kampanye baru saja dimulai. Para peserta pemilu mulai bergerilya ke pelosok Nusantara. Ada yang mulai dari ujung Sabang sampai Merauke, ada juga yang memulai dengan melakukan prosesi adat keluarga. Tak ketinggalan, ada juga yang masih kejar setoran sebelum masa jabatan berakhir. Apa pun awal mulanya, semua demi kemenangan peserta pemilu dalam kontestasi.

Apa Boleh se-Viral Itu?

Kreativitas tanpa batas nampaknya menjadi salah satu syarat bagi tim pemenangan nasional (tim pinal). Tim ini menggunakan berbagai jurus yang dianggap ampuh untuk memenangkan kandidatnya, sekaligus dapat menumbangkan lawan. Ibarat peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jurus jitu di era digital ialah viral. Narasi yang dibangun pun menggunakan istilah-istilah kekinian. 

Selain penggunaan istilah kekinian, tim final juga menggunakan berbagai narasi korban perundungan. Istilah ini biasa disebut dengan korban bullying. Tim final akan menjabarkan berbagai tuduhan yang dilontarkan oknum tertentu yang dianggap lawan kandidatnya. Selanjutnya, tim final akan menangkal tudingan tersebut dengan sudut pandang korban yang teraniaya. Hal ini bukanlah jurus baru dalam dunia perpolitikan demokrasi. Sebab, di setiap kontestasi pemilu, jurus ini selalu digunakan dan terbukti efektif.

Aturan Baru dalam Kontestasi

Baru permulaan, rakyat telah disuguhkan dengan berbagai berita tentang pelaporan dugaan kecurangan dalam kampanye calon pemimpin. Tuduh-menuduh menjadi menu pembuka dalam masa kampanye. Akhirnya, Bawaslu yang berperan sebagai pengawas membuat aturan baru dalam kontestasi pemilu saat ini. Bawaslu juga mengingatkan terkait black campaign yang dapat menyebabkan keributan di tengah masyarakat. (jambi.bawaslu.go.id)

Dalam kontestasi pemilu, perebutan piala citra menjadi sangat penting. Sebab, hal ini terkait citra calon pemimpin di mata rakyat. Namun, apakah itu cukup sebagai syarat memimpin suatu negeri? Apakah piala citra dapat menempatkan seorang pemimpin di tampuk kekuasaan tertinggi? Lantas, bolehkah se-keras itu usaha dalam perebutan piala citra?

Piala Citra atau Kepentingan Rakyat?

Dalam demokrasi, indikator kesuksesan seorang pemimpin adalah pencitraan. Sedangkan dalam Islam, kepentingan rakyatlah yang menjadi tanda keberhasilan seorang pemimpin. Ketika Rasulullah wafat, maka umat membutuhkan sosok pemimpin untuk menggantikan. Tidak sembarang pemimpin dapat memenuhi kriteria. Sebab, seorang pemimpin harus memiliki sikap mendahulukan rakyat, bukan mendahului rakyat. Selain itu, konsekuensi yang harus ditanggung oleh penguasa adalah kehidupan di akhirat kelak. 

Para sahabat nabi yang telah mengetahui konsekuensinya, menjadi enggan mengambil tanggung jawab tersebut. Sehingga, tidak terelakkan terjadi saling mengusulkan di antara para sahabat nabi dalam menentukan pemimpin umat. Bukan hanya karena masih memiliki hubungan saudara, atau sekadar melihat tingkat popularitas di mata rakyat, tetapi berdasarkan kualitas terbaik seorang pemimpin, yaitu amanah dalam mengambil setiap kebijakan untuk umat. 

Tentu, hal ini berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini semakin banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi dengan menggunakan berbagai cara, meskipun harus menutup mata terhadap ketidak-adilan. Mereka menutup telinga terhadap teriakan derita rakyat, hingga membiarkan kekacauan di tengah masyarakat, bahkan keluarga. Masih maukah menjalani kondisi seperti saat ini?

Mempertahankan atau Mengganti?

Perebutan piala citra dalam kontestasi pemilu akan selalu terjadi pada sistem demokrasi. Pasalnya, bukan peserta pemilu yang dirugikan, melainkan rakyat yang akan menjadi korban. Peserta pemilu dituntut harus memiliki citra yang sempurna di hadapan rakyat. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi setidaknya harus mampu menutupi kekurangan yang dimiliki, hingga rakyat dibuat tercengang dengan pencitraan para peserta pemilu. Masih maukah mempertahankan sistem seperti itu? Jika memilih untuk mengganti sistem saat ini, maka dengan sistem apa? 

Islam telah menawarkan mekanisme pemilu terbaik. Pemilu dalam Islam tentu berbeda dengan pemilu saat ini. Akidah Islam menjadi dasar pelaksanaan pemilu, yang kelak akan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Perbedaan pendapat tentang calon pemimpin bukan hal yang perlu diributkan. Sebab, dalam Islam perbedaan diperbolehkan, asalkan tidak keluar dari akidah Islam. Sehingga, para calon pemimpin akan melalui seleksi berdasarkan tuntunan Al-Qur'an dan As Sunah. Hal ini, akan menimbulkan ketenteraman di tengah rakyat. Memang berat konsekuensi yang akan diterima jika meninggalkan sistem sekarang. Namun, bukankah mempertahankan sistem saat ini, juga berat konsekuensinya?


Oleh: Sarah 
(Aktivis Muslimah)

Karhutla Butuh Penyelesaian Bukan Pencitraan



Tinta Media - Pencitraan dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan gambaran positif atau citra yang baik terhadap suatu individu, kelompok, atau negara. Dalam hal ini, negara biasa melakukan pencitraan di hadapan negara lain untuk meningkatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat internasional dengan harapan dapat membangun hubungan diplomatik yang baik, meningkatkan daya tarik investasi, meningkatkan nilai perekonomian, meningkatkan pariwisata, meningkatkan kerja sama internasional, dan banyak lagi.

Namun begitu, reputasi atau citra positif dari negara lain pada dasarnya akan datang dengan sendirinya, bila Indonesia khususnya yang notabene memiliki kekayaan alam yang berlimpah, mampu menyejahterakan rakyatnya, memiliki kedaulatan atas bangsanya, kuat pertahanan dan keamanan negara dan tidak bernegosiasi apalagi pasrah di bawah kaki penjajah. Sehingga menjadi negara yang tangguh dan disegani, serta meningkatkan kepercayaan dari masyarakat internasional.

Tapi hari ini , jangankan kesejahteraan atau rakyat diperhatikan, yang ada penderitaan demi penderitaan muncul silih berganti. Misalnya permasalahan Karhutla atau kebakaran hutan dan lahan, yang terus muncul di Indonesia setiap tahunnya, yang hingga kini belum juga ada solusi pasti dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut.

Kendati pada hari Kamis 30/11/2023 di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir menegaskan bahwa pemerintah Indonesia serius dalam menjaga hutan dari berbagai ancaman seperti perubahan iklim, illegal logging, kebakaran hutan, dan deforestasi.

Erick Thohir juga bangga dengan beberapa program dan keberhasilan yang telah dicapai Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Beberapa di antaranya adalah berhasil mengurangi titik api secara signifikan hingga 82% dari 1,6 juta hektar pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar pada tahun 2020. (cnnindonesia.com 01/12/2023)

Pernyataan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun jika kita melihat lebih teliti pada tahun 2021, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sebanyak 358.867 hektare (ha). Dan jumlah tersebut meningkat 20,85% dibandingkan pada 2020 yang seluas 296.942 ha. Artinya, masalah karhutla pada dasarnya belum benar-benar terselesaikan.

Masalah karhutla juga telah terjadi selama bertahun-tahun, dan jelas membuat rakyat sangat menderita, bukan hanya pada wilayah titik terjadinya karhutla, tapi juga ke daerah sekitarnya, akibat asap yang terbawa angin. Dan hampir seluruh rakyat dari dewasa, anak-anak dan para balita, dipaksa menghirup udara kotor dampak dari karhutla, hingga menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan saluran paru-paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), kanker paru-paru, kardiovaskular, penyakit paru-paru obstruktif kronis, hingga kematian.

