Tinta Media - Rakyat Papua terus-menerus dirundung masalah. Kemiskinan menjadi makanan sehari-hari. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Papua pada Maret 2022 mencapai 922,12 ribu orang. Angka ini setara dengan 26,56% dari total penduduk di provinsi tersebut. Sama seperti tahun sebelumnya, persentase kemiskinan di Papua menjadi yang tertinggi dari seluruh provinsi lainnya. Angkanya pun jauh di atas persentase kemiskinan nasional yang tercatat 9,54% pada periode sama. (katadata.co.id)
Bahkan, saat ini Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura, Papua menetapkan situasi tanggap darurat bencana selama 21 hari akibat gempa berskala 5,4 magnitudo, Kamis (9/2) sore WIT. Di saat-saat seperti ini, KKB pun kembali melakukan teror. Pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens masih belum bisa dievakuasi usai pesawat yang dipimpinnya dibakar dan disandera KKB Eginaus Kogoya di Nduga, Papua Pegunungan.
Beruntungnya, polisi memastikan sang pilot masih hidup. Papua saat ini ibarat berada dalam kubangan lumpur hitam, karena kegelapan yang menyelimutinya di setiap lini kehidupan. Tidak ada kedamaian, kesejahteraan, dan keamanan. Sungguh sangat mengenaskan nasib rakyat Papua. (CNN.Indonesia)
Padahal, tambang emas di Papua merupakan yang terbesar dengan luas mencapai 229.893,75 ha. Tambang emas tersebut menyebar di enam kabupaten, yakni Pegunungan Bintang, Keerom, Nabire, Dogiyai, Mimika dan Paniai. Sayangnya, emas Papua dikelola oleh PT. Freeport yang merupakan perusahaan raksasa Amerika Serikat.
Selain emas, Papua juga merupakan daerah yang kaya akan bahan tambang lain, seperti batu bara, pasir kaolin, besi, batu kapur, minyak bumi, tembaga, dan gas alam. Belum lagi potensi pariwisata dengan pulau-pulau di Raja Ampat, keindahan bawah laut yang telah mendunia. Juga masih banyak potensi laut, flora dan faunanya, dan budaya Papua yang sangat khas dan etnik.
Namun, rakyat papua tidak merasakan manfaatnya akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan oleh negara ini. Karenanya, pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki Papua diberikan pada swasta dan asing. Alhasil, Papua menjadi salah satu daerah yang miskin sekaligus muncul sumber konflik (KKB) yang merupakan bentuk pemberontakan rakyat Papua akibat ketimpangan sosial.
Sejatinya, Papua hanya merupakan satu gambaran dari sekian banyak dampak ketidaksejahteraan negeri yang kaya sumber daya alam ini akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang serakah. Tentunya, hal ini menjadi jalan para oligarki menguasai kekayaan alamnya.
Bagaimana tidak, UU Minerba, di dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pengganti UU Minerba, menjelaskan bahwa pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan mendapat perlakuan istimewa berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Padahal selama ini royalti yang ditetapkan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan termasuk pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.
Sangat jelas, melalui UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal dalam UU Cipta Kerja, pemerintah pusat bersama dengan segelintir konglomerat pengusaha tambang sangat bernafsu untuk mengikis habis sumber daya alam yang masih tersisa di Indonesia.
Bukannya menjaga lingkungan hidup dari bencana kerusakan ekologis, pemerintah malah semakin bersemangat untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa mempedulikan nasib dan masa depan masyarakat daerah tambang. Padahal, ketika pengelolaan sumber daya alam ini dilaksanakan oleh pemerintah, maka sangat dimungkinkan akan surplus, bukan defisit atau punya utang ribuan triliun seperti saat ini.
Surplus anggaran ini tentu akan terjadi jika pemerintah peduli terhadap rakyatnya sehingga bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan kesehatan dan pendidikan gratis. Namun, saat penguasa kita menerapkan sistem kapitalisme sekuler, maka hal itu seperti mimpi di siang bolong.
Bukan hanya Papua, sejatinya umat hidup dalam nestapa sejak lama. Namun, persoalan tersebut tak kunjung usai. Negara seolah abai karena tidak berlaku sebagai rain/pemimpin, yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas semua pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya, sebagaimana kisah Umar bin Khattab yang takut ada keledai terperosok karena jalanan yang rusak.
Demikianlah seharusnya pemimpin yang didamba saat ini, bukan pemimpin yang membiarkan rakyatnya kelaparan di tengah lumbung padi kekayaan alam yang melimpah, membiarkan rakyatnya dalam keadaan tertekan bahkan terancam jiwanya karena penanganan konflik KKB yang tak serius. Bukan juga pemimpin yang membiarkan rakyatnya mendapatkan bencana karena kemaksiatan berjamaah yang dia lakukan atas tidak diberlakukannya syariat Islam secara totalitas.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ar Rum Ayat 41,
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah Swt. merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Penerapan UU Minerba merupakan satu dari sekian banyak hukum Allah yang dicampakkan dalam mengurusi urusan umat. Dalam Islam, jelas sekali bahwa sumber daya alam merupakan bagian dari kepemilikan umum. Pengelolaannya haram diserahkan kepada swasta atau asing. Sebaliknya, SDA itu harus dikelola oleh negara, dan hasilnya dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Karena itu, persoalan Papua sungguh kompleks, apalagi ada campur tangan dunia internasional, yang justru melanggengkan konflik. Dalam naungan Islam, persoalan akan terselesaikan. Rakyat akan sejahtera dengan pengelolaan SDA sesuai sistem Islam, sehingga emas yang berlimpah, dan kekayaan alam Papua lainnya akan menjadi sumber pendapatan melimpah untuk rakyat Papua dan seluruh rakyat negeri ini. Dengan begitu, rakyat akan terbebas dari kemiskinan dengan adanya jaminan pemenuhan sandang, pangan, papan, layanan kesehatan, pendidikan serta keamanan oleh negara.
Penguasa dalam sistem Islam bertindak sebagai rain, pelayan umat, yang amanah karena takutnya saat yaumil hisab kelak, sehingga akan memastikan bahwa warganya individu per individu benar-benar terjamin dan terpenuhi hak-hak dasarnya tanpa diskriminasi.
Selain itu, pelaksanaan sanksi bagi pelaku bughat yang tegas akan menghilangkan upaya disintegrasi. Menurut Imam Syafi’i, sanksi yang akan diterima karena perbuatan bughat dibedakan menjadi dua, yakni berdasarkan status apakah dia muslim atau tidak.
Jika seorang atau sekelompok muslim melakukan bughat, maka ia akan diperangi dan tetap diberi hak-hak mereka sebagai muslim. Sedangkan apabila pelaku bughat adalah kafir, maka akan diperangi tanpa ampun. Sebab bughat adalah bentuk makar yang akan merongrong keamanan negara. Karena itu, memeranginya adalah keniscayaan jika negara memang telah mengurusnya dengan baik.
Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, menutup celah adanya intervensi asing. Maka, khilafah dengan politik luar negerinya akan memilah dan memilih mana negara yang boleh diajak kerja sama dan tidak. Sebab, syariat melarang khilafah untuk bekerja sama dengan negara kafir harbi yang sangat jelas memusuhi dan selalu mencari celah untuk menjatuhkan. Islam. Karenanya, sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam, yang mulia dan memuliakan manusia. Allahu a’lam bis-shawwab.
Oleh: Ummu Syakira
Aktivis Dakwah Muslimah