Pengamat: Pengungkapan Kasus Pelanggaran HAM Berat Diskriminatif
Tinta Media - Pengamat Hukum dan Politik, Luthfi Affandi, S.H., M.H. menilai pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh pemerintahan Jokowi diskriminatif.
“Wajar kalau publik menilai bahwa pemerintah itu diskriminatif karena hanya mengakui sebagian kecil saja dari berbagai macam kasus pelanggaran HAM berat,” tuturnya dalam Kabar Petang: Jokowi Ingin Hidupkan Komunisme? Sabtu (14/1/2023) di kanal YouTube Khilafah News.
Luthfi membeberkan sejumlah pertanyaan yang muncul di tengah publik. Antara lain, kenapa kasus pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah hanya 12 peristiwa? Lalu, betulkah hanya 12 peristiwa yang diakui sebagai sebuah pelanggaran berat? Pertanyaan lainnya, kenapa peristiwa yang disebut dengan pelanggaran berat itu hanya dalam rentang waktu 1965 sampai 2003?
“Apakah tidak ada pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo?” tanya Luthfi.
Menurut Luthfi, patut dipertanyakan, tidak adakah pelanggaran HAM ataupun pelanggaran hukum di era pemerintahan Jokowi? Sebagai contoh, dari sekian banyak kasus ekstra yudisial terhadap terduga terorisme ataupun pengungkapan kasus terorisme tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
“Padahal, sama-sama menyangkut tentang masalah nyawa. Sama-sama menghilangkan nyawa tanpa putusan pengadilan,” tegas Luthfi.
Dari sini menurutnya, wajar kalau publik menilai sikap pemerintah yang hanya mengungkap 12 kasus pelanggaran HAM berat tampak diskriminatif. Di saat bersamaan, ada sekian banyak terduga kasus teroris meninggal tanpa proses pengadilan. “Ini menjadi koreksi bagi pemerintah, berlakulah secara adil,” imbuhnya.
Luthfi meminta kepada pemerintah untuk bersikap lebih objektif hingga menghilangkan sikap diskriminatif terhadap korban.
“Jangan kemudian karena korbannya PKI, misalnya, kemudian diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Tetapi kemudian kalau korbannya terjadi pada umat Islam, itu tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran HAM berat,” pungkas Luthfi.[] Ikhty