Penyebab utama masalah karhutla adalah adanya praktik deforestasi atau penebangan hutan yang tidak sesuai dengan aturan, terutama dalam rangka membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, dan industri lainnya. Hal ini seolah menegaskan bahwa kebakaran, pembabatan, dan penebangan hutan adalah perusakan hutan yang sistematis akibat sistem kapitalisme liberal.

Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu, hingga melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas, dengan hanya memikirkan keuntungan materi. Melahirkan banyak penyelewengan dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan yang menjadi pemicu terjadinya karhutla.

Meski tidak dapat diabaikan, faktor cuaca seperti El Nino, angin kencang, dan curah hujan yang tinggi atau rendah juga mempengaruhi terjadinya karhutla. Namun masalah alam, dengan pola-pola familier yang kerap terjadi, bertahun-tahun, sepatutnya sudah dapat ditanggulangi dengan adanya badan mitigasi bencana yang melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan karhutla, sehingga masalah ini dapat diatasi dengan lebih efektif.

Ditambah dengan kelalaian atau kurangnya pengawasan dari pihak berwenang, dalam hal ini negara menjadikan pengawasan dan penegakan hukum sebagai instrumen yang digunakan sangat lemah dan tidak menimbulkan efek jera. Tidak adanya transparansi melahirkan dugaan akan adanya "permainan" antara perusahaan-perusahaan pelaku pembakaran dan oknum di pemerintahan yang juga menjadi faktor tidak pernah selesainya masalah ini.

Di dalam Islam, menjaga lingkungan dan melindungi alam dari bahaya dianggap sebagai tanggung jawab besar bagi umat manusia. Tindakan merusak atau membakar hutan dan lingkungan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, terlebih jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat, kehidupan makhluk hidup lainnya dan lingkungan secara umum. Itu jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai Islam.

Eksploitasi hutan yang telah menimbulkan kerusakan hutan seharusnya dihentikan karena menurut ketetapan syariah, hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Maka pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).

Dan kesalahan pembuat kebijakan sesungguhnya adalah kesalahan ideologi, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan.

Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan serta akar masalah karhutla selama ini adalah ideologi kapitalisme.

Maka solusinya tidak lain adalah mencampakkan ideologi tersebut, dengan ideologi Islam, yang sumber hukumnya adalah Al-Quran dan hadits Rasulullah. Sehingga pengelolaan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis dapat benar-benar dinikmati oleh masyarakat dan bukan menjadi beban penderitaan seperti saat ini. Dan sebab-sebab penderitaan rakyat seperti karhutla ini bisa benar- benar terselesaikan, bukan sekedar pencitraan. 
Wallahu'alam bissawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Jumat, 23 Juni 2023

PAKTA: Pencitraan Jokowi adalah Kemunafikan?

Tinta Media - Direktur PAKTA Dr. Erwin Permana menilai bahwa pencitraan yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah sebuah kemunafikan. 

"Dipoles di awal itu dia sebagai wong cilik, yang berpakaian sederhana, yang simpel misalnya, tapi sangat solutif. Diopinikan betapa beliau ini anti terhadap korupsi. Diopinikan betapa beliau ini anti terhadap investasi asing. Diopinikan, dibangun citra. Padahal faktanya sudah kita lihat semuanya justru semakin menjadi-jadi ini karena beliau tidak sesederhana yang digambarkan oleh orang itu. Terbukti, itu kemunafikan," ujarnya dalam diskusi "Jegal Menjegal di Tahun Politik, untuk Kesejahteraan Rakyat" pada kanal Youtube PAKTA Channel, Selasa (20/6/2023).

Dr. Erwin menguraikan bahwa sesungguhnya yang disebut dengan citra adalah membangun sesuatu yang tidak benar-benar ada. "Dibangun citra, dibangun komunikasi politik yang baik, dibangun imej yang baik. Padahal kenyataan sesungguhnya tidak seperti itu," urainya.

Dia menegaskan kembali bahwa yang namanya pencitraan dalam aktivitas tersebut merupakan sebuah kemunafikan. "Kalau kemunafikan yang berkuasa atas kita, maka sama dengan memundurkan kita bertahun-tahun ini," tambahnya.

Direktur PAKTA ini membeberkan bahwa hutang Indonesia sekarang ini sudah hampir 8000 trilyun, impor tenaga kerja terjadi tanpa kendali, dan rangkap jabatan juga terjadi dimana-mana.

Menurutnya, pemimpin yang terpilih seharusnya bisa mengatrol kehidupan masyarakat, bisa mengatrol level kesejahteraan masyarakat. 

"Tapi karena pemimpin yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki kapabilitas, tapi karena dicitrakan baik di tengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki kesadaran politik dan pada akhirnya dia menjadi pemimpin, yang terjadi maka seperti yang kita lihat sekarang ini," ujarnya.
"Jadi pencitraan itu kemunafikan. Dan itu bahaya," simpulnya. [] Hanafi


Rabu, 10 Mei 2023

PKAD: Demokrasi Biang Politik Pencitraan

Tinta Media - Menanggapi masalah penetapan calon presiden (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) pemilu 2024, Presiden Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Slamet Sugianto menyatakan bahwa sistem demokrasi menjadi biang politik pencitraan. 

“Saya kira ini semuanya adalah akar yang terjadi oleh karena praktik yang diselenggarakan oleh sebuah sistem yang namanya sistem demokrasi, yang menjadi biang politik pencitraan," ujarnya dalam Kabar Petang: PDIP Ogah Usung Figur Pencitraan, Sindir Kadernya Sendiri? Kamis (27/4/2023) di kanal Youtube Khilafah News. 

Menurut Slamet, penggunaan lembaga survei untuk menampilkan tokoh tertentu dalam upaya membentuk opini positif merupakan salah satu indikator pencitraan. Jelas tujuannya adalah untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik sebanyak-banyaknya. 

“Saya kira peran dari lembaga survei untuk bisa memberikan satu penekanan atau stressing sebagai satu bagian dari pilar proses politik yang sekarang ini berjalan, itu mengkonfirmasi,” ungkapnya. 

Dia mengatakan, penggunaan para buzzer dan influencer yang sangat masif oleh pemerintah dalam komukasi publik juga mengkonfirmasikan pencitraan itu. Masyarakat dibuat abai dengan substansi kebijakan yang sesungguhnya. 

“Apa yang kita lihat, misalnya keterlibatan para buzzer-buzzer, atau para influencer-influencer yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan, sebagai bagian tidak terpisah dari paket kebijakan yang dikomunikasikan kepada publik,” pungkasnya. [] Muhammad Sholeh

Selasa, 02 Mei 2023

Penunjukan Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024, Dirasa Aneh Sebagian Kalangan

Tinta Media - Penunjukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 oleh Megawati, menurut sebagian kalangan dirasa aneh. 

"Ini dirasa aneh oleh sebagian kalangan," tutur Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana dalam Program Aspirasi: Ganjar Pranowo, Fenomena Simulacra? Ahad (23/4/2023) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Ia mengungkap, lantaran beberapa hari sebelumnya Megawati tegas tidak akan memilih calon yang hanya bermodal pencitraan, namun nyatanya Megawati justru menunjuk Ganjar Pranowo yang selama ini aktif di media sosial. 

Ia mengatakan, sebagian kalangan mengaku heran dengan tindakan Megawati tersebut. "Di satu sisi track record dari Ganjar di Jawa Tengah juga tidak terlalu menonjol. Di samping sosok ini tidak memiliki kepemimpinan yang konsepsional dan operasional serta miskin integritas dan prestasi," ujarnya. 

Ia membeberkan pernyataan dan perilaku Ganjar yang kontroversial tahun 2017 Ganjar Pranowo menerbitkan surat izin bernomor 660.1/4/2017 untuk penambangan PT Semen Indonesia, gara-gara izin pembangunan pabrik tersebut Ganjar banjir gugatan dari lembaga pelestarian lingkungan hidup. 

"Ganjar juga pernah blak-blakan mengaku menonton film porno, ia melihat bahwa hal itu wajar sebab seseorang sudah dewasa wajar nonton porno. Pengakuan ganjar ini menjadi kontroversi dan mendapat kritikan dari berbagai kalangan," bebernya. 

"Ganjar juga pernah mendapat kecaman publik setelah dirinya mengunggah bantuan dari baznas untuk melakukan renovasi rumah kader PDI Perjuangan," imbuhnya. 

Agung menyebut, sementara itu banyak kekhawatiran bahwa Indonesia memasuki episode politik simulacra.  "Episode politik yang diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta melalui kontruksi realitas semu secara masif yang menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif dalam konteks manipulasi opini publik," sebutnya. 

Agung menilai, kebudayaan industri saat ini menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, dan antara entertainment dan kepentingan politik.

"Masyarakat tidak sadar akan pengaruh citra simulacra, hal ini membuat masyarakat jerapah mencoba hal baru yang ditawarkan simulacra untuk membeli, bekerja dan lain-lain termasuk misalnya memilih presiden, gubernur, walikota maupun bupati," ucapnya. 

Agung melihat, di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini realitas telah hilang dan kebenaran seringkali menguap. 

"Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa dimanipulasi dan dicitrakan. Dinamika manusia bertopeng simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan imajiner, yang benar dengan palsu," pungkasnya. [] Robby Vidiansyah Prasetio

Sabtu, 22 Oktober 2022

Darurat Kebohongan dalam Sistem yang Penuh Pencitraan, Saatnya Kembali pada Islam

Tinta Media - Berani berkata jujur dari hati yang terdalam sangatlah mahal dalam sistem yang menjunjung tinggi pencitraan. Tampak baik di permukaan, tetapi menyimpan keburukan. Berani berbohong dan mengobral janji manis, serta melakukan tipu daya agar mendapat dukungan dari rakyat. Halal dan haram bukan standar perbuatan, tetapi lebih mengedepankan citra untuk mendapatkan pengakuan manusia. Wajah lugu, merakyat, dan penuh welas asih, tetapi ternyata tega terhadap rakyat dengan menghasilkan kebijakan yang menyengsarakan, tetapi menguntungkan oligarki.

Kebohongan pun dilakukan berulang ulang untuk menutupi kekurangan. Membangun citra positif dilakukan dengan segala cara agar terkesan baik di hadapan manusia. Bahkan, buzzer pun dipelihara untuk membangun citra agar kekuasaan tetap dalam genggaman. 

Negeri ini dalam darurat kebohongan sehingga sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah. Semua dibalut dengan kebohongan dan tidak punya keberanian untuk menyampaikan kejujuran. 
Benar apa yang disampaikan Habib Muhammad Rizieq Shihab soal kondisi negara yang dipenuhi dengan darurat kebohongan dan darurat kezaliman. 

Keberanian untuk menyatakan kejujuran sungguh mahal. Bibit-bibit kejujuran sulit tumbuh dalam sistem yang mengagungkan pencitraan. Idealisme ditinggalkan dan diganti dengan pragmatisme yang dianggap menguntungkan untuk meraih nikmat dunia. Kejujuran ditekan, bahkan diancam dengan hukuman pidana agar rakyat bungkam dan tidak berani menyampaikan apa yang dianggap benar. 

Fakta ditutup rapat karena dianggap bisa menggoyang kekuasaan. Bahkan, para buzzer dibayar mahal hanya untuk menebar kebohongan agar citra baik yang semu dan menipu tetap terjaga. Negara semakin rapuh karena uang rakyat digunakan tidak untuk kebaikan, tetapi lebih untuk membangun citra positif, meskipun dengan menebar kebohongan.

Akankah kebohongan terus diproduksi untuk menutupi kebohongan lain yang dihasilkan agar citra baik bisa terus terjaga dan kekuasaan bisa terus dalam genggaman? 

Namun, kebohongan tidak bisa terus menerus dipertahankan, karena kejujuran pada waktunya akan muncul dan tidak bisa dielakkan akan terkuak kebusukan yang selama ini tersimpan rapat. 

Belajar dari kasus Sambo, pada akhirnya nampak kebusukannya. Bisnis haram yang melanggar aturan Allah ditampakkan dan kejahatan pada akhirnya menampakkan wajah aslinya. Rakyat sudah muak dengan janji-janji manis dan pencitraan yang dibangun hanya untuk menutupi kebohongan satu dan yang lainnya. Sampai pada akhirnya, kebusukan pasti akan tercium juga, dan berakhir dengan kehinaan karena sudah bermaksiat pada aturan Allah.

Sudah terbukti kekuasaan yang berpijak pada kebohongan sangatlah rapuh dan pada akhirnya berakhir dengan kehinaan. Sungguh mudah bagi Allah untuk mencabut kekuasaan dari orang-orang yang Dia kehendaki. 

Fir'aun dengan kekuasaan yang luar biasa pada akhirnya juga hancur dengan kehinaan. Begitu pula raja Namrud yang sangat berkuasa, di akhir hidupnya dihinakan oleh Allah Swt. 

Harusnya para penguasa saat ini belajar dari yang sebelumnya, agar namanya bisa tertulis dengan tinta emas dalam sejarah, seperti para pemimpin dalam sistem Islam, agar bisa kembali pada sebaik-baik tempat kembali setelah mati, yaitu surga-Nya. 

Dalam sistem kapitalisme demokrasi, pencitraan dianggap keharusan karena tujuannya hanya nikmat dunia dan kekuasaan. Sebaliknya, dalam Islam, tujuan berpolitik adalah untuk mengurusi urusan rakyat dan untuk mencari rida Allah. 

Dunia bukan tujuan, tetapi ujian untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat nanti. Kepemimpinan amanah sering kita dengar dalam sejarah. Namun, tidak dalam demokrasi yang semua penuh tipu daya untuk meraih kekuasaan. Segala cara pun ditempuh hanya untuk mempertahankan kekuasaan, agar terus dalam genggaman. 

Pemimpin yang memproduksi kebohongan dan janji manis banyak ditemukan dalam sistem demokrasi. Mereka tidak berani berkata jujur dan memperjuangkan kebenaran, selama itu dianggap tidak menguntungkan. Politik dianggap kotor karena hanya untuk kekuasaan. 

Mereka yang jujur dalam membela kebenaran, harus berhadapan dengan kekuasaan dengan berbagai framing negatif, ancaman, bahkan ditangkap tanpa harus melalui proses peradilan yang adil. Sebaliknya, mereka yang banyak menghasilkan kebohongan, mendapat jabatan dan bisa menikmati kue kekuasaan. 

Sungguh, negeri ini darurat kebohongan karena yang berbohong mendapatkan keuntungan dunia, tetapi yang jujur dilibas habis. Yang tertinggal hanya para pembohong yang membawa kerusakan di muka bumi ini. 

Seperti yang terjadi pada penggugat ijazah Presiden Jokowi, meskipun belum dibuktikan dalam proses pengadilan, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap penggugat ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bambang Tri Mulyono, pada Kamis (13/10/2022). (KOMPAS.com)

Saatnya kembali pada sistem Islam yang akan mendorong semua orang untuk berkata jujur, karena dalam Islam kita meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu, baik apa yang kita tampakkan maupun yang kita sembunyikan.

Penduduk yang beriman dan bertakwa hanya takut kepada Allah Swt, sehingga mereka takut untuk berbohong. Rakyat berani mengoreksi pemimpinnya dengan menyampaikan kebenaran dan fakta. Penguasa mengapresiasi dan senang rakyatnya berani mengoreksi kebijakan yang salah. Bukan hanya di mulut saja, tetapi semua sudah tercatat dalam sejarah. 

Keberanian datang dari orang-orang yang masih menjaga idealismenya, bukan mereka yang suka berpikir pragmatis. Kaberanian membela kebenaran bukan ditentukan tingginya strata pendidikan maupun jabatan seseorang, tetapi lebih pada kayakian kuat, bersumber dari agama yang lurus dan mulia. 

Hanya orang yang memiliki ketakwaan yang sebenar ketakwaanlah yang memiliki keberanian memperjuangkan kebenaran hakiki. Ancaman tidak akan mampu menghentikannya untuk menyuarakan kebenaran dan berkata tidak pada kezaliman yang dilakukan penguasa. 

Hanya sistem Islam yang mendorong keberanian untuk menyampaikan kebenaran dan mampu menciptakan sosok pemimpin pemberani, jujur, dan membela rakyatnya. Saatnya mencampakkan sistem buruk yang menjadi sumber segala masalah, dan kembali pada sistem Islam yang akan menjadi solusi semua masalah.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab