Paskibraka Harus Lepas Kerudung Saat Merayakan Kemerdekaan
Tinta Media - Ada yang berbeda dengan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 di Ibukota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur pada tahun ini, semua Paskibraka perempuan tidak ada yang mengenakan jilbab atau hijab. Republika.Co.Id.Jakarta.
Termasuk delegasi dari Aceh yang sebelumnya mengenakan jilbab, tiba-tiba sampai di IKN harus mencopot penutup aurat tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang membolehkan Paskibraka perempuan berjilbab atau tidak.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui surat edaran Deputi Pendidikan dan Pelatihan No 1 Tahun 2024 menetapkan pengaturan penyeragaman pakaian Paskibraka. Dalam surat edaran itu tidak terdapat pilihan berpakaian jilbab bagi perempuan anggota Paskibraka.
Kesedihan dan kekecewaan dirasakan oleh para orang tua yang terpaksa putrinya lepas kerudung, merasa terpukul, dan kaget. Sebagai orang tua berupaya membesarkan anaknya dengan nilai-nilai keagamaan dan memasang fondasi agama yang kuat, sebaliknya pada saat menjadi petugas Paskibraka diturunkan nilai-nilai agama tersebut.
Anggota Paskibraka 2024 putri tidak satu pun memakai jilbab menuai kritikan dari berbagai pihak. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yuda Wahyudi menyatakan calon Paskibraka yang mengikuti seleksi menandatangani surat pernyataan di atas materai Rp.10.000, salah satunya tentang aturan tata pakaian. Paskibraka putri yang melepaskan jilbab itu hanya dilakukan pada saat pengukuhan dan upacara HUT RI Ke 79 di IKN, di luar itu mereka diberi kebebasan.
Setelah ditelusuri dari 38 provinsi ada 18 yang mengirimkan Muslimah berjilbab untuk menjadi tugas Paskibraka pusat harus lepas jilbab. Ada adik kita yang sejak SD sudah pakai jilbab kata Irwan Sekretaris Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Pusat.
Ketua Umum PPI Pusat Gousta Foriza meminta BPIP selaku pihak pengelola dan penanggung jawab program Paskibraka untuk melakukan klarifikasi yang menimbulkan gejolak di berbagai daerah.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ikut menyoroti keputusan BPIP ini, kebijakan tersebut berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dibebaskan untuk menggunakan kerudung atau tidak ini merupakan gerakan Islamofobia yang harus dilawan.
Di dalam pemerintahan adanya BPIP perlu dipertanyakan karena mengenakan kerudung bagi setiap muslim termasuk Muslimah petugas Paskibraka yang telah baligh adalah kewajiban syar'i, pakaian tersebut dikenakan ketika beraktivitas di luar rumah atau ruang publik dan seluruh tubuh Muslimah adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan.
Meskipun BPIP berdalih bukan pemaksaan karena telah ada penandatanganan kesepakatan pakaian dan atribut yang distandarisasi, aturan tersebut bertentangan dengan hukum Allah SWT karena mengenakan pakaian selain yang syariatkan adalah kemaksiatan.
Para pemegang kekuasaan sering kali mengatakan aturan yang dibuat berasaskan konstitusi dan UUD 1945, nyatanya mereka sendiri yang melanggar peraturan. Pasalnya secara konstitusi menggunakan jilbab bagi setiap muslim tidak terkecuali anggota Paskibraka Muslimah hak konstitusional sebagai warga negara sebagaimana diatur dan dijamin dalam konstitusi pasal 29 UUD 1945.
Namun yang paling dikritisi mengenai jilbab ini adalah sistem Islamofobia yang ditunjukkan oleh pemerintah, kebijakan yang dikeluarkan meski bertentangan dengan konstitusi mereka yakini justru mengarah pada upaya mengriminalisasi ajaran dan keyakinan umat Islam.
BPIP melalui peraturan pakaian Paskibraka ini adalah lembaga yang berasaskan sekularisme. Sekularisme adalah paham yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Adanya lembaga pemerintah yang sekuler merupakan hasil dari negara yang berasaskan sekuler, meski mayoritas muslim, tetapi aturan yang diberlakukan bersumber dari akal manusia.
Sedangkan aturan Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur kehidupan tidak dipertimbangkan dalam membuat aturan
dan kebijakan, alhasil kita akan mendapati aturan yang bertentangan dengan Islam selama sekularisme sebagai asas kapitalisme masih diberlakukan di negeri ini. Perlu dipahami sekularisme kapitalisme adalah sistem batil tidak akan bisa memperbaiki dan menimbulkan kemudharatan di tengah masyarakat. Negara sekuler terus menganggap agama sebagai musuh.
Berbeda dengan negara yang berasaskan Islam segala kebijakannya disandarkan pada halal dan haram. Negara seperti ini akan menuntut manusia menjalani hidup dengan benar sesuai dengan syariat Allah SWT sehingga mendapat kebahagiaan dan keberkahan dunia dan akhirat. Tegaknya syariat Islam tidak akan pernah terlaksana dengan sempurna, termasuk syari'at menutup aurat tidak akan pernah terlaksana dengan sempurna kecuali dengan adanya negara Islam (Daulah Islam/Khilafah).
Islam mewajibkan negara menjaga akidah umat yang mencakup keyakinan mereka terhadap Islam dan terlaksanakan kewajiban kaum muslimin.
Oleh karena itu negara tidak boleh menjerumuskan ke lembah maksiat, negara harus menjadi penjaga dan pelindung umat. Sebab penguasa atau Khalifah diangkat oleh umat, sebagai pelaksana syariat Islam bukan aturan lain apalagi hanya untuk meraih keuntungan pribadi. Negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam dalam kehidupan sehingga para Muslimah mengenakan pakaian yang disyariatkan di kehidupan umum.
Dalam kitab Nidzamul Ijtimai Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan pengaturan syariat Islam kehidupan publik yaitu kewajiban menutup aurat dan pakaian syar'i jilbab atau kerudung selain itu Islam memerintahkan negara menjadi institusi pemerintah yang menjaga kehormatan dan kesucian warga negaranya.
Hal penting hadirnya negara yang menerapkan syariat Islam yakni akidah dan pelaksanaan hukum syariat oleh umat akan selalu terjaga.
Wallahu'alam Bishowwab.
Oleh : Ummu Kaila, Sahabat Tinta Media