Ironi, Mengejar Pariwisata Halal, tetapi Melepas Sumber Daya Alam
Tinta Media - Beberapa saat yang lalu, Indonesia mendapatkan peringkat pertama dalam daftar destinasi halal terbaik dunia. Hal ini didasarkan pada laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 dari Mastercard dan CrescentRating. Pada posisi pertama ini, Indonesia berdampingan dengan Malaysia dengan perolehan skor yang sama, yaitu 73 dari skor maksimal 100. Sebelumnya, pada tahun 2019 Indonesia juga pernah menduduki peringkat pertama juga. Penilaian destinasi tersebut dilakukan berdasarkan empat kategori utama, yakni akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan (ACES) (Kompas.com 5/6/2023).
Berdasarkan data GMTI 2019, hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim (wislim) diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia. Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18%, dengan jumlah wisatawan muslim (wislim) mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp40 triliun (kominfo.go.id).
Secara umum, pelaksanaan wisata halal ini adalah bagian dari program pemerintah Indonesia dalam menggalakkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata. Pada tahun 2022, pendapatan devisa dari sektor pariwisata Indonesia mencapai US$4,26 miliar. Nilai tersebut telah melonjak hingga 769,39% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tercatat jumlah wisman yang datang ke dalam negeri ini sebesar 3,92 juta jiwa hingga Oktober 2022 (dataindonesia.id, 28/12/2022).
Wisata halal jika dilihat memang mampu menjadi alternatif pendapatan bagi negara, apalagi jika dilihat dari jumlah pendapatannya yang besar. Peluang ini tentu tidak akan dilepaskan oleh para kapitalis di sistem kapitalisme ini. Namun, jika kita lebih nendalami, ternyata ada pendapatan lain yang lebih besar, yaitu yang diperoleh dari sumber daya alam (SDA).
Tapi sayangnya, sumber daya alam Indonesia saat ini tidak dikelola secara mandiri oleh pemerintah kita. Pemerintah Indonesia yang menerapkan sistem kapitalisme telah menyerahkan sumber daya alam kita kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, Chevron, Exxon Mobile, Shell, dan sebagainya.
Akibatnya pemerintah Indonesia hanya mendapatkan sedikit dari royalti yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Sungguh amat miris. Di satu sisi, kita berusaha mendapatkan penghasilan dari berbagai upaya, termasuk dengan mengadakan pariwisata halal. Namun, di sisi lain kita menyerahkan sumber pendapatan kita yang besar dari sumber daya alam kepada perusahaan asing.
Hal inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah memberikan kebebasan kepemilikan bagi siapa saja, sehingga sumber Daya alam yang seharusnya merupakan kepemilikan umum rakyat, diprivatisasi dan dijadikan sebagai milik personal semata.
Adapun pemerintah dalam sistem kapitalisme ini hanya mengambil peran sebagai regulator semata. Sungguh amat miris, negeri yang kaya sumber daya alam, tetapi tidak benar-benar memilikinya.
Berbicara tentang pariwisata halal, maka bagaimana Islam memandang tentang pariwisata? Dalam Islam, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan ketakwaan pada individu rakyatnya. Maka, segala kebijakan yang dibuat didasarkan pada pandangan ini, termasuk dalam hal pariwisata.
Dalam Islam, tidak ada pengelompokan wisata halal dan nonhalal. Semua objek wisata dalam Islam diperbolehkan dalam batasan-batasan sesuai dengan hukum syara'. Artinya, apa yang menjadi objek wisata tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah Swt. Objek wisata tersebut bisa berupa pemandangan alam seperti pantai, gunung, air terjun, dan juga berupa bangunan bersejarah Islam. Objek pariwisata ini diharapkan mampu meningkatkan akidah umat Islam dan juga sebagai sarana dakwah bagi nonmuslim.
Pariwisata berupa pemandangan alam ini akan mendorong manusia untuk semakin dekat dengan Allah Swt. karena merasakan keagungan dan kebesaran-Nya. Adapun pariwisata berupa bangunan bersejarah Islam dapat menjadi sarana dakwah bagi nonmuslim, yaitu dengan melihat keagungan peradaban Islam.
Mereka yang belum yakin akan Islam, akan bisa menyaksikan secara langsung peninggalan bersejarah dalam peradaban Islam. Bagi muslim sendiri, keberadaan bangunan peninggalan Islam ini diharapkan dapat semakin menambah keyakinan akan peradaban Islam yang agung.
Inilah tujuan yang hendak diperoleh dari pariwisata dalam Islam, yaitu untuk penancapan akidah dan mendakwahkan Islam, nukan untuk mendapatkan penghasilan.
Adapun pendapatan dalam Islam disimpan dalam baitul mal dan dibagi atas tiga bagian atau pos, yaitu pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos shadaqah.
Sumber daya alam adalah penghasilan negara yang berada di pos pemilikan umum. Hasil dari pengelolaan sumber daya alam ini akan digunakan bagi kemaslahatan kaum muslimin, bukan untuk golongan, perusahaan, atau bahkan individu. Dengan penerapan sistem Islam kaffah, maka pengelolaan pariwisata akan tepat pada fungsinya, bukan semata untuk meraih keuntungan saja.
Oleh: Desi Maulia, S.K.M, Sahabat Tinta Media