Tinta Media: Parpol
Tampilkan postingan dengan label Parpol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Parpol. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Oktober 2024

Siyasah Institute: Parpol dan Politisi Butuh Bohir Politik


Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menegaskan bahwa mahalnya biaya untuk bisa melenggang ke Gedung DPR membuat parpol dan politisi butuh bohir [pemberi modal] politik. 
 
"Parpol dan politisi belum tentu sanggup merogoh kocek sendiri, mereka butuh bohir politik. Disinilah terjadi lingkaran setan politik uang. Parpol dan caleg bisa amat bergantung pada investor politik untuk mengongkosi langkah mereka menjadi anggota dewan. Selanjutnya, mereka tersandera kepentingan para investor tersebut," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (8/10/2024). 
 
Keadaan seperti ini, lanjut Iwan, yang membuat rakyat melihat DPR begitu sat set melegislasi berbagai RUU yang erat kaitannya dengan para kapitalis.  
 
“UU Minerba misalnya, lanjut lagi UU Cipta Kerja, juga UU IKN. DPR juga begitu semangat merevisi UU KPK yang hasilnya melumpuhkan KPK," bebernya. 
 
Sementara RUU Perampasan Aset yang dipercayai jadi senjata handal memberantas korupsi, keluhnya, malah masih mangkrak selama 12 tahun, masih juga tidak diketok palu. 
 
Karena biaya politik yang mahal, ia tidak heran kalau DPR menjadi salah satu lembaga negara terkorup. “Data ICW menyebutkan sejak 2004 hingga 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR,” imbuhnya.  
 
Melihat realitas di atas, Iwan mengkritisi cara berpikir sebagian orang bahwa untuk bisa memperbaiki negeri ini harus masuk parlemen. 
 
“Padahal dua persoalan di atas sudah memperlihatkan kalau menjadi anggota DPR tidak cukup hanya punya moral baik dan niat baik; tapi butuh cuan dan kedekatan politik seperti dinasti politik.  Dua hal yang susah didapat warga biasa," jelasnya.  
 
Apalagi kata Iwan, parpol punya privilege untuk menentukan calon wakil mereka di parlemen, bukan masyarakat secara langsung. Artinya, ia menjelaskan, sejak awal sudah ada sekat pembatas untuk rakyat biasa yang mau duduk di jajaran anggota dewan. 
 
"Beginilah wajah DPR baru. Beginilah hasil proses demokrasi. Wajar kalau pesimisme semakin besar andai menaruh harapan pada DPR,” tukasnya. 
 
Ditambah lagi skenario besar pemerintahan baru Prabowo – Gibran yang berambisi membentuk koalisi besar, dimana menihilkan oposisi.  
 
“Maka, bagaimana dan siapa yang akan mengontrol kekuasaan? Tapi itulah demokrasi. Tidak salah kalau dulu ada joke yang beredar; What is democracy? Democracy is the freedom to elect our own dictators [Apa itu demokrasi? Demokrasi adalah kebebasan untuk memilih diktator kita sendiri]," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Kamis, 12 September 2024

Parpol Tersandera Penguasa?


Tinta Media - Anies, bakal calon gubernur gagal maju dalam Pilkada 2024, baik di Jakarta maupun Jabar buka suara. Ia menyebut dirinya gagal melaju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah karena seluruh partai politik tersandera oleh pemegang kekuasaan. Ada usulan agar Anies masuk partai. Namun pertanyaannya, partai mana yang tidak tersandera oleh kekuasaan. 

"Jangankan dimasuki, mencalonkan saja terancam," tegas Anies di akun Youtube pribadinya. (cnbcindonesia.com 1/9/2024).

Kritikan Anies seolah menegaskan bahwa sistem perpolitikan di Indonesia saat ini tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pihak yang ingin menawarkan alternatif berbeda. Situasi yang jauh dari ideal, partai politik yang seharusnya menjadi wadah menyalurkan aspirasi rakyat justru menjadi alat mempertahankan status quo, pendukung politik dinasti.

Terjebak Pragmatisme

Curhatan Anies tampaknya tidak berlebihan, bahkan bisa jadi sesuai kenyataan. Dunia politik sejak pilpres hingga pilkada masih memanas, baik tawar-menawar koalisi parpol, hingga bakal calon, bahkan mengotak-atik peraturan demi kekuasaan. 

Realitas politik seperti dagang sapi, berubah kongsi demi kursi, tak ada kawan dan lawan sejati, yang ada mengejar kepentingan bersama. Realitas ini wajar dan pasti terjadi dalam demokrasi. Demi kekuasaan, parpol rela menjilat ludahnya sendiri, menggadaikan ideologi berbalut dalil, lebih tepat dalih. 

Mereka berdalih demi kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa para politisi berkoalisi. Namun, rakyat tak lebih dari pendorong mobil mogok, dibutuhkan suaranya setiap lima tahun sekali. Ketika kekuasaan sudah di tangan, rakyat kembali gigit jari. Nyatanya, sang penguasa dan anggota dewan mengabdi pada pemilik cuan. 

Kedaulatan di tangan rakyat hanya slogan, karena faktanya ada di tangan oligarki. Contonya, UU Minerba, UU Migas, UU Cipta Kerja, hingga UU IKN adat bukti nyata. Meski rakyat menolak, perundangan tetap berjalan. Penguasa maupun politisi bertindak pragmatis, mengorbankan prinsip demi kekuasaan.

Parpol adalah wakil rakyat, seharusnya menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan membela kepentingan penguasa dan pengusaha. 

Mirisnya lagi, ada 12 dari 24 partai politik peserta pemilu 2024 yang pernah terlibat korupsi. Mereka adalah parpol yang lolos masuk di Senayan dan pernah masuk dalam tampuk kekuasaan. 

Borok partai politik sering dipakai penguasa untuk menyandera mereka. Untuk menyelamatkan marwah kader dan partai, akhirnya mereka tunduk pada kepentingan penguasa. (kompas.com/2023/09/15)

Faktor lain penyebab parpol bersikap pragmatis adalah demokrasi merupakan sistem politik berbiaya tinggi. Fadli Ramadhanil,
Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan bahwa untuk membuat partai politik baru hingga masuk peserta Pemilu 2024, selain sulit juga mahal.

Versi Nasdem, bisnis pendirian parpol baru bisa mencapai Rp50 M. Bahkan untuk maju menjadi anggota dewan di Senayan, politisi bisa mengeluarkan dana hingga10 milyar (news,republika, 9/6/2020). Tidak ada makan siang gratis, maka terjadilah simbiosis politisi, penguasa, dan pengusaha demi mengejar manfaat dan maslahat.

Manfaat merupakan nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi. Pemerintahan yang tegak di atas akidah sekuler, menolak peran agama untuk mengatur kehidupan. Kedaulatan ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya yang ada di parlemen untuk menyusun regulasi atau produk perundang-undangan berdasar akal lemah dan hawa nafsu. Celah inilah yang sering dimanfaatkan penguasa untuk mempertahankan status quo dengan menyandera parpol.  Maka, perselisihan, pertentangan, baku hantam saling sikut juga permufakatan jahat akan senantiasa terjadi dalam demokrasi.

Parpol Sistem Islam Tidak Tersandera

Partai politik dalam Islam lahir dan tegak dalam rangka memenuhi kewajiban dan seruan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104 yang artinya,

"Hendaklah ada di antara kalian sekelompok  orang yang mengajak pada kebaikan serta menyuruh berbuat makruf, dan mencegah  kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." 

Politik dalam Islam bermakna riayah suunil ummah yakni mengurus urusan umat. Maka, keberadaan partai politik berfungsi muhasabah lil hukam, yakni mengoreksi penguasa agar menjalankan amanah sesuai syariat Islam. 

Selain itu, tugas partai politik Islam adalah membina umat agar memiliki kepribadian Islam, yakni mempunyai pola akliyah dan nafsiyah Islam, juga memahami tsaqafah Islam. Maka, parpol ini akan senantiasa bergerak dan berinteraksi bersama umat secara terus-menerus, bukan hanya musiman menjelang pemilu setiap lima tahun sekali.

Peranan mulia tersebut menjadikan parpol Islam akan senantiasa dijadikan rujukan masyarakat dan tidak tersandera oleh kepentingan penguasa. Keduanya menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt., pemilik surga dan neraka. Kondisi ini akan terwujud dengan tegaknya peradaban Islam yang berasaskan akidah Islam, bukan peradaban kapitalisme yang tegak di atas asas manfaat. Wallahu a'lam bishawab.



Oleh: Ida Nurchayati, STP
Sahabat Tinta Media

Jumat, 06 September 2024

Idealisme Parpol Islam Tergadai demi Bancakan Kue



Tinta Media - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus). (Selasa, 20/8/2024). Dalam konferensi pers di Tangerang, Presiden PKS Ahmad Syaikhu menyatakan bahwa PKS menyatakan diri bergabung dengan KIM Plus dan mendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hal ini berdasarkan pada hasil musyawarah majelis syura PKS ke-11 yang dilaksanakan tanggal 9 hingga 12 Agustus 2024 kemarin. Syaikhu menyebutkan juga bahwa bergabungnya PKS ke dalam KIM Plus sebagai suatu ikhtiar, walaupun ada kekhawatiran akan ditinggalkan oleh pemilih.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai bahwa daya tahan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah kini sudah jauh berkurang sehingga berubah haluan dengan bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.  

“Secara institusional, PKS ini sudah berada di luar kekuasaan selama dua periode, sehingga daya tahan politiknya berkurang. Apalagi jika harus kembali ‘berpuasa politik’, tentu bukan hal mudah,” ujar Agung kepada Kompas.com, Selasa (20/8/2024) malam. 

Agung melanjutkan, bergabungnya PKS ke KIM Plus juga tak lepas dari tawaran jabatan yang menggiurkan.

Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan pragmatisme politik yang dilakukan oleh parpol-parpol, termasuk PKS. Fakta masuknya PKS ke KIM Plus dinilai sudah meninggalkan citranya sebagai partai yang 'konsisten' dalam menjaga demokrasi. 

Sebagai partai oposisi yang memiliki visi menjadi Partai Islam rahmatan lil 'alamin yang kokoh dan terdepan dalam melayani rakyat, seharusnya PKS berupaya untuk tetap dalam aktivitas mengoreksi kebijakan pemerintah jika tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, realitas menunjukkan bahwa idealisme mereka kalah oleh realitas politik yang terjadi, yang lebih menghantarkan mereka untuk berebut kekuasaan dengan meninggalkan kubunya di masa pilpres yang baru lalu.

Hal seperti ini sebenarnya tidak aneh terjadi dalam sistem politik demokrasi. Selain PKS , sebagian besar parpol-parpol “berbasis umat Islam” telah lebih dulu  mengorbankan idealismenya demi kepentingan kekuasaan tanpa merasa berdosa terhadap umat dan agamanya dengan dalih masih bertujuan memperjuangkan perbaikan. 

Pragmatisme politik demokrasi telah berhasil mengubah tujuan parpol Islam dari kepentingan agama dan umat, menjadi kepentingan pribadi atau kelompok tanpa peduli halal dan haram. Politik demokrasi yang tegak atas asas sekulerisme (fashlud-din ‘an al-hayaah; memisahkan agama dari kehidupan masyarakat), mengklaim bahwa pemerintahan dibangun dengan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat. Kepentingan rakyat di atas segalanya. Kenyataannya, itu semua hanya slogan semata untuk menipu rakyat demi kepentingan para penguasa dan pengusaha. 

Berbagai produk hukum dan kebijakan dibuat oleh parlemen, dipaksakan untuk dilegalkan oleh segelintir pengendali kekuasaan (politisi) dan keuangan (cukong/pemodal) untuk kepentingan mereka, sekalipun harus menyengsarakan rakyat. Tengoklah UU semisal Omni Buslaw Cipta Tenaga Kerja yang sangat berpihak kepada pengusaha dan merugikan para buruh.

Ironisnya, pragmatisme ini akhirnya dapat menimbulkan citra buruk pada Islam dan pada parpol Islam hakiki yang benar-benar ingin memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin, masyarakat akan semakin skeptis terhadap parpol dan politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, dan manipulatif. Hal ini bisa membahayakan upaya penegakan kembali sistem Islam di muka bumi. 

Selain itu, seharusnya parpol-parpol Islam tersebut belajar dari peristiwa sejarah umat Islam, dalam perjuangan melalui jalan politik demokrasi. Tujuan untuk  mewujudkan  Islam rahmatan lil'alamin, ternyata tidak mampu diwujudkan melalui politik demokrasi, karena politik demokrasi bersifat pragmatis-transaksional didasarkan asas manfaat, yang bisa berubah-ubah manakala manfaat yang didapat lebih besar. 

Alhasil, saat Islam diaplikasikan di dunia demokrasi, ia tidak berkontribusi apa pun terhadap umat, terkhusus kaum muslimin. Demokasi hanya menjadi jalan pahit dan sulit bagi umat Islam untuk menegakkan syariah Islam secara totalitas.  

Contohnya, seperti saat kemenangan telak Ikhwanul Muslimin tahun 2011 dalam Pemilu Mesir. Saat itu, Mursi menjadi Presiden Mesir, tetapi hanya satu tahun, karena aspirasi penerapan syariah Islam malah  ditepis dan dianggap merupakan propaganda politik identitas yang berbahaya dan memecah-belah umat, hingga akhirnya kepemimpinan Mursi berakhir dan digantikan oleh kekuatan militer.

Hal tersebut terjadi karena kekuatan kapitalisme dunia pimpinan Amerika Serikat tidak akan pernah membiarkan syariat Islam diterapkan dalam kekuasaan negara. Walaupun harus menyalahi prinsip-prinsip demokrasi, legalitas kekuasaan Islam tersebut akan dicabut dengan berbagai cara, melalui para kekuatan bonekanya dari kalangan para politisi dan militer.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi parpol-parpol Islam untuk kembali berpegang pada konsep politik Islam, yang menyatakan bahwa politik  Islam sejatinya bermakna pengaturan urusan umat/rakyat berdasarkan prinsip syariat. Politik Islam tegak atas dasar akidah Islam, yang mesti diemban oleh negara, parpol, dan individu mukmin. 

Aktivitas politik individu dilakukan dengan dakwah dalam bentuk amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat dan muhasabah kepada penguasa. Sedangkan parpol, dia beraktivitas melakukan dakwah Islam di tengah umat sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS Ali Imran; 104, yang artinya 

“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Parpol Islam merupakan institusi politik yang berupaya untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dalam suatu institusi negara Islam yang berasaskan akidah Islam. Aktivitas parpol Islam adalah melakukan dakwah Islam, mulai dari aktivitas tatsqif (pembinaan dan pengkaderan), untuk membangun kekuatan akidah umat agar senantiasa terikat dengan hukum syara', membentuk opini umum tentang penegakan syariat Islam dalam kehidupan melakukan pergolakan pemikiran (sira-ul fikri) untuk menentang seluruh pemikiran yang bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum Islam, serta melakukan perjuangan politik (kifah siyasiy) dengan membongkar berbagai aktivitas dan kebijakan penguasa yang rusak dan zalim terhadap masyarakat, untuk memutuskan kepercayaan umat kepada penguasa dan sistem kufur yang diterapkannya. Selain itu, parpol Islam juga mengungkap makar jahat negara-negara asing kafir terhadap Islam dan kaum muslimin.

Semua aktivitas ini dilakukan dengan dakwah saja, sebagai aktivitas politiknya yang sesuai fikrah (konsep) dan thariqah (metode) yang dijalankan tanpa kekerasan seperti yang Nabi saw. tempuh. Walaupun sulit dan membutuhkan waktu yang panjang, parpol Islam yang sahih wajib terikat dengan ideologi Islam yang bertujuan hanya untuk menerapkan Islam secara kafah dalam naungan institusi Daulah Khilafah Islamiah seperti yang telah Allah dan Rasul-Nya gariskan. Wallahu’alam bisshawwab



Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom
Sahabat Tinta Media

Jumat, 09 Februari 2024

Khilafah News: Gen Z Sasaran Empuk Para Parpol dan Politisi



Tinta Media - Narator Khilafah News menyatakan bahwa Gen Z menjadi sasaran empuk para parpol dan politisi. 

"Gen Z ini menjadi sasaran empuk para parpol dan politisi. Ini bisa dimanfaatkan mereka untuk kepentingan politik," tuturnya dalam video: Gen Z Target Empuk Politisi Pragmatis? Kamis (1/2/2024) di kanal Youtube Khilafah News. 

Ia menyesalkan, tak jarang para generasi milenial dan Gen Z hanya dijadikan sebagai obyek politik semata. 

“Dalam era digital dan teknologi informasi yang semakin canggih, generasi milenial dan Gen Z telah menjadi kekuatan politik yang signifikan,” imbuhnya. 

Ia melanjutkan, dengan jumlah pemilih yang besar, kelompok ini terdiri dari individu yang lahir antara tahun 1980 hingga pertengahan tahun 2000-an yang telah tumbuh dalam era globalisasi, diversifikasi informasi dan akses internet yang luas. 

"Dengan ciri khasnya yang berbeda dari generasi sebelumnya, potensi generasi milenial dan Gen Z menggiurkan bagi para kandidat dan parpol prodemokrasi untuk mendapatkan dukungan suara yang signifikan," ujarnya. 

Ia mengungkapkan, di balik upaya parpol dan politisi untuk mendapatkan dukungan dari generasi milenial dan Gen Z terdapat risiko bahwa kelompok ini hanya dijadikan objek politik saja. 

"Selain itu juga, terdapat fenomena yang dikenal sebagai virtue signaling yang bermakna bahwa politisi atau parpol-parpol menggunakan isu sosial yang populer di kalangan generasi milenial dan Gen Z untuk memamerkan dukungan mereka tanpa melakukan tindakan nyata yang substansial," ungkapnya. 

"Hal ini, nilainya,  tentunya dapat mengakibatkan kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan dari pihak generasi ini terhadap politik. 

Menurutnya, generasi milenial dan Gen Z tidak dijadikan sebagai kelompok yang benar-benar dihargai dan didengar. 

“Oleh karena itu, penting bagi generasi milenial dan Gen Z untuk sadar dan terus dibimbing oleh ulama agar tidak menjadikan diri sebagai sasaran empuk para parpol dan politisi sekuler pragmatis. Tetapi juga berperan aktif dalam memilih sistem dan pemimpin yang diridhai Allah Swt.," terangnya. 

Ia memandang , selain punya potensi yang menjadi pemantik perubahan besar. Generasi muda muslim juga memiliki potensi untuk terlibat secara aktif dalam politik Islam. "Baik melalui pembinaan, mengemban dakwah, aksi advokasi, bahkan pencalonan diri sebagai pemimpin yang saleh di masa depan," pungkasnya.[] Ajira

Sabtu, 18 November 2023

Benturan Antarkubu Jelang Pemilu, Potret Rusaknya Parpol pada Sistem Demokrasi Kapitalisme



Tinta Media - Partai merupakan wadah dan simbol pergerakan kelompok yang menginginkan perubahan di tengah-tengah masyarakat atas kondisi yang telah menjerat mereka. Namun, apa jadinya ketika wadah yang diopinikan kenyataannya tidak sebagaimana yang digambarkan? Terlebih, adanya fanatisme golongan oleh para simpatisan yang menjadikan citra partai mulai dipertanyakan keberadaan dan tujuannya. Sungguh miris ketika keberadaan partai hanya dijadikan untuk mengungguli kelompok satu dengan yang lain atau malah saling melemahkan satu dengan yang lainnya.

Seperti halnya kasus yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah, dikabarkan bahwa ada sebanyak 11 sepeda motor dan tiga rumah warga mengalami kerusakan akibat bentrok antar simpatisan PDIP dengan GPK. Ruruh menyatakan bahwa kejadian itu bermula ketika salah satu kelompok yang terlibat bentrok mengadakan kegiatan di Lapangan Soepardi, Sawitan, Magelang. Setelah berakhirnya kegiatan tersebut, kelompok ini terlibat gesekan dengan kelompok lain di Jalan Batikan, Mungkid, Magelang, kemudian berlanjut di simpang tiga Tape Ketan Muntilan.

Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya partai tak cukup menjelaskan tujuan keberadaan dan lahirnya partai sehingga terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh para simpatisan. Benturan ini menunjukkan bahwa perbedaan kelompok maupun partai memiliki kesenjangan yang tidak mampu untuk diajak berjalan bersama. Jika bukan karena alasan kepentingan dan ikatan tertentu, maka apa yang melatarbelakangi perseteruan tersebut?

Kepercayaan rakyat pada partai hari ini hanya karena adanya faktor emosional, simbol dan tokoh, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai. Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antarindividu/kelompok lantaran kuatnya sentimen/ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.

Mirisnya, perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama  demi tercapainya tujuan. Hal ini selaras dengan pernyataan ‘tidak ada teman sejati,  yang ada adalah kepentingan abadi’.

Perlu di garis bawahi, masyarakat harus memahami bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap realistis/pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh parpol, melainkan lebih kepada manfaat apa yang bisa diterima parpol dari setiap keputusan politik yang akan mereka buat. 

Fenomena bentrok antarkubu adalah hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih condong pada upaya meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. 

Jika masyarakat mengamati secara betul, benturan antarkelompok hanya terjadi untuk mempertahankan eksistensi dari keberadaan partai itu sendiri. Ini dilakukan demi menunjukkan eksistensi yang muncul setiap jelang kontes pemilu yang pasti berwajah dinamis.

Ada kalanya benturan terjadi di satu wilayah untuk saling bersaing, tetapi di wilayah lain bersatu. Artinya, upaya untuk saling dukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka untuk menang dan seberapa besar keuntungan yanga akan mereka dapatkan. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah menjadi jargon bagi parpol demokrasi.

Jadi, sungguh merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengutamakan fanatisme terhadap golongan/partai, apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak memperhatikan ikatan persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini, kita harus peka bahwa akan banyak pihak tertentu yang akan memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang beraneka ragam. Oleh karenanya, umat harus tahu kenyataan tentang politik demokrasi yang berkaitan saat ini agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.

Berbeda ketika Islam memandang makna sebuah parpol. Dalam Islam, parpol berdiri bukan sekadar ada untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar kepada khalayak luas. Dalam hal ini, politik memiliki  makna mengurus urusan rakyat.

Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah yang menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk mendapat perhatian penguasa. Sudah menjadi keharusan bagi parpol untuk hadir dan membela urusan-urusan rakyat, baik menyangkut kepentingan ataupun kemaslahatan rakyat. Itulah peran parpol yang dijelaskan dalam Islam.

Islam membolehkan banyaknya pembentukan parpol dalam rangka mewujudkan kritik penyadaran kepada penguasa. Dalam Islam, berpolitik merupakan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, peran parpol adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya dalam bernegara yang bermuara pada kemaslahatan hidup bersama berdasarkan standar keimanan.

Dengan kata lain, napas perjuangan parpol haruslah sejalan dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam.  Wallahualam.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis

Selasa, 11 Juli 2023

Ini Penyebab Munculnya Ketidakpercayaan Publik terhadap Parpol dan DPR

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) mengurai sebab munculnya ketidakpercayaan publik terhadap partai politik (parpol) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Munculnya ketidak percayaan terhadap parpol dan DPR sudah menjadi konsekuensi logis. Sebab, realita parpol maupun DPR yang digadang-gadang sebagai wakil aspirasi rakyat, justru tidak membela kepentingan rakyat," urainya dalam program Serba-Serbi: Kepercayaan Publik pada DPR dan Parpol Rendah, Buah dari Sistem Kapitalisme, di kanal YouTube MMC, Kamis (6/7/2023).

Ia menjelaskan, sudah banyak bukti terkait hal ini, diantaranya kebijakan Undang-undang Ciptaker yang begitu kontroversial. Rakyat telah bertahun-tahun melakukan penolakan sejak masih menjadi RUU. 

RUU ini pun mendapat banyak kritik terkait substansi dan proses pengajuannya, namun faktanya DPR tetap melegalkan RUU ini menjadi Undang-undang," jelasnya.

Bahkan menurutnya lagi, sangat terlihat anggota dewan yang diklaim sebagai wakil rakyat, justru hanya menjalankan amanah partai sebagai petugas partai.

"Belum lagi parpol saat ini, tidak lebih hanya pendulang suara saat Pemilu. Padahal tugas mereka seharusnya adalah mendidik kesadaran politik umat," ucapnya.

Narator mengungkapkan, publik bisa melihat betapa banyak parpol yang masih melakukan rekrutmen dengan kaderisasi politikus instan agar partai politiknya masuk kualifikasi KPU.

"Alhasil, politikus yang ada bukan karena kapabilitasnya, melainkan karena modal dan popularitasnya," ungkapnya.

Ia pun menyatakan, inilah konsekuensi dari penerapan sistem sekularisme demokrasi sebuah sistem yang menegasikan (menyangkal) aturan Allah SWT dalam kehidupan manusia.

"Dan justru memberikan kedaulatan hukum di tangan manusia," pungkasnya. [] Muhar

Senin, 07 November 2022

Ironis, Rakyat Dilanda Krisis Kenapa Dana Parpol Justru Naik?

Tinta Media - Pemerintah melalui Menteri Dalam, Negeri Tito Karnavian mengusulkan kenaikan bantuan dana partai politik (parpol) tiga kali lipat. Jumlahnya naik dari Rp1.000 per suara menjadi Rp3.000 per suara. Sebagaimana dipahami bahwa sumber pendanaan partai ada tiga, yakni iuran anggota, bantuan pemerintah, dan sumbangan dari perorangan maupun perusahaan yang tidak pernah disebut asal dana itu.

Anggota Dewan Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsudin Haris menyebut bahwa dana bantuan partai politik (parpol) perlu ditambah. Subsidi dari negara untuk bantuan keuangan partai tidak signifikan atau hanya memenuhi sekitar 1% dari kebutuhan partai. Ia mengusulkan 50 persen dari kebutuhan partai politik sehingga membuka peluang parpol untuk memiliki otonomi secara finansial.

Namun, usulan tersebut mendapat komentar dari Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay. Hadar melihat bahwa kenaikan dana bantuan parpol di saat krisis seperti saat ini dirasa kurang tepat. Alasan lain, yaitu di tengah kondisi krisis keuangan dan kenaikan BBM, seharusnya pemerintah memprioritaskan terlebih dahulu kebutuhan yang langsung dirasakan rakyat. Karena itu, kenaikan bantuan parpol, apalagi sampai tiga kali lipat, dirasa kurang pantas.

Sungguh ironis, pemerintah mendorong kenaikan dana partai agar segera direalisasikan, sementara saat ini rakyat sedang mengalami kondisi ekonomi sulit akibat kenaikan harga BBM dan bahan-bahan pokok.

Parpol dalam Sistem Demokrasi

Parpol dalam sistem demokrasi, baik bercorak Islam maupun umum, pasti tidak terlepas dari transaksi politik. Selain itu, dalam pelaksanaan pemilu, partai politik harus memiliki dana yang tinggi yang digunakan untuk melakukan kampanye. 

Biaya politik yang mahal menjadikan partai-partai politik dalam sistem demokrasi menggunakan berbagai cara untuk mengumpulkan dana partai. Salah satunya menuntut pemerintah menaikkan bantuan dana parpol yang diatur dalam UU. Bantuan tersebut harus ditanggung oleh APBN yang tidak lain adalah uang rakyat.

Sayangnya, biaya politik yang mahal tidak sebanding dengan hasil yang diraih setelah memenangkan pemilu, yakni terpilihnya pemimpin yang berkualitas. Ironisnya, pemimpin yang merupakan kader partai terpilih justru banyak yang terjerat kasus korupsi. Belum lagi UU yang mereka hasilkan saat menduduki kursi kekuasaan justru malah menyengsarakan rakyat.

Lalu, apakah partai yang berdana besar akan memberi perhatian besar pada perbaikan nasib rakyat? Jawabannya tentu tidak. 

Partai politik dalam sistem demokrasi tidak akan membawa pada kebaikan pada rakyat. Sebab, parpol-parpol di atas berdiri dengan landasan sistem demokrasi.

Parpol dalam sistem demokrasi sangat erat kaitannya dengan politik uang dan banyak kecurangan. Kekuasaan dan uang merupakan kunci kemenangan, bukan pada kapabilitas parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Suara rakyat mudah dibeli dengan iming-iming sekian rupiah saja, sungguh ironis.

Jargon demokrasi 'dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat', tetapi tampak hanya isapan jempol semata. Kenyataannya, kekuasaan hanya berpusat pada segelintir orang saja yang memiliki kepentingan, kekuasaan, dan uang, bukan berada di tangan rakyat. Semua yang mereka lakukan demi asas manfaat saja.

Parpol Dalam Sistem Islam

Dalam Islam, politik tidak sepicik demokrasi yang berasaskan kepentingan dan manfaat. Politik dalam Islam bermakna riayah suunil umat. Artinya, melakukan pengurusan, perbaikan, dan pelurusan atas seluruh urusan rakyat.

Pada dasarnya, keberadaan parpol Islam dalam sistem Islam didirikan untuk melakukan kontrol dan muhasabah terhadap penguasa, terutama terkait dengan penerapan syariat Islam di dalam negeri, serta berbagai kebijakan luar negeri.

Oleh karena itu, berpolitik sangat penting. Tanpa adanya politik, maka urusan rakyat akan terabaikan. Sebab, salah satu fungsi utama parpol dalam Islam adalah muhasabah lil hukam, yakni parpol akan mengawasi berjalannya pemerintah.

Jika penguasa melakukan penyimpangan, maka parpol Islam akan melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa. Selain itu, tugas utama parpol Islam yaitu mendidik kesadaran politik umat.

Pada prinsipnya, parpol akan melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan penguasa. Namun, parpol akan memberikan dukungan penuh terhadap Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah selagi sejalan dengan syariat Islam.

Oleh sebab itu, parpol dalam sistem Islam tidak akan pernah berpihak kepada kepetingan penguasa maupun kepentingan rakyat. Parpol berdiri untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Jika penguasa melakukan kesalahan, maka tugas parpol adalah mengoreksi penguasa. Begitu juga dengan rakyat yang melakukan kesalahan, maka parpol juga akan mengoreksi dan mendidik rakyat agar memiliki kesadaran.
Wallahualam.

Oleh: Retno Jumilah
Sahabat Tinta Media

Selasa, 18 Oktober 2022

Dana Parpol Naik di Tengah Ancaman Resesi?

Tinta Media - Presiden Joko Widodo, Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kompak mengatakan bahwa perekonomian tahun depan makin gelap. 

Dikutip dari CNN Indonesia pada Selasa (27/09/2022), Sri Mulyani memprediksi ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi pada tahun depan. Perkiraan itu ia buat berdasarkan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral di sejumlah negara seperti AS dan Inggris demi meredam lonjakan inflasi. Ia memastikan kebijakan itu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi sehingga ancaman resesi kian sulit dihindari. 

Ancaman resesi terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Anehnya, Indonesia justru meningkatkan dana bantuan untuk parpol. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan kenaikan bantuan dana partai politik (parpol) tiga kali lipat dari Rp1.000,- menjadi Rp3.000,- per suara. 

Sunggung sebuah paradoks yang menunjukkan secara nyata bobroknya sistem kapitalis demokrasi, yang menjadikan penguasa lebih berpihak kepada parpol dibanding rakyat. Sistem politik demokrasi telah menjadikan negara ini abai terhadap nasib rakyat yang terancam hidup sulit, tetapi peduli pada parpol yang akan  menjadi kendaraan politik meraih kursi. 

Dalam sistem politik demokrasi, hal ini mutlak terjadi. Pasalnya, penguasa yang terpilih dalam sistem ini merupakan orang anggota partai. Sementara, partai sendiri tidak mengeluarkan dana yang sedikit untuk memenangkan kontestasi pemilu. Hasilnya, penguasa yang berhasil meraih kursi kekuasaan berutang besar pada partai. Sebagai timbal baliknya, penguasa tentu saja harus berpihak kepada partai. 

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme ini telah menjadi penyebab utama terjadinya resesi. Resesi adalah suatu keadaan di saat ekonomi negara negatif dalam dua kuartal atau lebih secara berturut-turut. Resesi bisa membuat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena ekonomi tidak bergerak. Akibatnya, jumlah orang miskin akan bertambah, jumlah penganguran akan meningkat, dan daya beli masyarakat pun akan semakin melemah. 

Sistem ekonomi kapitalisme ini dibangun dari pondasi struktur ekonomi yang semu, yaitu sektor ekonomi yang non-riil, bukan sektor ekonomi yang sesungguhnya (sektor riil). Sektor non-riil ini dikembangkan oleh negara-negara kapitalis untuk melakukan investasi secara tidak langsung, yaitu melalui pasar modal dengan membeli saham-saham yang ada di pasar modal. Yang terjadi, nilai ekonomi non-riil, seperti transaksi di lantai bursa saham melebihi nilai transaksi barang dan jasa, sehingga sistem ekonomi ini sangat mungkin menjadikan ekonomi ini bisa meledak sewaktu-waktu. 

Di tengan kehidupan yang sulit saat ini, ditambah ancaman resesi global, umat benar-benar membutuhkan penguasa yang peduli dan mengurus kebutuhannya. Umat juga membutuhkan sistem politik-ekonomi yang menjamin kesejahteraan mereka. Jawabannya ada pada sistem Islam. 

Dalam Islam, seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, dan kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat atas amanah kepemiminannya itu.

Sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Imam adalah raain (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnnya.” (HR Bukhari) 

Kepemimpinan dalam Islam sendiri dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat, artinya seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Dia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta wajib memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

Dalam menjalankan tanggung jawabnya, seorang khalifah (pemimpin) akan merujuk pada politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam merupakan kebijakan negara yang fokus pada kesejahteraan setiap individu masyarakat, bukan sekadar kesejahteraan negara secara makro, yang tertulis dalam angka namun nyatanya banyak rakyat hidup miskin dan mati kelaparan. 

Dalam upaya menjamin kebutuhan primer setiap individu yang hidup di dalam sistem Islam, negara akan menempuh tiga strategi kebijakan. 

Pertama, Islam menetapkan tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok individu berupa sandang, pangan, dan papan kepada individu. Hal itu dilakukan dengan cara mewajibkan setiap pria yang baligh, berakal, dan mampu untuk bekerja. Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang halal seluas-luasnnya, juga membangun iklim kondusif untuk usaha dan investasi yang juga halal. 

Kedua, jika individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri serta orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli waris dan kerabatnya. 

Ketiga, jika dengan strategi kedua kebutuhan pokok belum juga terpenuhi, maka beban tersebut beralih pada negara. Artinya negara menanggungnya dengan menggunakan harta yang ada di kas baitul mal, termasuk harta zakat. Sementara untuk jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara memenuhinya secara langsung yang diambil dari harta baitul mal dari pos kepemilikan umum. 

Sistem ekonomi Islam memiliki pertahanan yang kuat dalam menghadapi resesi. Ada beberapa mekanisme yang akan dijalankan khilafah untuk menjaga kestabilan ekonomi.

Pertama, melarang penimbunan harta (kanzul mal) yang akan menarik perputaran uang di masyarakat, termasuk harta yang disimpan atau ditahan dalam berbagai bentuk surat berharga. 

Kedua, mengatur kepemilikan. Islam melarang privatisasi sehingga aset seperti sumber daya alam dalam deposit melimpah tidak boleh dikuasi korporasi. 

Ketiga, Islam menerapkan mata uang yang tidak palsu, yaitu mata uang berbasis emas dan perak. Ketika mata uang berganti, transaksi akan memiliki nilai yang sama antara peredaran jumlah uang dengan barang dan jasa. Sehingga ekonomi pun stabil dan produktif. 

Keempat, menghentikan transaksi ribawi yang menjadi pangkal masalah ini dan juga untung-untungan (spekulatif). 

Kelima, penerapan zakat mal dalam regulasi negara. Zakat mal akan digarap serius bukan untuk infrastruktur, melainkan disalurkan kepada delapan kelompok yang telah diatur dalam Islam. 

Hal inilah yang menjadi rahasia bagaimana Khilafah Islam mampu memiliki perekonomian yang kuat, produktif dan anti resesi selama 13 abad.

Oleh: Gusti Nurhizaziah 
Aktivis Muslimah


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab