Tinta Media: Pemilu Ditunda
Tampilkan postingan dengan label Pemilu Ditunda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu Ditunda. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Maret 2023

SAYA SUDAH MENGINGATKAN JAUH-JAUH HARI, WASPADA PERPANJANGAN USIA KEKUASAAN REZIM JOKOWI VIA MODUS OPERANDI TUNDA PEMILU

Tinta Media - Walaupun akan ada 'boneka' baru yang dihasilkan melalui proses Pemilu 2024, namun Jokowi adalah boneka yang paling patuh kepada oligarki. Tidak pernah ada Presiden sepanjang sejarah Republik ini, yang paling loyal dan full melayani kaum kapitalis, menghamba kepada oligarki, menjadi abdi dari kepentingan asing dan aseng selain Jokowi.

Lihat saja, tak ada UU yang lebih brutal seperti UU Omnibus Cipta Kerja. Sudah dibatalkan MK pun, masih dihidupkan kembali menggunakan Perppu agar berlaku kembali.

KPK tidak pernah mengalami masa paling suram, kecuali di era Jokowi. Sudah dilemahkan secara norma melalui perubahan UU KPK, dilemahkan secara struktur dan kelembagaan, dilemahkan pula dari sisi SDM nya. lengkap sudah.

Tidak ada TKA aseng yang paling massif, kecuali di era Jojowi. Proyek-proyek turn key projek, mewajibkan NKRI mempersilahkan kedaulatan wilayah dibanjiri TKA China.

Tidak pernah lembaga kepolisian memiliki citra paling buruk, selain di era Jokowi. Dari kasus KM 50, Sambo, hingga tragedi Kanjuruhan.

Kenaikan harga BBM, tarif listrik, harga minyak goreng melambung, kebakaran hutan, proyek kereta cepat, IKN, dan masih banyak lagi kebijakan Jokowi lainnya yang menguntungkan oligarki. Jokowi, berani pasang badan untuk melayani oligarki.

Pelayanan terbaik Jokowi untuk oligarki inilah, yang menyebabkan posisi Jokowi tak tergantikan. Siapapun tokoh yang saat ini disebut sebagai Capres, tak ada yang melebihi sosok Jokowi dalam menghamba pada kepentingan oligarki.

Memperpanjang kekuasaan Jokowi berarti akan memberikan keuntungan untuk oligarki. Perpanjangan usia kekuasaan Jokowi ini hanya bisa ditempuh melalui dua cara, yaitu:

*Pertama,* memberikan peluang kepada Jokowi untuk kembali maju Pilpres di tahun 2024 atau menjadi Presiden untuk periode ketiga dengan modus operandi mengamandemen konstitusi atau kembali ke UUD 1945 yang asli. 

Amandemen, berarti mengubah pasal 7 UUD 1945 agar Presiden boleh dijabat lebih dari dua periode jabatan. Dengan demikian, Jokowi dapat maju kembali sebagai capres, dan berlaga dalam Pilpres 2024.

Cara ini penuh resiko, selain proses amandemen tak mudah juga belum tentu Jokowi menang Pilpres 2024. Kalaupun akan dimenangkan via Pilpres curang, biayanya jauh lebih besar dan rawan ketahuan sekaligus rawan ditawur oleh rakyat.

Kembali ke UUD 1945 yang asli, berarti Presiden dipilih oleh MPR dan dapat dipilih berkali-kali tanpa batasan maksimum periode jabatan. Cara ini lebih simple, dengan membonceng suara-suara aktivis gaek yang menginginkan kembali ke UUD 1945 asli.

Modus operandinya juga sederhana dan murah, waktunya pun cepat. Yakni, cukup terbitkan dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 yang asli persis seperti yang pernah dilakukan Soekarno.

*Kedua,* melakukan penundaan Pemilu yang dengan penundaan itu Jokowi dapat memperpanjang usia kekuasaannya, yang semestinya oktober 2024 demi hukum selesai, diperpanjang 2 (dua) atau 3 (tiga) tahun.

Modus operandinya dengan amandemen konstitusi, yang isinya memberikan wewenang kepada MPR via PPHN, untuk menetapkan penundaan Pemilu dan menetapkan semua jabatan politik yang diperoleh melalui Pemilu 2019 tetap sah, legal dan konstitusional hingga selesainya Pemilu berikutnya.

Dan ternyata, ada modus baru via putusan pengadilan. Melalui putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat inilah, nantinya jika telah berkekuatan hukum tetap, Presiden bisa saja menerbitkan Perppu untuk tunda Pemilu sekaligus menetapkan semua jabatan politik yang diperoleh melalui Pemilu 2019 tetap sah, legal dan konstitusional hingga selesainya Pemilu berikutnya.

Coba perhatikan amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:

1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;

3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;

4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;

5. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;

6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);

7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah).

Itu gugatan yang Full dikabulkan. Putusan seperti ini mustahil muncul tanpa ada desain kekuasaan.

Aneh, Partai Prima meminta KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Semestinya, Partai Prima fokus meminta pengadilan memerintahkan KPU menetapkan Partai Prima sebagai peserta Pemilu 2024 karena inilah materi pokok persoalannya.

Jadi, saya menduga kuat Partai Prima, KPU hingga pengadilan, masuk dalam skenario besar strategi tunda Pemilu dengan modus operandi mentaati dan menjalankan putusan pengadilan. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Minggu, 12 Maret 2023

Pamong Institute Ungkap Indikasi di Balik Isu Penundaan Pemilu

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky menilai bahwa Isu penundaan pemilu mengindikasikan bahwa rezim Jokowi ingin memperpanjang masa kekuasaannya.

“Menurut saya, isu penundaan pemilu 2024 menjadi 2025, berarti indikasinya memang rezim Pak Jokowi ada keinginan untuk menunda bahkan berefek untuk memperpanjang masa kekuasaannya,” tuturnya dalam Kabar Petang: Jokowi Berusaha Memperpanjang Kekuasaan? melaui kanal Youtube Khilafah News, Selasa (7/3/2023).

Menurutnya, isu penundaan pemilu berturut-turut, mulai dari awal tahun 2022 hingga sekarang, dihembuskan oleh para pimpinan sampai putusan PN Jakarta, dengan restu Jokowi.

“Dari awal Tahun 2022 itu sudah muncul yang melemparkan isu atau gagasan penundaan pemilu dari para pimpinan partai dan yang terakhir oleh putusan PN Jakarta, secara berturut-turut. Maka kita lihat tidak ada yang ditegur oleh Pak Jokowi, berarti ada indikasi dan publik bisa menilai bahwa memang pernyataan itu direstui Pak Jokowi, kalau tidak merestui, tinggal panggil menteri-menterinya,” ungkapnya.

Menurutnya, isu itu dilempar ke publik sebagai tes ombak dan ada kekuatan besar di baliknya.

“Biasanya untuk mengetes respon publik, apakah menolak keras nanti ditarik mundur sedikit kemudian dilempar isu baru lagi, kalau publik tidak menolaknya dengan keras maka isunya dimajukan selangkah lagi lebih mendekati kenyataan, kira-kira begitu. Jadi ini istilahnya sebagai tes ombak dan tentu ada kekuatan besar di situ,” jelasnya.

Wahyudi menggambarkan bahwa para elit politik di negeri ini sibuk menghabiskan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memikirkan nasib kursi kekuasaan mereka menunjukkan minim empati. Mereka lebih mementingkan kemaslahatan pribadi dan kelompoknya daripada kemaslahatan rakyat.

“Semestinya para menteri fokus kerja dengan tupoksinya daripada melempar-lempar isu ini. Apa urusannya? Seharusnya mereka memikirkan rakyat miskin supaya bisa disejahterakan dan melaksanakan tugas-tugas mereka sesuai kewenangan. Malah Menteri kelautan bahas tentang penundaan pemilu, bukan urusan dia itu. Uruslah ikan-ikan supaya bisa kita tangkap untuk dijadikan makanan bergizi bagi rakyat biar pintar-pintar semua, sehingga tidak ada yang gizi buruk,” tuturnya.
 
Menurutnya, penguasa dalam sistem demokrasi tidak berorientasi untuk berkhidmat atau mengabdikan diri, waktu maupun hartanya kepada rakyat atau negara.

“Sistem demokrasi begitu mahal, mereka harus berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan untuk biaya pesta demokrasi, untuk biaya kampanye, bikin spanduk, menggerakkan tim suksesnya, dan biaya memantau. Setelah berkuasa dia berpikirnya adalah mengembalikan itu semua, sekaligus berpikir untuk menabung dalam mempersiapkan ambisi untuk pesta demokrasi selanjutnya. Nah budaya politik seperti ini sulit dihindari, akhirnya orientasi para politisi hanya ada dua saja yaitu mengembalikan modal politik kemudian menabung lagi untuk melanjutkan kekuasannya,” jelasnya.

Berbeda dengan model prototipe penguasa Islam yaitu berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

“Seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hanya butuh waktu dua tahun lebih, yang berhasil membuat rakyatnya tidak ada lagi yang miskin dan tidak berhak lagi menerima zakat, sehingga mereka kebingungan membagikan harta zakat itu,” ungkapnya.

Solusi

Menurut Wahyudi, ada dua syarat untuk memiliki model prototipe penguasa yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Pertama, membentuk para politisi yang bertakwa dan punya integritas tinggi. "Kalau dia mau membagi-bagikan bukan untuk pencitraan atau masa menjelang kampanye, tapi betul-betul dengan integritas tinggi dan tidak korupsi," tegasnya. 

Kedua, yang harus diperbaiki adalah sistem demokrasi yang begitu mahal itu harus diubah menjadi sistem yang sangat murah dan simple yakni sistem Islam. "Kemudian menutup celah-celah untuk korupsi, kolaborasi ataupun melakukan kongkalikong terhadap para investor politik maupun kepada para politisi yang sedang bertarung,” pungkasnya. [] Evi

Jumat, 10 Maret 2023

Direktur IJM: Tunda Pemilu, Siapa Bermain?

Tinta Media - Menyoroti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terkait penundaan Pemilu 2024, Direktur IJM Agung Wisnuwardana menduga ada yang bermain di balik penundaan Pemilu.

"Banyak pihak menyayangkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada permainan dalam keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?" tuturnya dalam program Aspirasi: Ada Kelompok Tertentu Terorganisir untuk Tunda Pemilu? melalui kanal Youtube Justice Monitor Jum'at (03/03/2023)

Ia menyebutkan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai rentan, ditunggangi kelompok yang sejak lama berupaya memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.

"Hal ini merupakan sebuah grand design dari upaya penundaan Pemilu yang belakangan memang santer dibicarakan," tegasnya.

Ia mengatakan bahwa pada saat itu ditahun 2022 santer Presiden Jokowi tiga (3) periode, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat malah membuat keputusan kontroversial, pada Kamis 02 Maret 2023, yakni majelis hakim menyatakan bahwa KPU RI melakukan perbuatan melawan hukum.

"Itulah watak dari politik demokrasi," tegasnya. 

Meskipun secara tertulis bahwa kedaulatan di tangan rakyat, namun pada faktanya kedaulatan di tangan penguasa.

"Prinsip Demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, justru menjadi Intrik dari barat, karena secara langsung realistis sulit terjadi, ketika rakyat ingin menentukan pemimpinnya terkendala oleh kepentingan elit politik," tegasnya.

Ia mengatakan bahwa undang-undang yang dibuat pun acapkali dilanggar untuk melanggengkan kekuatan pihak tertentu. "Meskipun dengan dalih untuk rakyat, termasuk penundaan pemilu," ungkapnya.

"Pertanyaannya, apakah penundaan itu sendiri semata untuk kepentingan masyarakat dan demi kemaslahatan ekonomi rakyat, atau hanya bentuk strategi dalam melanggengkan kekuatan atau kekuasaan semata?" imbuhnya.

"Demi kekuasaan semata," pungkasnya.[] Emalia

MEMPERTANYAKAN PUTUSAN PN JAKARTA PUSAT TERKAIT PENUNDAAN TAHAPAN PEMILU

Tinta Media - Beredar informasi Majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memberikan Putusan, Dalam amar putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah memutuskan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melanjutkan tahapan pemilu 2024 dan kembali melaksanakan tahapan pemilu awal.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa semestinya Majelis Hakim dalam proses pemeriksaan tahap awal, melakukan uji terkait kompetensi absolut yaitu kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Apakah pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk memeriksa Karena sengketa administrasi pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu dan Peradilan Tata Usaha Negara, bukan pengadilan negeri;

KEDUA, Bahwa meskipun gugatannya adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sepatutnya Majelis Hakim memberikan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard karena ini perkara administrasi pemilu yang tidak masuk perkara Perdata, perkara Perdata dalam PMH hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa dan tidak mengikat pihak lain yang tidak menjadi pihak sedangkan putusan penundaan tahapan pemilu memiliki pengaruh kepada pihak lain. 

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab