Tinta Media: Pemilu
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Mei 2023

Ahmad Khozinudin: Politik Tak Sebatas Kegiatan Pemilu

Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyatakan, pengertian politik tak sesempit hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pemilu.

"Pengertian politik tak sesempit hanya dalam urusan memilih capres, mendukung capres, memilih caleg, memilih partai, atau hal-hal lain yang berkaitan Pemilu," ujarnya kepada Tinta Media, Selasa (16/5/2023).

Ia menjelaskan, kesalahan besar jika politik dipahami sebatas kalau sudah memberikan dukungan kepada Ganjar Pranowo, menjadi Relawan Anies, membentuk posko pemenangan Prabowo.

"Atau aktivitas politik praktis lainnya terkait Pilpres 2024," jelasnya.

Menurutnya, definisi politik adalah pengaturan segala urusan umat. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis.

"Sedangkan umat, mengawasi negara dalam pengaturan tersebut," tuturnya.

Ia pun membeberkan, dalam konteks ke-Indonesiaan, politik juga termasuk mengontrol kinerja eksekutif, mengawasi DPR, memahami alokasi APBN, mengkritik dana cuci uang di Kemenkeu sebesar Rp 349 triliun, mempersoalkan pelemahan KPK, membela Ulama yang dikriminalisasi, mempersoalkan ijazah palsu Presiden, menuntut pengusutan kasus BLBI, kasus Century hingga kasus korupsi Jiwasraya.

"Dan segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan rakyat lainnya," bebernya.

Politik Islam

Terkait politik Islam, Ahmad menjelaskan, bahwa aktivitas dakwah khususnya dakwah kepada penguasa agar menerapkan syariat Islam adalah aktivitas politik yang agung. 

"Esensi dari politik Islam adalah untuk menegakkan hukum Allah SWT di muka bumi, melalui tegaknya institusi Khilafah," jelasnya.

Ia pun menegaskan, Khilafah sebagai institusi politik Islam akan tegak dengan dakwah.

"Bukan melalui Pemilu atau Pilkada dalam sistem demokrasi sekuler (yang menolak peraturan hukum-hukum Islam dalam berpolitik dan atau bernegara), tutupnya mengakhiri". [] Muhar

Minggu, 21 Mei 2023

UIY: Umat Perlu Dua Hal Baik Jika...

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyatakan bahwa diperlukan dua hal jika rakyat ingin diurus dengan cara yang baik.

"Jika rakyat atau umat betul-betul ingin diurusi dengan cara yang baik maka diperlukan dua hal baik. Pemimpin yang baik dan sistem yang baik," tegasnya dalam program Fokus to The Point: Umat Islam dalam Arus Politik 2024, Kamis (18/5/2023) di kanal Youtube UIY Official.

UIY menegaskan bahwa politik itu sangat penting. Politik dipahami sebagai riayah suunil ummah, bagaimana mengatur umat. " Bagaimana mengatur umat itu sangat ditentukan oleh dua hal. Yang pertama, pemimpin. Yang kedua, bagaimana pemimpin mengatur urusan rakyat ini sistem," ujarnya.

Karena itu, lanjutnya, umat islam perlu memahami jikalau urusan rakyat itu ingin diatur dengan sebaik-baiknya  maka diperlukan dua hal yaitu pemimpin yang baik dan sistem atau aturan yang baik. "Dan, aturan yang baik itu mustinya berasal dari Dzat Yang Maha Baik, oleh Allah SWT. Itulah syariah," tandasnya.

 

UIY menyampaikan bahwa syariah mengatur segala hal yang berkenaan dengan kehidupan rakyat baik itu dalam aspek politik itu sendiri juga ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. "Lalu, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau tunduk atau mau mengikuti aturan yang baik itu," simpulnya. 

 

Pemilih Cerdas

 

Dalam kesempatan yang sama, UIY juga mengingatkan agar rakyat juga memainkan perannya agar menjadi pemilih yang cerdas. "Pemilih yang cerdas itu adalah pemilih yang dia mengerti bahwa dia itu punya kekuatan. Karena itulah kekuatan itu tidak boleh digunakan sebagai alat sekedar legitimasi," ujarnya.

 

"Yang ada sekarang ini kan suara rakyat hanya sebenarnya alat legitimasi bahwa kami dipilih oleh rakyat lalu dia bekerja semau-mau dia, bertentangan dengan kepentingan rakyat," tambahnya.

 

UIY mencontohkan dengan UU Minerba tahun 2009 yang ketentuannya jelas sangat pro terhadap rakyat di mana ada 380.000 ha ladang batu bara, dengan potensi lebih dari 65.000 trilyun, yang harus kembali kepada negara untuk kepentingan rakyat dan dikelola oleh BUMN. "Tapi dirubah oleh wakil rakyat menjadi undang undang nomor 2 tahun 2020 yang memastikan bahwa 380.000 ha tadi itu diperpanjang penguasaaannya oleh 7 perusahaan besar," paparnya.

 

"Ini kan jelas menunjukkan mereka tidak bekerja untuk rakyat. Jadi disitulah pentingnya pemilih itu harus cerdas dalam menggunakan haknya," tegasnya.

 

UIY mengingatkan bahwa memilih adalah hak dan hak itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Maka dari itu harus dipastikan hak itu digunakan sebaik-baiknya untuk memilih pemimpin yang baik dan untuk memilih wakil rakyat untuk menghasilkan sistem yang baik itu.

 

"Di situlah pentingnya ada partai politik yang memang berpihak kepada kepentingan Islam, berdasarkan Islam, kemudian pikirannya atau gagasan-gagasannya Islam, lalu tampak pada programnya, lalu tampak pada narasi yang disampaikan. Kemudian dalam kehidupan kesehariannya itu memang dia juga berdasarkan Islam dan terbukti bahwa dia terikat dengan ajaran Islam," pungkasnya.[] Hanafi

Minggu, 02 April 2023

DPR: DEWAN PERWAKILAN PARTAI, MASIH PERLUKAH KITA IKUT PEMILU?

Tinta Media - Kita patut apresiasi pernyataan jujur dari Bambang Pacul (Bambang Wuryanto), yang menyatakan bahwa dirinya sebagai anggota DPR tidak punya otoritas untuk mewakili rakyat. Entah lugu atau keceplosan, Bambang Pacul secara eksplisit menyatakan, dirinya termasuk juga 'korea' kolega lainnya (baca: badut-badut Senayan), hanya garang didepan publik, namun takut pada pimpinan partainya masing-masing.

Hal itu disampaikan Bambang Pacul saat menjawab permintaan Mahfud MD agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Prinsipnya, Bambang justru mendorong Mahfud MD untuk melobi pimpinan partai, karena hakekatnya anggota DPR di senayan adalah kepanjangan tangan partai.

Tanpa pengakuan Bambang Pacul, sebenarnya publik sudah paham bahwa politisi di DPR itu hanya menjadi Wakil Rakyat saat kampanye Pemilu. Saat kampanye itulah, rakyat benar-benar dimanjakan oleh politisi.

Ada yang berkunjung, bagi-bagi kaos, hingga amplop merah berisi duit dengan cover 'Harta Zakat'. Rakyat, juga selalu menjadi materi ulasan dalam setiap pidato kampanye politik.

Namun setelah politisi mendapatkan suara, menjadi anggota DPR, maka sepenuhnya anggota DPR menjadi milik partai, kepanjangan tangan partai. Meminjam istilah yang dipopulerkan PDIP, seluruh anggota DPR pada hakekatnya adalah petugas partai.

Yang punya kedaulatan terhadap DPR adalah partai, bukan rakyat. Maka, wajar saja UU Cipta Kerja yang ditolak rakyat malah disahkan oleh DPR. Kenapa demikian? Karena perintah pimpinan partai mengesahkan UU Cipta Kerja.

Kalau sudah demikian, masih relevan-kah kita ikut Pemilu? Memilih wakil rakyat, yang selanjutnya menjadi petugas partai?

Masih mungkinkah, akan ada perubahan jika karakter badut-badut di Senayan, seperti yang diceritakan Bambang Pacul?

Pada kenyataanya, kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi sejatinya hanya mitos, hanya utopia. Yang berdaulat, sejatinya adalah kapital. Dan partai, bisa dikendalikan dengan kapital, selanjutnya anggota DPR tinggal dikendalikan via partai.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pernah menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia.

Kalau ada 11 Partai Politik, berarti hanya cukup Rp. 11 triliun untuk menguasai APBN Indonesia yang nilainya Rp3000 triliun per tahun. Jika bisa mendapatkan untung 10 % saja dari nilai APBN, maka oligarki dengan kekuatan kapitalnya bisa memperoleh kocek Rp300 triliun per tahun. Padahal, modalnya hanya Rp11 triliun.

Jika Rp11 triliun ini bisa mengendalikan partai selama 5 tahun, maka oligarki akan mendapatkan keuntungan totalnya Rp1500 triliun, dengan memerintahkan anggota DPR lewat partai, untuk mengelola APBN dengan corak yang menguntungkan oligarki.

Misalnya, bikin proyek biodiesel, yang main oligarki. Bikin proyek IKN, yang untung oligarki. Bikin kebijakan hilirisasi, yang main perusahaan oligarki. Dst.

Begitulah sistem politik demokrasi, masih mau bertahan? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Kamis, 10 November 2022

PEMILU UNTUK RAKYAT ATAU OLIGARKI?

Tinta Media - Tidak ada negara demokrasi di dunia yang tidak berkaitan dengan oligarki, kepemimpinan yang berhasil adalah yang mampu mengendalikan oligarki bukan yang jadi alatnya oligarki (Eep Saefullah Fatah). Oligarki menjadikan demokrasi sebagai alat legitimasi (Ismail Yusanto).

Ulasan yang disampaikan Founder sekaligus CEO Polmark Indonesia ini sebenarnya mengkonfirmasi bahwa demokrasi dan pemilu demokrasi tak mungkin dilepaskan dari peran oligarki. Artinya pemilu pada dasarnya adalah dalam kendali oligarki. Eep tidak menyinggung satupun pemimpin atau presiden yang berhasil lepas dari hegemoni oligarki, kecuali dia berharap bahwa Anies jika jadi presiden punya kemampuan akan bisa mengendalikan oligarki. Ini hanya analisa politik, sebab faktanya Anies belum menjadi presiden, baru calon presiden yang diusung oleh partai nasdem.


Eep juga memberikan bocoran agar Anies dapat berhasil pada pengendalian oligarki ini, salah satunya adalah Anies dapat menjadi pioneer atau orang pertama. “Kalau Anies mau berhasil maka Anies bisa menjadi pioneer, orang pertama di Indonesia yang pertama kalinya di Indonesia ada UU pendanaan politik.


Ucapan Eep ini menandaskan bahwa selama ini pemilu dalam kendali oligarki, jika Anies mampu keluar dari jeratan itu, maka dia orang pertama di Indonesia. Wah ngeri juga ya, berarti benar bahwa pemilu demokrasi itu dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki, bukan untuk rakyat.

 

Robert Mitchel dalam bukunya “Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy” menyebutkan kemunculan oligarki merupakan konsekuensi dari proses yang terjadi dalam suatu organisasi, termasuk partai politik. Makin besar organisasi atau partai politik tersebut, kecendrungan mengarah kepada oligarki tidak dapat dihindarkan. Kecendrungan ini disebut Michel sebagai oligarki demokrasi.

Yang pada akhirnya, perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa ini akan melahirkan hukum besi oligarki, dimana kepentingan sekelompok orang (minoritas), tidak mewakili kepentingan orang banyak (mayoritas). Seperti lingkaran setan, relasi antara demokrasi dan oligarki yang senyatanya telah menjadi malapetakan peradaban modern tanpa pernah ada ujungnya.


Istilah lingkaran setan adalah keadaan atau masalah yang seolah-olah tidak berujung pangkal, sulit dicari penyelesaiannya; proses atau lingkaran tidak berujung pangkal. Kapitalis sekuler sebagai metode operasional demokrasi telah menyebabkan kerusakan dan kehancuran ekonomi dunia bahkan Indonesia. Akibatnya, krisis globalpun terjadi dan berbarengan dengan pandemi yang telah menyengsarakan umat manusia di dunia abad ini. Penerapan demokrasi liberal tidak pernah memberikan harapan, kecuali kehancuran yang tak berujung.


Krisis fiskal negara dunia ketiga yang tersandera bayang-bayang gagal bayar akibat “debt trap” sistem rusak ini. John Perkins membuka mata dunia lewat buku yang berjudul Confession of an Economic Hit Man (2005). Bagaimana dia menelanjangi rahasia pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins, untuk membuat negara-negara kaya sumber daya alam (SDA) agar mendapat utang luar negeri sebayak-banyaknya. Sampai negara tersebut tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang dimilikinya.


Efek rusaknya pun menjalar ke realitas politik ala demokrasi, saat ini panggung layaknya pasar kotor, dimana jual-beli kepentingan dan saling sikut demi keuntungan bisnis pribadi dan kelompok dilakukan. Sehingga perwujudan demokrasi yang terjadi, bukan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki. Wajah demokrasipun terlihat di dominasi oleh birokrasi oligarki yang menjadikan partai hanya sekedar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya, tidak lebih.


Analisa Eep bisa benar, bisa juga salah. Sebab, calon presiden diusung oleh partai, sementara dalam demokrasi, partai adalah bagian dari oligarki itu. Bingung kan ?. Dengan demikian, pertanyaannya adalah, siapa yang bisa menjamin bahwa Anies tidak dikendalikan oligarki ?. Pertanyaan ini harus dijawab oleh Anies sendiri. Jika jawabannya iya, maka apakah partai Nasdem bisa memahami dan meneruskan dukungannya, atau malah sebaliknya, mencabut dukungan. Lingkaran setan demokrasi oligarki tidaklah sesederhana apa yang disampaikan Eep. Bahkan bisa dikatakan bahwa pemilu demokrasi adalah ajang perjudian para oligarki.


Paham antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetik, demokrasi itu anti agama (baca : Islam). Dari kesalahan konsep kepemilikan menjadikan oligarki semakin subur dalam sistem demokrasi.

 

Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja demokrasi menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Tidak mengherankan pula jika di alam demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, penista agama dan berbagai bentuk perilaku amoralitas. Islam akan menjadi sasaran serangan oleh demokrasi melalui mulut para pemujanya. Biaya politik demokrasi sangat tinggi yang menyebabkan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Lebih ironis lagi jika yang menjadi penguasa adalah para pengusaha, sempurna kehancurannya.

 

Karena itu jargon demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah jargon bualan, pepesan kosong. Buktinya, pasca pemilu, kondisi rakyat tidak semakin baik, malah sebaliknya, utang negara semakin menggunung dan rakyat yang harus menanggungnya. Usai pemilu, rezim kerjanya justru menyengsarakan rakyat dengan menaikkan pajak dan menaikkan harga-harga. Rakyat mestinya cerdas, bahwa selama demokrasi diterapkan, maka pemilu hanya akan menambah sengsara dan carut marut negeri ini.


(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/11/22 : 15.04 WIB)

 Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Senin, 03 Oktober 2022

KECURANGAN PEMILU ITU NYATA, PDIP TAK PERLU SIBUK MEMBANTAH SBY

"Setahu saya, Beliau tidak pernah lagi naik gunung. Jadi turun gunungnya Pak SBY sudah lama dan berulang kali. Monggo turun gunung. Tetapi kalau turun gunungnya itu mau menyebarkan fitnah kepada Pak Jokowi, maka PDI Perjuangan akan naik gunung agar bisa melihat dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh Pak SBY,"
*[Hasto Kristiyanto, 17/9/2022]*

Tinta Media - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membantah pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal adanya upaya agar Pilpres 2024 hanya akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres yang dikehendaki. Hasto menegaskan SBY mendapatkan informasi tidak benar.

Awalnya, Hasto merespons terkait rencana SBY untuk turun gunung menangani dugaan adanya ketidakadilan dan ketidakjujuran pada Pemilu 2024. Dia menekankan PDIP akan naik gunung dan mengawasi langkah SBY.

Hasto menuduh SBY menyampaikan hal itu lantaran khawatir terhadap anaknya yang juga Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak mendapatkan tiket maju Pilpres. Lalu, Hasto meminta agar SBY tidak membuat tudingan-tudingan Jokowi akan berbuat jahat dan batil dalam Pemilu 2024 hanya karena khawatir dengan AHY.

Pernyataan Hasto ini justru mengkonfirmasi keluhan SBY akan ada Pemilu curang bukan isapan jempol. Pernyataan Hasto ini juga menunjukan, PDIP sebagai salah satu kontestan Pemilu dan partai penguasa akan memiliki andil untuk menciptakan Pemilu curang, baik dalam tahapan pencapresan, pemungutan suara, penghitungan suara hingga penetapan pemenang Pemilu/Pilpres.

SBY tidak pernah sebut merk, kenapa PDIP nyolot?

Soal potensi PDIP curang, itu sangat terbuka. Posisinya sebagai partai penguasa, memberikan peluang bagi PDIP untuk curang.

PDIP dapat mengeksploitasi kekuasaan untuk curang. Partai yang berkuasa, jelas memiliki peluang lebih besar untuk berlaku curang.

Soal Pemilu curang? Siapa yang percaya ada Pemilu jujur? Bukti Pemilu curang yang paling sederhana adalah adanya Money Politic. 

Pemilihan tingkat kepala desa saja sudah harus pake uang, apalagi penilihan tingkat RI-1 ? siapa yang percaya tidak ada pemilu curang ?

Bukti Pemilu curang juga terkonfirmasi banyaknya gugatan Pemilu di MK. Kalau ada yang berdalih di MK tidak terbukti, itu salah. Karena banyak gugatan yang terbukti curang, hanya MK melihat tidak memenuhi kualifikasi TSM, sehingga dikalahkan.

Dalam konteks penghadangan capres, ngototnya MK menolak PT 0 % adalah bukti penjegalan anak bangsa untuk maju Pilpres, ya termasuk AHY. Dan semua Mafhum, ketua MK siapa, dan hubungannya dengan petugas partai PDIP apa.

Ketimbang Hasto sibuk membantah akan ada Pemilu curang, sebaiknya Hasto koreksi sikap politik partainya yang pro PT 20 %. Belum lagi, PDIP  saat ini berkuasa dan banyak masalah bangsa indonesia sejak dipimpin PDIP. Lalu, Hasto mau berdalih apa lagi?[].


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://youtu.be/IgaMwMqp6PM

Senin, 01 Agustus 2022

Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Mampukah Mewujudkan Kesejahteraan bagi Masyarakat?

Tinta Media - Di tengah tahapan Pemilu 2024, Jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten bersinergi untuk melakukan sosialisasi program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). KPU berharap, melalui pertemuan ini, semua elemen bisa menyukseskan Pemilu. Karena menurutnya, Pemilu akan menjadi cikal bakal menuju kesejahteraan masyarakat, dan yang lainnya.

Namun kenyataannya, pemilu yang dilakukan selama ini belum mampu membawa pada perubahan besar untuk rakyat.
Problem pemilu, mulai dari anggaran yang begitu fantastis, hingga politik uang, semestinya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tidak pernah melahirkan penguasa amanah, seperti yang rakyat harapkan.

Pemilu dalam sistem demokrasi akhirnya tak ubahnya seperti meja perjudian. Para pemburu kekuasaan dan semua yang berkepentingan, harus siap membayar berapa pun yang dibutuhkan demi mendapat keuntungan besar yang dijanjikan. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka siap melakukan cara apa pun demi memenangkan pertarungan. Sehingga, penyebaran hoax, politik uang, pembunuhan karakter, menjadi hal yang begitu lumrah dalam pesta yang diselenggarakan.

Proses Pemilu dalam Islam

Pemilu di dalam Islam hanyalah salah satu dari sekian prosedur praktis dalam pengangkatan khalifah/penguasa. Sebab, satu-satunya metode pengangkatan khalifah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah adalah baiat. Kaum muslimin berbaiat kepada khalifah untuk memerintah berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah.

Artinya, Khalifah tidak berhak melegislasi hukum karena yang berhak membuat aturan hanyalah Allah Swt. Sedangkan Khalifah hanya berhak berijtihad, yaitu menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah. Kekuasaan dalam Islam bersifat sentralistik, berpusat pada khalifah dan dibantu oleh para muawin-nya.

Sistem politik Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, bukan maslahat. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah individu yang menginginkan berkhidmat lebih dalam pada penciptanya. Sebab, jabatan dalam sistem Islam adalah amanah tempat mendulang pahala, sekaligus amanah yang berat karena Allah Swt. akan haramkan surga jika tidak amanah.

“Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan diganjar oleh Allah Swt. dengan haramnya ia masuk surga. Jika ada sekelompok orang alias oligarki yang mencurangi suara, lalu dengannya ia memimpin, maka sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Pemilu Utsman bin Affan

Prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai'at boleh berbeda-beda. Di antara proses tersebut, yang masyhur dan sering dijadikan contoh dalam pembahasan pemilu sesuai syariat adalah pada saat pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan bahwa saat itu ketika Khalifah Umar tertikam, beliau mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslimin.

Khalifah Umar menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah dicalonkan hingga terpilih satu dari mereka. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama 50 orang lainnya untuk mengawal mereka dan menugasi Miqdad untuk mencarikan tempat untuk para calon berkumpul.

Setelah Khalifah Umar wafat dan para calon terkumpul, salah satu calon, Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri dan mulai meminta pendapat kelima calon tersebut. Jawaban mereka mengerucut pada 2 kandidat, yaitu Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan.

Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pada pendapat kaum muslimin dengan menanyai mereka, siapa di antara Ali dan Utsman yang mereka kehendaki menjadi khalifah. Abdurrahman mengetuk pintu-pintu rumah warga, malam dan siang hari, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Abdurrahman bertanya pada kedua calon, maka saat salat Subuh, pembai'atan Utsman sempurna.

Dengan bai'at kaum muslimin itulah Utsman menjadi khalifah. Dari kisah pengangkatan Utsman bin Affan, bisa kita tarik bahwa pemilihan khalifah benar-benar representasi dari umat. Sebab, khalifah adalah orang yang bertanggung jawab dalam seluruh permasalahan umat.

Calon khalifah adalah mereka yang terbaik dari sisi ketakwaan dan kapabilitas leadership-nya. Selain itu, yang ditugasi untuk mengawal berjalannya proses pemilihan adalah orang-orang terbaik. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan, selain kepentingan umat. Sebagaimana independensi Abdurrahman bin Auf sangat terlihat saat ia gigih mengetuk pintu-pintu rumah untuk bertanya, siapakah yang lebih layak menjadi Khalifah.

Khatimah

Oleh karena itu, mengharapkan pemilu yang bersih dan bebas dari kepentingan politik dalam sistem demokrasi adalah mustahil. Sebab, justru sistem inilah yang melanggengkan politik transaksional yang pada gilirannya akan menghantarkan pada kecurangan untuk menang. Walhasil, tidak akan pernah terpilih pemimpin yang amanah dan peduli pada umat.

Hanya dengan sistem politik Islamlah pemilu yang bersih akan terwujud sehingga akan terpilih pemimpin sesuai dengan keinginan umat, serta pemimpin yang amanah melayani umat. Sedangkan sistem politik Islam akan berjalan secara sempurna, hanya dalam pemerintahan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wahai kaum muslimin, Daulah Khilafah Islamiyah telah runtuh pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Sejak saat itulah, kaum muslimin tidak memiliki lagi sistem pemerintahan yang menaunginya. Oleh karenanya, marilah berjuang mewujudkan kembali khilafah agar terlahir para pemimpin dambaan umat yang akan membawa peradaban manusia menuju kegemilangannya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media


Jumat, 25 Maret 2022

Invest: Penundaan Pemilu Karena ‘Syahwat’ Kekuasaan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1t_Gj-_zEy9wt4qxK8dAM-cAUJUQ3LpCN

Tinta Media - Penundaan pemilu dengan alasan dampak Covid yang diusulkan Muhaimin Iskandar, dinilai Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastructur (Invest) Ahmad Daryoko karena syahwat kekuasaan.

“Kalau mau jujur, penundaan pemilu-pilpres ini dipastikan karena ‘syahwat’ kekuasaan,” tuturnya pada Tinta Media, Kamis (24/3/2022).

Apalagi saat ini, kata Daryoko, kekuasaan itu berarti membawa gerbong oligarkhi yang di dalamnya ada parpol, kekuatan legislatif, eksekutif, yudikatif , aparat pemeriksa, serta kekuatan sosial yang lain pendukung kekuasaan pelindung mereka, yang saat ini lagi enak-enaknya ‘menjarah’ aset negara seperti PLN, pertamina , batu bara, tambang emas, nikel dan seterusnya.

“Apalagi, rezim ini lagi punya gawe besar, dengan bobot politis sangat besar pula, yakni proyek pindah Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan sana. Yang akhir kekuasaan Jokowi akhir 2024 dipastikan belum kelar,” ujarnya.

Daryoko mengandaikan,  kalau tiba-tiba akhir 2024 nanti terpilih presiden baru yang berideologi ‘kanan’ ( saat ini katakanlah  berideologi ‘kiri’ ), maka acara pindah ibu kota itu terancam batal meskipun IKN ada undang-undangnya. “Karena tradisi melanggar undang-undang  ataupun konstitusi  itu sudah jamak dilakukan petinggi di Republik ini,” tegasnya.

“Kalau itu terjadi berarti merupakan simbol kalahnya kekuatan ‘kiri’ dari eksponen ‘kanan.’  Ini sangat menyakitkan bagi rezim yang saat ini bernuansa kiri tersebut,” tandasnya.

Menurut Daryoko, sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa ini terpecah atas dua  arus utama yaitu arus ‘kanan’ dan ‘kiri.’ Ketika Bung Karno berkuasa, saat itu Ideologi ‘kiri’ yang berjaya. Dan saat itu Bung Karno  menggagas perlunya ibu kota negara Republik Indonesia  berada di lokasi di kisaran Samarinda.

“Sehingga gagasan IKN saat ini tidak lepas dari semangat prestisius  dari Ideologi kiri tersebut,  apapun resikonya,” jelasnya.  

Artinya, simpul Daryoko,  pindahnya ibu kota itu membutuhkan kekuatan politik yang sangat besar. Karena disamping harus selesai, juga harus dihuni oleh seluruh pegawai negeri sipil (PNS)  dari seluruh departemen yang saat ini berada di Jakarta yang menyangkut ratusan ribu bahkan jutaan orang bila keluarga PNS itu juga ikut pindah.  Yang semua itu bisa terancam gagal bila Presiden yang baru berbeda Ideologi dengan rezim saat ini.

“Itulah, mengapa pendukung rezim ini ngotot agar periode ditambah, ataupun periodenya yang diperpanjang,” simpulnya.

Daryoko mengingatkan bahwa semua ini akan menciptakan chaos konstitusi  sebagaimana era  orde lama juga tercipta chaos konstitusi dengan adanya ide PKI yaitu menjadikan Bung Karno  presiden seumur hidup. Ataupun era  orde baru, akibat diciptakannya kondisi kekuasaan tidak terbatas lewat rekayasa jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan jalur G (jalur Partai Golkar).

“Era orde lama akhirnya meletus Revolusi  G 30 S/PKI pada 1 Oktober 1965 yang disusul turunnya Bung Karno. Dan era orde baru  menciptakan Revolusi Mei 1998 yang berakhir turunnya pak Harto,” tegasnya.

Semuanya, lanjut Daryoko,  dimulai dari penciptaan  chaos konstitusi dari rezim terkait. Nah, era Jokowi , para pendukung  rezim ini  indikasinya juga akan menciptakan  chaos kontitusi juga , dengan minta penundaan pemilu, atau perpanjangan periode kekuasaan presiden,  yang semuanya dengan dalih Covid-19 dan turunannya.

“Kita lihat saja, apakah Jokowi akan turun dari tahta lewat revolusi juga?” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab