Kamis, 16 Maret 2023
Pekerja Migran Terpuruk dalam Cengkeraman Sistem yang Buruk
Tinta Media - Begitu banyak pekerja migran mencari kehidupan di negeri orang, karena begitu sulitnya hidup di negeri sendiri. Mereka berharap hidup sejahtera di negeri orang. Hingga rela meninggalkan keluarga tercinta. Namun, ternyata impian tak bisa mudah diwujudkan. Justru nyawa-lah menjadi taruhan.
Meriance, salah satu pekerja migran yang menjadi bulan-bulanan sang majikan. Sasaran hantaman setiap hari. Malaysia, tempat dia bekerja, berubah menjadi neraka. Dia tak menyangka akan mengalami hal seburuk ini, delapan bulan lamanya. Semua yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Bahkan, saat Meriance berhasil diselamatkan dan kembali pulang, salah satu anak Meriance tak mengenal lagi wajah sang ibu, karena banyak luka lebam di wajah akibat kekerasan. Kisah tragis ini pun dibuktikan dengan laporan medis, dokumen pengadilan, beragam cerita tetangga dan adanya kesaksian petugas kedutaan Indonesia di Malaysia yang melihatnya tak lama setelah diselamatkan.
Faktanya, masih banyak Meriance-Meriance lain yang bernasib sama atau mungkin lebih parah lagi. Kasus-kasus pekerja migran pun bervariasi, mulai dari ratusan pekerja yang ditimpa kekerasan, hingga ribuan pekerja tak dibayar gajinya. Tak heran, mereka lebih memilih pulang meskipun tak membawa sejumlah uang.
Di tengah kemelut kasus yang juga belum
tuntas tersolusikan, permintaan pekerja migran terus meningkat. Parahnya, kasus
ini mencapai angka 66.000 hingga Februari 2023. Kesempatan inilah yang
dimanfaatkan para kapitalis opportunis. Memanfaatkan peluang yang ada, tanpa
peduli pada akibat yang terjadi.
Semua regulasi yang mengatur pekerja migran
pun, nyatanya tak mampu meredam kasus. Justru kasus pekerja migran semakin banyak
dan sulit diatasi meskipun banyak kasus telah di”ajak” ke meja pengadilan.
Kasus tetap beku. Dan nasib pekerja migran selalu berujung dengan
ketidakadilan.
Sumber masalah dari beragam kasus pekerja migran, hanyalah satu. Kemiskinan akut. Yang terus menggerus kehidupan masyarakat. Alhasil, individu pun menjadi nekat mencari penghidupan yang dianggap akan lebih baik dari keadaan sebelumnya. Namun, ternyata, mereka tersandung masalah lain yang lebih mematikan. Perdagangan manusia. “Bisnis” para kapitalis yang menjanjikan keuntungan fantastis. Setiap pekerja migran menghasilkan keuntungan hingga Rp 15 juta bagi para “bandar” pekerja migran. Luar biasa.
Segala rentetan kejadian yang terus berulang ini timbul sebagai akibat penerapan ekonomi ala kapitalisme. Segala regulasi dan tindakan dilakukan demi keuntungan yang terus diburu. Tak peduli pada nasib nyawa manusia. Sistem ekonomi kapitalisme, sangatlah buruk. Hingga melahirkan kemiskinan sistemik yang terus terjadi melingkari kehidupan. Mahalnya kebutuhan harian, biaya kesehatan dan pendidikan yang tak terjangkau, hingga minimnya lapangan pekerjaan yang layak. Ironis. Di tengah melimpahnya sumberdaya, justru kemiskinan menjadikan rakyat makin tak berdaya. Sungguh, sistem rusak ini tak layak diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia.
Saatnya mencampakkan sistem rusak. Dan menggantinya dengan sistem terbaik yang ditetapkan Sang Pencipta. Yaitu sistem Islam. Satu-satunya sistem yang memanusiakan posisi manusia sesuai fitrahnya. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan pun menjaga maslahat rakyat. Sistem ekonomi Islam yang tangguh, amanah dan menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat. Segala sumberdaya alam yang ada dikelola negara sesuai syariat Islam. Dan diperuntukkan untuk memenuhi seluruh kepentingan rakyat. Negara pun menyediakan lapangan pekerjaan yang ideal bagi rakyat. Kesejahteraan terwujud, lapangan pekerjaan pun aman dan terjamin. Setiap sektor kebutuhan publik, terjangkau rakyat. Tiada kemiskinan. Yang ada hanya kesejahteraan. Karena sempurnanya konsep pengelolaan.
Tak pantas bagi kita meragukan cemerlangnya sistem Islam. Karena terbukti, lebih dari 14 abad menyebarkan keadilan dan kesejahteraan di muka bumi. Duapertiga wilayah dunia menjadi saksi kekuatan sistem Islam. Sistem amanah yang menebar berkah bagi seluruh rakyat, tanpa membedakan agama dan strata sosial.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor