Minggu, 13 November 2022
Kamis, 03 November 2022
Analis: Urgensi Pemimpin Tingkatkan Kapasitas dan Kelas dalam Wujudkan Perdamaian Dunia
Kamis, 27 Oktober 2022
DEMOKRASI DAN PEMIMPIN MUNAFIK
Tinta Media - Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan.
Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.
Ada dua faktor utama, mengapa sistem demokrasi tidak melahirkan efektifitas penyelenggaraan negara di negeri ini. Pertama, secara genetis, demokrasi adalah ideologi transnasional yang sekuleristik liberalistik dan bahkan kapitalistik yang merupakan gerakan imperialisme dan neokolonialisme Barat terhadap negeri-negeri muslim.
Kedua, secara empirik, para elit penyelenggara pemerintahan hanya sibuk bertengkar berebut kekuasaan demi libido politiknya sendiri. Setelah berkuasa, kerja mereka hanya korupsi, kolusi dan nepotisme tanpa ada rasa malu. Lebih dari itu, demokrasi sering kali hanya melahirkan para pemimpin boneka yang menjadi budak para oligarki kaum kapitalis belaka.
Demokrasi selalu berdusta dan ingkar janji karena merupakan rekayasa manusia demi kepentingan duniawi semata. Dalam demokrasi tidak dikenal kehidupan akhirat, tidak dikenal juga hukum halal dan haram. Secara genetik, demokrasi lebih dekat kepada karakter munafik, jika tidak hendak disebut kufur. Bahkan jika percaya kepada manusia sebagai sumber kebenaran hukum, bisa menjerumuskan kepada kesyirikan.
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (al-Baqarah: 147). “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Rabbmu.” (al-Kahfi : 29).
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Rasul- Nya Muhammad, “Katakanlah wahai Muhammad kepada manusia, ‘Inilah yang aku bawa dari Rabb kalian. Itulah yang benar tiada keraguan padanya…’.”. Asy-Syaukani berkata, “(Katakanlah) kepada mereka yang lalai, ‘Kebenaran itu dari Rabb kalian, bukan dari arah yang lain sehingga (kalau dari yang lain) memungkinkan untuk diubah dan diganti’
Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An Nisaa : 60)
Thagut (bahasa Arab: طاغوت, thaghut) adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dalam melawan perintah Allah.
Thagut bisa bermakna setan yang selalu menyeru beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalil-nya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya : "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu." (QS Yasin 36: 60).
Thagut juga bisa bermakna penguasa zhalim yang mengubah hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti peletak undang-undang yang tidak sejalan dengan Islam. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengingkari orang-orang musyrik. Mereka membuat peraturan dan undang-undang yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (QS Asy-Syura 42: 21).
Thagut juga bisa bermakna hakim yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ia mempercayai bahwa hukum-hukum yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sesuai lagi, atau dia membolehkan diberlakukannya hukum yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS Al-Ma'idah 5: 44).
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An Nisaa : 65)
Demokrasi sekuler liberal adalah jebakan bagi para pemimpin muslim yang bisa menjerumuskan dalam kemunafikan. Ideologi demokrasi sekuler termasuk thagut. Sikap munafik seorang pemimpin adalah ketika menolak hukum Allah dan menghalangi tegaknya hukum Allah. Sementara demokrasi sekuler adalah ideologi yang memisahkan antara agama dan negara. Maka, pemimpin muslim pendukun demokrasi sekuler otomatis akan menolak hukum Allah diterapkan secara kaffah dalam institusi negara.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul," (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu (QS An Nisaa : 61).
Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian." (QS An Nisaa : 62).
Kepemimpinan munafik bukan saja menolak hukum Allah, bahkan mereka tak segan-segan memusuhi dan menfitnah Islam dan ajarannya. Mereka dengan sombong menuduh Islam sebagai agama teroris, menuduh Al Qur’an sumber terorisme, mengkriminalisasi para ulama pejuang Islam, membubarkan kajian-kajian Islam, dan menebarkan paham-paham sesat seperti moderasi, liberalisme, sekulerisme dan pluralisme. Bahkan kaum manafik banyak yang jadi corong kaum kafir untuk merusak Islam hanya untuk mendapatkan seonggok nasi basi.
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah." (QS An Nisa 139)
Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama menerangkan, walau mengaku beriman, mereka sebenarnya tetap dalam keadaan kufur dan menyembunyikannya. Salah satu buktinya ialah bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung meraka. Hal itu dilakukan dengan meninggalkan orang-orang Mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap.
Mereka seharusnya menjadikan orang Mukmin itu penolong mereka, tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Apakah mereka yaitu orang-orang munafik mencari kekuatan di sisi mereka yakni orang-orang kafir untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada mereka?
Pemimpin munafik sangat berbahaya bahkan lebih berbahaya dari orang kafir karena mereka kerap mempermainkan agama. Sifat pemimpin munafik dalam Islam seperti ini dapat berujung pada terpecah belahnya umat, hancurnya agama Islam dari dalam, dan menghancurkan sebuah negara.
Dalam surat An Nisa ayat 138, Alquran memberi kabar atau pesan kepada orang-orang munafik. Bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat kemunafikannya. “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.” (QS An Nisa 138)
Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat 138 ini menerangkan, sampaikanlah berita sebagai ejekan dan kecaman kepada orang-orang munafik, wahai Nabi Muhammad, bahwa bagi mereka di akhirat kelak siksaan yang pedih. Bahkan mereka akan berada pada tingkat yang paling rendah, buruk, dan berat dari neraka Jahanam sebagai balasan dari perbuatan mereka.
Tafsir Kementerian Agama menerangkan ayat 138 yaitu bahwa, orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang Mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya. Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 25/10/22 : 07.47 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
Sabtu, 22 Oktober 2022
Ustaz Adi: Pilihlah Pemimpin yang Bertakwa dan Menerapkan Syariat Islam!
Minggu, 16 Oktober 2022
Ahmad Sastra: Indonesia Butuh Pemimpin yang Adil
Minggu, 09 Oktober 2022
UIY: Kalau Ini Hari Ada Pemimpin Islam Tidak Merujuk kepada Nabi, Itu Kebangetan
PKAD: Masyarakat Sekuler Lebih Memilih Pemimpin Paling Populer Bukan Berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah
Jumat, 07 Oktober 2022
Syarat Utama Pemimpin adalah Amanah
Jumat, 30 September 2022
KARAKTER PEMIMPIN YANG DIBUTUHKAN INDONESIA
Kamis, 08 September 2022
Berharap Pemimpin yang Mengayomi
Minggu, 26 Juni 2022
Inilah Karakter Pemimpin Ideal untuk Membangun Negara Besar yang Berdaulat dan Mandiri
“Perlu kiranya bagi umat memahami apa saja karakter pemimpin ideal untuk membangun sebuah negara besar yang berdaulat dan mandiri,” tuturnya dalam rubrik Serba-serbi MMC: Sistem Demokrasi Lahirkan Pemimpin pro Kapitalis? Sabtu (18/6/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.
Narator menjelaskan karakter tersebut diantaranya adalah pertama, orang yang paling takut kepada Allah. “Pemimpin haruslah mereka yang paling merasa takut dosa dan paling merasa diawasi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ketika pemimpin memiliki sifat ini ia akan memimpin berdasarkan ketaatan Allah subhanahu wa ta'ala. Dengan begitu kepemimpinannya tidak akan keluar dari batas syariat Islam,” jelasnya
Kedua, shidiq yang berarti jujur. Sifat teladan ini telah dicontohkan Rasulullah Saw sebagai sifat dasar beliau baik sebagai individu ataupun kepala negara. Lawan jujur adalah dusta. “Bila pemimpin jujur, ia akan dipercaya rakyatnya,” paparnya.
Ketiga, amanah. Lawan dari sifat ini ialah khianat. Amanah merupakan sifat wajib yang harus dimiliki seorang pemimpin. “Dengan sifat ini pemimpin akan menjaga kepercayaan rakyat atas tanggung jawab kepemimpinannya,” jelasnya.
Narator menyampaikan beratnya amanah tergambar jelas dalam Firman Allah yang terdapat dalam Alquran surah al-ahzab ayat 72:
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikul lah amanah itu oleh manusia sesungguhnya manusia itu amal zalim dan amat bodoh”
Keempat, tabligh atau komunikatif. Menurutnya, kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu karakter ideal pemimpin dambaan umat. Sebab pemimpin akan selalu berkomunikasi dengan rakyatnya. Komunikasi yang baik antara pemimpin dan rakyatnya akan menciptakan hubungan yang baik pula.
“Pemimpin harus terbuka dengan rakyatnya, mendengar keluhan mereka, dan menerima masukan serta nasihat mereka. Hal itu telah dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan para khalifah sepeninggal beliau,” ungkapnya.
Kelima, fathonah atau cerdas. Kecerdasan seorang pemimpin akan memudahkannya memecahkan persoalan yang terjadi di masyarakat. “Pemimpin cerdas ditopang ilmuwan yang mumpuni makin berilmu ia makin memahami dan berusaha keras menyelesaikan persoalan dan solusi tepat bagi rakyatnya,” tuturnya.
Keenam, adil. Lawan dari adil adalah zalim. “Pemimpin haruslah adil, di tangannya hukum ditegakkan pujian Allah dan Rasul-Nya terhadap pemimpin adil termaktub dalam Al-Qur’an dan as-sunnah,” paparnya.
Narator menegaskan bahwa dalam Islam perkara kepemimpinan menjadi urusan penting. “Sebab dari sinilah bala atau berkah itu terjadi,” tegasnya.
Narator juga menyampaikan Syaikhul Islam yang menjelaskan tentang kriteria pemimpin yang baik. Ia menjelaskan selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan, karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar yakni kuat atau mampu dan amanah.
“Yang dimaksud mampu adalah kapabilitas dalam semua urusan baik dalam urusan peperangan urusan pemerintahan yang terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan serta kemampuan dalam menerapkan syariat,” paparnya.
Sedangkan pemimpin yang kuat adalah mereka yang tidak tersandra kepentingan partai, golongan apalagi menghamba kepada penjajah dan kaum kafir.
“Kepemimpinan kuat adalah sikap berani melawan kezaliman dan menerapkan syariat Islam yang datang dari Allah Azza wa Jalla,” jelasnya.
“Adapun amanah direfleksikan pada takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menjual ayat-ayatnya dengan harga murah dan tidak pernah gentar terhadap manusia apalagi pemilik modal,” jelasnya lebih lanjut.
Menurut narator, itulah beberapa karakter yang wajib dimiliki pemimpin ideal dambaan umat. Karakter ini nyaris tidak ada dalam sistem pemerintahan demokrasi sekuler.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan karakter pemimpin dambaan umat, dibutuhkan sistem baik yang mampu melahirkan sosok tersebut. “Tanpa sistem Islam dalam naungan khilafah, mustahil kita temukan pemimpin ideal dambaan umat,” tandasnya. [] Raras