Tinta Media: Pemilu
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Desember 2023

Pemilih Jadi Raja dan Ratu Sebab...



Tinta Media - Narator MMC menyebutkan dalam sistem politik demokrasi, pemilih menjadi raja dan ratu sebab suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu. 

"Suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu," tuturnya dalam tayangan Serba-Serbi MMC: "ODGJ Diberi Hak Nyoblos?  melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (23/12/2023). 

Narator menyebutkan pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapatkan suara terbanyak. "Tak heran menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah," ujarnya. 

Ia mengungkapkan pada awalnya pemilu di negeri ini tidak memasukkan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) sebagai pemilih berdasarkan undang-undang Pemilu. 

"Undang-undang tersebut menyatakan ada enam syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih salah satunya adalah tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya," bebernya. 

Narator mengulas bahwa menjelang pemilu 2019  mahkamah konstitusi atau MK menegaskan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan bertentangan dengan konstitusi, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen. 

"Keputusan MK inilah yang menjadi pedoman bagi KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih," simpulnya. 

Kekuasaan Dalam Islam Hanya Menerapkan Syari'at 

Narator mengatakan dalam Islam, bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana untuk menerapkan hukum-hukum syariat sebab kedaulatan hanya ada di tangan Al-syari' sebagai pembuat hukum Allah subhanahu wa taala. 

"Sistem politik Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin atau khalifah," ungkapnya. 

Lanjut, menurutnya Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan di antaranya seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan Islam. 

"Telah menetapkan metode baku pengangkatan pemimpin sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung hanya merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin," imbuhnya. 

"Setelah mahkamah mazalim menetapkan calon khalifah yang lolos verifikasi mereka tentu harus orang yang berakal bukan ODGJ," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Jumat, 22 Desember 2023

Dugaan Politik Uang Libatkan Bank Emok


Tinta Media - Pemilu 2024 semakin dekat, para kandidat mulai sibuk dengan berbagai kegiatan demi meraih kesuksesan. Pemilu dilakukan dalam rangka memilih capres (calon presiden), cawapres (calon wakil presiden) ataupun caleg (calon legislatif). Masyarakat diberikan kebebasan untuk menyuarakan, menyampaikan, dan mengambil keputusan dengan cara memilih salah satu kontestan di antara beberapa kontestan yang maju mengusung diri sebagai capres, cawapres, ataupun caleg.

Jelang pemilu, kampanye mulai dilakukan dengan beragam cara oleh para kontestan pemilu dan juga oleh para pendukung masing-masing. Dalam melaksanakan kampanye, diberlakukan beberapa aturan tertentu agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tak diinginkan yang mengakibatkan kegaduhan, kericuhan, dll. Akan tetapi, peraturan itu terkadang dilanggar oleh para pengusung paslon ataupun oleh paslon itu sendiri. 

Seperti yang terjadi di kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ketua Bawaslu Kabupaten Bandung Kahpiana mengungkapkan bahwa ada caleg yang melakukan pelanggaran dengan politik uang yang melibatkan bank emok dalam evaluasi tahapan Pemilu di Hotel Grand Pasundan, Kota Bandung Rabu ( 6/12/2023). 

Ketua Bawaslu Kabupaten Bandung membenarkan adanya salah satu caleg yang terindikasi menggunakan bank emok, dengan menawarkan pinjaman tanpa bunga, bahkan tanpa harus membayar pinjaman pokok. Indikasi pelanggaran lain juga terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu dengan membagi-bagikan minyak goreng kemasan kepada masyarakat secara gratis. 

Kejadian seperti ini tentunya menjadi sebuah momok bagi paslon itu sendiri. Ini merupakan tantangan bagi bawaslu untuk tegas dalam menyikapi pelanggaran, bahwa hal tersebut merupakan salah satu permasalahan di dalam  perpolitikan di seluruh dunia. Ini adalah salah satu bentuk kecurangan dalam bentuk politik uang yang akan menghadirkan banyak dampak negatif.

Sudah menjadi hal yang biasa di dalam sistem demokrasi bahwa iklan alias pencitraan menjadi basis bagi dukungan calon yang tentu berbiaya mahal. Alhasil, hanya mereka yang didukung oleh para pemilik modal yang bisa menang, sedangkan yang tidak mempunyai uang atau tidak didukung para pemilik modal, kecil kemungkinan untuk bisa menang.

Praktik seperti inilah yang akan melahirkan para pemimpin yang pragmatis, tidak mempunyai kapabilitas dan integritas. Pada akhirnya, lahirlah para pemimpin korup karena ada beban target untuk mengembalikan modal plus keuntungan. 

Maka, tak heran jika banyak kebijakan yang dibuat lebih condong, bahkan pro terhadap para pemilik modal. Semua ini tentu akan menjadi permasalahan yang sangat besar sebab rakyat menjadi korban praktik politik kotor. Rakyat terus dibodohi. Masa depannya digadai demi memuaskan ambisi segelintir orang.

Inilah watak dari sistem politik demokrasi kapitalisme, politik uang menjadi sesuatu yang wajar demi meraih kekuasaan. Kebebasan menjadi landasannya, sehingga menjadikan kekuasaan tak ubahnya seperti komoditas yang diperebutkan untuk merealisasikan berbagai kepentingan, baik berupa materi, maupun jabatan.

Di sisi lain, pemerintah mewacanakan untuk mengeliminasi praktik politik uang. Dengan penerapan aturan yang termaktub dalam perundang-undangan pasal 47 UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta pasal 228 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, itulah sistem demokrasi. Mereka yang membuat aturan, mereka sendiri yang melanggar aturan tersebut.

Sementara, Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah yang begitu besar. Kepemimpinan sejatinya adalah amanah dalam mengurusi segala urusan umat yang dimensinya bukan hanya duniawi, melainkan juga akhirat. Kepemimpinan diambil atas nama Allah Swt. untuk rakyatnya dan semata hanya untuk  menyempurnakan ketaatan kepada Allah SWT. 

Oleh karenanya, tujuan dari kepemimpinan dalam sistem Islam adalah hanya untuk dakwah, menyebarkan syariat yang sudah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Pada dirinya tertanam rasa takut akan amanah yang mereka emban, yang pada akhirnya akan menjadi sesalan. Maka, sejarah menorehkan jika pemimpin- pemimpin Islam hidup dalam kesederhanaan, tanpa bergelimang harta, mengurus umatnya dengan bimbingan wahyu bukan nafsu. 


Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Heni Ruslaeni 
(Ibu Rumah Tangga)

Kamis, 14 Desember 2023

Piala Citra di Kontestasi Pemilu



Tinta Media - Masa kampanye baru saja dimulai. Para peserta pemilu mulai bergerilya ke pelosok Nusantara. Ada yang mulai dari ujung Sabang sampai Merauke, ada juga yang memulai dengan melakukan prosesi adat keluarga. Tak ketinggalan, ada juga yang masih kejar setoran sebelum masa jabatan berakhir. Apa pun awal mulanya, semua demi kemenangan peserta pemilu dalam kontestasi.

Apa Boleh se-Viral Itu?

Kreativitas tanpa batas nampaknya menjadi salah satu syarat bagi tim pemenangan nasional (tim pinal). Tim ini menggunakan berbagai jurus yang dianggap ampuh untuk memenangkan kandidatnya, sekaligus dapat menumbangkan lawan. Ibarat peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jurus jitu di era digital ialah viral. Narasi yang dibangun pun menggunakan istilah-istilah kekinian. 

Selain penggunaan istilah kekinian, tim final juga menggunakan berbagai narasi korban perundungan. Istilah ini biasa disebut dengan korban bullying. Tim final akan menjabarkan berbagai tuduhan yang dilontarkan oknum tertentu yang dianggap lawan kandidatnya. Selanjutnya, tim final akan menangkal tudingan tersebut dengan sudut pandang korban yang teraniaya. Hal ini bukanlah jurus baru dalam dunia perpolitikan demokrasi. Sebab, di setiap kontestasi pemilu, jurus ini selalu digunakan dan terbukti efektif.

Aturan Baru dalam Kontestasi

Baru permulaan, rakyat telah disuguhkan dengan berbagai berita tentang pelaporan dugaan kecurangan dalam kampanye calon pemimpin. Tuduh-menuduh menjadi menu pembuka dalam masa kampanye. Akhirnya, Bawaslu yang berperan sebagai pengawas membuat aturan baru dalam kontestasi pemilu saat ini. Bawaslu juga mengingatkan terkait black campaign yang dapat menyebabkan keributan di tengah masyarakat. (jambi.bawaslu.go.id)

Dalam kontestasi pemilu, perebutan piala citra menjadi sangat penting. Sebab, hal ini terkait citra calon pemimpin di mata rakyat. Namun, apakah itu cukup sebagai syarat memimpin suatu negeri? Apakah piala citra dapat menempatkan seorang pemimpin di tampuk kekuasaan tertinggi? Lantas, bolehkah se-keras itu usaha dalam perebutan piala citra?

Piala Citra atau Kepentingan Rakyat?

Dalam demokrasi, indikator kesuksesan seorang pemimpin adalah pencitraan. Sedangkan dalam Islam, kepentingan rakyatlah yang menjadi tanda keberhasilan seorang pemimpin. Ketika Rasulullah wafat, maka umat membutuhkan sosok pemimpin untuk menggantikan. Tidak sembarang pemimpin dapat memenuhi kriteria. Sebab, seorang pemimpin harus memiliki sikap mendahulukan rakyat, bukan mendahului rakyat. Selain itu, konsekuensi yang harus ditanggung oleh penguasa adalah kehidupan di akhirat kelak. 

Para sahabat nabi yang telah mengetahui konsekuensinya, menjadi enggan mengambil tanggung jawab tersebut. Sehingga, tidak terelakkan terjadi saling mengusulkan di antara para sahabat nabi dalam menentukan pemimpin umat. Bukan hanya karena masih memiliki hubungan saudara, atau sekadar melihat tingkat popularitas di mata rakyat, tetapi berdasarkan kualitas terbaik seorang pemimpin, yaitu amanah dalam mengambil setiap kebijakan untuk umat. 

Tentu, hal ini berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini semakin banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi dengan menggunakan berbagai cara, meskipun harus menutup mata terhadap ketidak-adilan. Mereka menutup telinga terhadap teriakan derita rakyat, hingga membiarkan kekacauan di tengah masyarakat, bahkan keluarga. Masih maukah menjalani kondisi seperti saat ini?

Mempertahankan atau Mengganti?

Perebutan piala citra dalam kontestasi pemilu akan selalu terjadi pada sistem demokrasi. Pasalnya, bukan peserta pemilu yang dirugikan, melainkan rakyat yang akan menjadi korban. Peserta pemilu dituntut harus memiliki citra yang sempurna di hadapan rakyat. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi setidaknya harus mampu menutupi kekurangan yang dimiliki, hingga rakyat dibuat tercengang dengan pencitraan para peserta pemilu. Masih maukah mempertahankan sistem seperti itu? Jika memilih untuk mengganti sistem saat ini, maka dengan sistem apa? 

Islam telah menawarkan mekanisme pemilu terbaik. Pemilu dalam Islam tentu berbeda dengan pemilu saat ini. Akidah Islam menjadi dasar pelaksanaan pemilu, yang kelak akan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Perbedaan pendapat tentang calon pemimpin bukan hal yang perlu diributkan. Sebab, dalam Islam perbedaan diperbolehkan, asalkan tidak keluar dari akidah Islam. Sehingga, para calon pemimpin akan melalui seleksi berdasarkan tuntunan Al-Qur'an dan As Sunah. Hal ini, akan menimbulkan ketenteraman di tengah rakyat. Memang berat konsekuensi yang akan diterima jika meninggalkan sistem sekarang. Namun, bukankah mempertahankan sistem saat ini, juga berat konsekuensinya?


Oleh: Sarah 
(Aktivis Muslimah)

Sabtu, 18 November 2023

Benturan Antarkubu Jelang Pemilu, Potret Rusaknya Parpol pada Sistem Demokrasi Kapitalisme



Tinta Media - Partai merupakan wadah dan simbol pergerakan kelompok yang menginginkan perubahan di tengah-tengah masyarakat atas kondisi yang telah menjerat mereka. Namun, apa jadinya ketika wadah yang diopinikan kenyataannya tidak sebagaimana yang digambarkan? Terlebih, adanya fanatisme golongan oleh para simpatisan yang menjadikan citra partai mulai dipertanyakan keberadaan dan tujuannya. Sungguh miris ketika keberadaan partai hanya dijadikan untuk mengungguli kelompok satu dengan yang lain atau malah saling melemahkan satu dengan yang lainnya.

Seperti halnya kasus yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah, dikabarkan bahwa ada sebanyak 11 sepeda motor dan tiga rumah warga mengalami kerusakan akibat bentrok antar simpatisan PDIP dengan GPK. Ruruh menyatakan bahwa kejadian itu bermula ketika salah satu kelompok yang terlibat bentrok mengadakan kegiatan di Lapangan Soepardi, Sawitan, Magelang. Setelah berakhirnya kegiatan tersebut, kelompok ini terlibat gesekan dengan kelompok lain di Jalan Batikan, Mungkid, Magelang, kemudian berlanjut di simpang tiga Tape Ketan Muntilan.

Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya partai tak cukup menjelaskan tujuan keberadaan dan lahirnya partai sehingga terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh para simpatisan. Benturan ini menunjukkan bahwa perbedaan kelompok maupun partai memiliki kesenjangan yang tidak mampu untuk diajak berjalan bersama. Jika bukan karena alasan kepentingan dan ikatan tertentu, maka apa yang melatarbelakangi perseteruan tersebut?

Kepercayaan rakyat pada partai hari ini hanya karena adanya faktor emosional, simbol dan tokoh, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai. Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antarindividu/kelompok lantaran kuatnya sentimen/ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.

Mirisnya, perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama  demi tercapainya tujuan. Hal ini selaras dengan pernyataan ‘tidak ada teman sejati,  yang ada adalah kepentingan abadi’.

Perlu di garis bawahi, masyarakat harus memahami bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap realistis/pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh parpol, melainkan lebih kepada manfaat apa yang bisa diterima parpol dari setiap keputusan politik yang akan mereka buat. 

Fenomena bentrok antarkubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih condong pada upaya meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. 

Jika masyarakat mengamati secara betul, benturan antarkelompok hanya terjadi untuk mempertahankan eksistensi dari keberadaan partai itu sendiri. Ini dilakukan demi menunjukkan eksistensi yang muncul setiap jelang kontes pemilu yang pasti berwajah dinamis.

Ada kalanya benturan terjadi di satu wilayah untuk saling bersaing, tetapi di wilayah lain bersatu. Artinya, upaya untuk saling dukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka untuk menang dan seberapa besar keuntungan yanga akan mereka dapatkan. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah menjadi jargon bagi parpol demokrasi.

Jadi, sungguh merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengutamakan fanatisme terhadap golongan/partai, apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak memperhatikan ikatan persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini, kita harus peka bahwa akan banyak pihak tertentu yang akan memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang beraneka ragam. Oleh karenanya, umat harus tahu kenyataan tentang politik demokrasi yang berkaitan saat ini agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.

Berbeda ketika Islam memandang makna sebuah parpol. Dalam Islam, parpol berdiri bukan sekadar ada untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar kepada khalayak luas. Dalam hal ini, politik memiliki  makna mengurus urusan rakyat.

Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah yang menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk mendapat perhatian penguasa. Sudah menjadi keharusan bagi parpol untuk hadir dan membela urusan-urusan rakyat, baik menyangkut kepentingan ataupun kemaslahatan rakyat. Itulah peran parpol yang dijelaskan dalam Islam.

Islam membolehkan banyaknya pembentukan parpol dalam rangka mewujudkan kritik penyadaran kepada penguasa. Dalam Islam, berpolitik merupakan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, peran parpol adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya dalam bernegara yang bermuara pada kemaslahatan hidup bersama berdasarkan standar keimanan.

Dengan kata lain, napas perjuangan parpol haruslah sejalan dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam.  Wallahualam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis

Kamis, 16 November 2023

Nada Teroris dalam Konflik dan Menjelang Pemilu



Tinta Media - Dalam situasi yang kini sedang genting antara dua negara yang berkonflik, serta semakin dekatnya pesta rakyat menjelang pemilu, nyanyian "terorisme" kembali dibunyikan, seakan permasalahan utama dalam negeri ini hanya radikalisme.

Dilansir dari Sindonews.com (03/11/2023), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa perang Yahudi-Palestina bisa membangkitkan sel teroris di Indonesia. Karena itu, Kapolri telah meminta anggotanya siaga dan menindak tegas semua hal yang mengganggu keamanan, termasuk ancaman terhadap Pemilu 2024. 

Hal tersebut didukung oleh Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Arqom Al-Islami di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, KH. Ibnoe Athaillah Yusuf. Menurutnya, tindakan Kapolri terkait konflik Yahudi-Palestina adalah hal wajar demi menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apalagi hal ini mencakup keamanan dunia Internasional. 

Adanya konflik antara Yahudi-Palestina, dengan potensi konten media sosial mampu menghidangkan fakta yang ada tentang permasalahan yang terjadi. Hal ini menyadarkan umat, khususnya umat Islam di seluruh dunia bahwa konflik yang menelan banyak korban jiwa di Palestina akibat dari serangan Zionis Yahudi ini bukan hanya sekadar persoalan kemanusiaan, tetapi lebih kepada persoalan agama. Tidak sedikit dari umat Islam yang pro-penjajah Yahudi karena terbawa arus opini menyimpang dan sesat yang diembuskan Barat yang licik dalam memutarbalikkan fakta. 

Namun, kesadaran yang jernih tentunya mampu membangkitkan umat untuk merespon dan menentukan di posisi mana ia akan berdiri, yang tentunya semata hanya mencari rida Allah Swt. Kebangkitan ini mampu menggerakkan pemikiran, perasaan, serta sampai pada tindakan untuk membantu saudara-saudara di Palestina. Namun, kesadaran ini sepertinya menjadi hal yang diwaspadai di negeri ini. Mengapa?

Belum lagi di sepanjang bulan Oktober 2023, Densus 88 antiteror Polri telah menangkap sebanyak 18 tersangka pelaku tindak terorisme di sejumlah daerah di Indonesia. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah aksi teror, khususnya menjelang pelaksanaan pemilu 2024. 

Hal ini seolah menjadi rutinitas negeri dengan alasan tindakan preventif pengamanan Pemilu. Meski begitu, kadang penangkapan terjadi di lapangan pada seseorang yang masih berstatus terduga teroris. Fakta ini mengindikasikan kuatnya program deradikalisasi dan moderasi beragama. 

Terlebih, pasca diasahkan PP No.58 Tahun 2023 mengenai penguatan moderasi beragama. Di sini, umat harus sadar bahwa program deradikalisasi dan moderasi beragama ini sejatinya adalah program yang disetting secara global dan dibidani oleh Amerika. 

Amerika sebagai negara pengemban ideologi kapitalisme memahami betul akan potensi kekuatan kaum muslimin dan berusaha menghilangkan kekuatan tersebut bagi mereka. Sangat berbahaya jika kaum muslimin menyadari pentingnya persatuan umat di bawah kepemimpinan Islam. 

Karena itu, kaum muslimin harus menyadari betapa mulianya aktivitas dakwah dan jihad. Jika kesadaran itu terwujud, maka sekelompok negara kapitalisme akan hilang. Karenanya, sebuah lembaga 'think tank' milik Amerika, seperti Rand Corporation membuat rencana besar untuk menancapkan moderasi Islam, atau Islam sesuai Barat.

Semua kebijakan Barat ditujukan untuk menjauhkan umat Islam dari pemahamannya. Untuk itu, Amerika mengajak sekutunya mengadopsi kebijakan ini. Beberapa istilah ajaran Islam yang dianggap Barat berbahaya akan dikaburkan maknanya, seperti jihad, khilafah, dan lainnya. Bahkan, istilah-istilah itu busa diganti sesuai tujuan mereka. 

Kaum muslimin yang mengkaji Islam secara mendalam akan mendapat cap dan narasi-narasi, seperti teroris, radikalis, dan lainnya. Allah Ta'ala menurunkan syariat jihad sebagai salah satu ajaran yang mulia, bukan ajaran terorisme, sebagaimana narasi Barat saat ini.

Seiring narasi yang bergulir, patut juga diduga bahwasanya kewaspadaan itu ditujukan pada konten-konten dakwah kaffah yang mereka sebut “radikal atau fundamental”. Padahal, masih banyak konten yang lebih berbahaya, yakni konten liberalisme, sekularisme, hedonisme, pornografi, dan lainnya yang jelas lebih merusak dan menghancurkan bagi generasi negeri. Mengapa hal ini tidak disebut sebagai  ancaman berbahaya bagi NKRI? 

Penguasa negeri ini juga terkesan lebih rela generasi negeri ini berkepribadian sekuler, berpikir liberal, dan bergaya hidup hedonistik ketimbang berkepribadian Islam yang taat pada syariat Islam. Faktanya, definisi terorisme atau radikalisme sendiri sampai saat ini tidak jelas dan samar, bisa ditarik sesuai tujuan dan kepentingan. Buktinya, narasi ini selalu digunakan untuk menstigma Islam dan kaum muslimin. 

Di sisi lain, jihad didegradasikan maknanya oleh Barat dengan makna bahasa, yaitu bersungguh-sungguh, apa pun aktivitasnya. Padahal, menurut makna syara', jihad merujuk pada akivitas perang. Hal ini dapat dibuktikan dengan nas-nas terkait jihad. 

Di antara dalilnya adalah dalam QS. At-Taubah ayat 29 dan 41. Syekh Taqiyuddin An Nabani menjelaskan definisi jihad dalam kitab Asyahsiyah Islamiyah jilid 2, yakni jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan sebagainya.  

Al-Hafizh Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalani rahimahullah dalam kitab Fathul Baari (VI/3) menjelaskan bahwa jihad secara syar'i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. Secara implementasi adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. 

Jihad ada dua bentuk, yaitu:

Pertama, jihad secara ofensif (Futuhat) adalah jihad yang dilakukan ketika kaum muslimin memiliki negara atau Daulah Islam (Khilafah). Jihad ini bertujuan untuk mendakwahkan Islam. Salah satu contoh jihad ofensif yang dilakukan pada masa Rasulullah adalah perang Hunain dan Tabuk. Sedangkan di masa para khalifah, jihad ini terjadi pada penaklukan Persia, Syam, Mesir, Andalusia, dan Semenanjung Balkan. 

Wajib dipahami bahwa jihad futuhat ini berbeda dengan penjajahan dalam kapitalisme. Futuhat bukanlah merampas kekayaan alam, tetapi justru mengurus rakyat dalam naungan Islam dan mewujudkan kesejahteraan. Peradaban Islam ini telah tertoreh dalam tinta emas sejarah selama 13 abad lamanya. 

Kedua, jihad defensif, yaitu jihad yang dilakukan saat kaum muslimin mendapat serangan musuh. Tanah mereka diduduki, kemerdekaan mereka dirampas di wilayah yang mereka tinggali. Contoh jihad ini adalah jihad kaum muslimin yang kini dilakukan oleh rakyat Palestina melawan Zionis Yahudi.

Pada faktanya dengan adanya jihad, musuh-musuh Islam akan gentar, seperti pada masa Rasulullah saw. dan kekhilafahan. Saat itu tidak ada negara yang berani menghinakan kaun muslimin seperti hari ini. Ketika ada kaum muslimin yang berdakwah memperjuangkan Islam agar semua syariat dapat terlaksana, maka dikatakan sebagai tindakan yang menebar teror. Akan tetapi, justru mereka sedang menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam firman Allah:

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka iitulah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran ayat 104). Wallaahu a'lam.

Oleh: Nia Umma Zhafran
Sahabat Tinta Media

Selasa, 03 Oktober 2023

Santri dan Umat Islam dalam Pusaran Pemilu

Tinta Media - Sebanyak 20 ribu santri Pondok Pesantren Sa'adatuddaroin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, berkumpul untuk mendoakan calon wakil presiden 2024, Muhaimin Iskandar (15/09/2023). Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa bangga, dikarenakan adanya calon pemimpin nasional dari kalangan santri.

Ketua DPP PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan bahwa acara selawatan ini juga merupakan wujud rasa syukur dari anak-anak nahdliyin yang ada di Kabupaten Bandung yang terdiri dari 31 kecamatan. Juga rasa syukur karena telah memasuki bulan maulid.

Menurut Cucun Ahmad Syamsurizal, bahwa majunya Gus Imin adalah wujud nyata dari simbol anak-anak santri. Cucun menjelaskan secara gamblang bahwa selain meminta doa, juga meminta restu agar Gus Imin dilancarkan dalam pemenangan Pilpres 2024 mendatang.
Memang sangat menggiurkan, ketika 20 ribu santri ditargetkan untuk menjadi pendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden. Kembali mereka bermanis muka ketika musim Pemilu.

Inilah wajah asli dari sistem demokrasi. Mereka selalu bersikap baik dan merapat kepada Islam, apabila menginginkan dukungan. Ketika musim kampanye tiba, mereka berubah seolah-olah religius, berpenampilan islami, blusukan ke tempat-tempat yang sekiranya akan membuat mereka populer dan mendapat citra baik di kalangan masyarakat. Mereka memberikan santunan-santunan kepada rakyat, juga janji-janji akan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mudah, dengan mengharap dukungan, terutama dari kalangan umat Islam.

Hal ini karena umat Islam adalah mayoritas, dengan harapan suara terbanyak akan digenggam sehingga mereka menjadi pemenang dalam pemilu. Akan tetapi, pada faktanya, ketika menang dalam pemilu, mereka lupa akan janji-janji manisnya. Bahkan, ketika dikritik oleh masyarakat, mereka berperilaku seolah-olah masyarakat yang mengkritik mereka adalah musuh.

Semestinya masyarakat belajar agar tidak terus-menerus menjadi korban. Janji-janji kesejahteraan dan penghidupan yang lebih mudah dan layak hanyalah isapan jempol belaka. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan golongannya daripada mengurusi kepentingan rakyat. Mereka hanya memuluskan jalan bisnis para kapitalis yang telah memberi modal yang telah digelontorkan untuk kepentingan pemilu dan memenangkannya.

Sebagai umat Islam yang hidup di negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah selayaknya kita menjadikan Al-Qur'an dan sunnah sebagai standar dalam menetapkan calon pemimpin, juga dalam menyikapi perilaku dan kebijakan seorang pemimpin.

Kriteria umum seorang pemimpin menurut Islam adalah, muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, mampu (punya kapasitas untuk memimpin). Oleh karena itu, jelas salah satu kriteria calon pemimpin adalah harus orang yang berlaku adil, bukan orang fasik atau orang zalim. Di antara ciri utama orang fasik atau zalim adalah tidak mau berhukum dengan hukum Allah.

Di sinilah urgensi keberadaan seorang pemimpin Islam, yang akan memberikan keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak pandang bulu. Baik seorang muslim atau nonmuslim, pemimpin Islam akan memberikan hak-haknya sebagai warga negara, memberikan rasa aman, dan sejahtera, mengurusi kepentingan rakyat sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Allah Swt. dan rasul-Nya.

Pemimpin Islam akan mengarahkan umat untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla. Wallahu'alam.

Oleh: Enung Sopiah, Sahabat Tinta Media

Senin, 04 September 2023

Di Balik Presidential Threshold Ada Kepentingan Oligarki


 
Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa di balik presidential threshold ada kepentingan oligarki.

“Di balik presidential threshold  20% ini ada kekuatan yang memiliki kepentingan serta mengambil keuntungan. Siapa yang memiliki kepentingan itu? Saya kira banyak pengamat yang menyebut ini semua demi oligarki,” tuturnya dalam acara Focus To The Point: Bongkar Pasang Koalisi, Kepentingan Siapa? Sabtu (2/9/2023) di kanal Youtube UIY Official.
 
UIY beralasan, oligarki lebih mudah mengatur sedikit orang dibanding banyak orang. “Jika presidential threshold nol mungkin akan ada lebih dari 10 calon presiden. Mengatur 10 calon tentu tidak lebih mudah ketimbang misalnya mengatur tiga,” tandasnya.
 
Ia menambahkan, di balik ini semua ada maksud. Maksud yang paling dicari oleh oligarki, ucapnya, adalah akses bisnis dan akses kekuasaan.
 
“Karena itulah maka banyak yang mengatakan bahwa yang terjadi sekarang bukan kedaulatan rakyat tapi kedaulatan pemilik modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi saja,” simpulnya.
 
UIY menyayangkan, rakyat dipaksa untuk memilih yang sudah menjadi pilihan oligarki. “Ibarat seperti ini, aku pilihkan buat kamu, kamu pilih diantara yang aku pilihkan, lalu dibilang nah inilah pilihan rakyat,” ucapnya memberikan ilustrasi.
 
Semua Negara
 
UIY mengatakan, oligarki itu ada di semua negara kapitalis karena oligarki itu kumpulan dari kekuatan pemilik modal dan pemilik kekuatan politik.
 
“Oligarki politik dan oligarki pemilik modal itu ada di semua negara demokrasi liberal kapitalis. Hanya yang menjadi soal adalah apakah oligarki mengendalikan atau dikendalikan. Itu yang membedakan!,” cetusnya.
 
 UIY melanjutkan, seharusnya oligarki itu dikendalikan bukan mengendalikan. “Tapi bagaimana mengendalikan oligarki, wong alat pengendali itu Cuma dua, kalau tidak keuangan ya kekuasaan. Mereka yang punya keuangan, tinggal mengendalikan kekuasaan. Siapa yang memiliki kekuasaan tinggal mengendalikan keuangan, itu kan bolak balik disitu,” tukasnya.
 
Dengan pengendalian oligarki ini, sebutnya, pemimpin yang terpilih kecil kemungkinan bekerja untuk rakyat. Ia memberikan contoh pemimpin yang ada sekarang yang mencabut subsidi pupuk, subsidi listrik dan lain-lain tapi memberikan subsidi kendaraan listrik. “Dimana letak keberpihakannya kepada rakyat, karena kita tahu siapa di balik kendaraan listrik itu,” pungkasnya. [] Setiyawan

Rabu, 31 Mei 2023

Advokat: Bukan Hanya Pemilu, Sistem Negara Juga Perlu Dievaluasi

Tinta Media - Menanggapi pernyataan Susilo Bambang Yudhoyoni bahwa akan ada chaos jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu tertutup, Advokat Ahmad Khozinudin menyampaikan bukan hanya pemilihan umum yang perlu dievaluasi tapi juga sistem negara. 

"Rasanya kita semua jelas evaluasi. Bukan hanya sistem pemilu, bahkan sistem negara kita, semuanya kita evaluasi," tegasnya dalam acara Live Streaming: Ngeri! SBY Bilang akan Ada Chaos Jika MK Putuskan Pemilu Tertutup, Senin (29/5/2023) di kanal Youtube Ahmad Khozinudin. 

Ia menyampaikan memang problem yang banyak disampaikan oleh para pengamat bahea kalau sistem pemilu tertutup, ditakutkan nantinya akan terjadi diktatorisme oleh partai politik. 

"Mahkamah Konstitusi (MK) ini, menurut saya memang mengacaukan sistem tata negara kita. Kalau kewenangan legislasi itu ada pada MK, ya sudah bubarkan saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semua produk bawa aja ke MK," imbuhnya.

Advokat Muslim ini merasa bingung dengan negara ini yang suka bongkar pasang bolak balik sistem pemilu. Ia menyatakan jikalau bongkar pasang sistem pemilu seperti ini kapan kesempatan penguasa memikirkan rakyat? 

"Mereka hanya terus sibuk berebut kekuasaan, berebut menjadi penguasa," Imbuhnya. 

Ia juga sampaikan bahwa rakyat butuh pemimpin yang benar-benar memikirkan mereka bukan hanya memikirkan saat pemilu setelah itu ditinggalkan. 

"Rakyat itu laparnya gak uji coba, rakyat itu laparnya serius, rakyat itu penderitaan nya serius, rakyat butuh pemimpin yang benar-benar memikirkan mereka lahir batin," pungkasnya.[] Cicin Suhendi.

Rabu, 24 Mei 2023

Ahmad Khozinudin: Politik Tak Sebatas Kegiatan Pemilu

Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyatakan, pengertian politik tak sesempit hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pemilu.

"Pengertian politik tak sesempit hanya dalam urusan memilih capres, mendukung capres, memilih caleg, memilih partai, atau hal-hal lain yang berkaitan Pemilu," ujarnya kepada Tinta Media, Selasa (16/5/2023).

Ia menjelaskan, kesalahan besar jika politik dipahami sebatas kalau sudah memberikan dukungan kepada Ganjar Pranowo, menjadi Relawan Anies, membentuk posko pemenangan Prabowo.

"Atau aktivitas politik praktis lainnya terkait Pilpres 2024," jelasnya.

Menurutnya, definisi politik adalah pengaturan segala urusan umat. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis.

"Sedangkan umat, mengawasi negara dalam pengaturan tersebut," tuturnya.

Ia pun membeberkan, dalam konteks ke-Indonesiaan, politik juga termasuk mengontrol kinerja eksekutif, mengawasi DPR, memahami alokasi APBN, mengkritik dana cuci uang di Kemenkeu sebesar Rp 349 triliun, mempersoalkan pelemahan KPK, membela Ulama yang dikriminalisasi, mempersoalkan ijazah palsu Presiden, menuntut pengusutan kasus BLBI, kasus Century hingga kasus korupsi Jiwasraya.

"Dan segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan rakyat lainnya," bebernya.

Politik Islam

Terkait politik Islam, Ahmad menjelaskan, bahwa aktivitas dakwah khususnya dakwah kepada penguasa agar menerapkan syariat Islam adalah aktivitas politik yang agung. 

"Esensi dari politik Islam adalah untuk menegakkan hukum Allah SWT di muka bumi, melalui tegaknya institusi Khilafah," jelasnya.

Ia pun menegaskan, Khilafah sebagai institusi politik Islam akan tegak dengan dakwah.

"Bukan melalui Pemilu atau Pilkada dalam sistem demokrasi sekuler (yang menolak peraturan hukum-hukum Islam dalam berpolitik dan atau bernegara), tutupnya mengakhiri". [] Muhar

Minggu, 21 Mei 2023

UIY: Umat Perlu Dua Hal Baik Jika...

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyatakan bahwa diperlukan dua hal jika rakyat ingin diurus dengan cara yang baik.

"Jika rakyat atau umat betul-betul ingin diurusi dengan cara yang baik maka diperlukan dua hal baik. Pemimpin yang baik dan sistem yang baik," tegasnya dalam program Fokus to The Point: Umat Islam dalam Arus Politik 2024, Kamis (18/5/2023) di kanal Youtube UIY Official.

UIY menegaskan bahwa politik itu sangat penting. Politik dipahami sebagai riayah suunil ummah, bagaimana mengatur umat. " Bagaimana mengatur umat itu sangat ditentukan oleh dua hal. Yang pertama, pemimpin. Yang kedua, bagaimana pemimpin mengatur urusan rakyat ini sistem," ujarnya.

Karena itu, lanjutnya, umat islam perlu memahami jikalau urusan rakyat itu ingin diatur dengan sebaik-baiknya  maka diperlukan dua hal yaitu pemimpin yang baik dan sistem atau aturan yang baik. "Dan, aturan yang baik itu mustinya berasal dari Dzat Yang Maha Baik, oleh Allah SWT. Itulah syariah," tandasnya.

 

UIY menyampaikan bahwa syariah mengatur segala hal yang berkenaan dengan kehidupan rakyat baik itu dalam aspek politik itu sendiri juga ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. "Lalu, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau tunduk atau mau mengikuti aturan yang baik itu," simpulnya. 

 

Pemilih Cerdas

 

Dalam kesempatan yang sama, UIY juga mengingatkan agar rakyat juga memainkan perannya agar menjadi pemilih yang cerdas. "Pemilih yang cerdas itu adalah pemilih yang dia mengerti bahwa dia itu punya kekuatan. Karena itulah kekuatan itu tidak boleh digunakan sebagai alat sekedar legitimasi," ujarnya.

 

"Yang ada sekarang ini kan suara rakyat hanya sebenarnya alat legitimasi bahwa kami dipilih oleh rakyat lalu dia bekerja semau-mau dia, bertentangan dengan kepentingan rakyat," tambahnya.

 

UIY mencontohkan dengan UU Minerba tahun 2009 yang ketentuannya jelas sangat pro terhadap rakyat di mana ada 380.000 ha ladang batu bara, dengan potensi lebih dari 65.000 trilyun, yang harus kembali kepada negara untuk kepentingan rakyat dan dikelola oleh BUMN. "Tapi dirubah oleh wakil rakyat menjadi undang undang nomor 2 tahun 2020 yang memastikan bahwa 380.000 ha tadi itu diperpanjang penguasaaannya oleh 7 perusahaan besar," paparnya.

 

"Ini kan jelas menunjukkan mereka tidak bekerja untuk rakyat. Jadi disitulah pentingnya pemilih itu harus cerdas dalam menggunakan haknya," tegasnya.

 

UIY mengingatkan bahwa memilih adalah hak dan hak itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Maka dari itu harus dipastikan hak itu digunakan sebaik-baiknya untuk memilih pemimpin yang baik dan untuk memilih wakil rakyat untuk menghasilkan sistem yang baik itu.

 

"Di situlah pentingnya ada partai politik yang memang berpihak kepada kepentingan Islam, berdasarkan Islam, kemudian pikirannya atau gagasan-gagasannya Islam, lalu tampak pada programnya, lalu tampak pada narasi yang disampaikan. Kemudian dalam kehidupan kesehariannya itu memang dia juga berdasarkan Islam dan terbukti bahwa dia terikat dengan ajaran Islam," pungkasnya.[] Hanafi

Minggu, 02 April 2023

DPR: DEWAN PERWAKILAN PARTAI, MASIH PERLUKAH KITA IKUT PEMILU?

Tinta Media - Kita patut apresiasi pernyataan jujur dari Bambang Pacul (Bambang Wuryanto), yang menyatakan bahwa dirinya sebagai anggota DPR tidak punya otoritas untuk mewakili rakyat. Entah lugu atau keceplosan, Bambang Pacul secara eksplisit menyatakan, dirinya termasuk juga 'korea' kolega lainnya (baca: badut-badut Senayan), hanya garang didepan publik, namun takut pada pimpinan partainya masing-masing.

Hal itu disampaikan Bambang Pacul saat menjawab permintaan Mahfud MD agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Prinsipnya, Bambang justru mendorong Mahfud MD untuk melobi pimpinan partai, karena hakekatnya anggota DPR di senayan adalah kepanjangan tangan partai.

Tanpa pengakuan Bambang Pacul, sebenarnya publik sudah paham bahwa politisi di DPR itu hanya menjadi Wakil Rakyat saat kampanye Pemilu. Saat kampanye itulah, rakyat benar-benar dimanjakan oleh politisi.

Ada yang berkunjung, bagi-bagi kaos, hingga amplop merah berisi duit dengan cover 'Harta Zakat'. Rakyat, juga selalu menjadi materi ulasan dalam setiap pidato kampanye politik.

Namun setelah politisi mendapatkan suara, menjadi anggota DPR, maka sepenuhnya anggota DPR menjadi milik partai, kepanjangan tangan partai. Meminjam istilah yang dipopulerkan PDIP, seluruh anggota DPR pada hakekatnya adalah petugas partai.

Yang punya kedaulatan terhadap DPR adalah partai, bukan rakyat. Maka, wajar saja UU Cipta Kerja yang ditolak rakyat malah disahkan oleh DPR. Kenapa demikian? Karena perintah pimpinan partai mengesahkan UU Cipta Kerja.

Kalau sudah demikian, masih relevan-kah kita ikut Pemilu? Memilih wakil rakyat, yang selanjutnya menjadi petugas partai?

Masih mungkinkah, akan ada perubahan jika karakter badut-badut di Senayan, seperti yang diceritakan Bambang Pacul?

Pada kenyataanya, kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi sejatinya hanya mitos, hanya utopia. Yang berdaulat, sejatinya adalah kapital. Dan partai, bisa dikendalikan dengan kapital, selanjutnya anggota DPR tinggal dikendalikan via partai.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pernah menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia.

Kalau ada 11 Partai Politik, berarti hanya cukup Rp. 11 triliun untuk menguasai APBN Indonesia yang nilainya Rp3000 triliun per tahun. Jika bisa mendapatkan untung 10 % saja dari nilai APBN, maka oligarki dengan kekuatan kapitalnya bisa memperoleh kocek Rp300 triliun per tahun. Padahal, modalnya hanya Rp11 triliun.

Jika Rp11 triliun ini bisa mengendalikan partai selama 5 tahun, maka oligarki akan mendapatkan keuntungan totalnya Rp1500 triliun, dengan memerintahkan anggota DPR lewat partai, untuk mengelola APBN dengan corak yang menguntungkan oligarki.

Misalnya, bikin proyek biodiesel, yang main oligarki. Bikin proyek IKN, yang untung oligarki. Bikin kebijakan hilirisasi, yang main perusahaan oligarki. Dst.

Begitulah sistem politik demokrasi, masih mau bertahan? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Kamis, 10 November 2022

PEMILU UNTUK RAKYAT ATAU OLIGARKI?

Tinta Media - Tidak ada negara demokrasi di dunia yang tidak berkaitan dengan oligarki, kepemimpinan yang berhasil adalah yang mampu mengendalikan oligarki bukan yang jadi alatnya oligarki (Eep Saefullah Fatah). Oligarki menjadikan demokrasi sebagai alat legitimasi (Ismail Yusanto).

Ulasan yang disampaikan Founder sekaligus CEO Polmark Indonesia ini sebenarnya mengkonfirmasi bahwa demokrasi dan pemilu demokrasi tak mungkin dilepaskan dari peran oligarki. Artinya pemilu pada dasarnya adalah dalam kendali oligarki. Eep tidak menyinggung satupun pemimpin atau presiden yang berhasil lepas dari hegemoni oligarki, kecuali dia berharap bahwa Anies jika jadi presiden punya kemampuan akan bisa mengendalikan oligarki. Ini hanya analisa politik, sebab faktanya Anies belum menjadi presiden, baru calon presiden yang diusung oleh partai nasdem.


Eep juga memberikan bocoran agar Anies dapat berhasil pada pengendalian oligarki ini, salah satunya adalah Anies dapat menjadi pioneer atau orang pertama. “Kalau Anies mau berhasil maka Anies bisa menjadi pioneer, orang pertama di Indonesia yang pertama kalinya di Indonesia ada UU pendanaan politik.


Ucapan Eep ini menandaskan bahwa selama ini pemilu dalam kendali oligarki, jika Anies mampu keluar dari jeratan itu, maka dia orang pertama di Indonesia. Wah ngeri juga ya, berarti benar bahwa pemilu demokrasi itu dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki, bukan untuk rakyat.

 

Robert Mitchel dalam bukunya “Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy” menyebutkan kemunculan oligarki merupakan konsekuensi dari proses yang terjadi dalam suatu organisasi, termasuk partai politik. Makin besar organisasi atau partai politik tersebut, kecendrungan mengarah kepada oligarki tidak dapat dihindarkan. Kecendrungan ini disebut Michel sebagai oligarki demokrasi.

Yang pada akhirnya, perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa ini akan melahirkan hukum besi oligarki, dimana kepentingan sekelompok orang (minoritas), tidak mewakili kepentingan orang banyak (mayoritas). Seperti lingkaran setan, relasi antara demokrasi dan oligarki yang senyatanya telah menjadi malapetakan peradaban modern tanpa pernah ada ujungnya.


Istilah lingkaran setan adalah keadaan atau masalah yang seolah-olah tidak berujung pangkal, sulit dicari penyelesaiannya; proses atau lingkaran tidak berujung pangkal. Kapitalis sekuler sebagai metode operasional demokrasi telah menyebabkan kerusakan dan kehancuran ekonomi dunia bahkan Indonesia. Akibatnya, krisis globalpun terjadi dan berbarengan dengan pandemi yang telah menyengsarakan umat manusia di dunia abad ini. Penerapan demokrasi liberal tidak pernah memberikan harapan, kecuali kehancuran yang tak berujung.


Krisis fiskal negara dunia ketiga yang tersandera bayang-bayang gagal bayar akibat “debt trap” sistem rusak ini. John Perkins membuka mata dunia lewat buku yang berjudul Confession of an Economic Hit Man (2005). Bagaimana dia menelanjangi rahasia pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins, untuk membuat negara-negara kaya sumber daya alam (SDA) agar mendapat utang luar negeri sebayak-banyaknya. Sampai negara tersebut tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang dimilikinya.


Efek rusaknya pun menjalar ke realitas politik ala demokrasi, saat ini panggung layaknya pasar kotor, dimana jual-beli kepentingan dan saling sikut demi keuntungan bisnis pribadi dan kelompok dilakukan. Sehingga perwujudan demokrasi yang terjadi, bukan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki. Wajah demokrasipun terlihat di dominasi oleh birokrasi oligarki yang menjadikan partai hanya sekedar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya, tidak lebih.


Analisa Eep bisa benar, bisa juga salah. Sebab, calon presiden diusung oleh partai, sementara dalam demokrasi, partai adalah bagian dari oligarki itu. Bingung kan ?. Dengan demikian, pertanyaannya adalah, siapa yang bisa menjamin bahwa Anies tidak dikendalikan oligarki ?. Pertanyaan ini harus dijawab oleh Anies sendiri. Jika jawabannya iya, maka apakah partai Nasdem bisa memahami dan meneruskan dukungannya, atau malah sebaliknya, mencabut dukungan. Lingkaran setan demokrasi oligarki tidaklah sesederhana apa yang disampaikan Eep. Bahkan bisa dikatakan bahwa pemilu demokrasi adalah ajang perjudian para oligarki.


Paham antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetik, demokrasi itu anti agama (baca : Islam). Dari kesalahan konsep kepemilikan menjadikan oligarki semakin subur dalam sistem demokrasi.

 

Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja demokrasi menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Tidak mengherankan pula jika di alam demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, penista agama dan berbagai bentuk perilaku amoralitas. Islam akan menjadi sasaran serangan oleh demokrasi melalui mulut para pemujanya. Biaya politik demokrasi sangat tinggi yang menyebabkan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Lebih ironis lagi jika yang menjadi penguasa adalah para pengusaha, sempurna kehancurannya.

 

Karena itu jargon demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah jargon bualan, pepesan kosong. Buktinya, pasca pemilu, kondisi rakyat tidak semakin baik, malah sebaliknya, utang negara semakin menggunung dan rakyat yang harus menanggungnya. Usai pemilu, rezim kerjanya justru menyengsarakan rakyat dengan menaikkan pajak dan menaikkan harga-harga. Rakyat mestinya cerdas, bahwa selama demokrasi diterapkan, maka pemilu hanya akan menambah sengsara dan carut marut negeri ini.


(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/11/22 : 15.04 WIB)

 Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Senin, 03 Oktober 2022

KECURANGAN PEMILU ITU NYATA, PDIP TAK PERLU SIBUK MEMBANTAH SBY

"Setahu saya, Beliau tidak pernah lagi naik gunung. Jadi turun gunungnya Pak SBY sudah lama dan berulang kali. Monggo turun gunung. Tetapi kalau turun gunungnya itu mau menyebarkan fitnah kepada Pak Jokowi, maka PDI Perjuangan akan naik gunung agar bisa melihat dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh Pak SBY,"
*[Hasto Kristiyanto, 17/9/2022]*

Tinta Media - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membantah pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal adanya upaya agar Pilpres 2024 hanya akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres yang dikehendaki. Hasto menegaskan SBY mendapatkan informasi tidak benar.

Awalnya, Hasto merespons terkait rencana SBY untuk turun gunung menangani dugaan adanya ketidakadilan dan ketidakjujuran pada Pemilu 2024. Dia menekankan PDIP akan naik gunung dan mengawasi langkah SBY.

Hasto menuduh SBY menyampaikan hal itu lantaran khawatir terhadap anaknya yang juga Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak mendapatkan tiket maju Pilpres. Lalu, Hasto meminta agar SBY tidak membuat tudingan-tudingan Jokowi akan berbuat jahat dan batil dalam Pemilu 2024 hanya karena khawatir dengan AHY.

Pernyataan Hasto ini justru mengkonfirmasi keluhan SBY akan ada Pemilu curang bukan isapan jempol. Pernyataan Hasto ini juga menunjukan, PDIP sebagai salah satu kontestan Pemilu dan partai penguasa akan memiliki andil untuk menciptakan Pemilu curang, baik dalam tahapan pencapresan, pemungutan suara, penghitungan suara hingga penetapan pemenang Pemilu/Pilpres.

SBY tidak pernah sebut merk, kenapa PDIP nyolot?

Soal potensi PDIP curang, itu sangat terbuka. Posisinya sebagai partai penguasa, memberikan peluang bagi PDIP untuk curang.

PDIP dapat mengeksploitasi kekuasaan untuk curang. Partai yang berkuasa, jelas memiliki peluang lebih besar untuk berlaku curang.

Soal Pemilu curang? Siapa yang percaya ada Pemilu jujur? Bukti Pemilu curang yang paling sederhana adalah adanya Money Politic. 

Pemilihan tingkat kepala desa saja sudah harus pake uang, apalagi penilihan tingkat RI-1 ? siapa yang percaya tidak ada pemilu curang ?

Bukti Pemilu curang juga terkonfirmasi banyaknya gugatan Pemilu di MK. Kalau ada yang berdalih di MK tidak terbukti, itu salah. Karena banyak gugatan yang terbukti curang, hanya MK melihat tidak memenuhi kualifikasi TSM, sehingga dikalahkan.

Dalam konteks penghadangan capres, ngototnya MK menolak PT 0 % adalah bukti penjegalan anak bangsa untuk maju Pilpres, ya termasuk AHY. Dan semua Mafhum, ketua MK siapa, dan hubungannya dengan petugas partai PDIP apa.

Ketimbang Hasto sibuk membantah akan ada Pemilu curang, sebaiknya Hasto koreksi sikap politik partainya yang pro PT 20 %. Belum lagi, PDIP  saat ini berkuasa dan banyak masalah bangsa indonesia sejak dipimpin PDIP. Lalu, Hasto mau berdalih apa lagi?[].


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://youtu.be/IgaMwMqp6PM

Senin, 01 Agustus 2022

Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Mampukah Mewujudkan Kesejahteraan bagi Masyarakat?

Tinta Media - Di tengah tahapan Pemilu 2024, Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten bersinergi untuk melakukan sosialisasi program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). KPU berharap, melalui pertemuan ini, semua elemen bisa menyukseskan Pemilu. Karena menurutnya, Pemilu akan menjadi cikal bakal menuju kesejahteraan masyarakat, dan yang lainnya.

Namun kenyataannya, pemilu yang dilakukan selama ini belum mampu membawa pada perubahan besar untuk rakyat.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang begitu fantastis, hingga politik uang, semestinya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tidak pernah melahirkan penguasa amanah, seperti yang rakyat harapkan.

Pemilu dalam sistem demokrasi akhirnya tak ubahnya seperti meja perjudian. Para pemburu kekuasaan dan semua yang berkepentingan, harus siap membayar berapa pun yang dibutuhkan demi mendapat keuntungan besar yang dijanjikan. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka siap melakukan cara apa pun demi memenangkan pertarungan. Sehingga, penyebaran hoax, politik uang, pembunuhan karakter, menjadi hal yang begitu lumrah dalam pesta yang diselenggarakan.

Proses Pemilu dalam Islam

Pemilu di dalam Islam hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan khalifah/penguasa. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah adalah baiat. Kaum muslimin berbaiat kepada khalifah untuk memerintah berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah.

Artinya, Khalifah tidak berhak melegislasi hukum karena yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Sedangkan Khalifah hanya berhak berijtihad, yaitu menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah. Kekuasaan dalam Islam bersifat sentralistik, berpusat pada khalifah dan dibantu oleh para muawin-nya.

Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala, sekaligus amanah yang berat karena Allah Swt. akan haramkan surga jika tidak amanah.

“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan diganjar oleh Allah Swt. dengan haramnya ia masuk surga. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin, maka sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Pemilu Utsman bin Affan

Prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai'at boleh berbeda-beda. Di antara proses tersebut, yang masyhur dan sering dijadikan contoh dalam pembahasan pemilu sesuai syariat adalah pada saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa saat itu ketika Khalifah Umar tertikam, beliau mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslimin.

Khalifah Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan hingga terpilih satu dari mereka. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama 50 orang lainnya untuk mengawal mereka dan menugasi Miqdad untuk mencarikan tempat untuk para calon berkumpul.

Setelah Khalifah Umar wafat dan para calon terkumpul, salah satu calon, Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan mulai meminta pendapat kelima calon tersebut. Jawaban mereka mengerucut pada 2 kandidat, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan.

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pada pendapat kaum muslimin dengan menanyai mereka, siapa di antara Ali dan Utsman yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Abdurrahman mengetuk pintu-pintu rumah warga, malam dan siang hari, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Abdurrahman bertanya pada kedua calon, maka saat salat Subuh, pembai'atan Utsman sempurna.

Dengan bai'at kaum muslimin itulah Utsman menjadi khalifah. Dari kisah pengangkatan Utsman bin Affan, bisa kita tarik bahwa pemilihan khalifah benar-benar representasi dari umat. Sebab, khalifah adalah orang yang bertanggung jawab dalam seluruh permasalahan umat.

Calon khalifah adalah mereka yang terbaik dari sisi ketakwaan dan kapabilitas leadership-nya. Selain itu, yang ditugasi untuk mengawal berjalannya proses pemilihan adalah orang-orang terbaik. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan, selain kepentingan umat. Sebagaimana independensi Abdurrahman bin Auf sangat terlihat saat ia gigih mengetuk pintu-pintu rumah untuk bertanya, siapakah yang lebih layak menjadi Khalifah.

Khatimah

Oleh karena itu, mengharapkan pemilu yang bersih dan bebas dari kepentingan politik dalam sistem demokrasi adalah mustahil. Sebab, justru sistem inilah yang melanggengkan politik transaksional yang pada gilirannya akan menghantarkan pada kecurangan untuk menang. Walhasil, tidak akan pernah terpilih pemimpin yang amanah dan peduli pada umat.

Hanya dengan sistem politik Islamlah pemilu yang bersih akan terwujud sehingga akan terpilih pemimpin sesuai dengan keinginan umat, serta pemimpin yang amanah melayani umat. Sedangkan sistem politik Islam akan berjalan secara sempurna, hanya dalam pemerintahan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wahai kaum muslimin, Daulah Khilafah Islamiyah telah runtuh pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Sejak saat itulah, kaum muslimin tidak memiliki lagi sistem pemerintahan yang menaunginya. Oleh karenanya, marilah berjuang mewujudkan kembali khilafah agar terlahir para pemimpin dambaan umat yang akan membawa peradaban manusia menuju kegemilangannya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Jumat, 25 Maret 2022

Invest: Penundaan Pemilu Karena ‘Syahwat’ Kekuasaan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1t_Gj-_zEy9wt4qxK8dAM-cAUJUQ3LpCN

Tinta Media - Penundaan pemilu dengan alasan dampak Covid yang diusulkan Muhaimin Iskandar, dinilai Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastructur (Invest) Ahmad Daryoko karena syahwat kekuasaan.

“Kalau mau jujur, penundaan pemilu-pilpres ini dipastikan karena ‘syahwat’ kekuasaan,” tuturnya pada Tinta Media, Kamis (24/3/2022).

Apalagi saat ini, kata Daryoko, kekuasaan itu berarti membawa gerbong oligarkhi yang di dalamnya ada parpol, kekuatan legislatif, eksekutif, yudikatif , aparat pemeriksa, serta kekuatan sosial yang lain pendukung kekuasaan pelindung mereka, yang saat ini lagi enak-enaknya ‘menjarah’ aset negara seperti PLN, pertamina , batu bara, tambang emas, nikel dan seterusnya.

“Apalagi, rezim ini lagi punya gawe besar, dengan bobot politis sangat besar pula, yakni proyek pindah Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan sana. Yang akhir kekuasaan Jokowi akhir 2024 dipastikan belum kelar,” ujarnya.

Daryoko mengandaikan,  kalau tiba-tiba akhir 2024 nanti terpilih presiden baru yang berideologi ‘kanan’ ( saat ini katakanlah  berideologi ‘kiri’ ), maka acara pindah ibu kota itu terancam batal meskipun IKN ada undang-undangnya. “Karena tradisi melanggar undang-undang  ataupun konstitusi  itu sudah jamak dilakukan petinggi di Republik ini,” tegasnya.

“Kalau itu terjadi berarti merupakan simbol kalahnya kekuatan ‘kiri’ dari eksponen ‘kanan.’  Ini sangat menyakitkan bagi rezim yang saat ini bernuansa kiri tersebut,” tandasnya.

Menurut Daryoko, sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa ini terpecah atas dua  arus utama yaitu arus ‘kanan’ dan ‘kiri.’ Ketika Bung Karno berkuasa, saat itu Ideologi ‘kiri’ yang berjaya. Dan saat itu Bung Karno  menggagas perlunya ibu kota negara Republik Indonesia  berada di lokasi di kisaran Samarinda.

“Sehingga gagasan IKN saat ini tidak lepas dari semangat prestisius  dari Ideologi kiri tersebut,  apapun resikonya,” jelasnya.  

Artinya, simpul Daryoko,  pindahnya ibu kota itu membutuhkan kekuatan politik yang sangat besar. Karena disamping harus selesai, juga harus dihuni oleh seluruh pegawai negeri sipil (PNS)  dari seluruh departemen yang saat ini berada di Jakarta yang menyangkut ratusan ribu bahkan jutaan orang bila keluarga PNS itu juga ikut pindah.  Yang semua itu bisa terancam gagal bila Presiden yang baru berbeda Ideologi dengan rezim saat ini.

“Itulah, mengapa pendukung rezim ini ngotot agar periode ditambah, ataupun periodenya yang diperpanjang,” simpulnya.

Daryoko mengingatkan bahwa semua ini akan menciptakan chaos konstitusi  sebagaimana era  orde lama juga tercipta chaos konstitusi dengan adanya ide PKI yaitu menjadikan Bung Karno  presiden seumur hidup. Ataupun era  orde baru, akibat diciptakannya kondisi kekuasaan tidak terbatas lewat rekayasa jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan jalur G (jalur Partai Golkar).

“Era orde lama akhirnya meletus Revolusi  G 30 S/PKI pada 1 Oktober 1965 yang disusul turunnya Bung Karno. Dan era orde baru  menciptakan Revolusi Mei 1998 yang berakhir turunnya pak Harto,” tegasnya.

Semuanya, lanjut Daryoko,  dimulai dari penciptaan  chaos konstitusi dari rezim terkait. Nah, era Jokowi , para pendukung  rezim ini  indikasinya juga akan menciptakan  chaos kontitusi juga , dengan minta penundaan pemilu, atau perpanjangan periode kekuasaan presiden,  yang semuanya dengan dalih Covid-19 dan turunannya.

“Kita lihat saja, apakah Jokowi akan turun dari tahta lewat revolusi juga?” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab