Tinta Media: Pariwisata Halal
Tampilkan postingan dengan label Pariwisata Halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pariwisata Halal. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Agustus 2023

Ironi, Mengejar Pariwisata Halal, tetapi Melepas Sumber Daya Alam

Tinta Media - Beberapa saat yang lalu, Indonesia mendapatkan peringkat pertama dalam daftar destinasi halal terbaik dunia. Hal ini didasarkan pada laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 dari Mastercard dan CrescentRating. Pada posisi pertama ini, Indonesia berdampingan dengan Malaysia dengan perolehan skor yang sama, yaitu 73 dari skor maksimal 100. Sebelumnya, pada tahun 2019 Indonesia juga pernah menduduki peringkat pertama juga. Penilaian destinasi tersebut dilakukan berdasarkan empat kategori utama, yakni akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan (ACES) (Kompas.com 5/6/2023).

Berdasarkan data GMTI 2019, hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim (wislim) diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia. Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18%, dengan jumlah wisatawan muslim (wislim) mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp40 triliun (kominfo.go.id).

Secara umum, pelaksanaan wisata halal ini adalah bagian dari program pemerintah Indonesia dalam menggalakkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata. Pada tahun 2022, pendapatan devisa dari sektor pariwisata Indonesia mencapai US$4,26 miliar. Nilai tersebut telah melonjak hingga 769,39% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tercatat jumlah wisman yang datang ke dalam negeri ini sebesar 3,92 juta jiwa hingga Oktober 2022 (dataindonesia.id, 28/12/2022).

Wisata halal jika dilihat memang mampu menjadi alternatif pendapatan bagi negara, apalagi jika dilihat dari jumlah pendapatannya yang besar. Peluang ini tentu tidak akan dilepaskan oleh para kapitalis di sistem kapitalisme ini. Namun, jika kita lebih nendalami, ternyata ada pendapatan lain yang lebih besar, yaitu yang diperoleh dari sumber daya alam (SDA). 

Tapi sayangnya, sumber daya alam Indonesia saat ini tidak dikelola secara mandiri oleh pemerintah kita. Pemerintah Indonesia yang menerapkan sistem kapitalisme telah menyerahkan sumber daya alam kita kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, Chevron, Exxon Mobile, Shell, dan sebagainya. 

Akibatnya pemerintah Indonesia hanya mendapatkan sedikit dari royalti yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Sungguh amat miris. Di satu sisi, kita berusaha mendapatkan penghasilan dari berbagai upaya, termasuk dengan mengadakan pariwisata halal. Namun, di sisi lain kita menyerahkan sumber pendapatan kita yang besar dari sumber daya alam kepada perusahaan asing. 

Hal inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah memberikan kebebasan kepemilikan bagi siapa saja, sehingga sumber Daya alam yang seharusnya merupakan kepemilikan umum rakyat, diprivatisasi dan dijadikan sebagai milik personal semata. 

Adapun pemerintah dalam sistem kapitalisme ini hanya mengambil peran sebagai regulator semata. Sungguh amat miris, negeri yang kaya sumber daya alam, tetapi tidak benar-benar memilikinya.

Berbicara tentang pariwisata halal, maka bagaimana Islam memandang tentang pariwisata? Dalam Islam, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan ketakwaan pada individu rakyatnya. Maka, segala kebijakan yang dibuat didasarkan pada pandangan ini, termasuk dalam hal pariwisata. 

Dalam Islam, tidak ada pengelompokan wisata halal dan nonhalal. Semua objek wisata dalam Islam diperbolehkan dalam batasan-batasan sesuai dengan hukum syara'. Artinya, apa yang menjadi objek wisata tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah Swt. Objek wisata tersebut bisa berupa pemandangan alam seperti pantai, gunung, air terjun, dan juga berupa bangunan bersejarah Islam. Objek pariwisata ini diharapkan mampu meningkatkan akidah umat Islam dan juga sebagai sarana dakwah bagi nonmuslim. 

Pariwisata berupa pemandangan alam ini akan mendorong manusia untuk semakin dekat dengan Allah Swt. karena merasakan keagungan dan kebesaran-Nya. Adapun pariwisata berupa bangunan bersejarah Islam dapat menjadi sarana dakwah bagi nonmuslim, yaitu dengan melihat keagungan peradaban Islam. 

Mereka yang belum yakin akan Islam, akan bisa menyaksikan secara langsung peninggalan bersejarah dalam peradaban Islam. Bagi muslim sendiri, keberadaan bangunan peninggalan Islam ini diharapkan dapat semakin menambah keyakinan akan peradaban Islam yang agung. 

Inilah tujuan yang hendak diperoleh dari pariwisata dalam Islam, yaitu untuk penancapan akidah dan mendakwahkan Islam, nukan untuk mendapatkan penghasilan. 

Adapun pendapatan dalam Islam disimpan dalam baitul mal dan dibagi atas tiga bagian atau pos, yaitu pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos shadaqah. 

Sumber daya alam adalah penghasilan negara yang berada di pos pemilikan umum. Hasil dari pengelolaan sumber daya alam ini akan digunakan bagi kemaslahatan kaum muslimin, bukan untuk golongan, perusahaan, atau bahkan individu. Dengan penerapan sistem Islam kaffah, maka pengelolaan pariwisata akan tepat pada fungsinya, bukan semata untuk meraih keuntungan saja.

Oleh: Desi Maulia, S.K.M, Sahabat Tinta Media

Minggu, 11 Juni 2023

Pariwisata Halal Dielukan, Devisa Utama Dilupakan

Tinta Media - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sedang berbahagia atas prestasi Indonesia yang berhasil meraih posisi pertama Global Muslim Travel Index (GMTI) di Singapura sebagai surga wisata halal dunia. Peringkat Indonesia berangsur-angsur menaik. Sebelumnya, pada tahun 2021, Indonesia menempati peringkat keempat dan naik lagi pada 2022 menjadi peringkat kedua. 

Indonesia bersama Malaysia bering-iringan dalam mengejar posisi tertinggi. Pada 2019, Indonesia dan Malaysia pernah menempati bersama posisi pertama dan terulang lagi di 2023. Keduanya juga seri di posisi pertama dengan mengantongi skor 73 menyusul Arab Saudi di posisi ketiga dengan skor 72, kemudian UEA di skor 71, terakhir Turki yang meraih skor 70.

Menurut Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar, Indonesia mampu bangkit dari ketertinggalan skor sejak 2020. Inj mengisyaratkan hasil kerja keras Indonesia bangkit pascapandemi. (Republika.co.id (02/06/2023)

Sandiaga pun tak menduga Indonesia mampu mencapai titik puncak dalam GMTI. Dilansir dari katadata.co.id (03/06/2023), ia menargetkan Indonesia mampu meraih titik teratas di tahun 2025. Namun, ternyata Indonesia mampu menggapainya dua tahun sebelum tahun prediksi.

Wisata halal tak bisa dilepaskan dari program ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif sendiri mulai dikenal luas sejak terbitnya salah satu karya John Howkins yang berjudul The Creative Economy. Di Indoenesia, ekonomi kreatif  digadang-gadang menjadi angin segar devisa negara sejak masa pemerintahan presiden ke-enam, Susilo Bambang Yudhoyono dan berlangsung hingga kini.

Tak dapat dimungkiri, saat ini kebutuhan wisata menjadi salah satu pokok utama kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, wisata halal muncul demi memenuhi panggilan populasi muslim dunia, terkhusus Indonesia sebagai populasi muslim terbanyak di dunia. 

Wisata/pariwisata halal menitikberatkan dalam pemenuhan kebutuhan pariwisata keluarga-keluarga muslim secara syariah. Wisata halal bukan berarti membatasi pengunjungnya dari umat muslim saja, tetapi mencakup semua elemen masyarakat. Sebab, wisata halal memang sering kali disalahpahami oleh sebagian orang. 

Dikutip dari adira.co.id (16/08/2022), wisata halal secara umum merupakan layanan tambahan amenitas, atraksi, dan aksesibilitas yang ditujukan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan wisatawan muslim. 

Sementara, menurut Kementerian Agama (Kemenag), wisata halal merupakan pemberian fasilitas bagi wisatawan muslim untuk dapat menunaikan kewajiban syariatnya di lokasi wisata tersebut.

Menkeparekraf menaruh optimisme besar dalam peningkatan ekonomi melalui pariwisata halal ini. Dilansir dari katadata.co.id (03/06/2023), ia berharap bukan hanya berhenti pada pencapaian peringkat tertinggi, tetapi juga posisi tersebut dapat dipertahankan serta ditingkatkan sehingga mampu mencapai target 8,5 juta wisatawan yang ditopang oleh pariwisata halal dan wisatawan muslim. 

Pencapaian ini juga diharapkan mampu mengakselerasi target untuk membuka lapangan kerja sebesar 4,4 juta pada tahun 2024. Namun, apakah benar pariwisata halal mampu menopang pemasukan negara?

Sumber Strategis Devisa Negara

Euphoria pariwisata halal memang sangat menggiurkan dengan keuntungan yang sangat tinggi mengalihkan pandangan pemimpin negeri ini untuk menjadikannya sebagai sumber pemasukan negara. Siapa sangka, dikutip dari www.cnnindonesia.com (09/04/2019), pemerintah memperkirakan penerimaan devisa dari sektor pariwisata halal tahun ini mencapai US$5,5 miliar-US$10 miliar atau setara Rp77 triliun-Rp140 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat). 

Jumlah yang fantastis memang. Namun, di sisi lain pariwisata merupakan pemasukan yang tidak strategis alias labil. Maka dari itu, pariwisata justru menyebabkan pilar ekonomi menjadi rapuh. Tidakkah kita melihat bahwa Indonesia memiliki sumber devisa yang sangat strategis dan stabil? Ya, negeri khatulistiwa ini memiliki segudang potensi sumber daya alam (SDA) yang tak terkira nilainya, mulai dari hasil tambang, potensi laut, hutan, dan hasil bumi lainnya. 

Jelas sekali, untuk membangun negara yang mandiri dengan perekonomian yang tak rapuh, diperlukan juga devisa yang stabil. Negara tidak perlu mengais-ngais pemasukan dari sektor non-strategis untuk meningkatkan taraf hidup kurang lebih 26 juta warga Indonesia yang berada di garis kemiskinan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menempati jumlah energi dan hasil tambang serta cadangannya tertinggi. Indonesia memiliki 148,7 miliar ton batu bara, 72 juta ton nikel, 3,65 miliar ton bijih nikel, 28 juta ton tembaga, 800 ribu ton timah, 1,2 miliar ton bauksit, Logam Tanah Jarang (LTJ) yang belum tersentuh, dan masih banyak lagi.

Indonesia  juga sebagai negara maritim memiliki laut seluas 3.257.483 km² dengan 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 biota terumbu karang. Dari situ, Indonesia punya potensi ekonomi kelautan yang sangat melimpah. Hal ini didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 memperkirakan potensi ini bisa mencapai US$ 1338 miliar atau Rp19,6 triliun per tahun. Potensi hutan Indonesia juga tak kalah besar, dengan wilayah hutan seluas 128 juta ha. Tak terbayang potensi yang dikandung ibu pertiwi ini.

Sayang seribu sayang, sebagian besar bahkan hampir semua potensi luar biasa SDA Indonesia dikuasai oleh asing. Rakyat Indonesia bahkan perlu perjuangan demi sekadar mendapat cipratan dari kucuran derasnya air terjun keuntungan pengelolaan SDA. 

Samudra muara keuntungan pengelolaan SDA Indonesia masih di tangan asing. Perusahaan tambang emas-tembaga raksasa Amerika Serikat (AS) yang juga beroperasi di Indonesia, PT Freeport-McMoran Inc., mencatatkan pendapatan USS 22,78 miliar atau setara Rp341,70 triliun (asumsi kurs Rp15.000/USS) sepanjang tahun 2022. (Cnbcindonesia.com/07/02/2023). Ini sangat berbanding jauh dari keuntungan yang didapat dari sektor pariwisata. Padahal, Freeport telah beroperasi sejak masa orde baru.

Indonesia masih tersandera oleh sistem kapitalisme sehingga tidak dapat berdaulat secara sempurna, tidak mampu mengelola potensinya sendiri. Sehingga pemerintah beralih haluan demi keberlangsungan hidup warga negaranya.

Sumber Devisa Utama dan Pengelolaan SDA dalam Islam

Dalam pengaturan Islam, pariwisata tidak dijadikan sumber devisa negara yang notabene labil serta tidak strategis. Pariwisata hanya dijadikan uslub dakwah yaitu meningkatkan keimanan kaum muslimin dan menarik non-muslim kepada Islam dengan menunjukkan bahwa kekayaan alam maupun non-alam adalah bukti kebesaran Allah dan keagungan peradaban Islam.  Tidak ada dikotomi antara wisata halal maupun non-halal. Semua diatur dengan pengelolaan syar’i sesuai aturan Ilahi Sang Pencipta.

Sumber pemasukan utama negara terbagi menjadi 3 (tiga) pos, yaitu:

Pertama, pos kepemilikan negara. Pemasukan dari pos ini didapat dari segala hal milik negara yang keuntungannya  akan dikembalikan kepada umat, seperti pembiayaan jihad, infrastruktur, dan gaji pegawai. 

Kedua, pos kepemilikan umum. Yang termasuk pada kepemilikan umum adalah SDA yang dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan warga negara (muslim maupun non muslim), seperti kesehatan, keamanan, pendidikan, dan lain lain.

Ketiga, zakat, termasuk di dalamnya zakat fitrah, zakat mal, wakaf, shsdaqsh, dan infak. Zakat ini akan disalurkan kepada golongan khusus yang membutuhkan.

Pemaksimalan potensi negeri ini tidak akan dan tidak mungkin optimal selama masih dalam cengkeraman sistem kapitalisme yang merajakan pemilik modal. Hasilnya pun tidak akan dirasakan secara merata jika pengelolaannya masih dilakukan oleh swasta, bahkan asing. 

Islam memiliki aturan paripurna dari Sang Pencipta alam semesta. Keagungan-Nya meliputi seluruh sendi kehidupan. Sungguh hal yang keji, jika mengerdilkan peran Islam hanya pada hal ibadah mahdah saja. Kembalilah kepada-Nya secara kaffah, niscaya bahagia dan berkah dunia akhirat.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِى مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا۟ مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." (Q.S Saba’ : 15)

Oleh: Keysa Neva
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab