Tinta Media: Pemilu
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 September 2024

Mekanisme Pemilu Jadi Masalah, Bukti Demokrasi Lemah


Tinta Media - Adanya kontestan pemilu di Pilkada Kabupaten Bandung yang masih menjabat kepemimpinan daerah (pejabat petahana) ada tiga orang, di antaranya adalah Dadang Supriatna selaku Bupati Bandung, Sahrul Gunawan selaku Wakil Bupati Bandung 2019-2024, serta Gun Gun Gunawan yang belum lama ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung 2024-2029.

Pemerhati kebijakan publik Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Direktur Jamparing Institute, Dadang Risdal Azis menyoroti tentang adanya perbedaan perlakuan regulasi petahana dan anggota legislatif yang menjadi kontestan di pilkada. Karena itu, perlu pendalaman komprehensif untuk menghindari dan meminimalisir konflik kepentingan. 

Dadang mengatakan bahwa jika kontestan pilkada merupakan pejabat petahana, maka cukup mengajukan cuti kampanye, sedangkan jika pesertanya masih anggota DPRD, maka harus mengundurkan diri dari jabatan yang tertuang dalam UU No.7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.

Dadang juga menyepakati soal adanya surat edaran menteri dalam negeri yang mengatur tentang pengunduran diri pejabat, Gubernur, dan Walikota pada pilkada 2024. Regulasi ini mengatur agar petahana yang akan mengikuti pilkada perlu mengundurkan diri. Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi anggota DPR, DPD, DPRD, serta PNS, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN/BUMD, yang juga wajib mundur di pilkada jika menjadi kontestan di pilkada. 

Pengaturan tentang hal tersebut menjadi masalah ketika ketetapan pemilu dilaksanakan secara berkala karena habisnya masa jabatan kepemimpinan, yaitu lima tahun. Oleh karena itu, harus ada UU dalam pengaturan pemilu, termasuk para kontestan yang sering kali diikuti oleh para pejabat yang masih berkuasa (petahana). 

Realitas ini sangat niscaya terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme, yang memandang jabatan sebagai kondisi yang menguntungkan, baik dari sisi pengaruh, fasilitas yang serba mewah, ataupun tunjangan serta sarana-pra sarana yang akan didapat jika meraih jabatan tersebut. 

Ini semua merupakan  sesuatu yang amat menggiurkan, sehingga banyak yang berlomba-lomba mencalonkan diri untuk meraihnya. Apalagi pejabat yang masih menjabat, mereka ingin terus mempertahankan jabatan dengan segala macam cara untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan berkeinginan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi, hingga rela mengorbankan apa pun demi jabatan tersebut. Selanjutnya, mereka ingin mencalonkan lagi dan lagi. Hal ini terjadi karena adanya peluang bagi siapa pun untuk mencalonkan diri, walaupun sekadar untuk memenuhi syahwat politik secara pribadi atau golongan. 

Mungkinan saja petahana menggunakan fasilitas negara ketika mencalonkan karena posisinya masih tetap berkuasa. Ini bisa terjadi manakala politik dijadikan sebagai tujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawannya baik dengan cara memukul maupun merangkul untuk memenangkan persaingan dalam pilkada.

Regulasi yang ada tidak serta-merta dapat mencegah peluang untuk berbuat curang walaupun dengan memanfaatkan kekuasaan. Apalagi dalam demokrasi, sah-sah saja menghalalkan segala cara dalam politik untuk meraih kekuasaan, seperti menggunakan bebagai macam  kekuatan tipu daya, manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan, selama memiliki kekuatan modal dan kekuasaan (pengaruh), yaitu dukungan dari para pemilik modal (kapitalis).

Hegemoni kepentingan para pemilik modal (kapitalis) melalui pemilu sebagai metode demokrasi inilah yang menyuburkan politik uang, suap, kolusi, dan korupsi, semata untuk kepentingan para kapitalis, dalam menguasai kendali politik dan kekuasaan dengan membentuk jaringan oligarki yang mampu memengaruhi jalannya pemerintahan beserta segala kebijakannya. Inilah demokrasi yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat. Pada realitasnya, demokrasi hanya menjadi sarana bancakan antara penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan para pengusaha.

Pemilu, termasuk pilkada menjadi pintu awal masuknya hegemoni para kapitalis ini, sehingga para penguasa ada dalam kendali pengusaha (kapitalis) dalam menjalankan pemerintahan. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi alat yang dipakai dalam meloloskan kebijakan yang pro-kapitalis, tapi tidak pro-rakyat. Hal ini menumbuhsuburkan para pemimpin yang rakus akan kekuasaan yang didukung oleh para kapitalis. Selamanya rakyat akan menjadi korban, seperti saat ini. 

Oleh karena itu, jika ingin terjadi perubahan di tengah masyarakat, yaitu tercipta kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan, maka tidak bisa dilakukan dengan sekadar mengubah pemimpin melalui pemilu. Namun, yang utama adalah mengubah sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan di negeri ini menjadi  sistem yang sahih dan paripurna, yaitu sistem Islam. 

Paradigma kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam adalah semata-mata untuk  melayani rakyat. Ini karena makna politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan umat (rakyat) yang dilakukan oleh seorang kepala negara (khalifah) melalui penerapan syariat Islam secara kaffah (keseluruhan). 

Untuk menjamin keberlangsungan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada khalifah tersebut, Islam menetapkan tujuh syarat in'iqad (sah) seorang khalifah tersebut, yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu.

Ketujuh syarat tersebut wajib dipenuhi oleh seorang khalifah agar memenuhi kelayakan sebagai seorang pemimpin yang amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Tanggung jawab itu bukan hanya kepada manusia (rakyat) yang dipimpin, tetapi juga kepada Allah Swt.

Seorang pemimpin wajib berhukum pada hukum Allah dalam mengatur urusan rakyat, sebab kedaulatan berada di tangan syara' (syariat). Keberadaan rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari syariat Islam, sehingga akan menutup kemungkinan terjadi tindakan pejabat yang menyimpang dari syariat.

Kalaupun terjadi penyimpangan, maka akan diadukan kepada Mahkamah Mazalim. Dialah yang akan memproses hal tersebut, hingga sampai pada keputusan, apakah khalifah bisa tetap melanjutkan kepemimpinannya ataukah di-impeachment (diberhentikan) akibat terbukti melakukan penyimpangan (zalim), yang berarti telah hilang salah satu syarat in'iqad-nya.

Jika khalifah diberhentikan, maka wajib segera dilakukan pemilihan khalifah yang baru. Syariat Islam menetapkan bahwa pemimpin tidak dibatasi masa jabatan, karena faktor yang dapat memberhentikannya sebagai pemimpin adalah ketika sudah tidak terpenuhinya lagi syarat in'iqad pada seorang khalifah meskiy hanya satu. 

Oleh karena itu, pemilu untuk memilih pemimpin tidak menjadi hal yang dilakukan secara berkala. Yang menjadi masalah dalam hal kepemimpinan bukan karena ia mencalonkan lagi atau tidak, tetapi apakah memenuhi syarat in'iqad ataukah tidak. 

Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang muslim di panggung kekuasaan. Yang utama adalah penerapan Islam kaffah di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia, dalam rangka mengatur urusan urus rakyat (umat). Wallahu alam bis shawab.





Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Minggu, 10 Maret 2024

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Hanya Ajang Mencari Kekuasaan


Tinta Media - Beberapa waktu lalu, tepatnya 14 Februari 2024, Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden-wakil presiden, dan anggota legislatif. Keramaian menjelang pemilu ini sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya, dengan antusiasme beberapa kalangan masyarakat dalam menyambutnya.

Dalam pelaksanaannya, selain diwarnai dengan antusiasme, pemilu kali ini pun diwarnai dengan beberapa kericuhan dan juga kecurangan yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

Salah satunya di TPS 44 Desa Bojongkunci, Kabupaten Bandung. Dugaan kecurangan tersebut ramai setelah banyak kertas suara yang telah dicoblos untuk pasangan paslon tertentu sebelum pemilihan dilakukan.

Kronologi ini menjadi sorotan utama selama proses pemilihan. Masyarakat menjadi khawatir bahwa kecurangan ini akan menimbulkan gejolak baru bagi para simpatisan dan juga memengaruhi kestabilan politik.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat ketentuan mengenai tindak pidana bagi pelaku kecurangan dalam pemilu.

Sebenarnya kecurangan pemilu dalam sistem demokrasi ini bukan hanya terjadi pada tahun ini. Masih jelas dalam ingatan kita tentang kericuhan yang dilakukan oleh pendukung paslon yang dicurangi pada pemilu tahun 2019, yang hampir memakan korban luka-luka. Selain itu, pemilu tahun 2019 juga diwarnai dengan meninggalnya sekitar 750 orang petugas KPPS secara hampir bersamaan, yang disinyalir karena kelelahan harus menghitung ulang surat suara, walaupun alasan ini masih menjadi perdebatan yang tidak berujung, hingga dipeti-eskan.

Lebih mirisnya lagi, seorang yang dibela mati-matian oleh pendukung paslon yang kalah, justru melenggang dan menerima kekuasaan dari pihak yang menang. Hal ini membuktikan bahwa dalam politik demokrasi tidak ada teman abadi dan  tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Maka, selama dapat meraih kepentingannya, seorang politisi akan sangat mudah memihak siapa pun, sekalipun dia merupakan rival politik di masa lalu. Atau sebaliknya, siapa pun akan dia tinggalkan jika tidak dapat memenuhi kepentingannya, sekalipun dulu merupakan teman politiknya.


Politik dalam pandangan mereka, semata untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan diraih untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat. Ini justru cenderung merugikan rakyat. Rakyat hanya diperlukan ketika pemilu saja, untuk menghantarkan mereka ke kekuasaan. Setelah mereka berkuasa, kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan justru jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Pemilu demokrasi dengan biaya mahal, mengharuskan para kontestan pemilu memiliki dana besar, yang sering kali bukan berasal dari uang sendiri, tetapi dari para penyokong dana, yaitu para kapitalis, luar dan atau dalam negeri. Maka, tidak heran jika  pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para kapitalis melalui calon yang didukungnya. 

Jika satu  mendapatkan kekuasaan, para pejabat berlomba untuk memberikan kompensasi dana tersebut dengan segala cara, baik dalam bentuk modal, proyek pembangunan, program pemerintah, ataupun jabatan, melalui tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hawa nafsu berkuasa dengan segala macam cara, menjadi sebuah keniscayaan. Inilah konsekuensi dari penerapan demokrasi sekuler kapitalis, yang memisahkan agama dari kehidupan, yang mengagungkan aturan manusia yang lemah, dan mendewakan kebebasan.

Padahal, sebagai kaum muslimin, harusnya kita mengembalikan hak membuat aturan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Aturan tersebut diterapkan melalui kekuasaan sebuah negara untuk mengatur urusan umat dalam seluruh bidang kehidupan.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala hal, termasuk tentang pemilu. Pemilu di dalam Islam merupakan uslub (cara) untuk mencari pemimpin. Pada dasarnya, hukumnya boleh. Namun, bukan berarti harus menabrak syariat Islam. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengutamakan aturan Allah dalam aktivitas apa pun, termasuk pemilu.

Selain pemilu, cara lain dalam memilih khalifah atau pemimpin adalah dengan musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi sebagimana ketika terpilihnya Abu Bakar pasca wafatnya Rasulullah saw. atau dengan menunjuk langsung, seperti yang terjadi pada penunjukan Umar bin Khatab oleh Abu Bakar, sebagai hasil pilihan masyarakat. Atau dengan cara pemilu, seperti pasca Umar bin Khattab wafat, setelah sebelumnya beliau dalam kondisi terluka menjelang wafatnya, telah menunjuk enam orang calon khalifah, yang akhirnya mengerucut menjadi dua orang hasil pilihan kaum muslimin, yakni Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Thalib, hingga akhirnya terpilihlah Utsman sebagai khalifah pengganti Umar setelah wafatnya.

Terpilihnya seorang khalifah dengan berbagai cara tersebut, belum menjadikan dia sah sebagai khalifah, kecuali setelah melakukan metode pengangkatan kepala negara, yaitu bai'at syar'i. 

Imam An-Nawawi, dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh al-minhaj(VII/390) menyatakan,.

"Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya bai'at, atau lebih tepatnya bai'at dari ahlul halli wal aqdi, yang mudah untuk dikumpulkan." (Imam an-nawawi)

Itulah bai'at in'iqad yang menjadi tanda sahnya seseorang diangkat sebagai seorang khalifah. Syariat Islam telah membatasi waktu maksimal kosongnya kaum muslimin dari seorang khalifah adalah tiga hari saja. 

Pemilihan pemimpin dalam Islam sangat sederhana, cepat, dan murah. Seluruh kaum muslimin baik rakyat maupun pihak penyelenggara, hingga para calon khalifah yang ada, akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan dan ketakwaan untuk bersegera menjalankan kewajiban syariat, yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah oleh seorang khalifah. 

Tidak ada keuntungan pribadi ataupun golongan yang diutamakan sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalisme, karena tujuan yang ditargetkan untuk diraih adalah semata dalam mencapai rida Allah Swt. 

Visi besar ini dimiliki oleh semua elemen kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyat. Maka, inilah yang dapat mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang pernah terjadi ketika syariat Islam kaffah diterapkan dalam naungan khilafah Islamiyyah sekitar lebih dari 13 abad lamanya. Wallaahu a’lam bish-shawwab

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Harapan Semu Pasca Pemilu

Tinta Media - Pesta demokrasi baru saja usai. Saat ini Indonesia dalam masa peralihan, menunggu hasil pemilihan pemimpin untuk lima tahun ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemilu menjadi kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden, juga pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Begitu besar harapan yang tersimpan di benak masyarakat saat pemilu itu selesai dilaksanakan dan paslon yang mereka dukung menjadi pemenangnya. 

Dalam hal ini, Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Kabupaten Bandung, KH. Shohibul Ali Fadhil, M.Sq menyampaikan bahwa di dalam kontestasi perpolitikan, tentulah ada yang menang dan ada yang kalah. Maka dari itu, KH. Shohibul Ali Fadhil, M.Sq mengimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Bandung agar pesta demokrasi yang telah dilaksanakan itu menjadi momentum untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Swt., menerima ketentuan takdir-Nya bahwa kemenangan paslon itu sudah digariskan Allah Swt.

Sementara, kekalahan adalah keniscayaan. Maka dari itu, jadikan kekalahan itu sebagai motivasi agar masyarakat bisa kembali bersatu padu membangun Kabupaten Bandung yang Bedas (bangkit, edukatif, dinamis, agamis dan sejahtera), mempererat kembali persaudaran, menyatukan visi misi Kabupaten Bandung menuju Indonesia Emas 2045. 

Namun, di lain hal, penting bagi masyarakat untuk mempelajari ragam peristiwa perubahan yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 1998 rakyat pernah melengserkan presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun. Di masa kekuasaannya, lahirlah KKN, pembungkaman, penculikan aktivis, serta krisis ekonomi dan moneter, sampai-sampai rupiah mencapai Rp20 ribu per dolar AS. Di saat itu, masyarakat dan mahasiswa bergerak bersama menuntut perubahan yang pada puncaknya penguasa saat itu menyatakan undur diri dari jabatan sebagai Presiden RI.

Sejak saat itu, Orde Reformasi bergulir. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah dengan adanya reformasi, penguasa setelahnya berhasil mewujudkan kondisi ideal masyarakat sejahtera, aman, tenang, dan tenteram? 

Pada realitasnya, walaupun pemilu dilaksanakan secara berkala dengan pembatasan periode kepemimpinan ketika masyarakat terus menginginkan pergantian rezim nasional, tetapi kondisi ideal tidak pernah terwujud. Begitu banyak permasalahan bangsa yang tidak pernah terselesaikan, bahkan malah menambah permasalahan yang kian rumit di berbagai aspek kehidupan dalam bernegara. 

Seperti aspek sosial misalnya, angka perceraian dan KDRT meningkat, moral anak bangsa semakin rusak, pembunuhan dan penganiayaan terjadi di mana-mana, kemiskinan kian tajam, hutang pinjol kian mencekik sehingga stres, depresi, bahkan bunuh diri begitu sering terjadi.

Pada aspek ekonomi, Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah ruah ternyata tidak mampu menjamin rakyat sehat dan sejahtera. Masih banyak kasus kelaparan, kekurangan gizi dan stunting di tanah air, kesenjangan sosial semakin kentara, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin dimiskinkan. 

Ironisnya lagi, di balik pembangunan infrastruktur yang jor-joran, ternyata Indonesia makin tercekik utang luar negeri dan menjadi rekor utang terbesar sepanjang sejarah bangsa. Namun sungguh aneh, dengan keadaan di  ambang kemerosotan ekonomi, pemerintah tetap ngotot dengan proyek prestisius yang tidak menguntungkan rakyat, seperti IKN dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), ataupun proyek jalan tol lainnya, sementara semua itu tidaklah dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.

Keadaan saat ini semakin diperburuk dengan korupsi yang tidak mati-mati yang melibatkan para pejabat tinggi ataupun pegawai pemerintahan yang levelnya berada di bawah pejabat tinggi. 

Pada aspek politik dan pemerintahan, terjadi dugaan penyimpangan kekuasaan. Politik dinasti kian dilestarikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya Mahkamah Konstitusi secara kontroversial mengubah batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu sehingga meloloskan salah satu pasangan paslon untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024. 

Semua fakta yang terkemuka hanya sebagian dari sekian banyak permasalahan yang terjadi di dalam negeri. Jika hari ini kita masih berharap perubahan pada siapa pun yang menang di pemilu yang telah dilaksanakan dan bagi yang kalah berharap untuk tetap menjaga persatuan, sesungguhnya harapan itu adalah harapan semu belaka yang pada akhirnya tetap akan kecewa.

Sesungguhnya, akar permasalahan bangsa dan negara ini bukanlah semata karena siapa yang menjadi pemimpin. Secara fakta, kita pernah dipimpin oleh seorang ulama, kiai, seorang intelektual, kalangan militer, bahkan dari kalangan sipil sekali pun yang ke semuanya tidak mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan keamanan rakyat. 

Sejatinya, akar permasalahan yang dihadapi adalah sistem itu sendiri, yakni penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang berasas pada akidah sekularisme yang menghapuskan aturan halal-haram. Semua diukur dengan kepentingan dan kemanfaatan. 

Sistem demokrasi kapitalisme menghamparkan karpet merah bagi kapitalis untuk melobi eksekutif dan legislatif sehingga dibuatlah aturan yang  menguntungkan mereka, bukan untuk kepentingan rakyat. Slogan kedaulatan di tangan rakyat hanya mitos dan isapan jempol belaka. Pantas jika kerusakan demi kerusakan terus terjadi. 

Maka dari itu, pelaksanaan pemilu secara berkala dengan pembatasan periode kepemimpinan tidak akan pernah mewujudkan kondisi negara ideal. Rezim demokrasi senantiasa melahirkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan yang menindas. Maka, jelas bahwa sistem demokrasi kapitalisme hanya memberi harapan palsu perubahan.

Sejatinya, saat kita menginginkan perubahan, maka diharuskan perubahan secara mendasar, yakni ideologi bagi sebuah negara dan masyarakat, yaitu perubahan yang mengharuskan adanya suatu proses membangun keyakinan pada setiap individu terlebih dahulu, kemudian melakukan standarisasi dan pemahaman baru di masyarakat. Sebab, masyarakatlah yang akan membentuk sistem kehidupan baru yang akan diterapkan secara keseluruhan, bukan secara bertahap. 

Perubahan sistem ini dikenal dengan revolusi (inkilabiyah). Maka dari itu, yang seharusnya diusung oleh rakyat Indonesia dalam melakukan perubahan adalah revolusi sistem, bukan reformasi sistem. Revolusi sistem ini adalah penerapan sistem Islam secara kaffah (sempurna, menyeluruh) dalam institusi politik yang kompatibel dengan sistem Islam.

Yakinlah bahwa tidak ada solusi yang bisa menyelamatkan umat dan negeri ini dari berbagai permasalahan melainkan dengan menjadikan Islam sebagai akidah dan menjalankan syariat Islam secara kâffah di bawah naungan Khilafah Islamiah. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Oleh: Tiktik Maysaroh
Aktivis Muslimah Bandung

Senin, 19 Februari 2024

Membaca Kiprah Partai Politik (Basis Massa) Islam Pasca-Pemilu 2024



Tinta Media - Ketika banyak orang perhatiannya tertuju pada hasil quick count Capres-Cawapres, saya membaca ada hal menarik pada hasil quick count Partai Politik yang dirilis Litbang Kompas update 14/02/2024 pkl. 22:08 WIB. Pemilu kali ini diprediksi dimenangi kembali oleh PDIP. Disusul partai sekuler lainnya seperti Golkar dan Gerindra. Hanya 8 partai politik yang diprediksi lolos parlemen, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN. 

Adapun partai lainnya tidak lolos ke parlemen karena tidak melampaui ambang batas parlemen alias parliamentary threshold sebesar 4%. Partai tersebut seperti Partai Gelora, Hanura, PBB, PSI, Perindo, dan Partai Ummat. 

Lalu, dimana posisi partai politik (berbasis massa) Islam? Sejak pemilu tahun 1955, tidak ada partai Islam yang menduduki posisi puncak. Meski kita memiliki kebanggaan pada Masyumi yang hadir dengan kegigihannya dalam membawa visi dan misi Islam. Adapun setelahnya, PPP hadir dengan pasang surutnya. PPP memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, namun seiring waktu, ideologinya mulai luntur, bahkan nyaris tak bersisa. Tidak bisa dibedakan lagi dengan partai sekular, kecuali lambangnya. 

Terkait identitas, kita bisa merujuk asasnya pada AD/ART partai. PKB dan PAN tidak dapat dikatakan partai Islam, melainkan hanya berbasis massa umat Islam. Adapun PKS meskipun asasnya Islam, tetapi sebagai partai terbuka, menerima keanggotaan non-muslim dan tidak secara jelas memperjuangkan konstitusi Islam. Adapun PBB, PPP, partai Ummat tidak masuk radar bahasan karena diprediksi tidak lolos ke parlemen. 

Merujuk pada al-Quran surat Ali Imran ayat 104, kriteria partai politik Islam setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Asasnya akidah Islam
2. Keanggotaan dari kalangan umat Islam
3. Ikatan anggota adalah akidah yang kokoh dan ketaatan pada pemimpinnya
4. Menyerukan kepada penerapan Islam, dan melakukan amar makruf dan nahi munkar, termasuk aktivitas mengoreksi penguasa. 

Kendali di parlemen sangat penting, karena semua masalah di negeri ini berawal dari produk Undang-undang (UU) yang dihasilkan di parlemen. Masalah tersebut adalah UU yang berpihak pada pemilik modal dan pengusaha, mengabaikan kepentingan rakyat, dan yang paling penting adalah penetapan hukum bukan berdasarkan apa yang Allah turunkan. 

Penjelasan al-Arif Billah Ibnu Atha'illah as-Sakandari dalam Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir hlm. 31-32 pada penjelasan QS. An-Nisa: 65 menarik untuk disimak. Beliau menjelaskan beberapa poin penting sebagai berikut:

1. Wajibnya berhukum (bertahkim) pada keputusan Nabi dalam perkara yang diperselisihkan.
2. Wajibnya melenyapkan keberatan (haraj) dalam hati, artinya ada kesiapan bertahkim lahir dan batin. 
3. Berserah diri (taslim) secara total pada semua perkara, bukan pada perkara yang sedang diperselisihkan saja. 

Jadi tidak ada ruang lagi bagi manusia untuk menentang ketetapan dan hukum Allah yang ditetapkan kepada manusia. Jangankan menentang, ada keberatan saja tidak boleh. Jangankan keberatan atas putusan Allah, tidak pasrah pada semua urusan saja tidak boleh.

Jika pada akhirnya PKB dan Nasdem merapat kepada penguasa (dengan asumsi 02 menang pemilu), maka tidak akan ada lagi check and balance, karena mereka menguasai lebih dari 50% suara parlemen. Adapun PKS dan PDIP mungkin akan mengambil posisi sebagai opisisi, meski PDIP lebih karena sakit hati dan merasa dikhianati. Karena wajah asli PDIP adalah seperti yang dipertontonkan 10 tahun ke belakang. Adapun PKS termasuk yang konsisten mengambil jalan oposisi.  

Penguasa selalu ingin amankan parlemen dan tidak semua partai tahan godaan jabatan. Ini akan menjadi titik temunya. Titik temu kepentingan. Artinya, trias politica model bukan hanya batil, tetapi juga absurd dan model tidak dikehendaki oleh rezim dan para oligarki. 

Partai politik Islam sulit berkembang dalam iklim demokrasi yang -katanya- membuka ruang kebebasan, namun tidak untuk Islam. Jika pun ada partai politik yang berasaskan Islam dan memperjuangkan penerapan syariat Islam, tetap akan sulit mendapat dukungan dari umat jika absen dalam melakukan pendidikan politik umat setiap harinya, day to day political education. 

Kualitas umat tidak akan beranjak naik tanpa pendidikan politik Islam. Lihat pemilu 2024, selain faktor dukungan kekuasaan, modal, dan dugaan kecurangan, juga karena kualitas rakyatnya. Rakyat lebih tertarik dengan bansos, makan siang gratis, asyik dengan lagu "ok gas ok gas" ala Richard Jersey dan gemoy dance.  

Akhirnya kita harus sadar bahwa sistem demokrasi tidak akan memberikan peluang pada partai politik Islam untuk berkontestasi dalam memperjuangkan penerapan hukum Islam. Demokrasi bukan jalan perubahan, terlebih jalan menuju kehidupan Islam. Jalan demokrasi bukan hanya terjal, namun juga jalan yang utopis. 

15 Februari 2024 

Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Khadim Mahad Khadimus Sunnah Bandung

Minggu, 18 Februari 2024

Politisasi Bansos demi Pemilu 2024?


Tinta Media - Pemberian bansos (bantuan sosial) memang rentan diselewengkan dan disalahgunakan. Diduga bahwa bansos yang diberikan oleh Presiden Jokowi merupakan upaya untuk mendulang simpati dan empati rakyat dalam mencari suara. Sudah diketahui, beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi dan para menteri telah tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang amat masif menggunakan bansos sebagai alat untuk kampanye. 

Dikutip dari BBC Indonesia (30/01/2024), bansos yang diberikan Presiden Jokowi pada rakyat berupa 10 kg beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp200 ribu per bulan. Total sejumlah alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 sebesar Rp433 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih tinggi dari pada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022).

Alasan utama presiden Jokowi memberikan sederet bansos bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat kelas bawah. Penguatan daya beli ini perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan. Meroketnya harga pangan juga diakui terjadi di berbagai negara bukan hanya di Indonesia.

Dugaan bahwa program bansos tersebut merupakan alat kampanye dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya: 

Pertama, pada tanggal 9 Januari 2024, saat sidang kabinet bertempat di Istana Negara, Presiden Jokowi mengumumkan perluasan program bansos. Bantuan beras dan BLT EL Nino diperpanjang penyalurannya hingga bulan Juni 2024. 

Kedua, pada 29 Januari 2024, pemerintah mengumumkan skema BLT baru dari BLT EL Nino menjadi BLT Mitigasi Risiko Pangan. Hal ini dilakukan karena BLT EL Nino mendapatkan kritikan tajam jika diperpanjang, mengingat saat ini sudah masuk musim penghujan dan pada bulan Maret petani mulai panen. BLT Mitigasi Risiko Pangan akan diberikan untuk periode tiga bulan sebesar Rp600.000 dan langsung disalurkan pada bulan Februari. Bulan tersebut merupakan momen bulan pelaksanaan pemilu.

Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Totok Hariyono telah memberikan imbauan agar kepala negara, termasuk pejabat negara tidak melakukan tindakan yang melanggar larangan kampanye atau tindakan menguntungkan/merugikan peserta pemilu. Namun, penilaian politisasi bansos dibantah oleh presiden Joko Widodo. 

Politik pencitraan ala demokrasi sekarang ini wajar dilakukan dengan berbagai cara dan tipu muslihat untuk melanggengkan kekuasaan. Sistem demokrasi mengabaikan aturan agama dalam kehidupan sehingga meniscayakan kebebasan berperilaku atau liberal. 

Politik demokrasi telah menampakkan wajah suram. Manusia yang rakus akan kekuasaan dipelihara di sistem saat ini. Oleh karena itu, setiap peluang mereka manfaatkan, walaupun dengan menyalahgunakan jabatan dan uang negara.

Kesadaran politik masyarakat juga amat rendah sehingga mudah sekali diiming-iming 
materi. Hal ini menunjukkan buruknya pendidikan di negeri ini dan kemiskinan yang sangat mengimpit kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, warga mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan untuk kepentingan para politisi. Karena itu, bansos yang bersifat sementara ini tidak menjadi solusi atas permasalahan kemiskinan di Indonesia.

Kebijakan sistem kapitalisme tentang pengelolaan sumber daya alam pun tidak berpihak pada rakyat. Saat ini kekayaan alam berupa tambang, hutan, laut, dan lainnya dikuasai oleh segelintir elite kapitalis. Masyarakat hanya merasakan limbah dan kerusakan alam saja. Kehidupan rakyat semakin pelik menghadapi kemiskinan. 

Hanya dengan penerapan sistem Islam kemiskinan akan diberantas sampai akarnya. Sistem Islam melahirkan para pemimpin negara yang akan bertanggung jawab mengurusi rakyat. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik umum untuk memenuhi kebutuhan  pokok dan kebutuhan dasar publik masyarakat akan terjamin oleh negara.

Hasil pengelolaan SDA dikembalikan lagi pada rakyat. Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan, mengurusi masalah sandang, pangan, papan masyarakat agar dapat tercukupi dengan layak. Begitu juga dengan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua bisa diakses dengan mudah, bahkan gratis sehingga masyarakat tak perlu bingung lagi. 

Sayangnya, saat ini masyarakat belum memahami bagaimana cara memilih seorang pemimpin (khalifah) yang sahih sesuai syariat Islam, yaitu dengan metode pemilihan dan pengangkatan khalifah. Metode ini dilangsungkan melalui tiga tahapan, yaitu pembatasan calon (formatur), memilih, dan membaiat. 

Dalam hal ini ada tiga bentuk teknis pelaksanaannya, di antaranya.:

Pertama, calon pemimpin (khalifah) dibatasi oleh ahlul halli wal ’aqdi atau majelis syura. Hal itu dilakukan dengan cara menyeleksi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad. 

Kedua, pemilihan dilakukan oleh sebagian masyarakat terhadap seorang calon untuk menempati jabatan presiden/kepala negara, sebagaimana yang pernah dilakukan Abdurrahman bin Auf setelah terbunuhnya Umar bin Khaththab. 

Ketiga, pembaiatan atau sumpah terhadap orang yang mendapat suara terbanyak menjadi khalifah, untuk menjalankan kitabullah dan sunah rasul.

Dalam Islam, kekuasaan digunakan untuk menerapkan hukum syariat. Para penguasa dan pegawainya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka memenuhi kriteria sebagai pemimpin sehingga amanah dan jujur dalam jabatan. Mereka tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi, keluarga, atau partainya, tidak sibuk dengan bansos dan pencitraan. Wallahu’alam bissawab


Oleh: Ani Yunita 
(Pemerhati Generasi) 

Sabtu, 17 Februari 2024

"Serangan Fajar" Bumbu Pelengkap Pemilu Sistem Demokrasi




Tinta Media - Bagai mendorong mobil yang sedang mogok (tidak bisa berjalan) di jalan yang berpasir, maka ketika mobil tersebut telah melaju kencang, sebagai pendorong selain ditinggalkan juga mendapat debu-debu yang bertebaran. 

Begitulah gambaran kondisi hari ini, menjelang pesta demokrasi (pemilu serentak). Serangan fajar atau politik uang bak garam pelengkap bumbu masakan, tidak adanya garam pada masakan seperti ada sesuatu yang kurang. Begitu pun politik uang atau serangan fajar. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum baik bagi para paslon, atau juga masyarakat secara umum. 

Ironisnya serangan fajar sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat, seperti oase di tengah gurun. Serangan fajar umumnya berbentuk uang. Inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi. 

Dilansir dari cnbcindonesia.com, 13/02/2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan setidaknya butuh biaya hingga  40 miliar rupiah untuk bisa menjadi anggota DPR RI, di DKI Jakarta. Pria yang akrab dipanggil Cak Imin, berani buka-bukaan tentang modal yang dibutuhkan agar menjadi caleg memang cukup besar, apalagi di Jakarta. Ucap Cak Imin di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, Jumat lalu (11/8/2023). 

Biaya yang sangat mahal untuk maju ke kursi kekuasaan, mengharuskan para paslon mencari sponsor yang dapat membiayai seluruh rangkaian pemilu. Mulai dari rangkaian Kampanye, pemasangan umbul-umbul, membiayai tim sukses, dan serangan fajar tentunya. 

Para kapital (pengusaha) menjadi tujuan sponsor para paslon, sebab merekalah yang mempunyai modal yang cukup besar. Di sisi lain mereka juga mempunyai kepentingan, terkait regulasi kebijakan. Jadi, hubungan keduanya adalah hubungan homogen (saling menguntungkan). Para paslon berkepentingan untuk duduk di kursi kekuasaan, sedangkan para kapital berkepentingan melanggengkan kekuasaan mereka terhadap Sumber Daya Alam (SDA). 

Hubungan homogen atau politik balas budi, hubungan inilah yang menjadi bumerang bagi masyarakat ketika para paslon tersebut telah sukses menduduki kursi kekuasaan, bagaimana tidak penguasa hanya menjadi corong kepentingan para kapital, alih-alih menjadi perpanjangan tangan aspirasi masyarakat. 

Di sinilah relevansi (hubungan) analogi di atas, masyarakat akan di tinggalkan, dan hanya mendapat debu-debu dari kepentingan antara Paslon dan para kapital. Sedangkan uang atau serangan fajar yang diterima masyarakat yang sekaligus menjadi utang budi para paslon, hal itu hanya menjadi pemanis demi mendapatkan suara masyarakat, Ironis. 

Praktik politik uang/serangan fajar dikategorikan sebagai praktik sogok atau suap. Dalam Islam praktik sogok atau menyuap diharamkan, pelakunya, orang yang menerima, dan perantara suap diancam laknat Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT melaknat orang yang melakukan suap, orang yang menerima suapan, dan orang yang berperan menjadi perantara antara keduanya" (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani). 

Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, seakan memaksa seseorang untuk berbuat curang demi untuk duduk di kursi kekuasaan, rela menghalalkan segala cara, meski menabrak syari'at. Tidak ada halal haram, yang ada hanya kepentingan di atas segalanya. 

Dalam Islam pemimpin adalah amanah yang sangat berat. Berat dalam timbangan dunia apatah lagi dalam timbangan akhirat. Mengurus umat yang begitu banyak, membutuhkan individu yang berkualitas, berkualitas secara keimanan dan ketundukan kepada syari'at, maupun kualitas dari segi ilmu dunia. 

Berangkat dari pemahaman tentang beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin di dalam Islam, ini meniscayakan tidak adanya para calon pemimpin, yang melakukan praktik sogok. Sebab, melakukan praktik sogok. Artinya, sebagai kriteria individu calon pemimpin saja telah gugur. Apabila bekerja sama dengan orang-orang kafir untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat. 

Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islamlah yang akan menghasilkan para pemimpin berkualitas. Pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai sarana memperkaya diri. Pemimpin yang menjadikan halal haram sebagai tolak ukur dalam mengambil kebijakan, bukan menghalalkan segala cara. Pemimpin yang menjadi pelayan umat, bukan menjadi antek para kapital. Sekali lagi pemimpin seperti ini hanya didapatkan ketika Islam diambil sebagai pandangan hidup, dan diterapkan sebagai sistem pengaturan kehidupan.



Oleh: Syahdan Syarif
Sahabat Tinta Media 

Fenomena Uang Haram Jelang Pemilu



Tinta Media - Mengutip dari halaman online detik.com (13/2/2024), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) karena diduga melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang di saat masa tenang kampanye pemilu 2024. Sebagai barang bukti, terdapat amplop berisi uang dan spesimen surat suara salah satu Caleg DPRD Kabupaten Cianjur. 

Fakta ini merupakan salah satu perbuatan kotor dari sekian banyak rentetan fenomena prapemilu yang terjadi di negeri kita tercinta. Entah apakah hal ini sudah menjadi budaya atau tidak, tapi tampaknya bukan lagi rahasia umum bahwa semakin dekat masa pemilu semakin banyak calon pemimpin dan wakil rakyat yang mendekati rakyatnya menggunakan "politik uang". Bahkan perbuatan ini bisa berupa skema borongan, ada yang melalui pejabat di desa, kecamatan atau di KPU. Hal itu sebagaimana dikemukakan Prof. Mahfud MD. saat memberikan sambutan dalam forum diskusi sentra penegakkan hukum di Surabaya, Jawa Timur (8/8/2023) dikutip dari kompas.com (8/8/2023). 

Keterangan mengenai "politik uang" telah ada di dalam undang-undang tentang pemilu nomor 7 tahun 2017. Di sana dijelaskan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan atau tim kampanye pemilu, baik di masa tenang maupun di hari pemungutan suara, menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung untuk memilih peserta pemilu tertentu maka akan dikenai denda dan sanksi penjara. 

Pandangan Islam terkait masalah politik uang 

Sebelum menghukumi masalah ini, kita mesti mengetahui terlebih dahulu terkait fakta politik uang. Menurut Ismawan (1999), politik uang adalah upaya mempengaruhi tingkah laku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Tampaknya definisi politik uang ini sama dengan definisi risywah (suap). Syaikh Taqiyuddin menjelaskan dalam kitab Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid 2, suap (risywah) adalah setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa politik uang adalah menggunakan imbalan tertentu untuk mempengaruhi orang lain dalam menunaikan sesuatu, begitu juga dengan suap. Jadi kita dapat kategorikan politik uang sebagai salah satu tindakan suap menyuap. 

Terkait hukum suap termasuk di dalamnya politik uang menurut Islam adalah haram. Keharaman ini sebab adanya dalil-dalil umum yang mengharamkan suap. Pertama, hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam At Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah. Yang berbunyi, "Rasulullah telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap". Kedua, hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad. Yang berbunyi, "Rasulullah telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara di antara keduanya". Kata laknat pada dua hadits tersebut mengindikasikan keharaman suap menyuap secara umum. Jelaslah sudah bahwa uang hasil dari money politic (politik uang) adalah uang haram. 

Solusi menurut Islam 

Syari'at Islam telah jelas mengharamkan praktik politik uang. Tapi kenapa politik uang ini terus terjadi? Apakah ini disebabkan oleh individu rakyat atau kenapa? 

Sebelumnya, apabila kita menganalisis sebab terjadinya politik uang. Dapat kita ketahui bahwa politik uang berawal dari calon pejabat yang ingin mendapatkan dukungan. Demi memastikan masyarakat mau mendukung dan memilihnya, calon pejabat tersebut akan memberikan imbalan pada mereka berupa uang, sembako atau yang lainnya jika mereka benar-benar siap memilihnya. Namun terkadang menggunakan perantara. 

Dari fakta di atas, pelakunya ada dua pihak. Satu, pihak rakyat atau masyarakat. Dua, pihak calon pejabat. 

Di satu sisi rakyat mestinya menyadari bahwa hal itu merupakan perbuatan haram dan pelakunya akan mendapatkan dosa walaupun dirasa memberikan kemaslahatan. Rakyat juga harus memiliki sikap mawas diri terhadap harta haram. Karena pemakan harta haram akan ditempatkan ke dalam neraka. Rasulullah bersabda kepada sahabatnya, "Wahai Ka'ab Bin 'Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari harta yang haram melainkan neraka lebih utama atasnya". (HR. At Tirmidzi). 

Disisi yang lain, para calon pejabat juga harus berpikir bahwa mereka sebenarnya sedang menabur benih-benih dosa untuk dirinya dan orang lain. Dirinya harus berhenti dari aktivitas tersebut. Harta itu tidak akan menjadi pahala, justru akan menambah beban dosa dirinya. Apalagi Rasulullah telah melaknat ketiga pihak pelaku suap. 

Selain itu, masyarakat mesti ada sikap saling mengingatkan akan dosa suap menyuap bila di lingkungannya terjadi tindakan tersebut, khususnya terkait kasus politik uang. Karena masyarakat juga akan dimintai pertanggungjawaban atas masalah itu. 

Masalah ini sudah bersifat sistemik. Tidak cukup diselesaikan dengan memperbaiki individu masyarakat dan pejabatnya. Maka yang paling penting, pemerintah mesti menjadikan aqidah Islam sebagai asas bernegara dan menetapkan peraturan menggunakan hukum Allah. Karena apabila tidak demikian, masalah ini kembali terulang. Bahkan bisa jadi benar-benar akan menjadi budaya di negeri kita tercinta. Dengan hukum Islam yang dibangun atas dasar aqidah, niscaya pasti akan memberikan efek jera kepada para pelakunya dan memberikan efek pencegahan kepada warga negara seluruhnya.



Oleh: Nurhilal AF Abdurrasyid
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 15 Februari 2024

Anggaran Pemilu 2024 untuk Kepentingan Rakyat?



Tinta Media - Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Anggaran ini telah diberikan sejak 20 bulan sebelum hari H pemilu, yaitu mulai tahun 2022 sampai dengan 2024, dengan rincian Rp 3,1 triliun pada 2022, Rp 30,0 triliun pada 2023, dan Rp 38,2 triliun pada 2024. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis

Pada hakikatnya pemilu itu dari pajak rakyat dan untuk kebaikan rakyat karena 80 % APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah dari pajak. Ukuran kebaikan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan rakyat yang terus naik, kalau terjadi pergantian pemimpin saat pemilu. Fakta menunjukkan pergantian pemimpin sejak zaman Indonesia merdeka hutang Indonesia tahun 1945 sekitar Rp 50 triliun lebih, sampai saat ini 2024 sudah mencapai Rp 6.235,95 triliun adalah fakta yang tidak terbantahkan. Lalu efektifkah anggaran pemilu yang dari rakyat, yang konon katanya untuk kebaikan rakyat, justru hutang yang makin besar bukan makin turun, apalagi biaya pemilu dibebankan kepada rakyat juga? 

Aktivitas pemilu itu menjadi penting tidak penting tergantung persepsi dari mana ukuran kacamata kepentingan  melihatnya. Dalam kaca mata oligarki, kekuasaan itu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi agenda penentu sikap seorang pengusaha yang mengincar jadi penguasa, untuk melanggengkan usahanya seperti kata calon presiden saat itu, “ketika menjadi oposisi usahanya mandek”. Dari kaca mata kesejahteraan rakyat tentu ini hanya menghabiskan anggaran karena salah satu ukuran kesejahteraan rakyat adalah negara tidak punya hutang sehingga beban pajak berkurang, faktanya hutang negara semakin besar sejak era pak Soekarno sampai era pak Jokowi. 

Bagaimana sudut pandang Islam? Islam melihat tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan umat. Pemilu adalah salah satu cara bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin. Fokusnya  adalah bagaimana pemimpin itu mau menjalankan syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat, bukan hanya fokus siapa orang yang memimpin. Maka Islam memberikan cara selain pemilu ketika ingin memilih pemimpin. Maka anggaran besar itu menjadi tidak penting atau bahkan tidak diperlukan. Karena amanah memimpin adalah amanah menjalankan syariat Islam, bukan malah menjalankan mandat pengusaha. Maka pemilihan pemimpin atau wakil rakyat adalah akad rakyat kepada penguasa untuk menjalankan mandat kekuasaan yang menerapkan syariah Islam. 

Seperti halnya ketika baginda Nabi Saw meninggal maka mandat kepemimpinan diserahkan kepada para sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA , apakah lewat pemilu seperti saat ini? Apakah perlu biaya besar seperti saat ini? Jawabannya tidak. Ketika sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA diangkat menjadi khalifah cukup dipilih oleh  ahlu halli wal ‘aqdi (Ulama, sesepuh, serta pemuka Masyarakat yang menjadi unsur-unsur yang berusaha mewujudkan kemaslahatan). Maka kaum muslimin tinggal melaksanakan baiat (sumpah) taat kepada khalifah (pemimpin). Karena yang terpenting bagi kaum muslimin seorang pemimpin melaksanakan hukum syariah Islam yang insya Allah bisa menyejahterakan rakyat, tidak seperti sekarang sistem demokrasi bahwa pemilu adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk pergantian pemimpin yang konon katanya untuk Indonesia lebih baik. 

Maka prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah (Pemimpin) seperti yang dijelaskan oleh syekh Taqiyuddin An-Nabhani, “Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan khilafah itu, kami mendapati bahwa Sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu bakar. Hanya saja Umar bin al-Khatob dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah  (sumpah) Abu bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat (sumpah) in’iqod. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah (pemimpin) kaum muslim. Sementara itu, baiat (sumpah) di Masjid pada hari kedua merupakan baiat (sumpah) taat”.(An-nabhani 1426 : 45) Maka proses pemilihan pemimpin zaman para Sahabat RA sangat efisien tidak menghamburkan uang rakyat. 

Maka Islam memberikan solusi selain , ketika negara mengalami krisis kepanjangan ataupun hutang yang tidak sedikit, karena salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat adalah ketika negara tidak punya hutang untuk membiayai rakyatnya. Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dalam semua lini kehidupan manusia. Karena Islam telah sempurna dalam segala hal. Jika ada masalah dalam kehidupan manusia, pada hakikatnya karena manusia tidak kembali kepada Islam, manusia justru mencari solusi lain selain Islam untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Cukuplah firman Allah Swt. sebagai fondasi dalam diri manusia. 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah ayat 3) 

  

Oleh: Aris Mayhendra
Aktivis Islam Karawang

Rabu, 14 Februari 2024

Dirty Vote: Sebuah Film Penguak Tabir Kecurangan Pemilu Demokrasi di Indonesia


Tinta Media - Menjelang pertengahan Februari 2024, publik disuguhkan dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Film ini dirilis tepatnya pada tanggal 11 Februari 2024 di kanal Youtube PSHK Indonesia. Bisa dibilang, film dokumenter Dirty Vote 'keren pake banget' karena lumayan detail menggambarkan bagaimana perjalanan politik demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu 2024. 

Tiga narasumber sekaligus aktor utama dari film ini adalah Zainal Arifin Mochtar (dosen FH UGM), Feri Amsari (dosen FH Universitas Andalas), dan Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ketiganya juga merupakan pakar hukum tata negara. 

Rangkaian peristiwa, nama-nama orang di dalam peristiwa tersebut, data-data penunjang, baik berupa angka, diagram, suara, bahkan video tersaji dengan runut dan apik. Film diawali dengan ungkapan harapan dan maksud dibuatnya film ini. Setelahnya, berlanjut dengan paparan penjelasan dari ketiga aktor utama, khususnya terkait kecurangan-kecurangan pemilu demokrasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Durasi film 1 jam 57 menit 21 detik mungkin bisa dibilang belum cukup mengungkap semua fakta kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, sudah cukup lumayan mewakili dan menggambarkan kecurangan yang terjadi. 

Bagi yang sudah menonton, tercengangkah Anda? Atau merasa tidak heran dengan paparan dalam film tersebut? Mungkin sebagian besar sudah mengetahui semua kecurangan-kecurangan tersebut karena memang dilakukan secara terang-benderang, seterang siang panas terik di bawah sinar matahari.  

Melihat kecurangan itu, seolah kita tidak berdaya untuk menghilangkannya. Para ahli saja tidak mampu, apalagi kita, masyarakat awam. Kenapa? Karena kita bisa melihat semua alat negara serta peraturan-peraturan hukum sudah didesain untuk menunjang kecurangan tersebut. Akhirnya, kita pasrah saja, padahal itu terjadi di depan mata. 

Pasrah? Jangan sampai ini melanda kaum muslimin.  Coba kita lihat, apa yang disampaikan dalam film Dirty Vote sebenarnya baru mengungkap dan membongkar fakta rusak demokrasi kapitalis. Film ini juga menunjukkan dengan terang benderang betapa rusaknya sistem buatan manusia, sistem yang akan menindas dan melindas lawan ataupun kawan. 

Pada tahap awal dalam membangun sebuah persepsi, setelah membongkar fakta rusak, tentu kita harus membangun sebuah konstruksi pemikiran yang kuat dan kokoh. 

Membangun konstruksi yang kuat dan kokoh ini diawali dengan memiliki sebuah standar pemikiran yang pasti, tetap, dan tentunya benar. Standar pemikiran yang memenuhi syarat ini tentunya adalah pemikiran yang berbasis akidah Islam. 

Pemikiran Islam akan membangun kembali atas fakta rusak dan bobrok dengan bangunan pemikiran yang benar dan tepat. Dengan pemikiran Islam ini pula, umat akan bergerak untuk meraih perubahan dengan Islam. Perubahan revolusionerlah  yang akan mengantarkan umat pada kebenaran yang hakiki. Bukan sekadar mengubah rezim, tetapi perubahan yang akan mengganti sistem buruk demokrasi kapitalis menjadi sistem Islam.


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi 

Selasa, 13 Februari 2024

Penyalahgunaan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah untuk Melegitimasi Pemilu Sistem Sekuler



Tanya:
Tinta Media - Assalamualaikum wr wb.
Afwan Ustadz saya Raihan alumni STEI Hamfara Yogyakarta dari Sulawesi. Izin bertanya Ustadz, Jumat kemarin waktu khutbah Jumat, khotib menyerukan kepada jamaah terkait wajib memilih pemimpin mengingat dalil tentang ketika 3 orang berada di tengah gurun pasir, maka salah satu di antaranya wajib diangkat menjadi pemimpin, jika tidak ada yang baik pilih yang sedikit mudaratnya, terus khotib mengutip terkait pernyataan ulama terdahulu yaitu, "lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" Nah, setelah dari pernyataan itu khotib menyeruhkan bahwa kita haru memilih capres nanti. Ini dalam pandangan Islam yang sebenarnya gimana Ustadz? Apakah karena pernyataan dari ulama lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa pemimpin, kita terpaksa memilih pemimpin yang kita tahu dia tidak akan menjalankan sistem Islam? (Raihan, Sulawesi). 

Jawab:
Wa 'alaikumus salam wr . wb. 

Pendapat khothib tersebut tidak benar jika beliau mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai "ucapan ulama terdahulu" yang bunyinya  : "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan." 

Peru diketahui bahwa kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan "pemimpin yang zalim" adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini. 

Kutipan aslinya berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa yang teks Bahasa Arabnya berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Perhatikan teks asli berbahasa Arab tersebut! Teks aslinya berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim", tidak boleh sama sekali diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim." Hal ini karena kata "Imam" (atau "Khalifah") merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin ("amiir") merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  Jadi ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim", jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru.  

Ada perbedaan antara istilah "pemimpin" dengan "Imam". Perbedaannya, kata "pemimpin" (Bahasa Arabnya adalah _amiir_) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap-tiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. Jadi kata "pemimpin" bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya. Adapun istilah "Imam" atau "Khalifah" adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).  

Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (yaitu sama maknanya). Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata : 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini. Seharusnya terjemahan yang benar adalah "enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim" bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zolim". Nah penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan "pemimpin" adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat "imam yang zalim" (dalam teks Bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini. Wallahu a'lam

Yogyakarta, 12 Februari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah

Kamis, 08 Februari 2024

KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Haram Menerima Pemberian dalam Rangka Pemilu



Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus ahli fikih kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan keharaman menerima pemberian dalam rangka pemilu. 

“Para ulama kontemporer (kekinian) sepakat hukumnya haram memberi atau menerima pemberian bisa berupa uang atau barang dalam rangka pemilu (al-intikhabat), baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres),” jelas Ustadz Shiddiq pada rubrik Kajian Fiqh: Hukum Menerima Uang dari Tim Capres, Jumat (2/2/2024) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn. 

“Jadi pileg maupun pilpres ini kedua-duanya haram ada pemberian baik yang memberi atau menerima, ini tidak dibolehkan,” lanjutnya menegaskan. 

Kiai menyampaikan perbedaan alasan dari ulama kenapa haram menerima hadiah dalam rangka pilpres. Menurut sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi dan juga ulama Darul Ifta’ Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan pemberian itu karena dianggap risywah (suap). Sedangkan menurut sebagian ulama lain, seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan pemberian itu karena dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan oleh pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. “Jadi ini ada dua pendapat yang ini sebenarnya hanya berbeda alasan mengenai keharaman,” paparnya. 

Menurut USAJ panggilan Ustadz Shiddiq Al Jawi, dari dua pendapat itu, yang lebih kuat adalah karena suap bukan karena kesaksian. Mengapa keharamannya lebih tepat karena suap (risywah)? “Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg atau capres pada pemilih,” terangnya. 

Disampaikannya definisi risywah (suap) menurut Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhsyiyyah Al-Islamiyyah juz 2 halaman 322 yang isinya: “Suap adalah setiap harta (uang/barang) yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan (shahibush shalahiyyat) yang wajib melakukan pekerjaan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) masyarakat yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian dari pihak yang ditunaikan kepentingannya.”

“Jadi dari pengertian risywah ini, pemberian dari tim capres/caleg termasuk risywah. Harusnya rakyat melakukan pilihan tanpa bayaran apapun, kok ini ada pemberian dari yang dipilih, maka ini termasuk risywah,” tuturnya. 

Sedangkan dalil umum lain yang mengharamkan suap antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 

Dari dua hadis tersebut, USAJ menyampaikan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani bahwa hadis-hadis ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapat manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya. “Jadi jika orang yang ingin dipilih memberikan sesuatu, berarti ia ingin mendapatkan manfaat kedudukan,” jelasnya. 

Menurutnya, umat harus tahu tujuan seseorang melakukan sesuatu meskipun tidak secara jelas dikatakan. Misalnya ketika membangun jalan saat akan pemilu, meski tidak ada perkataan secara langsung minta untuk memilihnya, namun ada indikasi ke arah itu, bisa dibilang juga suap. “Kita bisa memahami sesuatu tidak harus dari kalimat yang jelas, kita bisa memahami dari isyarat-isyarat, ucapan yang emplisit atau tidak terbuka,” paparnya. 

“Jadi pemberian dari caleg atau capres, atau timnya kepada pemilih adalah bentuk risywah (suap) yang haram hukumnya bagi yang memberi dan menerima bahkan perantaranya,” pungkasnya.[] Raras

Rabu, 07 Februari 2024

Pemilu, Bak Sembilu Membuat Pilu



Tinta Media - Masih mau dibohongi sama demokrasi? Perhelatan pesta pemilu lima tahunan ini, ternyata masih sangat digandrungi sebagian masyarakat di negeri ini.

Dilihat dari antusias masyarakat, yang masih dan terus menerus membicarakan kandidat pilihan capres mereka, membuat forum debat kecil di warung kopi,  di pasar, bahkan menampilkan perdebatan antar politikus, pendukung paslon di layar kaca. 

Janji-janji yang pernah diucapkan oleh para penguasa saat kampanye lima tahun lalu pun, belum semua terealisasi, bahkan hanya pepesan kosong, hanya untuk mencari simpati dan dukungan saja. Bukannya membuat rakyat sejahtera, yang ada malahan semakin sengsara, duh ironi demokrasi. Mau dibawa ke mana negeri ini? 

Negeri yang katanya "gemah ripah loh jinawi" (kekayaan alamnya melimpah ruah) namun berbanding terbalik dengan kondisi kehidupan masyarakatnya, yang serba kekurangan. Akses pekerjaan untuk sekedar mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja susah, apa lagi untuk memenuhi kebutuhan yang agak mewah. 

Begitulah fakta ketika negara menganut sistem demokrasi,  kekuasaan ada ditangan rakyat. Namun kepala rakyat punya keinginan yang berbeda satu sama yang lain .Dengan berbagai macam kepentingan yang berbeda, hal inilah yang membuat jurang perpecahan semakin menganga. 

Ketimpangan sosial, membuat menipisnya empati terhadap sesama yang sedang ditimpa problema. Tak lagi bisa sekedar merasakan kepedihan yang dirasakan kaum papa bahkan kerabat sekalipun. Hidup miris penuh problematik, inilah gambaran hidup di sistem demokratis. 

Di tengah banyaknya persoalan yang menimpa bangsa ini, sudah seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat, bagian dari umat muslim, harus memiliki kesadaran bahwa ada kewajiban untuk mendakwahkan Islam sebagai solusi dari seluruh permasalahan ini. 

Islamlah satu-satunya pemikiran yang bisa menghasilkan peraturan secara komprehensif, di segala lini kehidupan bahkan hingga permasalahan setelah kehidupan atau akhirat.

Hanya dengan penegakan Islam secara Kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah ala minhajin nubbuwah. Kebaikan akan bisa dinikmati oleh seluruh manusia dan alam semesta.

Oleh: Yustiono
Pemerhati masyarakat
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab