Tinta Media: Pemilu
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Januari 2024

Polemik Keikutsertaan ODGJ Nyoblos di Pemilu




Tinta Media - Ketua divisi sosialisasi, pendidikan, pemilih, partisipasi masyarakat KPU Jawa Barat  Kabupaten Bandung Barat Herdi Ardia menyebutkan bahwa sekitar 32 ribu lebih orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang biasa disebut penyandang disabilitas mental di daerah itu akan ikut memberikan suara pada pemilu 2024. Penyandang disabilitas mental ini akan bergabung dengan penyandang disabilitas kategori lain yang totalnya sekitar 146.751 orang se-Jawa Barat. 

Herdi menyatakan bahwa ODGJ ini bukan yang tidak terdata atau biasa berkeliaran di jalanan. Mereka ada di rumah dan secara medis berdasarkan keterangan dokter bisa menentukan pilihan. 

Selain Jabar, di berbagai daerah lain KPU juga memastikan keikutsertaan mereka, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, sekitar 1.508 ODGJ, di Banten 6.451 ODGJ, di Gresik 995 ODGJ, di DKI Jakarta 22 ribu lebih, Indramayu 1.665 ODGJ, Medan 769 ODGJ, dan masih banyak daerah lainnya. 

Dilibatkannya penyandang disabilitas mental ini sebagai calon pemilih bukanlah yang pertama kali. Pada pemilu 2019, mereka pun turut ambil bagian karena dinilai memiliki hak pilih. Ini sungguh menggelikan. 

Di sistem demokrasi, suara rakyat merupakan hal yang akan menentukan keputusan pemenang di pemilu. Di tahun-tahun sebelumnya, ODGJ tidak pernah diberi hak untuk menyoblos, karena salah satu  syarat sahnya pemilih adalah tidak terganggu jiwa atau ingatan. Akan tetapi, sejak tahun 2019, ODGJ diberi hak untuk memilih dengan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan permanen. 

MK mengeluarkan sebuah kebijakan yang menjadi pedoman bagi KPU bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih. Dalam demokrasi, perubahan kebijakan yang terjadi adalah suatu hal yang wajar. Keputusan MK ini tentunya menimbulkan berbagai macam polemik di masyarakat dan membuat tanda tanya, ada apa di balik semua ini. Pasti ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaannya untuk meraih suara, sehingga berdampak pada perubahan kebijakan. 

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi dermawan, memprediksi bahwa angka golput di pemilu 2024 berada di kisaran 18%-29% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres. Kondisi ini menjadikan pihak-pihak tertentu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, dengan melegalkan kebijakan yang menjadikan ODGJ mempunyai hak sebagai pemilih di pemilu. Ditambah lagi, pemilu sudah diwarnai tuduhan kecurangan yang berimbas pada turunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti partai politik dan aparat hukum. 

Pemilu dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah jalan politik untuk meraih kekuasaan sehingga berbagai macam cara akan ditempuh. Mereka tidak bertujuan untuk meriayah (mengurusi), tetapi memperkaya diri. Mereka yang membuat aturan, mereka sendiri yang melanggar peraturan tersebut dengan banyak dalih. 

Pemilu adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Namun, pemenang pemilu tidak ada korelasinya dengan masyarakat, karena pemenang kekuasaan sudah ditentukan para kapitalis untuk dijadikan pemimpin. 

Tabiat sistem demokrasi adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Seperti yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, siapa yang meraih suara terbanyak tidak dijamin akan menjadi pemimpin. Ada semacam penyiapan atau 'setingan' siapa orang yang akan disiapkan sebagai pemimpin. 

Pemilu hanya dagangan politik dari pemilik sistem kapitalis. 
Mereka akan memunculkan nama baik sebagai pemimpin pilihan mereka. Dengan penetapan kebijakan bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih, telah membuka celah bagi para elite politik untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ. 

Sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem batil buatan manusia yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dan solusi yang ditawarkan atas setiap problematika yang terjadi di masyarakat tidak menyelesaikan secara tuntas, malah makin banyak dan berkembang-biak. 

Contohnya, dalam sistem kapitalis, ODGJ terus meningkat jumlahnya dikarenakan buruknya sistem penerapan yang menitikberatkan pada 4 kebebasan. Salah satunya adalah  kebebasan kepemilikan, sehingga yang kaya bisa menguasai tanah, tempat, dan perdagangan. Akibatnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Rakyat diimpit kebutuhan hidup, lapangan pekerjaan susah, beban hidup makin berat, akhirnya banyak yang stres. Ini bisa jadi salah satu sebab banyaknya ODGJ. 

Hal ini karena solusi yang digunakan oleh sistem saat ini tidak menyentuh akar permasalahan. Mereka memberikan solusi ketika masalah sudah terjadi, tidak mencegah penyebab terjadinya permasalahan. Ini membuktikan lemahnya manusia. Ini adalah akibat dipisahkannya aturan agama dari kehidupan. 

Seharusnya, yang mengatur kehidupan ini adalah Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Pengatur manusia, karena hanya Allah yang mengetahui apa yang baik dan buruk bagi  manusia. 

Oleh karena itu, solusi yang hakiki adalah dengan kembali kepada aturan Islam yang berasal dari Sang Khalik, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah akan menjalankan sistem politik Islam berdasarkan syariat Islam yang wajib dipatuhi oleh negara dan warga negara. 

Dalam Islam, kekuasaan adalah kepemimpinan. Jika dipisahkan dari Islam, maka akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dipimpin. Penguasa akan terhina jika menghianati perintah Allah untuk mengatur kekuasaan dalam Islam, sedangkan rakyat akan menjadi korban penerapan aturan yang rusak. 

Dalam Islam rakyat memilih pemimpin sebagai wakil rakyat (umat) untuk menjalankan penerapan Islam secara kaffah di dalam negeri dan melakukan dakwah dan jihad ke luar negeri.  

Melalui metode baiat, akad antara pemimpin (khalifah) dengan umat mengandung konsekuensi bagi khalifah untuk menjalankan akad tersebut, dan konsekuensi bagi umat untuk sami'na wa atha'na terhadap khalifah, taat terhadap segala kebijakannya yang sesuai dengan syariat Islam, dan siap melakukan koreksi terhadap khalifah ketika menyalahi hukum syara. Artinya, rakyat (umat) yang memilih harus berakal, memahami konsekuensi dari sebuah pilihan. Rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari sistem Islam. Seperti dalam sistem saat ini yang memberi hak pada ODGJ untuk menyoblos. 

Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak mendapatkan beban amanah, seperti tidak wajib menjalankan ibadah, dan amanah memilih pemimpin. 

Dalam Islam, kepemimpinan tidak bertujuan meraih kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan golongan seperti dalam sistem kapitalis. Akan tetapi, kekuasaan adalah amanah untuk melayani  kemaslahatan umat, menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat untuk mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Karena itu, penerapan aturan Islam akan mendatangkan rahmat bagi manusia dan alam semesta, tidak seperti sistem saat ini yang menerapkan aturan rusak sehingga mendatangkan banyak ketidakadilan dan kezaliman. Manusia menjadi rusak. Salah satunya adalah dengan munculnya banyak ODGJ. 

Untuk itu, saatnya beralih ke sistem yang sahih yang berasal dari Allah Swt. yang akan membentuk pemimpin yang saleh, amanah dalam memimpin dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Wallahu alam bis shawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media 

IJM: Bansos Disalahgunakan untuk Kepentingan Pemilu?



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengkhawatirkan penggunaan bansos yang diberikan pemerintah untuk kepentingan peserta pemilu.

"Bansos yang diberikan pemerintah dikhawatirkan disalahgunakan dan didompleng untuk kepentingan peserta pemilu baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden,” tuturnya pada video: Bansos Jadi Alat Politik? Di kanal Youtube Justice Monitor, Rabu (10/01/24).

Agung menilai, walaupun pemerintah membantah, tapi masyarakat melihat fakta yang berbeda. "Pemerintah sudah pasti membantah, penyaluran bansos jelas disebutkan tidak berkaitan dengan pemilu termasuk pilpres. Bansos merupakan hak rakyat sebagai perlindungan sosialterutama saat harga kebutuhan merangkak naik. Namun publik disuguhi kenyataan yang lain. Misalnya menteri perdagangan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan saat berkampanye di Kendal Jawa Tengah, Bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) itu berasal dari Jokowi. bukan dari negara," Jelasnya. 

Tidak Mengurangi Kemiskinan

Menurut Agung,  bansos ini belum tentu dampaknya langsung menurunkan angka kemiskinan, karena masalahnya bukan dari jumlah anggaran yang diberikan melainkan dari paradigma program yang dibuat dan juga penyalurannya. 

“Masalah dari bansos ini terletak pada kesalahan pengurusan APBN dengan mengandalkan pemasukan dari pajak dan utang. Sedangkan sumber daya alam yang melimpah justru dikelola oleh swasta. Bahkan pajak dari rakyat pun mengharuskan rakyat membayar utang bunga tiap tahun dengan jumlah yang tidak sedikit,” bebernya. 

Model pengelolaan APBN saat ini, kritiknya, tidak akan bisa menjamin kebutuhan masyarakat terpenuhi. 
“Sistem keuangan kapitalisme yang bersandar pada riba dan pajak jadi penyebab karut marut kesulitan yang dialami rakyat,” imbuhnya. Penerapan sistem keuangan kapitalisme yang bersandar pada riba dan pajak membuat negara tidak mampu berkutik karena beban utang yang terus berbunga," ulasnya.

Bahkan parahnya lagi, ia melanjutkan,  kapitalisme membolehkan privatisasi pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, ucapnya, negara hanya mendapat secuil dari hasil pengelolaan sumber daya alam. 

"Kapitalisme juga membebaskan kepemilikan individu. Akibatnya sumber daya alam boleh di privatisasi," imbuhnya. 

Agung juga mengingatkan kapitalisme meniscayakan uang dapat membeli semuanya. Termasuk membeli undang -undang dan orang- orang yang akan mengelola negeri ini. 

"Negara bisa dengan mudah mengatur pengelolaan sumber daya alam ke tangan swasta karena pemegang kekuasaannya sudah dibeli oleh para oligarki," pungkasnya.[] Teti Rostika

Kamis, 11 Januari 2024

Jelang Pemilu, Caleg Nyekar ke Bukit Siguntang?

Tinta Media - Jelang pemilu (pemilihan umum), sejumlah caleg mengadakan ritual nyekar dan ritual malam Jumat di bukit Siguntang. Sungguh ironis, akibat sistem sekuler kapitalis ini, akidah telah tergadai. Ini karena sejatinya ritual nyekar untuk mengharapkan keberuntungan seperti ini sesungguhnya merusak akidah Islam.  

Dikutip dari berita online Liputan6.com (Kamis, 7/12/2023), Wisata Heritage Bukit Siguntang Palembang Sumatera Selatan (Sumsel) ternyata menjadi lokasi favorit para calon legislatif (caleg) jelang pemilihan umum (pemilu) untuk ngalap berkah.
Menurut Rosita (42), salah satu juru kunci Wisata Bukit Siguntang Palembang, biasanya tiap bulan Desember jelang pemilu, banyak caleg-caleg yang datang ke makam-makam di Bukit Siguntang Palembang Mereka datang berziarah dan mengirimkan doa kepada para leluhur yang dipercaya sakti mandraguna di masanya. 

Ada yang berasal dari Palembang, Prabumulih, Ogan Ilir, Baturaja, Muara Enim, dan daerah-daerah lainnya. Banyak juga pengunjung dari daerah lain, seperti Bengkulu, Jakarta hingga beberapa negara Asia, di antaranya Malaysia, Singapura, dan lainnya.

"Kita hanya menyediakan kembang dan air untuk ditaburkan di atas makam para raja dan putri dari Kerajaan Sriwijaya. Jika ingin didoakan, kita bantu juga. Akan tetapi, keinginan mereka itu terkabul jika diijabah Allah Swt. Kita selalu mengingatkan agar tidak meminta hal-hal aneh ke makam, karena itu tak sesuai syariat Islam," ungkap Rosita.

Praktik seperti ini disinyalir sudah lama terjadi, bahkan seperti menjadi tradisi ketika menghadapi pemilu maupun pilkada. Sepertinya, untuk mencapai tujuan, mereka rela berbuat sesuatu yang terkadang di luar akal sehat. Praktik meminta keberuntungan pada arwah leluhur ini menjadi salah satu jalan yang mereka tempuh. 
Ada juga praktik meminta bantuan jin dengan melalui dukun-dukun yang mereka bawa ke Bukit Siguntang. Ini adalah bentuk menyekutukan Allah Subhanahu wata'ala dan termasuk dalam dosa besar, serta tidak terampuni, karena  bertentangan dengan akidah Islam. 

Sekularisme Kapitalisme-sekularisme- Demokrasi, Akar Masalah

Sekularisme membuat manusia mudah menggadaikan akidahnya. Hal ini wajar terjadi karena asas kehidupan sehari-hari tidak diatur dengan syariat Islam. Tentu mudah sekali membuat manusia tergelincir pada praktik yang menyesatkan ini karena lemahnya iman, sehingga tidak tahu bagaimana visi hidup sesungguhnya. Mereka hanya mengejar kebahagiaan dunia saja. 

Politik demokrasi yang memerlukan dana cukup besar membuat orang akan berbuat apa saja untuk meraih kemenangan dalam kanca perpolitikan. Sebenarnya, bisa kita lihat para caleg ini juga dengan keterbatasan value mereka sudah tidak yakin menang. Sudah bisa diduga, caleg yang mempunyai modal berlimpah itulah yang akan bisa duduk di kursi kekuasaan. 

Jadi, caleg yang di belakangnya banyak penyokong modal, itulah yang akan menang dalam pemilu, baik tingkat legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Ini karena dalam politik demokrasi, sejatinya kekuasaan adalah politik transaksional. Bahkan, bisa dibilang bahwa politik kepentingan hanya untuk segelintir elite politik. 

Dana yang dikeluarkan sudah cukup besar sehingga membuat mereka tidak mau rugi. Akhirnya, mereka menempuh jalur di luar akal sehat ini. Bisa juga karena dana untuk modal bertarung di pemilu politik demokrasi ini terbatas, akhirnya membuat mereka melakukan praktik syirik besar ini.

Islam Menjaga Akidah

Islam solusi dari berbagai persoalan di negeri ini. Praktik sesat ritual meminta bantuan kepada arwah leluhur jelas syirik. Sejatinya, meminta bantuan arwah leluhur ini sedikit pun tidak akan mendatangkan manfaat.

Dalam keyakinan Islam, kita wajib meng-Esakan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan menghindari segala bentuk penyekutuan dengan segala sesuatu selain Allah.

Ada beberapa hal yang dikategorikan syirik. Syirik dalam ibadah terjadi ketika seseorang beribadah kepada selain Allah Subhanahu wata'alah. Ini adalah syirik Akbar. Adapun syirik kecil yaitu melakukan perbuatan atau ibadah yang diniatkan hanya untuk pamer, riya', takabur, serta sombong atas amal yang dilakukan. Ini pun termasuk syirik kecil. 

Syirik dalam asma dan sifat (syirik fi asma wa sifat) terjadi ketika seseorang memberikan sifat yang seharusnya hanya dimiliki oleh Allah kepada selain-Nya, seperti menganggap bahwa manusia memiliki pengetahuan mutlak, kekuasaan yang absolut, atau pengawasan yang sempurna, seperti yang hanya dimiliki oleh Allah.

Syirik dalam pengabdian (syirik fi al-‘ibadah) terjadi ketika seseorang menjadi eksklusif mengabdikan diri kepada selain Allah dan menganggap bahwa ada kuasa selain Allah, yaitu dengan meminta bantuan, mempersembahkan kurban kepada selain Allah, dan berkeyakinan bahwa hal tersebut dapat memperoleh manfaat atau menolak bencana. 

Orang yang melakukan praktik syirik akan masuk neraka sebagaimana firman Allah:

"Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu." (Q.S al-Maidah: 72)

Namun, dalam kehidupan sistem sekuler kapitalis ini, mengambil politik demokrasi itu sendiri adalah bagian dari syirik besar. Seperti yang diketahui, sistem politik demokrasi ternyata menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Selain itu, para pemimpin dan pejabat negara yang duduk kursi kekuasaan, mereka berkuasa tidak sesuai dengan syariat Islam. 

Karena itu, keputusan dan undang-undang yang mereka buat acapkali bertentangan dengan syariat Islam, baik undang-undang pemerintahan, ekonomi, hukum, dan pengaturan kehidupan. Padahal, hanya Allah Subhanahu wata'ala  yang berhak membuat hukum. Asas dari  demokrasi yang lahir dari sekularisme (pemisahan agama Islam dari kehidupan) sangat bertentangan dengan akidah Islam. 

Dari sini jelas bahwa hanya sistem kehidupan yang menerapkan Islam kaffah yang harus diambil dan diperjuangkan. Wallahu'alam bishawwab.

Oleh: Emmy Rina Subki
Sahabat Tinta Media

Jumat, 29 Desember 2023

ODGJ Ikut Pemilu, Apa Perlu?



Tinta Media - Apa pendapat Anda jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin? Tentu hal ini akan menjadi buah simalakama. Di satu sisi, mereka adalah rakyat Indonesia yang mempunyai hak suara. Di sisi lain, mereka mengalami gangguan kejiwaan yang tingkah mereka tak bisa dipertanggungjawabkan. Lantas harus bagaimana? 

Ada Pendampingan 

Hak pilih ODGJ dijamin oleh beberapa peraturan, seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. Beberapa aturan itulah yang membuat ODGJ mendapatkan kesempatan dalam pemilu 2019 dan pemilu yang akan datang. Berdasarkan kebijakan itu, 22.871 ODGJ di Jakarta akan mengikuti pemilu 2024 (Kompas, 20-12-2023). 

Ketua KPU, Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas mental akan mendapatkan hak yang sama. Agar memudahkan proses pemilihan, mereka akan mendapatkan pendampingan dari para perawatnya. Selain itu, para dokter akan memberikan surat pernyataan bahwa ODGJ tersebut bisa ikut pemilihan (Tirto, 21-12-2023). 

Prihatin 

Keputusan ini tentu menimbulkan keprihatinan. Kita pasti masih ingat, sebelumnya, ketika ada tindakan penyerangan terhadap ulama atau membuat keonaran di masjid, para penegak hukum mengidentifikasi mereka sebagai orang gila. Karena itu, segala perbuatan mereka tidak melanggar hukum dengan alasan kejiwaan.
Namun, ketika angka golput mulai mencapai 30,8 persen di tahun 2014, keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Dengan alasan, mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. Akhirnya, aturan itu gol dua tahun kemudian. 

Konsekuensinya, pada pemilu 2019, suara mereka mulai diakui. Keputusan itu pun berlanjut hingga pemilu tahun depan. Kondisi ini tentu membuat kita _orang yang waras_ merasa prihatin. Ada ketimpangan pengambilan keputusan dalam masalah ini. Jangan salahkan masyarakat jika menganggap hal ini terjadi karena kepentingan. 

Padahal, kalau kita perhatikan lebih dalam, para ODGJ tersebut bisa jadi tidak mengenal calon wakilnya. Mereka ada di RSJ, dalam keadaan sakit mental dan sedang menjalani proses penyembuhan. Para perawat dan dokter merawat mereka, membantu mengurusi kebutuhan sehari-hari, mulai makan, ke kamar mandi hingga urusan tidur pun dibantu. 

Jadi, rasanya janggal jika mereka mendapat hak pilih. Ketika mereka ada di dalam kotak suara, dengan banyaknya gambar, mereka bisa saja asal coblos, atau lebih parahnya dicoblosi semua karena dikira permainan. Bahkan, bisa saja mereka memilih gambar yang paling unik, aneh, tua, tampan atau cantik. Lebih parah lagi, jika ada yang memanfaatkan suara mereka untuk keperluan golongan tertentu agar mendapatkan suara besar. 

Lemahnya Demokrasi 

Inilah pemilu dalam demokrasi, apa pun dapat terjadi. Dengan standar untung dan rugi, aturan bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Pemilu dalam demokrasi bertujuan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang menang. 

Artinya, jumlah pemilih adalah hal yang sangat diperhatikan. Ketika penguasa menemukan kecenderungan warga memilih golput di tahun 2014, mereka perlu melakukan sesuatu agar jumlah pemilih bertambah. Jika yang menang golput, ini menandakan matinya demokrasi. 

Kebolehan ODGJ untuk memberikan hak suara justru menunjukkan kelemahan demokrasi. Ini memperlihatkan bahwa aturan dalam demokrasi dapat berubah sesuai kondisi atau kepentingan. Selain itu, demokrasi juga memberikan peluang pada pihak-pihak tertentu untuk melakukan trik agar mereka menang. Beginilah jika aturannya bersandar pada akal manusia, sering tidak masuk akal. 

Kedudukan dalam Islam 

Orang yang terganggu kejiwaannya memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, 

"Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, 'Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal.'” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah). 

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa orang gila, baik gila permanen atau sementara tidak dicatat amalnya. Dari sini terlihat jelas bahwa Islam sangat memperhatikan akal. Hal ini karena akal akan mengantarkan seseorang dapat memilih mana yang benar dan salah sesuai pandangan Islam. 

ODGJ tidak dapat menentukan perilakunya benar atau salah, karena akalnya terganggu. Jadi, Islam tidak memberikan beban hukum pada ODGJ. Islam justru mewajibkan negara mengurusi dan mengobati para ODGJ. 

Berkaitan pemilihan suara atau pemilu, memilih wakil rakyat atau pemimpin hukumnya adalah boleh. Namun, menjadi pemimpin itu bukanlah hal sepele. Ia harus mengurusi kebutuhan rakyat. Tidak hanya itu, pemimpin dalam Islam wajib menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, memilih calon pemimpin yang seperti ini tidak bisa asal-asalan. 

Oleh karena itu, Islam memiliki metode sendiri dalam memilih pemimpin. Metode ini tidak menghabiskan waktu, tenaga, dan dilakukan secara sederhana dan masuk akal. Semua dilakukan hanya bertujuan untuk menerapkan aturan Allah karena nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.

Oleh: Asy-Syifa Ummu Shiddiq
Sahabat Tinta Media 

Senin, 25 Desember 2023

Pemilih Jadi Raja dan Ratu Sebab...



Tinta Media - Narator MMC menyebutkan dalam sistem politik demokrasi, pemilih menjadi raja dan ratu sebab suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu. 

"Suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu," tuturnya dalam tayangan Serba-Serbi MMC: "ODGJ Diberi Hak Nyoblos?  melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (23/12/2023). 

Narator menyebutkan pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapatkan suara terbanyak. "Tak heran menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah," ujarnya. 

Ia mengungkapkan pada awalnya pemilu di negeri ini tidak memasukkan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) sebagai pemilih berdasarkan undang-undang Pemilu. 

"Undang-undang tersebut menyatakan ada enam syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih salah satunya adalah tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya," bebernya. 

Narator mengulas bahwa menjelang pemilu 2019  mahkamah konstitusi atau MK menegaskan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan bertentangan dengan konstitusi, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen. 

"Keputusan MK inilah yang menjadi pedoman bagi KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih," simpulnya. 

Kekuasaan Dalam Islam Hanya Menerapkan Syari'at 

Narator mengatakan dalam Islam, bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana untuk menerapkan hukum-hukum syariat sebab kedaulatan hanya ada di tangan Al-syari' sebagai pembuat hukum Allah subhanahu wa taala. 

"Sistem politik Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin atau khalifah," ungkapnya. 

Lanjut, menurutnya Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan di antaranya seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan Islam. 

"Telah menetapkan metode baku pengangkatan pemimpin sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung hanya merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin," imbuhnya. 

"Setelah mahkamah mazalim menetapkan calon khalifah yang lolos verifikasi mereka tentu harus orang yang berakal bukan ODGJ," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Jumat, 22 Desember 2023

Dugaan Politik Uang Libatkan Bank Emok


Tinta Media - Pemilu 2024 semakin dekat, para kandidat mulai sibuk dengan berbagai kegiatan demi meraih kesuksesan. Pemilu dilakukan dalam rangka memilih capres (calon presiden), cawapres (calon wakil presiden) ataupun caleg (calon legislatif). Masyarakat diberikan kebebasan untuk menyuarakan, menyampaikan, dan mengambil keputusan dengan cara memilih salah satu kontestan di antara beberapa kontestan yang maju mengusung diri sebagai capres, cawapres, ataupun caleg.

Jelang pemilu, kampanye mulai dilakukan dengan beragam cara oleh para kontestan pemilu dan juga oleh para pendukung masing-masing. Dalam melaksanakan kampanye, diberlakukan beberapa aturan tertentu agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tak diinginkan yang mengakibatkan kegaduhan, kericuhan, dll. Akan tetapi, peraturan itu terkadang dilanggar oleh para pengusung paslon ataupun oleh paslon itu sendiri. 

Seperti yang terjadi di kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ketua Bawaslu Kabupaten Bandung Kahpiana mengungkapkan bahwa ada caleg yang melakukan pelanggaran dengan politik uang yang melibatkan bank emok dalam evaluasi tahapan Pemilu di Hotel Grand Pasundan, Kota Bandung Rabu ( 6/12/2023). 

Ketua Bawaslu Kabupaten Bandung membenarkan adanya salah satu caleg yang terindikasi menggunakan bank emok, dengan menawarkan pinjaman tanpa bunga, bahkan tanpa harus membayar pinjaman pokok. Indikasi pelanggaran lain juga terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu dengan membagi-bagikan minyak goreng kemasan kepada masyarakat secara gratis. 

Kejadian seperti ini tentunya menjadi sebuah momok bagi paslon itu sendiri. Ini merupakan tantangan bagi bawaslu untuk tegas dalam menyikapi pelanggaran, bahwa hal tersebut merupakan salah satu permasalahan di dalam  perpolitikan di seluruh dunia. Ini adalah salah satu bentuk kecurangan dalam bentuk politik uang yang akan menghadirkan banyak dampak negatif.

Sudah menjadi hal yang biasa di dalam sistem demokrasi bahwa iklan alias pencitraan menjadi basis bagi dukungan calon yang tentu berbiaya mahal. Alhasil, hanya mereka yang didukung oleh para pemilik modal yang bisa menang, sedangkan yang tidak mempunyai uang atau tidak didukung para pemilik modal, kecil kemungkinan untuk bisa menang.

Praktik seperti inilah yang akan melahirkan para pemimpin yang pragmatis, tidak mempunyai kapabilitas dan integritas. Pada akhirnya, lahirlah para pemimpin korup karena ada beban target untuk mengembalikan modal plus keuntungan. 

Maka, tak heran jika banyak kebijakan yang dibuat lebih condong, bahkan pro terhadap para pemilik modal. Semua ini tentu akan menjadi permasalahan yang sangat besar sebab rakyat menjadi korban praktik politik kotor. Rakyat terus dibodohi. Masa depannya digadai demi memuaskan ambisi segelintir orang.

Inilah watak dari sistem politik demokrasi kapitalisme, politik uang menjadi sesuatu yang wajar demi meraih kekuasaan. Kebebasan menjadi landasannya, sehingga menjadikan kekuasaan tak ubahnya seperti komoditas yang diperebutkan untuk merealisasikan berbagai kepentingan, baik berupa materi, maupun jabatan.

Di sisi lain, pemerintah mewacanakan untuk mengeliminasi praktik politik uang. Dengan penerapan aturan yang termaktub dalam perundang-undangan pasal 47 UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta pasal 228 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, itulah sistem demokrasi. Mereka yang membuat aturan, mereka sendiri yang melanggar aturan tersebut.

Sementara, Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah yang begitu besar. Kepemimpinan sejatinya adalah amanah dalam mengurusi segala urusan umat yang dimensinya bukan hanya duniawi, melainkan juga akhirat. Kepemimpinan diambil atas nama Allah Swt. untuk rakyatnya dan semata hanya untuk  menyempurnakan ketaatan kepada Allah SWT. 

Oleh karenanya, tujuan dari kepemimpinan dalam sistem Islam adalah hanya untuk dakwah, menyebarkan syariat yang sudah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Pada dirinya tertanam rasa takut akan amanah yang mereka emban, yang pada akhirnya akan menjadi sesalan. Maka, sejarah menorehkan jika pemimpin- pemimpin Islam hidup dalam kesederhanaan, tanpa bergelimang harta, mengurus umatnya dengan bimbingan wahyu bukan nafsu. 


Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Heni Ruslaeni 
(Ibu Rumah Tangga)

Kamis, 14 Desember 2023

Piala Citra di Kontestasi Pemilu



Tinta Media - Masa kampanye baru saja dimulai. Para peserta pemilu mulai bergerilya ke pelosok Nusantara. Ada yang mulai dari ujung Sabang sampai Merauke, ada juga yang memulai dengan melakukan prosesi adat keluarga. Tak ketinggalan, ada juga yang masih kejar setoran sebelum masa jabatan berakhir. Apa pun awal mulanya, semua demi kemenangan peserta pemilu dalam kontestasi.

Apa Boleh se-Viral Itu?

Kreativitas tanpa batas nampaknya menjadi salah satu syarat bagi tim pemenangan nasional (tim pinal). Tim ini menggunakan berbagai jurus yang dianggap ampuh untuk memenangkan kandidatnya, sekaligus dapat menumbangkan lawan. Ibarat peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jurus jitu di era digital ialah viral. Narasi yang dibangun pun menggunakan istilah-istilah kekinian. 

Selain penggunaan istilah kekinian, tim final juga menggunakan berbagai narasi korban perundungan. Istilah ini biasa disebut dengan korban bullying. Tim final akan menjabarkan berbagai tuduhan yang dilontarkan oknum tertentu yang dianggap lawan kandidatnya. Selanjutnya, tim final akan menangkal tudingan tersebut dengan sudut pandang korban yang teraniaya. Hal ini bukanlah jurus baru dalam dunia perpolitikan demokrasi. Sebab, di setiap kontestasi pemilu, jurus ini selalu digunakan dan terbukti efektif.

Aturan Baru dalam Kontestasi

Baru permulaan, rakyat telah disuguhkan dengan berbagai berita tentang pelaporan dugaan kecurangan dalam kampanye calon pemimpin. Tuduh-menuduh menjadi menu pembuka dalam masa kampanye. Akhirnya, Bawaslu yang berperan sebagai pengawas membuat aturan baru dalam kontestasi pemilu saat ini. Bawaslu juga mengingatkan terkait black campaign yang dapat menyebabkan keributan di tengah masyarakat. (jambi.bawaslu.go.id)

Dalam kontestasi pemilu, perebutan piala citra menjadi sangat penting. Sebab, hal ini terkait citra calon pemimpin di mata rakyat. Namun, apakah itu cukup sebagai syarat memimpin suatu negeri? Apakah piala citra dapat menempatkan seorang pemimpin di tampuk kekuasaan tertinggi? Lantas, bolehkah se-keras itu usaha dalam perebutan piala citra?

Piala Citra atau Kepentingan Rakyat?

Dalam demokrasi, indikator kesuksesan seorang pemimpin adalah pencitraan. Sedangkan dalam Islam, kepentingan rakyatlah yang menjadi tanda keberhasilan seorang pemimpin. Ketika Rasulullah wafat, maka umat membutuhkan sosok pemimpin untuk menggantikan. Tidak sembarang pemimpin dapat memenuhi kriteria. Sebab, seorang pemimpin harus memiliki sikap mendahulukan rakyat, bukan mendahului rakyat. Selain itu, konsekuensi yang harus ditanggung oleh penguasa adalah kehidupan di akhirat kelak. 

Para sahabat nabi yang telah mengetahui konsekuensinya, menjadi enggan mengambil tanggung jawab tersebut. Sehingga, tidak terelakkan terjadi saling mengusulkan di antara para sahabat nabi dalam menentukan pemimpin umat. Bukan hanya karena masih memiliki hubungan saudara, atau sekadar melihat tingkat popularitas di mata rakyat, tetapi berdasarkan kualitas terbaik seorang pemimpin, yaitu amanah dalam mengambil setiap kebijakan untuk umat. 

Tentu, hal ini berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini semakin banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi dengan menggunakan berbagai cara, meskipun harus menutup mata terhadap ketidak-adilan. Mereka menutup telinga terhadap teriakan derita rakyat, hingga membiarkan kekacauan di tengah masyarakat, bahkan keluarga. Masih maukah menjalani kondisi seperti saat ini?

Mempertahankan atau Mengganti?

Perebutan piala citra dalam kontestasi pemilu akan selalu terjadi pada sistem demokrasi. Pasalnya, bukan peserta pemilu yang dirugikan, melainkan rakyat yang akan menjadi korban. Peserta pemilu dituntut harus memiliki citra yang sempurna di hadapan rakyat. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi setidaknya harus mampu menutupi kekurangan yang dimiliki, hingga rakyat dibuat tercengang dengan pencitraan para peserta pemilu. Masih maukah mempertahankan sistem seperti itu? Jika memilih untuk mengganti sistem saat ini, maka dengan sistem apa? 

Islam telah menawarkan mekanisme pemilu terbaik. Pemilu dalam Islam tentu berbeda dengan pemilu saat ini. Akidah Islam menjadi dasar pelaksanaan pemilu, yang kelak akan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Perbedaan pendapat tentang calon pemimpin bukan hal yang perlu diributkan. Sebab, dalam Islam perbedaan diperbolehkan, asalkan tidak keluar dari akidah Islam. Sehingga, para calon pemimpin akan melalui seleksi berdasarkan tuntunan Al-Qur'an dan As Sunah. Hal ini, akan menimbulkan ketenteraman di tengah rakyat. Memang berat konsekuensi yang akan diterima jika meninggalkan sistem sekarang. Namun, bukankah mempertahankan sistem saat ini, juga berat konsekuensinya?


Oleh: Sarah 
(Aktivis Muslimah)

Sabtu, 18 November 2023

Benturan Antarkubu Jelang Pemilu, Potret Rusaknya Parpol pada Sistem Demokrasi Kapitalisme



Tinta Media - Partai merupakan wadah dan simbol pergerakan kelompok yang menginginkan perubahan di tengah-tengah masyarakat atas kondisi yang telah menjerat mereka. Namun, apa jadinya ketika wadah yang diopinikan kenyataannya tidak sebagaimana yang digambarkan? Terlebih, adanya fanatisme golongan oleh para simpatisan yang menjadikan citra partai mulai dipertanyakan keberadaan dan tujuannya. Sungguh miris ketika keberadaan partai hanya dijadikan untuk mengungguli kelompok satu dengan yang lain atau malah saling melemahkan satu dengan yang lainnya.

Seperti halnya kasus yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah, dikabarkan bahwa ada sebanyak 11 sepeda motor dan tiga rumah warga mengalami kerusakan akibat bentrok antar simpatisan PDIP dengan GPK. Ruruh menyatakan bahwa kejadian itu bermula ketika salah satu kelompok yang terlibat bentrok mengadakan kegiatan di Lapangan Soepardi, Sawitan, Magelang. Setelah berakhirnya kegiatan tersebut, kelompok ini terlibat gesekan dengan kelompok lain di Jalan Batikan, Mungkid, Magelang, kemudian berlanjut di simpang tiga Tape Ketan Muntilan.

Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya partai tak cukup menjelaskan tujuan keberadaan dan lahirnya partai sehingga terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh para simpatisan. Benturan ini menunjukkan bahwa perbedaan kelompok maupun partai memiliki kesenjangan yang tidak mampu untuk diajak berjalan bersama. Jika bukan karena alasan kepentingan dan ikatan tertentu, maka apa yang melatarbelakangi perseteruan tersebut?

Kepercayaan rakyat pada partai hari ini hanya karena adanya faktor emosional, simbol dan tokoh, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai. Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antarindividu/kelompok lantaran kuatnya sentimen/ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.

Mirisnya, perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama  demi tercapainya tujuan. Hal ini selaras dengan pernyataan ‘tidak ada teman sejati,  yang ada adalah kepentingan abadi’.

Perlu di garis bawahi, masyarakat harus memahami bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap realistis/pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh parpol, melainkan lebih kepada manfaat apa yang bisa diterima parpol dari setiap keputusan politik yang akan mereka buat. 

Fenomena bentrok antarkubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih condong pada upaya meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. 

Jika masyarakat mengamati secara betul, benturan antarkelompok hanya terjadi untuk mempertahankan eksistensi dari keberadaan partai itu sendiri. Ini dilakukan demi menunjukkan eksistensi yang muncul setiap jelang kontes pemilu yang pasti berwajah dinamis.

Ada kalanya benturan terjadi di satu wilayah untuk saling bersaing, tetapi di wilayah lain bersatu. Artinya, upaya untuk saling dukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka untuk menang dan seberapa besar keuntungan yanga akan mereka dapatkan. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah menjadi jargon bagi parpol demokrasi.

Jadi, sungguh merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengutamakan fanatisme terhadap golongan/partai, apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak memperhatikan ikatan persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini, kita harus peka bahwa akan banyak pihak tertentu yang akan memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang beraneka ragam. Oleh karenanya, umat harus tahu kenyataan tentang politik demokrasi yang berkaitan saat ini agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.

Berbeda ketika Islam memandang makna sebuah parpol. Dalam Islam, parpol berdiri bukan sekadar ada untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar kepada khalayak luas. Dalam hal ini, politik memiliki  makna mengurus urusan rakyat.

Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah yang menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk mendapat perhatian penguasa. Sudah menjadi keharusan bagi parpol untuk hadir dan membela urusan-urusan rakyat, baik menyangkut kepentingan ataupun kemaslahatan rakyat. Itulah peran parpol yang dijelaskan dalam Islam.

Islam membolehkan banyaknya pembentukan parpol dalam rangka mewujudkan kritik penyadaran kepada penguasa. Dalam Islam, berpolitik merupakan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, peran parpol adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya dalam bernegara yang bermuara pada kemaslahatan hidup bersama berdasarkan standar keimanan.

Dengan kata lain, napas perjuangan parpol haruslah sejalan dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam.  Wallahualam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis

Kamis, 16 November 2023

Nada Teroris dalam Konflik dan Menjelang Pemilu



Tinta Media - Dalam situasi yang kini sedang genting antara dua negara yang berkonflik, serta semakin dekatnya pesta rakyat menjelang pemilu, nyanyian "terorisme" kembali dibunyikan, seakan permasalahan utama dalam negeri ini hanya radikalisme.

Dilansir dari Sindonews.com (03/11/2023), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa perang Yahudi-Palestina bisa membangkitkan sel teroris di Indonesia. Karena itu, Kapolri telah meminta anggotanya siaga dan menindak tegas semua hal yang mengganggu keamanan, termasuk ancaman terhadap Pemilu 2024. 

Hal tersebut didukung oleh Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Arqom Al-Islami di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, KH. Ibnoe Athaillah Yusuf. Menurutnya, tindakan Kapolri terkait konflik Yahudi-Palestina adalah hal wajar demi menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apalagi hal ini mencakup keamanan dunia Internasional. 

Adanya konflik antara Yahudi-Palestina, dengan potensi konten media sosial mampu menghidangkan fakta yang ada tentang permasalahan yang terjadi. Hal ini menyadarkan umat, khususnya umat Islam di seluruh dunia bahwa konflik yang menelan banyak korban jiwa di Palestina akibat dari serangan Zionis Yahudi ini bukan hanya sekadar persoalan kemanusiaan, tetapi lebih kepada persoalan agama. Tidak sedikit dari umat Islam yang pro-penjajah Yahudi karena terbawa arus opini menyimpang dan sesat yang diembuskan Barat yang licik dalam memutarbalikkan fakta. 

Namun, kesadaran yang jernih tentunya mampu membangkitkan umat untuk merespon dan menentukan di posisi mana ia akan berdiri, yang tentunya semata hanya mencari rida Allah Swt. Kebangkitan ini mampu menggerakkan pemikiran, perasaan, serta sampai pada tindakan untuk membantu saudara-saudara di Palestina. Namun, kesadaran ini sepertinya menjadi hal yang diwaspadai di negeri ini. Mengapa?

Belum lagi di sepanjang bulan Oktober 2023, Densus 88 antiteror Polri telah menangkap sebanyak 18 tersangka pelaku tindak terorisme di sejumlah daerah di Indonesia. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah aksi teror, khususnya menjelang pelaksanaan pemilu 2024. 

Hal ini seolah menjadi rutinitas negeri dengan alasan tindakan preventif pengamanan Pemilu. Meski begitu, kadang penangkapan terjadi di lapangan pada seseorang yang masih berstatus terduga teroris. Fakta ini mengindikasikan kuatnya program deradikalisasi dan moderasi beragama. 

Terlebih, pasca diasahkan PP No.58 Tahun 2023 mengenai penguatan moderasi beragama. Di sini, umat harus sadar bahwa program deradikalisasi dan moderasi beragama ini sejatinya adalah program yang disetting secara global dan dibidani oleh Amerika. 

Amerika sebagai negara pengemban ideologi kapitalisme memahami betul akan potensi kekuatan kaum muslimin dan berusaha menghilangkan kekuatan tersebut bagi mereka. Sangat berbahaya jika kaum muslimin menyadari pentingnya persatuan umat di bawah kepemimpinan Islam. 

Karena itu, kaum muslimin harus menyadari betapa mulianya aktivitas dakwah dan jihad. Jika kesadaran itu terwujud, maka sekelompok negara kapitalisme akan hilang. Karenanya, sebuah lembaga 'think tank' milik Amerika, seperti Rand Corporation membuat rencana besar untuk menancapkan moderasi Islam, atau Islam sesuai Barat.

Semua kebijakan Barat ditujukan untuk menjauhkan umat Islam dari pemahamannya. Untuk itu, Amerika mengajak sekutunya mengadopsi kebijakan ini. Beberapa istilah ajaran Islam yang dianggap Barat berbahaya akan dikaburkan maknanya, seperti jihad, khilafah, dan lainnya. Bahkan, istilah-istilah itu busa diganti sesuai tujuan mereka. 

Kaum muslimin yang mengkaji Islam secara mendalam akan mendapat cap dan narasi-narasi, seperti teroris, radikalis, dan lainnya. Allah Ta'ala menurunkan syariat jihad sebagai salah satu ajaran yang mulia, bukan ajaran terorisme, sebagaimana narasi Barat saat ini.

Seiring narasi yang bergulir, patut juga diduga bahwasanya kewaspadaan itu ditujukan pada konten-konten dakwah kaffah yang mereka sebut “radikal atau fundamental”. Padahal, masih banyak konten yang lebih berbahaya, yakni konten liberalisme, sekularisme, hedonisme, pornografi, dan lainnya yang jelas lebih merusak dan menghancurkan bagi generasi negeri. Mengapa hal ini tidak disebut sebagai  ancaman berbahaya bagi NKRI? 

Penguasa negeri ini juga terkesan lebih rela generasi negeri ini berkepribadian sekuler, berpikir liberal, dan bergaya hidup hedonistik ketimbang berkepribadian Islam yang taat pada syariat Islam. Faktanya, definisi terorisme atau radikalisme sendiri sampai saat ini tidak jelas dan samar, bisa ditarik sesuai tujuan dan kepentingan. Buktinya, narasi ini selalu digunakan untuk menstigma Islam dan kaum muslimin. 

Di sisi lain, jihad didegradasikan maknanya oleh Barat dengan makna bahasa, yaitu bersungguh-sungguh, apa pun aktivitasnya. Padahal, menurut makna syara', jihad merujuk pada akivitas perang. Hal ini dapat dibuktikan dengan nas-nas terkait jihad. 

Di antara dalilnya adalah dalam QS. At-Taubah ayat 29 dan 41. Syekh Taqiyuddin An Nabani menjelaskan definisi jihad dalam kitab Asyahsiyah Islamiyah jilid 2, yakni jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan sebagainya.  

Al-Hafizh Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalani rahimahullah dalam kitab Fathul Baari (VI/3) menjelaskan bahwa jihad secara syar'i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. Secara implementasi adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. 

Jihad ada dua bentuk, yaitu:

Pertama, jihad secara ofensif (Futuhat) adalah jihad yang dilakukan ketika kaum muslimin memiliki negara atau Daulah Islam (Khilafah). Jihad ini bertujuan untuk mendakwahkan Islam. Salah satu contoh jihad ofensif yang dilakukan pada masa Rasulullah adalah perang Hunain dan Tabuk. Sedangkan di masa para khalifah, jihad ini terjadi pada penaklukan Persia, Syam, Mesir, Andalusia, dan Semenanjung Balkan. 

Wajib dipahami bahwa jihad futuhat ini berbeda dengan penjajahan dalam kapitalisme. Futuhat bukanlah merampas kekayaan alam, tetapi justru mengurus rakyat dalam naungan Islam dan mewujudkan kesejahteraan. Peradaban Islam ini telah tertoreh dalam tinta emas sejarah selama 13 abad lamanya. 

Kedua, jihad defensif, yaitu jihad yang dilakukan saat kaum muslimin mendapat serangan musuh. Tanah mereka diduduki, kemerdekaan mereka dirampas di wilayah yang mereka tinggali. Contoh jihad ini adalah jihad kaum muslimin yang kini dilakukan oleh rakyat Palestina melawan Zionis Yahudi.

Pada faktanya dengan adanya jihad, musuh-musuh Islam akan gentar, seperti pada masa Rasulullah saw. dan kekhilafahan. Saat itu tidak ada negara yang berani menghinakan kaun muslimin seperti hari ini. Ketika ada kaum muslimin yang berdakwah memperjuangkan Islam agar semua syariat dapat terlaksana, maka dikatakan sebagai tindakan yang menebar teror. Akan tetapi, justru mereka sedang menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam firman Allah:

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka iitulah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran ayat 104). Wallaahu a'lam.

Oleh: Nia Umma Zhafran
Sahabat Tinta Media

Selasa, 03 Oktober 2023

Santri dan Umat Islam dalam Pusaran Pemilu

Tinta Media - Sebanyak 20 ribu santri Pondok Pesantren Sa'adatuddaroin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, berkumpul untuk mendoakan calon wakil presiden 2024, Muhaimin Iskandar (15/09/2023). Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa bangga, dikarenakan adanya calon pemimpin nasional dari kalangan santri.

Ketua DPP PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan bahwa acara selawatan ini juga merupakan wujud rasa syukur dari anak-anak nahdliyin yang ada di Kabupaten Bandung yang terdiri dari 31 kecamatan. Juga rasa syukur karena telah memasuki bulan maulid.

Menurut Cucun Ahmad Syamsurizal, bahwa majunya Gus Imin adalah wujud nyata dari simbol anak-anak santri. Cucun menjelaskan secara gamblang bahwa selain meminta doa, juga meminta restu agar Gus Imin dilancarkan dalam pemenangan Pilpres 2024 mendatang.
Memang sangat menggiurkan, ketika 20 ribu santri ditargetkan untuk menjadi pendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden. Kembali mereka bermanis muka ketika musim Pemilu.

Inilah wajah asli dari sistem demokrasi. Mereka selalu bersikap baik dan merapat kepada Islam, apabila menginginkan dukungan. Ketika musim kampanye tiba, mereka berubah seolah-olah religius, berpenampilan islami, blusukan ke tempat-tempat yang sekiranya akan membuat mereka populer dan mendapat citra baik di kalangan masyarakat. Mereka memberikan santunan-santunan kepada rakyat, juga janji-janji akan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mudah, dengan mengharap dukungan, terutama dari kalangan umat Islam.

Hal ini karena umat Islam adalah mayoritas, dengan harapan suara terbanyak akan digenggam sehingga mereka menjadi pemenang dalam pemilu. Akan tetapi, pada faktanya, ketika menang dalam pemilu, mereka lupa akan janji-janji manisnya. Bahkan, ketika dikritik oleh masyarakat, mereka berperilaku seolah-olah masyarakat yang mengkritik mereka adalah musuh.

Semestinya masyarakat belajar agar tidak terus-menerus menjadi korban. Janji-janji kesejahteraan dan penghidupan yang lebih mudah dan layak hanyalah isapan jempol belaka. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan golongannya daripada mengurusi kepentingan rakyat. Mereka hanya memuluskan jalan bisnis para kapitalis yang telah memberi modal yang telah digelontorkan untuk kepentingan pemilu dan memenangkannya.

Sebagai umat Islam yang hidup di negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah selayaknya kita menjadikan Al-Qur'an dan sunnah sebagai standar dalam menetapkan calon pemimpin, juga dalam menyikapi perilaku dan kebijakan seorang pemimpin.

Kriteria umum seorang pemimpin menurut Islam adalah, muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, mampu (punya kapasitas untuk memimpin). Oleh karena itu, jelas salah satu kriteria calon pemimpin adalah harus orang yang berlaku adil, bukan orang fasik atau orang zalim. Di antara ciri utama orang fasik atau zalim adalah tidak mau berhukum dengan hukum Allah.

Di sinilah urgensi keberadaan seorang pemimpin Islam, yang akan memberikan keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak pandang bulu. Baik seorang muslim atau nonmuslim, pemimpin Islam akan memberikan hak-haknya sebagai warga negara, memberikan rasa aman, dan sejahtera, mengurusi kepentingan rakyat sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Allah Swt. dan rasul-Nya.

Pemimpin Islam akan mengarahkan umat untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla. Wallahu'alam.

Oleh: Enung Sopiah, Sahabat Tinta Media

Senin, 04 September 2023

Di Balik Presidential Threshold Ada Kepentingan Oligarki


 
Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa di balik presidential threshold ada kepentingan oligarki.

“Di balik presidential threshold  20% ini ada kekuatan yang memiliki kepentingan serta mengambil keuntungan. Siapa yang memiliki kepentingan itu? Saya kira banyak pengamat yang menyebut ini semua demi oligarki,” tuturnya dalam acara Focus To The Point: Bongkar Pasang Koalisi, Kepentingan Siapa? Sabtu (2/9/2023) di kanal Youtube UIY Official.
 
UIY beralasan, oligarki lebih mudah mengatur sedikit orang dibanding banyak orang. “Jika presidential threshold nol mungkin akan ada lebih dari 10 calon presiden. Mengatur 10 calon tentu tidak lebih mudah ketimbang misalnya mengatur tiga,” tandasnya.
 
Ia menambahkan, di balik ini semua ada maksud. Maksud yang paling dicari oleh oligarki, ucapnya, adalah akses bisnis dan akses kekuasaan.
 
“Karena itulah maka banyak yang mengatakan bahwa yang terjadi sekarang bukan kedaulatan rakyat tapi kedaulatan pemilik modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi saja,” simpulnya.
 
UIY menyayangkan, rakyat dipaksa untuk memilih yang sudah menjadi pilihan oligarki. “Ibarat seperti ini, aku pilihkan buat kamu, kamu pilih diantara yang aku pilihkan, lalu dibilang nah inilah pilihan rakyat,” ucapnya memberikan ilustrasi.
 
Semua Negara
 
UIY mengatakan, oligarki itu ada di semua negara kapitalis karena oligarki itu kumpulan dari kekuatan pemilik modal dan pemilik kekuatan politik.
 
“Oligarki politik dan oligarki pemilik modal itu ada di semua negara demokrasi liberal kapitalis. Hanya yang menjadi soal adalah apakah oligarki mengendalikan atau dikendalikan. Itu yang membedakan!,” cetusnya.
 
 UIY melanjutkan, seharusnya oligarki itu dikendalikan bukan mengendalikan. “Tapi bagaimana mengendalikan oligarki, wong alat pengendali itu Cuma dua, kalau tidak keuangan ya kekuasaan. Mereka yang punya keuangan, tinggal mengendalikan kekuasaan. Siapa yang memiliki kekuasaan tinggal mengendalikan keuangan, itu kan bolak balik disitu,” tukasnya.
 
Dengan pengendalian oligarki ini, sebutnya, pemimpin yang terpilih kecil kemungkinan bekerja untuk rakyat. Ia memberikan contoh pemimpin yang ada sekarang yang mencabut subsidi pupuk, subsidi listrik dan lain-lain tapi memberikan subsidi kendaraan listrik. “Dimana letak keberpihakannya kepada rakyat, karena kita tahu siapa di balik kendaraan listrik itu,” pungkasnya. [] Setiyawan

Rabu, 31 Mei 2023

Advokat: Bukan Hanya Pemilu, Sistem Negara Juga Perlu Dievaluasi

Tinta Media - Menanggapi pernyataan Susilo Bambang Yudhoyoni bahwa akan ada chaos jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu tertutup, Advokat Ahmad Khozinudin menyampaikan bukan hanya pemilihan umum yang perlu dievaluasi tapi juga sistem negara. 

"Rasanya kita semua jelas evaluasi. Bukan hanya sistem pemilu, bahkan sistem negara kita, semuanya kita evaluasi," tegasnya dalam acara Live Streaming: Ngeri! SBY Bilang akan Ada Chaos Jika MK Putuskan Pemilu Tertutup, Senin (29/5/2023) di kanal Youtube Ahmad Khozinudin. 

Ia menyampaikan memang problem yang banyak disampaikan oleh para pengamat bahea kalau sistem pemilu tertutup, ditakutkan nantinya akan terjadi diktatorisme oleh partai politik. 

"Mahkamah Konstitusi (MK) ini, menurut saya memang mengacaukan sistem tata negara kita. Kalau kewenangan legislasi itu ada pada MK, ya sudah bubarkan saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semua produk bawa aja ke MK," imbuhnya.

Advokat Muslim ini merasa bingung dengan negara ini yang suka bongkar pasang bolak balik sistem pemilu. Ia menyatakan jikalau bongkar pasang sistem pemilu seperti ini kapan kesempatan penguasa memikirkan rakyat? 

"Mereka hanya terus sibuk berebut kekuasaan, berebut menjadi penguasa," Imbuhnya. 

Ia juga sampaikan bahwa rakyat butuh pemimpin yang benar-benar memikirkan mereka bukan hanya memikirkan saat pemilu setelah itu ditinggalkan. 

"Rakyat itu laparnya gak uji coba, rakyat itu laparnya serius, rakyat itu penderitaan nya serius, rakyat butuh pemimpin yang benar-benar memikirkan mereka lahir batin," pungkasnya.[] Cicin Suhendi.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab