Sabtu, 16 November 2024
Rabu, 13 November 2024
Menggugat Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Keamanan Obat dan Pangan
Tinta Media - Terhitung 73 jenis jajanan berasal dari Cina ditarik dari pasaran oleh BPOM. Terjadinya penarikan ini dikarenakan laporan kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) yang terjadi di 7 wilayah di Indonesia. Wonosobo, Pamekasan, Bandung Barat, Sukabumi, Tangerang Selatan, Riau, dan Lampung, itulah wilayah yang terdampak KLBKP. Mirisnya, yang menjadi korban keracunan pangan ini adalah anak-anak sekolah dasar.
Taruna Ikrar, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa pihaknya menerima laporan terkait keracunan yang diduga imbas dari konsumsi jajanan La Tiao. Jajanan ini berbahan dasar tepung, dengan rasa pedas gurih, bertekstur kenyal. Jajanan jenis ini terdaftar di BPOM sebagai produk impor dari Cina.
Karena laporan tersebut, BPOM melakukan uji laboratorium, dan terdeteksi mengandung bakteri Bacillus cereus. Bakteri tersebut terdeteksi di 4 jenis jajanan La Tiao. Yang terdampak bakteri tersebut akan merasakan gejala seperti sesak napas, mual, muntah, hingga diare.
Kasus keracunan makanan yang menimpa banyak siswa mengingatkan kita akan kasus gagal ginjal akut karena obat yang mengandung zat berbahaya beberapa tahun lalu. Hal ini menunjukkan lemahnya jaminan keamanan pangan dan obat.
Memastikan keamanan pangan dan obat yang beredar adalah tanggung jawab negara, termasuk produk yang berasal dari luar negeri. Namun, dalam negara yang menjalankan sistem sekuler kapitalis, hal ini bisa terabaikan, mengingat peran negara bukan sebagai pengurus rakyat.
Inilah buah dari sistem kapitalis. Negara berasas pada ideologi kapitalisme sekuler, tidak berasaskan syariat Islam. Negara bukan hanya lemah menangani problematika rakyat. Pemerintah sering menjadi pemeran utama dalam berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan berkolaborasi dengan oligarki, memfasilitasi untuk menekan pihak yang lemah, dengan berbagai kebijakan dan UU yang merugikan rakyat dan menguntungkan para oligarki.
Seperti fakta di dua periode masa pemerintahan kemarin yang baru lengser, keran impor dibuka lebar-lebar. Inilah pemicu maraknya jajanan impor. Alih-alih berinovasi, kebijakan impor malah jadi solusi instan mengatasi stok pangan dalam negeri.
Kejadian KLBKP ini menjadi bukti kelalaian pemerintah. Lemahnya pengawasan dan tidak adanya antisipasi akan kejadian seperti ini disebabkan karena aturan mereka tidak berlandaskan pada paradigma aturan agama. Standar mereka bukan halal dan haram, atau thayyib dan tidak thayyibnya suatu makanan. Akan tetapi, acuan mereka hanya materi, berfokus pada percepatan ekonomi.
Lain halnya dengan sistem Islam, yang memiliki mafhum ra’awiyah dalam semua urusan, termasuk dalam obat dan pangan, baik dalam produksi maupun peredaran. Prinsip halal dan thayyib akan menjadi panduan negara dalam memastikan keamanan pangan dan obat. Negara Islam memiliki berbagai mekanisme dalam memastikan keamanan pangan dan obat, di antaranya dengan adanya Kadi Hisbah.
Kadi Hisbah berperan sebagai pengontrol ketertiban umum dan mengawasi perdagangan serta peredaran produk di pasaran di wilayah seorang Kadi Hisbah bertugas. Jika terjadi satu kecurangan, seperti produk haram masuk ke wilayah tempat Kadi Hisbah bertugas, maka akan dijatuhkan sanksi sesuai aturan saat itu juga, misalnya dengan dimusnahkannya produk haram tersebut.
Sistem Islam akan menyatukan pengaturan urusan kehidupan dengan sisi ruhiyah. Keduniawian selalu lekat dengan keakhiratan. Kepemimpinan adalah amanah yang memiliki fungsi pelindung (junnah) dan pengurusan (riayah) untuk rakyatnya.
Dalam Islam, kepemimpinan sepaket dengan semua aturan yang dijalankan. Tidak bisa dimungkiri bahwa aturan Islam begitu sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan sebagainya. Problem ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah kelangkaan suatu barang, tetapi sejatinya persoalan dari pendistribusian kekayaan. Maka, jika pelaksanaannya secara sempurna, sudah bisa dipastikan keberkahan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, termasuk alam semesta akan terwujud. Wallahualam bishawab.
Oleh: Yuli Yana Nurhasanah, Sahabat Tinta Media
Jumat, 06 September 2024
Ketahanan Pangan Nasional, Sudahkah Terwujud?
Selasa, 03 September 2024
Ketahanan Pangan dan Harga Diri Bangsa
Minggu, 21 Juli 2024
Mekanisme Islam dalam Mewujudkan Harga Pangan yang Stabil
Tinta Media - Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperpanjang lagi relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) gula konsumsi yang naik dari Rp15.500 per kg menjadi Rp17.500 per kg. Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menyampaikan pertimbangan utama terjadinya relaksasi HAP gula konsumsi saat ini adalah tingginya harga gula konsumsi atau sekitar Rp18.000 per kg di pasar. Walau demikian Ketut menuliskan bahwa kenaikan harga gula tersebut belum tentu dinikmati oleh petani tebu selama musim giling pada Mei-September 2024. Maka dari itu peningkatan HAP menjadi Rp17.500 dinilai perlu agar gula konsumsi besutan petani lokal dapat diserap ujarnya.
Tidak gula, relaksasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau Minyakita rencana akan dinaikkan dari Rp14.000 per liter menjadi Rp15.700 per liter. Menteri perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan alasan relaksasi HET Minyakita menjadi Rp15.700 karena HET Rp14.000 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan harga biaya pokok produksi yang terus mengalami perubahan.
Sebagaimana yang kita ketahui, HET dan HAP adalah batas harga tertinggi yang diperbolehkan untuk barang-barang yang dijual secara eceran kepada masyarakat sebagai konsumen akhir. Sedangkan minyak dan gula merupakan bagian dari sembako yang banyak digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sangat disayangkan, kebijakan pemerintah mengenai harga bahan pangan justru menjadikan masyarakat sulit mengakses bahan pokok tersebut. Apalagi ekonomi masyarakat hari ini semakin sulit, seperti maraknya PHK, daya beli masyarakat rendah dan lain sebagainya, sehingga membuat hidup rakyat makin sengsara.
Padahal penguasa seharusnya bekerja sebagai pengurus umat yang memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Artinya, pemerintah seharusnya bekerja dengan membuat mekanisme khusus yang memudahkan masyarakat dalam mengakses kebutuhan pokok tersebut. Namun, dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi hari ini, hal tersebut mustahil untuk diwujudkan. Sebab, sistem ekonomi kapitalisme sendiri telah melegalkan liberalisasi di seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk sektor pertanian dan perdagangan.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak Indonesia menandatangani perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), liberalisasi pertanian di negeri ini semakin kuat. Konsep liberalisasi menjadikan negara harus menyerahkan urusan pangan negeri ini kepada pihak korporasi swasta, mulai dari sektor hulu hingga hilir.
Hal inilah yang menjadikan pemerintah akhirnya semakin berlepas tangan dan lemah dalam mengawasi produksi hingga masalah distribusi pangan. Kebijakan pertanian pangan pun akhirnya semakin menjauh dari keberpihakan pada rakyat dan petani lokal. Sebaliknya, negara malah lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan asing. Alhasil, ketahanan dan kedaulatan pangan justru makin bergantung pada impor dan korporasi swasta.
Liberalisasi pertanian juga menjadikan pemerintah terus mengurangi subsidi pertanian. Hal ini mengakibatkan petani terus menurunkan jumlah produksinya. Bahkan sedikit demi sedikit petani mengalami kebangkrutan. Sementara petani yang masih bertahan tidak mampu dalam menaikkan level produksinya.
Penetapan HET dan HAP yang terus direlaksasi oleh pemerintah merupakan buah dari liberalisasi pertanian. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan HET dan HAP seolah tidak ada artinya. Justru kebijakan ini hanya sebagai mekanisme tambal sulam kapitalisme yang pada dasarnya hanya untuk mengamankan konsumen sebagai pangsa pasar dari para korporasi kapitalis, bukan untuk bersungguh-sungguh melindungi rakyat.
Islam memiliki paradigma berbeda dalam mengatur masalah pangan dan pertanian. Sehingga dengan paradigma ini mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat termasuk dalam hal jaminan stabilitas harga. Jaminan ini berlandaskan politik ekonomi Islam yang memang tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Berdasarkan hadis tersebut, maka negara wajib bertanggung jawab secara penuh terhadap pengaturan urusan pangan rakyatnya. Sehingga fungsi negara bukan hanya sekedar regulator bagi kelancaran bisnis pangan. Islam menjadikan negara wajib hadir dengan sejumlah konsep sahih yang memungkinkan tiap individu masyarakat mengakses kebutuhannya dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau.
Mewujudkan kedaulatan pangan menjadi hal yang mutlak melalui beberapa langkah yang didasarkan pada syariat Islam. Untuk meningkatkan produksi, dapat dilakukan dengan penerapan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang terbaik. Yakni, para petani diberikan fasilitas untuk mengakses bibit terbaik, peralatan yang canggih dan teknik pertanian terbaru. Sedangkan negara harus membangun infrastruktur pertanian, jalan hingga komunikasi, sehingga arus distribusi menjadi lancar.
Sedangkan pada aspek ekstensifikasi yaitu dengan meningkatkan luasan lahan pertanian. Negara akan menerapkan hukum pertanian yang berlandaskan syariat Islam. Seperti tidak boleh membiarkan tanah tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari 3 tahun berturut-turut. Negara juga dapat memberikan tanah milik negara sebagai pemberian (iqtha’) kepada siapa saja dari individu rakyat yang mampu mengelolanya.
Adapun dari aspek stabilisasi harga, maka bukan dengan cara penetapan harga tertinggi, melainkan dengan memberikan jaminan harga yang stabil dengan cara-cara Islami yang tentunya tidak merusak mekanisme alami supply and demand. Pertama, dengan cara menghilangkan penyimpangan mekanisme pasar, seperti praktik penimbunan, kartel dan sebagainya. Kedua, dengan menjaga keseimbangan supply and demand. Yakni, dengan menyuplai cadangan pangan milik negara atau mendatangkan dari daerah lain, bahkan mengimpor dari luar negeri ke pasar. Yang mana kebijakan ini berada dalam kewenangan negara sepenuhnya, dengan tetap memperhatikan kemaslahatan rakyat dan para petani. Selain itu, juga wajib mewujudkan negara yang mandiri dan tidak terikat dengan ikatan dan perjanjian internasional apa pun yang hanya merugikan rakyat. Penerapan seluruh prinsip sahih ini akan mampu memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokoknya termasuk pangan.
Wallahu’alam
Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah
Kamis, 11 Juli 2024
Ketahanan Pangan, Mustahil dalam Sistem Demokrasi
Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung, melalui Dinas Pertahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) provinsi Jawa Barat menggelar acara Gerakan Pangan Murah (GPM) di Desa Cibiru Wetan. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperingati hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2024 tingkat Kabupaten Bandung. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat. Ini merupakan bentuk hadirnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan dan produk berkualitas di tengah masyarakat.
Kita memahami bahwa manusia membutuhkan makanan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, masyarakat di negeri yang memiliki sumber daya alam berlimpah ini justru dalam keadaan memprihatinkan. Harga-harga kebutuhan hidup semakin naik, membuat rakyat semakin terimpit dan tercekik. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit Mirisnya, tak jarang pula terjadi pencurian dan penjambretan dengan motif ekonomi (urusan perut).
Seharusnya, urusan sandang, pangan, dan papan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Namun, karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang Islam, mereka tidak menyadari dan menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban masing-masing individu.
Memang betul, setiap kepala keluarga seharusnya berusaha memenuhi kebutuhan keluarga atau yang menjadi tanggungannya dengan cara bekerja. Namun, faktanya lapangan pekerjaan pun sempit dan sulit didapatkan.
Berbagai bentuk program dan kebijakan pemerintah memang terlihat bagus dan memberi solusi. Namun, di sisi lain, masyarakat sering kali menjadi korban akibat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh segelintir orang.
Program arang murah belum tentu mendarat pada mereka yang berhak mendapatkannya secara merata. Ada saja oknum yang mengambil kesempatan dengan membeli/memborong barang murah untuk ditimbun, kemudian dijual kembali. Itulah kebijakan-kebijakan yang justru menimbulkan masalah baru dan berulang dari program satu ke program lainnya.
Sejatinya, paradigma kapitalisme itulah sumber masalah dari ketimpangan dan keterpurukan pangan yang terjadi. Jika akar masalah tersebut tidak diselesaikan, maka sampai kapan pun rakyat akan terus dizalimi oleh sistem yang kapitalistik ini.
Paradigma kapitalisme memang meniscayakan ketahanan pangan. Adanya monopoli harga pasar sangat memustahilkan keberpihakan pada rakyat. Yang ada justru rakyat dijadikan sebagai lahan bisnis yang selalu dipermainkan oleh para kartel. Itu karena yang berkuasa adalah pengusaha, bukan penguasa (negara).
Peran negara hanya sebagai regulator saja sehingga tidak bisa berkutik jika ada masalah di tengah-tengah masyarakat. Itulah akibat dari mekanisme pasar yang diserahkan pada pihak swasta.
Jadi, gerakan pangan murah sejatinya bukan solusi mendasar, tetapi hanya solusi pragmatis. Hal ini karena akar masalah yang sebenarnya adalah sistem kapitalisme liberal. Sistem ini menjadikan rakyat sebagai sasaran bisnis belaka.
Pada dasarnya, penguasa hanya pembebek, sedangkan oligarki adalah yang mengatur. Kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai sasaran bisnis untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk diurus dan diayomi. Alhasil, rakyat akan menjadi tumbal selamanya selagi negara disetir dan dikendalikan oleh para pemilik modal.
Jadi, sudah seharusnya kita tinggalkan sistem kufur demokrasi ini dan mengambil Islam sebagai solusi hakiki. Aqidah Islam sebagai landasan untuk melakukan segala perbuatan akan melahirkan manusia yang mempunyai kepribadian Islam sehingga perbuatannya sesuai dengan syariat Islam.
Dalam pandangan Islam, pangan adalah kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi oleh negara secara mutlak sebagai bentuk peri'ayahan terhadap rakyat. Khilafah adalah institusi negara independen yang mampu berdiri sendiri, serta mampu menjaga kestabilan dan ketahanan pangan. Khalifah merupakan pemimpin negara yang wajib meri'ayah rakyat dengan baik.
Rasulullah saw. menegaskan,
“Imam (khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Negara Islam betul-betul akan memprioritaskan dan membuat kebijakan terkait tata kelola lahan pertanian secara optimal. Tidak boleh ada tanah mati yang dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengurus. Jika ada tanah yang tidak diurus, maka seorang khalifah bebas memberikan kepada siapa saja yang punya keahlian untuk mengurus lahan tersebut. Jika tidak punya biaya atau modal untuk mengelola lahan, maka khalifah akan memberikan bantuan modal kepada yang mau mengurus lahan tersebut dengan memberikan peralatan, pupuk, dan juga bibit unggul secara cuma-cuma (gratis).
Dari segi hukum, sanksi tegas dalam Islam akan memberikan rasa takut kepada individu yang akan melakukan kecurangan dan penipuan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa diminimalisir.
Walhasil, dengan mengganti paradigma kapitalisme menjadi paradigma Islam, maka ketahanan dan kestabilan harga pangan akan terwujud. Rakyat pun akan sejahtera dan makmur. Begitulah indahnya Islam jika diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dalam naungan khilafah Islam. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Dartem, Sahabat Tinta Media