Tinta Media: Pangan
Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2024

Negara Lalai Jamin Keamanan Pangan


Tinta Media - Kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) yang diduga disebabkan oleh snack impor asal Cina yaitu La Tio menimpa beberapa wilayah di Indonesia. La Tio adalah snack yang berbahan dasar tepung dan memiliki rasa pedas gurih juga tekstur yang kenyal. Snack seperti ini tak heran banyak digemari oleh konsumen khususnya anak-anak (detik.com 01/11/24).

Namun, karena La Tio dikabarkan beracun, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) segera menarik produk ini dari pasaran. BPOM juga mengambil langkah cepat dengan menguji laboratorium produk La Tio ini. Dari hasil pengujiannya, ditemukan kontaminasi bakteri bacillus cereus. Salah satu indikasi terserang bakteri ini ialah adanya gejala sakit perut, mual, juga pusing. Memang, dampak bakterinya tak begitu fatal. Namun, jika yang terinveksi bakteri ini adalah orang yang memiliki imun lemah, maka dapat mengakibatkan kondisi  fatal dan serius.

Kondisi ini hampir sama dengan kejadian 2 tahun lalu, ketika ratusan anak mengidap gagal ginjal akut. Prasangka kejadian itu diakibatkan oleh obat sirup yang mengandung bahan kimia dengan kadar melebihi batas. Ada 324 korban dengan 27 orang dirawat dan 195 meninggal dunia. Meskipun setelah itu BPOM mencabut izin edar obat ini, tetapi karena kelalaiannya masyarakat menjadi sengsara.

Tak Ada Jaminan Pangan

Negara kapitalisme memang tidak pernah tulus melayani rakyat. Mereka hanya bergairah ketika melayani para pemilik modal dan pihak-pihak yang memberikan manfaat. Sehingga, untuk persoalan keamanan pangan dan obat yang sangat krusial bagi masyarakat, mereka enggan mengurusinya.

Seharusnya, keadaan ini menjadi pukulan keras bagi dinas kesehatan dan BPOM karena produk-produk berbahaya dapat lolos dari pengawasan mereka. Kejadian ini juga menandakan bahwa produk-produk dalam masyarakat tidak terfilterisasi dengan selektif. Ini juga menunjukkan bahwa mereka abai dengan kinerja yang tidak totalitas dan sepenuh hati.

Pemeliharaan dalam Islam 

Hal seperti ini tidak mungkin didapati dalam negara Islam. Negara Islam memahami betul akan kewajibannya dalam mengurusi rakyat. Rakyat tidak mungkin terlantar. Dalam Islam, ada mekanisme khusus yang mengatur persoalan pangan. Salah satunya ialah pangan yang diedarkan ke masyarakat harus memenuhi standar halal dan thayib. Dengan standar inilah negara Islam mampu menjamin masyarakatnya untuk mengonsumsi pangan dan obat yang halal.

Negara juga melakukan beberapa langkah untuk menerapkan standar ini di antaranya:

Pertama, mengatur regulasi industri. Regulasi dalam memproduksi makanan mengatur bahwa makanan yang diproduksi dan diedarkan kepda masyarakat harus yang sudah memenuhi standar halal dan thayyib.

Kedua, ketika terjadi perdagangan di pasar, ada pihak yang menjadi pengawas, yaitu qadhi hisbah. Qadhi hisbah berkeliling di pasar untuk mengawasi apakah barang yang diperdagangkan sudah memenuhi standar atau belum.

Ketiga, negara juga memberi edukasi kepada masyarakat agar berhati-hati dan meneliti terlebih dahulu ketika mengonsumsi makanan, tidak boleh sembarangan. 

Keempat, negara akan memberikan sanksi tegas kepada pelaku yang melanggar standar pangan. 

Ini adalah bukti bahwa kehidupan aman dan nyaman hanya bisa didapatkan jika berada dalam naungan Islam. Waalhua’lam bisshawab.


Oleh: Fatimah Nurul Jannah 
(Aktivis Dakwah)

Rabu, 13 November 2024

Menggugat Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Keamanan Obat dan Pangan

Tinta Media - Terhitung 73 jenis jajanan berasal dari Cina ditarik dari pasaran oleh BPOM. Terjadinya penarikan ini dikarenakan laporan kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) yang terjadi di 7 wilayah di Indonesia. Wonosobo, Pamekasan, Bandung Barat, Sukabumi, Tangerang Selatan, Riau, dan Lampung, itulah wilayah yang terdampak KLBKP. Mirisnya, yang menjadi korban keracunan pangan ini adalah anak-anak sekolah dasar.

Taruna Ikrar, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa pihaknya menerima laporan terkait keracunan yang diduga imbas dari konsumsi jajanan La Tiao. Jajanan ini berbahan dasar tepung, dengan rasa pedas gurih, bertekstur kenyal. Jajanan jenis ini terdaftar di BPOM sebagai produk impor dari Cina.

Karena laporan tersebut, BPOM melakukan uji laboratorium, dan terdeteksi mengandung bakteri Bacillus cereus. Bakteri tersebut terdeteksi di 4 jenis jajanan La Tiao. Yang terdampak bakteri tersebut akan merasakan gejala seperti sesak napas, mual, muntah, hingga diare.

Kasus keracunan makanan yang menimpa banyak siswa mengingatkan kita akan kasus gagal ginjal akut karena obat yang mengandung zat berbahaya beberapa tahun lalu. Hal ini menunjukkan lemahnya jaminan keamanan pangan dan obat.

Memastikan keamanan pangan dan obat yang beredar adalah tanggung jawab negara, termasuk produk yang berasal dari luar negeri. Namun, dalam negara yang menjalankan sistem sekuler kapitalis, hal ini bisa terabaikan, mengingat peran negara bukan sebagai pengurus rakyat.

Inilah buah dari sistem kapitalis. Negara berasas pada ideologi kapitalisme sekuler, tidak berasaskan syariat Islam. Negara bukan hanya lemah menangani problematika rakyat. Pemerintah sering menjadi pemeran utama dalam berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan berkolaborasi dengan oligarki, memfasilitasi untuk menekan pihak yang lemah, dengan berbagai kebijakan dan UU yang merugikan rakyat dan menguntungkan para oligarki.

Seperti fakta di dua periode masa pemerintahan kemarin yang baru lengser, keran impor dibuka lebar-lebar. Inilah pemicu maraknya jajanan impor. Alih-alih berinovasi, kebijakan impor malah jadi solusi instan mengatasi stok pangan dalam negeri.

Kejadian KLBKP ini menjadi bukti kelalaian pemerintah. Lemahnya pengawasan dan tidak adanya antisipasi akan kejadian seperti ini disebabkan karena aturan mereka tidak berlandaskan pada paradigma aturan agama. Standar mereka bukan halal dan haram, atau thayyib dan tidak thayyibnya suatu makanan. Akan tetapi, acuan mereka hanya materi, berfokus pada percepatan ekonomi.

Lain halnya dengan sistem Islam, yang memiliki mafhum ra’awiyah dalam semua urusan, termasuk dalam obat dan pangan, baik dalam produksi maupun peredaran. Prinsip halal dan thayyib akan menjadi panduan negara dalam memastikan keamanan pangan dan obat. Negara Islam memiliki berbagai mekanisme dalam memastikan keamanan pangan dan obat, di antaranya dengan adanya Kadi Hisbah.

Kadi Hisbah berperan sebagai pengontrol ketertiban umum dan mengawasi perdagangan serta peredaran produk di pasaran di wilayah seorang Kadi Hisbah bertugas. Jika terjadi satu kecurangan, seperti produk haram masuk ke wilayah tempat Kadi Hisbah bertugas, maka akan dijatuhkan sanksi sesuai aturan saat itu juga, misalnya dengan dimusnahkannya produk haram tersebut.

Sistem Islam akan menyatukan pengaturan urusan kehidupan dengan sisi ruhiyah. Keduniawian selalu lekat dengan keakhiratan. Kepemimpinan adalah amanah yang memiliki fungsi pelindung (junnah) dan pengurusan (riayah) untuk rakyatnya.

Dalam Islam, kepemimpinan sepaket dengan semua aturan yang dijalankan. Tidak bisa dimungkiri bahwa aturan Islam begitu sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan sebagainya. Problem ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah kelangkaan suatu barang, tetapi sejatinya persoalan dari pendistribusian kekayaan. Maka, jika pelaksanaannya secara sempurna, sudah bisa dipastikan keberkahan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, termasuk alam semesta akan terwujud. Wallahualam bishawab.

Oleh: Yuli Yana Nurhasanah, Sahabat Tinta Media

Jumat, 06 September 2024

Ketahanan Pangan Nasional, Sudahkah Terwujud?



Tinta Media - Suatu negara harus memiliki ketahanan pangan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga terlahir masyarakat yang kuat dan sehat. Ketahanan pangan ini memiliki unsur-unsur tertentu, yakni pangan yang aman, merata, terjangkau, beragam, dan bergizi. Tentunya, pangan tersebut harus mencukupi, baik jumlah maupun mutunya. 

Apakah negeri kita saat ini telah memenuhi unsur-unsur ketahanan pangan tersebut? Hal ini dilihat dari keadaan atau kondisi masyarakat secara umum, baik di perkotaan maupun pedesaan. Sudah sesuaikah harapan dalam menciptakan ketahanan pangan di negeri ini atau hanya sekadar ilusi saja?

Dilansir dari mediaindonesia.com, 16/8/2024, Rencana Anggaran Pendapatan Negara (RAPBN) 2025 tidak mencerminkan keseriusan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini disampaikan oleh pengamat Pertanian Syaiful Bahari, yakni nominal anggaran ketahanan pangan yang dipaparkan Presiden Joko Widodo di dalam RAPBN sebesar Rp124,4 triliun tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional. 

Alokasi dana negara tersebut diarahkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan, perbaikan rantai distribusi hasil pertanian, serta meningkatkan akses pembiayaan bagi petani. Syaiful menilai, dari pengalokasian anggaran itu, tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk memperbaiki produktivitas pertanian mulai dari hulu sampai hilir.

Padahal, di lapangan, yang terjadi justru masih banyak petani yang kesulitan dalam memenuhi produktivitas yang baik. Penopang atau dukungan untuk pelaksanaan hasil pertanian yang berkualitas tidak diperoleh dengan mudah. Seperti bantuan sarana berupa alat-alat produksi pertanian, bibit unggul yang terjangkau dan berkualitas, dan pertolongan infrastruktur pertanian. 

Suatu produk pertanian bisa berkualitas dan ditingkatkan lagi jika sebelumnya diperbaiki kondisinya. Peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud jika perbaikan produktivitas pertanian dilakukan. Bukankah ketahanan pangan nasional harus memenuhi unsur-unsur produk yang merata, terjangkau, aman, beragam, dan bergizi? 

Jangan dilupakan juga edukasi terkait produktivitas pertanian untuk para petani, sehingga mereka berupaya untuk terus berinovasi dengan pemikirannya agar mendapatkan hasil yang beragam, berkualitas, dan aman. 

Saat ini, justru kaum muda mulai meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian. Mereka merasa bahwa hasil pertanian tidak menjanjikan untuk masa depan. Apalagi persaingan produk lokal dan impor yang terus bergulir, sementara produk impor inilah yang disukai masyarakat karena dirasa lebih berkualitas, aman, dan terjangkau.

Minimnya dukungan berupa bantuan terhadap petani menandakan kebijakan yang diambil tidak menguatkan perbaikan dalam ketahanan pangan. Padahal, saat ini petani sangat menantikan bantuan nyata dari negara berupa penyediaan bibit dan pupuk yang berkualitas baik dan terjangkau. 

Faktanya, yang terjadi kini para petani kesulitan dalam pemenuhan pangan yang baik. Akibatnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat, negara mengambil jalan dengan impor dari negara lain yang memiliki waktu panen cepat dengan kualitas yang bagus.

Fakta ini menunjukkan bahwa negara tidak mengusahakan adanya perbaikan regulasi dalam produktivitas pertanian, sehingga tidak menghasilkan pangan yang sesuai dengan unsur-unsur ketahanan pangan yang dibutuhkan masyarakat, baik kalangan rumah tangga maupun negara. 

Ketahanan pangan ini berkorelasi dengan kedaulatan negara. Jika ketahanan pangan baik, maka kedaulatan negara terjaga. Sayangnya, yang terjadi kini, negara tidak memiliki komitmen kuat dalam membentuknya. Ini tterlihat dari kebijakan yang ditetapkan.

Seyogianya, kemelut ini dapat ditarik benang merahnya. Bagaimana negara berusaha untuk menghasilkan produk pangan yang kualitas dan waktu panennya bisa bersaing dengan negara lain. Karena itu, harus ada perbaikan nyata agar negara mampu menunjukkan kedaulatannya dengan memiliki ketahanan pangan nasional yang kuat. 

Janganlah terua-menerus menggantungkan kekurangan pangan negeri ini dengan mengambil jalan impor tanpa memberikan dukungan positif bagi dunia pertanian negeri ini agar bangkit dan menghasilkan pangan berkualitas baik.

Ketahanan Pangan Dalam Islam

Islam mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka menciptakan kekuatan dan kedaulatan negara, serta mengokohkan posisi Islam  sebagai negara adidaya. 

Negara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sistem Ekonomi politik Islam mampu mewujudkan ketahanan pangan berikut kesejahteraan rakyatnya. Peran negara sebagai pengurus umat (rakyat) menjadikannya berperan utama mengurus dan mengelola rakyat, sesuai dengan hadis dari Muslim dan Ahmad. 

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”

Negara langsung berperan dalam kepengurusan dan pengelolaan pangan ini. Ia akan mengurus ketahanan pangan dari hulu sampai hilir. Negara memastikan produksi pertanian dapat terpenuhi dari dalam negeri guna mendorong produktivitas pangan yang dihasilkan oleh para petani. 

Negara juga mendorong dan menyediakan semua industri pertanian dengan proyek-proyek pertanian dan infrastrukturnya sehingga tercipta kualitas pangan yang terjamin dan beragam, mampu bersaing dengan produksi dari luar negeri.

Negara memiliki dua metode kebijakan pertanian dalam rangka meningkatkan hasil dan keragaman produk pertanian, yakni:

Pertama, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan.

Kedua, menambah luas area pertanian sebagai suatu metode ekstensifikasi, dibantu dengan metode intensifikasi.

Metode pertama dilakukan dengan cara memberikan modal dalam bentuk hibah (pinjaman) kepada para petani yang tidak mampu menyediakan sarana pendukung produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan ini diterapkan dengan jalan penggunaan mesin-mesin pertanian yang modern dan canggih, pemanfaatan obat-obatan mutakhir, dan menyediakan benih serta bibit berkualitas tinggi. 

Di sini, negara mendorong para petani yang mampu untuk membeli perlengkapan dan bahan-bahan tersebut. Inilah bentuk upaya negara memfasilitasi para petani agar menghasilkan produk dengan kualitas terjamin dan beragam.

Metode peningkatan produktivitas lahan pertanian ini dilaksanakan dengan mendukung berbagai usaha untuk menghidupkan dan mengelola lahan mati. Negara harus memberikan tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan dengan baik atau tanah-tanah yang ditelantarkan kepada para petani yang mampu bekerja, tetapi tidak memiliki lahan atau hanya memiliki tanah yang sempit dan dari tanah-tanah  yang berada di bawah kekuasaan negara. Tanah-tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama kurun tiga tahun berturut-turut harus diserahkan kepada negara, kemudian diberikan kepada yang mau memanfaatkan.

Metode kedua, yakni perluasan lahan pertanian baru (metode ekstensifikasi) dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian; membuka daerah pertanian yang belum dimanfaatkan, membuka persawahan pasang surut, dan membuka hutan, semak belukar, serta daerah sekitar rawa-rawa. 

Ekstensifikasi ini membutuhkan bantuan dari metode lain, yaitu intensifikasi berupa penggunaan benih berkualitas, pemupukan, dan pengelolaan tanah, perlindungan hama dan penyakit, penggunaan teknologi pertanian, diversifikasi pertanian. Jikalau swasta terlibat dalam intensifikasi pertanian, dipastikan mereka hanya terlibat sebatas teknis dengan pengawasan ketat dari pengelola negara.

Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian ini harus diiringi dengan industri pertanian yang mampu mengakomodasi program pertanian. Mesin-mesin modern pendukung pertanian ini sangat membantu menghasilkan produk yang berkualitas baik. Proyek-proyek infrastruktur, seperti pembangunan bendungan saluran air dan sebagainya sangat diperlukan untuk menyokong peningkatan produktivitas tersebut. 

Selain produksi pangan, negara juga memastikan pengawasan dalam distribusi pangan sehingga merata dan terjangkau oleh semua daerah di dalam negeri. 

Kebijakan impor tidak menjadi prioritas dalam Islam. Ini dilakukan jika keadaan darurat seperti paceklik atau kondisi lainnya saat ketersediaan pangan dalam negeri tidak memenuhi konsumsi rakyat. 

Negara sebagai raa’in (pengurus umat) akan menetapkan kebijakan yang menguatkan ketahanan pangan, bahkan juga kedaulatan pangan. Negara memastikan ketersediaan berbagai sarana pendukung ketahanan pangan, sehingga petani terlindungi dan optimal dalam produksi. Berbagai upaya ketahanan pangan sebagai wujud kedaulatan negara tersebut hanya dapat diterapkan oleh negara Islam yang mengaplikasikan seluruh aturan untuk umat secara menyeluruh. Wallahu’alam bishawab.



Oleh: Ageng Kartika 
(Pemerhati Sosial)

Selasa, 03 September 2024

Ketahanan Pangan dan Harga Diri Bangsa


Tinta Media - Ketahanan pangan erat kaitannya dengan harga diri suatu bangsa. Negara yang memiliki ketahanan pangan kuat tidak akan bergantung pada negara lain. Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan salah satu indikator kekuatan suatu bangsa.

Sejalan dengan hal tersebut, FAO menyebutkan bahwa ketahanan pangan memiliki 4 komponen, yakni kecukupan ketersediaan bahan pangan, stabilitas ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas terhadap bahan pangan, dan kualitas bahan pangan yang digunakan (babelprov.go.id).

Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah memiliki berbagai macam potensi, seperti hutan, laut, tambang, dan lain-lain. Selain itu, kondisi tanah yang subur menjadi berkah tersendiri, khususnya dalam bidang pertanian dan perkebunan. 

Berikut adalah hasil pertanian dan perkebunan di Indonesia, mulai dari beras, jagung, sagu, kentang, ubi jalar, kina, kopi, cengkeh, kakao, kacang-kacangan, bawang merah, kayu manis, kelapa sawit, karet, dan lain-lain. Dengan demikian, seharusnya Indonesia tidak perlu risau dengan masalah ketahanan pangan. 

Ironisnya, dalam beberapa dekade terakhir pemerintah justru menerapkan kebijakan impor bahan pangan dengan dalih untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan impor bahan pangan berdampak sangat serius bagi masa depan negara, seperti ketergantungan terhadap negara lain, pelemahan produksi lokal, ketidakstabilan harga pangan, dan dampak yang sangat serius bagi kehidupan petani lokal.

Hal ini mengakibatkan persaingan yang tidak seimbang, penurunan pendapatan petani, dan keberlanjutan usaha pertanian menjadi terancam. Dengan demikian, kebijakan impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah justru memiliki dampak yang kompleks terhadap ketahanan pangan nasional dan keberlanjutan sektor pertanian lokal (djpb.kemenkeu.go.id, 14/08/2024).

Kondisi tersebut tidak lain karena sistem negara yang diterapkan berbasis pada kapitalisme. Tidak heran jika sumber daya alam yang dimiliki negeri ini hanya dijadikan sebagai alat tukar kekuasaan. 

Sebagai negara agraris, sudah sepatutnya Indonesia memiliki kedaulatan pangan sendiri sehingga tidak lagi khawatir terhadap masalah ketahanan pangan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, harus ada tindakan nyata yang dilakukan. Islam sebagai agama sekaligus ideologi memiliki solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Dalam sistem ekonomi Islam, ada ketentuan khusus yang mengatur kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan kepemilikan, serta distribusi kekayaan. Pada aspek kepemilikan, Islam membaginya kedalam tiga kategori, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. 

Adapun sesuatu yang boleh dimiliki oleh individu adalah barang-barang yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Sedangkan barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, padang rumput, dan api merupakan kepemilikan umum. Demikian halnya dengan kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak negara.

Mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hak milik, Islam membolehkan pengembangan harta melalui jual beli, sewa-menyewa, usaha pertanian, syirkah, atau mendirikan suatu industri. Namun, pengembangan harta dengan cara judi, riba, dan penipuan dalam bentuk apa pun adalah cara-cara yang diharamkan dalam Islam.

Selain itu, Islam memiliki metode tersendiri dalam mendistribusikan kekayaan, yakni melalui pewajiban zakat dan pembagiannya kepada orang-orang yang berhak. Selain itu, negara memberi hak kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkan harta milik umum (padang rumput, air, dan api). Negara juga akan memberikan harta kepada seseorang melalui baitul mal. 

Selain itu, seseorang bisa mendapatkan harta melalui jalan waris. Islam akan mengawal proses pendistribusian kekayaan dengan cara mengharamkan penimbunan barang, penimbunan uang dan emas, serta mencela sifat kikir dan bakhil.

Dengan demikian, apabila hukum Islam diterapkan, maka Indonesia dengan segenap sumber daya alam yang dimiliki akan mampu menjaga ketahanan pangan nasional. Kedaulatan pangan yang dimiliki akan menjadikan Indonesia sebagai negara super power.





Oleh: Ade Farkah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 21 Juli 2024

Mekanisme Islam dalam Mewujudkan Harga Pangan yang Stabil

Tinta Media - Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperpanjang lagi relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) gula konsumsi yang naik dari Rp15.500 per kg menjadi Rp17.500 per kg. Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menyampaikan pertimbangan utama terjadinya relaksasi HAP gula konsumsi saat ini adalah tingginya harga gula konsumsi atau sekitar Rp18.000 per kg di pasar. Walau demikian Ketut menuliskan bahwa kenaikan harga gula tersebut belum tentu dinikmati oleh petani tebu selama musim giling pada Mei-September 2024. Maka dari itu peningkatan HAP menjadi Rp17.500 dinilai perlu agar gula konsumsi besutan petani lokal dapat diserap ujarnya.

Tidak gula, relaksasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau Minyakita rencana akan dinaikkan dari Rp14.000 per liter menjadi Rp15.700 per liter. Menteri perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan alasan relaksasi HET Minyakita menjadi Rp15.700 karena HET Rp14.000 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan harga biaya pokok produksi yang terus mengalami perubahan.

Sebagaimana yang kita ketahui, HET dan HAP adalah batas harga tertinggi yang diperbolehkan untuk barang-barang yang dijual secara eceran kepada masyarakat sebagai konsumen akhir. Sedangkan minyak dan gula merupakan bagian dari sembako yang banyak digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sangat disayangkan, kebijakan pemerintah mengenai harga bahan pangan justru menjadikan masyarakat sulit mengakses bahan pokok tersebut. Apalagi ekonomi masyarakat hari ini semakin sulit, seperti maraknya PHK, daya beli masyarakat rendah dan lain sebagainya, sehingga membuat hidup rakyat makin sengsara.

Padahal penguasa seharusnya bekerja sebagai pengurus umat yang memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Artinya, pemerintah seharusnya bekerja dengan membuat mekanisme khusus yang memudahkan masyarakat dalam mengakses kebutuhan pokok tersebut. Namun, dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi hari ini, hal tersebut mustahil untuk diwujudkan. Sebab, sistem ekonomi kapitalisme sendiri telah melegalkan liberalisasi di seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk sektor pertanian dan perdagangan.

Sebagaimana diketahui bahwa sejak Indonesia menandatangani perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), liberalisasi pertanian di negeri ini semakin kuat. Konsep liberalisasi menjadikan negara harus menyerahkan urusan pangan negeri ini kepada pihak korporasi swasta, mulai dari sektor hulu hingga hilir.

Hal inilah yang menjadikan pemerintah akhirnya semakin berlepas tangan dan lemah dalam mengawasi produksi hingga masalah distribusi pangan. Kebijakan pertanian pangan pun akhirnya semakin menjauh dari keberpihakan pada rakyat dan petani lokal. Sebaliknya, negara malah lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan asing. Alhasil, ketahanan dan kedaulatan pangan justru makin bergantung pada impor dan korporasi swasta.

Liberalisasi pertanian juga menjadikan pemerintah terus mengurangi subsidi pertanian. Hal ini mengakibatkan petani terus menurunkan jumlah produksinya. Bahkan sedikit demi sedikit petani mengalami kebangkrutan. Sementara petani yang masih bertahan tidak mampu dalam menaikkan level produksinya.

Penetapan HET dan HAP yang terus direlaksasi oleh pemerintah merupakan buah dari liberalisasi pertanian. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan HET dan HAP seolah tidak ada artinya. Justru kebijakan ini hanya sebagai mekanisme tambal sulam kapitalisme yang pada dasarnya hanya untuk mengamankan konsumen sebagai pangsa pasar dari para korporasi kapitalis, bukan untuk bersungguh-sungguh melindungi rakyat.

Islam memiliki paradigma berbeda dalam mengatur masalah pangan dan pertanian. Sehingga dengan paradigma ini mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat termasuk dalam hal jaminan stabilitas harga. Jaminan ini berlandaskan politik ekonomi Islam yang memang tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Berdasarkan hadis tersebut, maka negara wajib bertanggung jawab secara penuh terhadap pengaturan urusan pangan rakyatnya. Sehingga fungsi negara bukan hanya sekedar regulator bagi kelancaran bisnis pangan. Islam menjadikan negara wajib hadir dengan sejumlah konsep sahih yang memungkinkan tiap individu masyarakat mengakses kebutuhannya dengan mudah dan dengan harga yang terjangkau.

Mewujudkan kedaulatan pangan menjadi hal yang mutlak melalui beberapa langkah yang didasarkan pada syariat Islam. Untuk meningkatkan produksi, dapat dilakukan dengan penerapan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang terbaik. Yakni, para petani diberikan fasilitas untuk mengakses bibit terbaik, peralatan yang canggih dan teknik pertanian terbaru. Sedangkan negara harus membangun infrastruktur pertanian, jalan hingga komunikasi, sehingga arus distribusi menjadi lancar.

Sedangkan pada aspek ekstensifikasi yaitu dengan meningkatkan luasan lahan pertanian. Negara akan menerapkan hukum pertanian yang berlandaskan syariat Islam. Seperti tidak boleh membiarkan tanah tidak dikelola oleh pemiliknya selama lebih dari 3 tahun berturut-turut. Negara juga dapat memberikan tanah milik negara sebagai pemberian (iqtha’) kepada siapa saja dari individu rakyat yang mampu mengelolanya.

Adapun dari aspek stabilisasi harga, maka bukan dengan cara penetapan harga tertinggi, melainkan dengan memberikan jaminan harga yang stabil dengan cara-cara Islami yang tentunya tidak merusak mekanisme alami supply and demand. Pertama, dengan cara menghilangkan penyimpangan mekanisme pasar, seperti praktik penimbunan, kartel dan sebagainya. Kedua, dengan menjaga keseimbangan supply and demand. Yakni, dengan menyuplai cadangan pangan milik negara atau mendatangkan dari daerah lain, bahkan mengimpor dari luar negeri ke pasar. Yang mana kebijakan ini berada dalam kewenangan negara sepenuhnya, dengan tetap memperhatikan kemaslahatan rakyat dan para petani. Selain itu, juga wajib mewujudkan negara yang mandiri dan tidak terikat dengan ikatan dan perjanjian internasional apa pun yang hanya merugikan rakyat. Penerapan seluruh prinsip sahih ini akan mampu memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokoknya termasuk pangan.

Wallahu’alam

Oleh: Gusti Nurhizaziah, Aktivis Muslimah

Kamis, 11 Juli 2024

Ketahanan Pangan, Mustahil dalam Sistem Demokrasi

Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung, melalui Dinas Pertahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) provinsi Jawa Barat menggelar acara Gerakan Pangan Murah (GPM) di Desa Cibiru Wetan. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperingati hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2024 tingkat Kabupaten Bandung. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat. Ini merupakan bentuk hadirnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan dan produk berkualitas di tengah masyarakat.

Kita memahami bahwa manusia membutuhkan makanan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, masyarakat di negeri yang memiliki sumber daya alam berlimpah ini justru dalam keadaan memprihatinkan. Harga-harga kebutuhan hidup semakin naik, membuat rakyat semakin terimpit dan tercekik. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit Mirisnya, tak jarang pula terjadi pencurian dan penjambretan dengan motif ekonomi (urusan perut).

Seharusnya, urusan sandang, pangan, dan papan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Namun, karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang Islam, mereka tidak menyadari dan menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban masing-masing individu.

Memang betul, setiap kepala keluarga seharusnya berusaha memenuhi kebutuhan keluarga atau yang menjadi tanggungannya dengan cara bekerja. Namun, faktanya lapangan pekerjaan pun sempit dan sulit didapatkan.

Berbagai bentuk program dan kebijakan pemerintah memang terlihat bagus dan memberi solusi. Namun, di sisi lain, masyarakat sering kali menjadi korban akibat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh segelintir orang.

Program  arang murah belum tentu mendarat pada mereka yang berhak mendapatkannya secara merata. Ada saja oknum yang mengambil kesempatan dengan membeli/memborong barang murah untuk ditimbun, kemudian dijual kembali. Itulah kebijakan-kebijakan yang justru menimbulkan masalah baru dan berulang dari program satu ke program lainnya.

Sejatinya, paradigma kapitalisme itulah sumber masalah dari ketimpangan dan keterpurukan pangan yang terjadi. Jika akar masalah tersebut tidak diselesaikan, maka sampai kapan pun rakyat akan terus  dizalimi oleh sistem yang kapitalistik ini.

Paradigma kapitalisme memang meniscayakan ketahanan pangan. Adanya monopoli harga pasar sangat memustahilkan keberpihakan pada rakyat. Yang ada justru rakyat dijadikan sebagai lahan bisnis yang selalu dipermainkan oleh para kartel. Itu karena yang berkuasa adalah pengusaha, bukan penguasa (negara).

Peran negara hanya sebagai regulator saja sehingga tidak bisa berkutik jika ada masalah di tengah-tengah masyarakat. Itulah akibat dari mekanisme pasar yang diserahkan pada pihak swasta.

Jadi, gerakan pangan murah sejatinya bukan solusi mendasar, tetapi hanya solusi pragmatis. Hal ini karena akar masalah yang sebenarnya adalah sistem kapitalisme liberal. Sistem ini menjadikan rakyat sebagai sasaran bisnis belaka.

Pada dasarnya, penguasa hanya pembebek, sedangkan oligarki adalah yang  mengatur.  Kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai sasaran bisnis untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk diurus dan diayomi. Alhasil, rakyat akan menjadi tumbal selamanya selagi negara disetir dan dikendalikan oleh para pemilik modal.

Jadi, sudah seharusnya kita tinggalkan sistem kufur demokrasi ini dan mengambil Islam sebagai solusi hakiki. Aqidah Islam sebagai landasan untuk melakukan segala perbuatan akan melahirkan manusia yang mempunyai kepribadian Islam sehingga perbuatannya sesuai dengan syariat Islam.

Dalam pandangan Islam, pangan adalah kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi oleh negara secara mutlak sebagai bentuk peri'ayahan terhadap rakyat. Khilafah adalah institusi  negara independen yang mampu berdiri sendiri, serta mampu menjaga kestabilan dan ketahanan pangan. Khalifah merupakan pemimpin negara yang wajib meri'ayah rakyat dengan baik.

Rasulullah saw. menegaskan,

“Imam (khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Negara Islam betul-betul akan memprioritaskan dan membuat kebijakan terkait tata kelola lahan pertanian secara optimal. Tidak boleh ada tanah mati yang dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengurus. Jika ada tanah yang tidak diurus, maka seorang khalifah bebas memberikan kepada siapa saja yang punya keahlian untuk mengurus lahan tersebut. Jika tidak punya biaya atau modal untuk mengelola lahan, maka khalifah akan memberikan bantuan modal kepada yang mau mengurus lahan tersebut dengan memberikan peralatan, pupuk, dan juga bibit unggul secara cuma-cuma (gratis).

Dari segi hukum, sanksi tegas dalam Islam akan memberikan rasa takut kepada individu yang akan melakukan kecurangan dan penipuan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa diminimalisir.

Walhasil, dengan mengganti paradigma kapitalisme menjadi paradigma Islam, maka ketahanan dan kestabilan harga pangan akan terwujud. Rakyat pun akan sejahtera dan makmur. Begitulah indahnya Islam jika diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dalam naungan khilafah Islam. Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem, Sahabat Tinta Media

Rabu, 03 April 2024

Gerakan Pangan Murah, Solusi Pragmatis ala Kapitalis

Tinta Media - Dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga pangan, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (Dispakan) Kabupaten Bandung menggelar Gerakan Pangan Murah di komplek Buahbatu Centrum Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten  Bandung, Selasa (19/03/2024).

Ir. Ina Dewi Kania selaku Kepala Dispakan menyampaikan bahwa program ini merupakan upaya pemerintah Kabupaten Bandung sesuai instruksi Bupati Bandung Dadang Supriatna untuk memastikan ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga pangan dalam rangka pengendalian inflasi daerah. Dari program tersebut, diharapkan masyarakat dapat berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga yang terjangkau. Produk yang digelar pada Gerakan Pangan Murah kali ini adalah kebutuhan pokok, seperti beras, telur, sayuran, gula merah, dan gula pasir.

Sejatinya, kenaikan berbagai harga pangan saat ini tidak terlepas dari persoalan politis. Seharusnya kita bisa  mengevaluasi konsep tata kelola ekonomi yang bercorak kapitalistik neoliberal di negeri ini. Faktanya, sistem inilah yang menyebabkan tingginya harga pangan. 

Negara berlepas tangan dalam mengurusi urusan masyarakat dan hanya berfungsi sebagai regulator untuk swasta yang seluruh orientasi berdasarkan profit semata, untuk mendapatkan keuntungan melimpah tanpa memedulikan beban rakyat yang semakin bertambah berat.

Sementara, pengusaha diuntungkan dengan berbagai regulasi yang diterapkan. Alih-alih mengatur agar rakyat mendapatkan haknya, yang terjadi justru pemerintahan demokrasi berkongkalikong dengan korporasi. Pada akhirnya, lahirlah para mafia pangan yang menguasai hulu hingga hilir persoalan pangan, mulai dari penguasaan lahan hingga penjualan retail. Alhasil, lapangan pekerjaan semakin susah untuk didapatkan. Jikapun masyarakat memiliki pekerjaan, mereka digaji dengan upah yang minim, sedangkan harga kebutuhan kian mahal.

Oleh karena itu, berharap harga pangan murah dengan adanya gerakan pangan murah bagai mimpi pada siang bolong. Sebab, pemerintah telah nyata gagal dalam menyelesaikan permasalahan harga pangan yang murah. 

Seharusnya negara mengantisipasi kenaikan harga. Sayangnya, ini mustahil terwujud dalam sistem kapitalisme karena negara hanya sebagai regulator atau pengatur kebijakan, bukan pengurus rakyat

Kendali negara ada di tangan para korporat dan oligarki. Negara memberi ruang sebebas-bebasnya bagi para pemilik modal untuk menguasai segala sektor, termasuk sektor pangan dan pertanian. Ini menunjukkan betapa abainya penguasa dalam sistem kapitalisme.

Sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Rasulullah saw. bersabda,

"Imam adalah raa'in bagi rakyatnya dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Ahmad dan Bukhari).

Dalam sistem Islam, pemimpin adalah pelayan, pengurus segala urusan rakyat. Pemenuhan kebutuhan rakyat bukan dihitung secara kolektif, melainkan secara individu per individu. 

Para penguasa berupaya dengan segenap cara untuk meriayah (mengurusi) rakyat karena jika tidak, maka mereka sudah berbuat zalim.

Islam memiliki mekanisme agar harga pangan dapat stabil dan terjangkau. Ini tertuang dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. Harga ditentukan oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand). Jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, tetapi permintaan sedikit, maka harga akan turun. Sebaliknya, jika barang yang ditawarkan sedikit sedangkan permintaannya banyak, maka harga akan naik. Dengan demikian, harga mengikuti hukum pasar yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan barang yang seimbang, bukan dengan mematok harga sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa kapitalis saat ini.

Adapun beberapa kebijakan penguasa dalam sistem Islam untuk membuat harga tetap stabil, antara lain:

Pertama, bila penawaran dan permintaan barang berkurang sehingga mengakibatkan harga-harga naik, maka ketersediaan barang diseimbangkan dengan menyuplai barang dari wilayah lain.

Kedua, jika ketersediaan di dalam negeri tidak mencukupi, maka dibolehkan impor barang, dengan syarat dilakukan secara temporer sampai harga barang stabil. Namun, impor tidak boleh dari negara kafir serta bukan komoditas haram.

Ketiga, jika ada penimbunan dan kartel barang, maka dapat dijatuhkan sanksi ta'zir.

Keempat, penjagaan standar mata uang, yaitu dengan emas dan perak. Negara tidak boleh menambah jumlah uang yang beredar karena dapat menyebabkan nilai nominal mata uang yang sudah ada menjadi jatuh. Negara juga akan memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tidak terjadi inflasi yang menyebabkan harga barang naik.

Demikianlah, upaya yang dilakukan negara dalam sistem Islam. Untuk itu, sudah saatnya umat beralih penerapan Islam secara sistematik sebagai satu-satunya solusi untuk menghadapi segala permasalahan yang muncul. Wallahu'alam bishshawab.

Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 16 Maret 2024

Harga Pangan Naik, Tradisi Buruk Setiap Jelang Ramadhan



Tinta Media - Menarik napas akhir-akhir ini terasa berat mengetahui harga-harga bahan pangan saat berbelanja di pasar.  Harga sayuran, bumbu dapur, telur, daging ayam, apalagi beras naik semua. Kegembiraan datangnya bulan suci Ramadan terkikis oleh kenyataan naiknya harga semua bahan pangan, tetapi pendapatan tetap. 

Bagaimana bisa memenuhi kecukupan gizi keluarga kalau uang yang ada hanya cukup untuk membeli beras dan sayur tanpa sumber protein? Jelang Ramadan rupanya bukan hanya ada tradisi nyadran, berziarah kubur, tetapi harga pangan naik pun jadi tradisi?  Sungguh tradisi buruk yang tidak diharapkan.

Dilansir dari Pikiran Rakyat (28/2/24),  Pemerintah Kabupaten Bandung mengakui selalu terjadi kenaikan harga Kebutuhan Pokok Masyarakat (Kepokmas)  menjelang bulan Ramadan. Untuk itu, Pemkab Bandung telah melakukan langkah-langkah pengendalian harga Kepokmas. 

Langkah-langkah tersebut antara lain melakukan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait seperti Bulog, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin), dan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (Dispangtan)  Kab. Bandung. Selain itu, mengadakan monitoring harga Kepokmas secara berkala dan mengadakan Operasi Pasar Murah (OPM).

OPM sedang gencar dilakukan oleh Bulog dan Dispangtan dengan memasarkan beras kemasan 5 kg dalam program Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP)  atau  Gerakan Pangan Murah (GPM),  serta Bantuan Pangan bagi kelompok rentan (pendapatan rendah), seperti tukang ojek, guru ngaji, dan budayawan.  

Ada pertanyaan yang menggelitik, mengapa orang yang mendapat bantuan harus dipilah-pilah? Bukankah setiap warga negara merasakan akibat kenaikan harga ini? Profesi lain pun terdampak dan terpuruk, seperti bidan, guru, ASN, dan lain-lain.

Begitulah kebijakan dalam sistem yang diterapkan di negeri ini. Solusi atas masalah hanya bersifat praktis dengan manfaat sesaat. Ibarat orang sakit nyeri sendi, hanya diberi obat pereda sakit saja, hanya mengobati gejalanya, bukan menumpas akar masalah. Maka, bila obat habis, akan terasa sakit lagi.

Kebijakan operasi pasar murah dll. pun tidak menyelesaikan masalah, hanya memberi hiburan sesaat agar rakyat tidak protes, seakan-akan penguasa perhatian pada mereka. Kebijakan seperti itu tidak menyentuh akar masalah.

Emilda Tanjung, M.Si. seorang Pengamat Kebijakan Publik menyatakan bahwa akar masalah naiknya harga bahan pangan yang berulang tiap menjelang Ramadan adalah dalam pengelolaan pangan.  

Pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme dilakukan oleh pihak swasta yang berorientasi pada keuntungan, bukan oleh pemerintah. Pemerintah saat ini hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Sedang pihak swasta yang memiliki modal besar, bertindak sebagai operator, pelaksana dengan kewenangan mengatur pengelolaan pangan mulai dari produksi, distribusi, sampai konsumsi.
 
Selama pengelolaan pangan dilakukan oleh swasta, maka rakyat akan menderita karena swasta tidak mengenal konsep meriayah ( mengurus, melayani ) rakyat. Yang ada, rakyat adalah target pasar bagi produknya. Bisnis ini harus menguntungkan bagi pengusaha.  Maka, dengan kewenangan dari hulu sampai hilir di tangan swasta, harga pangan tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah sekali pun. 

Berbeda dengan sistem Islam dalam naungan khilafah saat mengelola pangan. Pengelolaan pangan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Maka, pengelolaan pangan dikendalikan sepenuhnya oleh negara, bukan swasta. 

Negara mempunyai kendali di semua tahap pengelolaan pangan, mulai dari pendataan jumlah penduduk dan kebutuhan pangannya, produksi pangan apa yang diutamakan serta jumlahnya, sistem distribusi pangan yang menyeluruh ke seluruh negeri, sampai tahap konsumsi berupa kemudahan bagi rakyat untuk mendapatkan bahan pangan dengan harga yang stabil dan terjangkau. 

Paradigma pemerintah dalam sistem Islam adalah meriayah umat, mengurus urusan umat, dan melayani kebutuhannya karena Allah. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. 

"Ketahuilah, setiap dari kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR Al Bukhari).

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media

Minggu, 10 Maret 2024

Laju Inflasi Pangan di Atas Rata-Rata Kenaikan Upah Minimum, Bukti Pemerintah Salah Urus Negara!



Tinta Media - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menilai Pemerintah Joko Widodo selama ini telah salah urus dalam mengelola Negara. Kemiskinan tetap jadi masalah utama di Indonesia, akibat daya beli masyarakat yang rendah. Di sektor ketenagakerjaan, kebijakan politik upah murah yang diterapkan Pemerintah terbukti tidak berkeadilan dan tidak menyejahterakan. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers tertulis kepada media (06/03/2024).

Keterangan pers ASPEK Indonesia ini merespons  informasi dan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Departemen Regional Bank Indonesia (BI) Arief Hartawan, terkait laju inflasi pangan yang bergejolak atau volatile food dalam kurun waktu 4 tahun terakhir dan telah melampaui rata-rata kenaikan upah minimum regional (UMR). Dikutip dari artikel di Kompas.com dengan judul "BI: Inflasi Pangan Sudah Lampaui Kenaikan UMR, Hampir Salip Kenaikan Gaji PNS", tanggal 04 Maret 2024.

Kepala Departemen Regional BI Arief Hartawan mengatakan, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, inflasi pangan bergejolak mencapai 5,6 persen. Angka itu lebih tinggi dibanding rata-rata kenaikan UMR yang hanya mencapai 4,9 persen pada periode 2020-2024.

Mirah Sumirat menilai berbagai kebijakan Pemerintah Joko Widodo terbukti gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Sistem pengupahan yang beberapa kali diubah selama masa pemerintahannya, terbukti semakin melanggengkan politik upah murah dan menurunkan daya beli masyarakat. Inflasi pangan yang diungkap Kepala Departemen Regional Bank Indonesia (BI) Arief Hartawan, membuktikan bahwa untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya saja, masyarakat sudah sangat kesulitan. Apalagi untuk kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, perumahan dan kebutuhan lainnya.

ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk serius dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Jangan hanya peduli pada kekuasaan, tapi mengabaikan kesejahteraan rakyatnya,” pungkas Mirah Sumirat.

Jakarta, 06 Maret 2024
Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Mirah Sumirat, SE
Presiden

Sabda Pranawa Djati, SH
Sekretaris Jenderal

Sumber: PRESS RELEASE, ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA (ASPEK INDONESIA) (06/03/2024)

Senin, 19 Februari 2024

Stabilitas Harga Pangan Mustahil dalam Sistem Kapitalisme



Tinta Media - Harga beras kembali meroket. Harga beras medium sudah mendekati Rp14.000 per kg dan beras premium nyaris Rp16.000 per kg. 

Sepekan lalu, (5/2/2024), harga beras premium masih di kisaran Rp15.500 per kg dan beras medium di Rp13.620 per kg. Harga tersebut sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, berkisar Rp10.900-Rp11.800 per kg medium dan Rp13.900-14.800 per kg premium, tergantung zona masing-masing. (cnbcindonesia.com, 12/02/2024)

Melansir dari Kompas.com, pada Januari lalu, Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Samsul Arifin mengatakan bahwa pihaknya sudah meminta Satuan Tugas (Satgas) Pangan di kepolisian daerah untuk mengantisipasi upaya penimbunan pangan di daerah, juga memeriksa kondisi pasar dan perkembangan di distributor. Polri juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan operasi pasar supaya harga pangan di sisi produsen dan distributor tidak terlalu berbeda jauh.

Kenaikan harga pangan yang terus berulang akan berakibat pada semakin sulitnya kehidupan masyarakat. Ibu rumah tangga harus menggerus tabungan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarganya, termasuk anak-anaknya. Para pengusaha UMKM makanan juga akan kena dampak lantaran naiknya harga jual dan sepinya pembeli yang mengakibatkan terjadinya kerugian. 

Kondisi ini sejatinya menunjukkan kurangnya peran negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Pasalnya, pemerintah hanya mencukupkan diri dengan upaya stabilisasi harga pangan melalui pelaksanaan operasi pasar. 

Satgas pangan  memang diperlukan untuk mengawasi tindakan-tindakan curang di pasar yang berefek merusak harga pasar. Akan tetapi, solusi ini sejatinya tidak menyentuh akar persoalan karena kenaikan harga pangan yang seolah sudah membudaya di negeri ini. Saking seringnya terjadi, kini masyarakat sudah terbiasa dengan hal tersebut dan menganggapnya sebagai perkara lumrah. 

Kondisi masyarakat seperti ini tidak boleh dibiarkan sebab pemenuhan kebutuhan pangan dengan harga yang terjangkau merupakan salah satu tugas utama negara. 

Pembentukan SDM berkualitas sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam mengakses bahan pangan. Sesungguhnya, persoalan kenaikan harga pangan disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme. Negara hanya bertindak sebagai regulator atau pembuat aturan saja serta fasilitator. Alhasil, negara berlepas tangan dari tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat. Pemenuhan kebutuhan pangan pun diambil alih oleh pihak swasta atau korporasi, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Harga pangan di negeri ini berada di bawah kendali para korporasi yang mendapatkan keuntungan besar darinya. Hal itu tampak dari hasil riset Greenpeace Internasional atas keuntungan 20 korporasi agribisnis di seluruh dunia dalam kurun 2020-2022. 

Perusahaan-perusahaan  itu ternyata memiliki kendali yang semakin kuat atas sistem pangan global dan berhasil meraup keuntungan fantastis. Ini terlihat dari total deviden mereka pada 2020 dan 2021 senilai 53,5 miliar US Dollar. Oleh karena itu, selama tata kelola pangan masih menggunakan konsep kapitalisme yang menghilangkan peran negara, stabilitas harga pangan mustahil terwujud. 

Kestabilan harga pangan dan terjangkaunya oleh masyarakat hanya bisa terwujud dalam penerapan Islam secara kaffah di bawah institusi khilafah Islamiyah. Negara dalam Islam berperan sebagai raa'in (pengurus umat) dan junnah (pelindung). Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya:

"Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad, Bukhari)

"Imam (khalifah) itu adalah perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)

Dalam Islam, negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah memadai dan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta memastikan rakyat mampu menjangkau harganya. 

Inilah salah satu gambaran peran negara dalam Islam sebagai pengurus urusan umat. Negara wajib menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan amanah. Selain itu, negara wajib menghilangkan hegemoni korporasi dalam menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan besar, sebab hal tersebut termasuk dharar (bahaya) yang wajib dihilangkan.

Dalam menjaga stabilitas harga pangan, khilafah akan menerapkan beberapa kebijakan yang dituntun oleh syariat Islam di antaranya:

Pertama, negara akan menjaga ketersediaan stok pangan sehingga terjadi kestabilan supply and demand. Hal ini dilakukan negara dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri agar berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Jika optimalisasi penyediaan pangan dalam negeri sudah dilakukan, tetapi stok belum memenuhi, maka kebijakan impor bisa dipilih negara. Namun, impor dilaksanakan mengikuti koridor syariat. 

Kedua, negara akan menjaga rantai tata niaga atau perdagangan, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan segala bentuk distorsi pasar seperti penimbunan, praktik tengkulak, kartel, riba, dan sebagainya. 

Negara akan menegakkan sistem sanksi yang tegas dan berefek jera bagi yang melanggar sesuai aturan Islam. Negara memiliki Qodli Hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayyib.

Ketiga, negara akan menjaga ketakwaan masyarakat dengan terus melakukan edukasi tentang syariat bermuamalah, hal ini akan menghindarkan masyarakat dari mudarat atau bahaya. 

Sungguh, hanya penerapan syariat Islam kaffah dalam institusi khilafah yang mampu mewujudkan kestabilan harga pangan di tengah masyarakat hingga bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat. Wallaahu A'lam bis shawaab.


Oleh: Nur Itsnaini Maulidia 
(Aktivis Dakwah)

Sabtu, 03 Februari 2024

Menjamin Kehalalan Pangan



Tinta Media - Apa yang terbayang di pikiran kita jika ada manusia yang memakan anjing? Begitu juga jika ada yang memperjualbelikan babi atau pun barang haram lainnya, apalagi hal tersebut terjadi secara nyata di pelupuk mata kita? Ya, bagi seorang muslim, secara naluriah hal itu merupakan makanan yang menjijikkan, najis dan kotor. Terlebih, syariat Islam telah mengharamkannya.

Sebagaimana diberitakan oleh Solopos, seorang warga yang kini menjadi tersangka perdagangan anjing menceritakan bahwa dia sudah 10 tahun melakukan perdagangan binatang tersebut. 

Kita tentu marah dan kecewa. Apa pun alasannya, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Negara ini mempunyai norma-norma dan undang-undang yang harus dipatuhi. Peraturan terkait perdagangan anjing tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Anjing merupakan hewan peliharaan, bukan ternak, sehingga tidak diperuntukkan untuk pangan.

Artinya, peredaran dan perdagangan anjing oleh negara telah dilarang. Tak hanya peredaran dan perdagangan anjing yang dilarang, mengonsumsi anjing bisa terjangkit penyakit rabies. Namun, mengapa peredaran dan perdagangan anjing masih terjadi?

Perdagangan anjing tidak hanya terjadi di Solo saja. Jika ditelisik ke belakang, ada perdagangan anjing di pasar daerah Tomohon Sulawesi Utara. Itu baru yang menyeruak ke publik. Bagaimana yang tidak terungkap?

Kontrol Negara

Problematika perdagangan anjing ini tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Seharusnya negara melakukan kontrol di pasar-pasar. Dalam artian, ketersediaan pangan untuk rakyat harus benar dilakukan. Negara harus memastikan bahwa setiap individu memperoleh makanan yang halal dan thayib. 

Sayang seribu sayang, harapan dan keinginan terhadap makanan yang halal dan thayib hanya tinggal harapan. Ini karena sejatinya, penguasa kurang serius dalam mengurusi rakyat. 

Kapitalisme menjadikan negara bersikap tidak serius. Selagi ada yang membutuhkan, maka produsen akan menyediakan barang haram itu. Itulah salah satu prinsip ekonomi kapitalisme. Karena itu, harus ada perubahan secara mendasar dengan menghadirkan solusi tuntas terhadap persoalan ini.

Pangan Halal dan Thayib

Pangan halal dan thayib harus menjadi mindset setiap muslim. Dari makanan halal dan thayib, tubuh kita akan terjaga. Ini mesti diupayakan dengan sungguh-sungguh. 

Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya,

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh nyata bagimu."

Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah Saw. bersabda,

"Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung.

Dengan mengonsumsi makanan halal, maka akan terjaga tubuh (raga), kesucian pikiran, kesucian jiwa, dan insyaallah keistikamahan dalam menjalankan syariat Islam.

Syariat Islam akan menjamin umat hanya mengonsumsi makanan halal lagi baik. Metodenya dengan menerapkan syariat Islam oleh negara. Untuk itu, negara melakukan langkah-langkah praktis karena sumber hukumnya sudah ada, yakni Al-Qur’an, hadis, ijma sahabat, dan qiyas. Jadi, khalifah melakukan ijtihad dalam menggali sebuah hukum. 

Langkah praktis negara dalam pangan bisa dalam bentuk penerapan teknologi pertanian, menciptakan varietas pangan yang unggul, dan lain-lain.

Tidak hanya itu saja, perlu penegakan hukum juga sebagai sanksi agar menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan, dan penebus dosa-dosanya di akhirat kelak.

Dengan demikian, masyarakat akan aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas.

Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media

Kamis, 18 Januari 2024

Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Hanya Angan



Tinta Media - Impor menjadi solusi pragmatis permasalahan beras, dan hal ini bukan permasalahan mendasar. Bahkan, cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu yang berkepentingan. 

Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada, terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah, yakni hampir mencapai 280 juta jiwa dan mereka membutuhkan beras. Hal ini diungkapkan Presiden Joko Widodo di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah di Banyumas (2/1/2024). (CNBC Indonesia, 2/1/2024) 

Permasalahan ini bisa diatasi dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan oleh negara. Di antaranya, menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan. 

Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta menyatakan bahwa kenaikan harga beras tidak sebatas karena dampak El Nino, tetapi lebih kompleks dan sistemis. Masalah sistemis itu di antaranya: 

Pertama, penduduk bertambah banyak, tetapi produksi beras makin turun. Harga barang akan mengikuti hukum pasar. Jika penawaran lebih sedikit daripada permintaan, maka harga pasti naik. Ini menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan impor beras, yaitu untuk menekan agar harga tidak naik. 

Kedua, harga beras tetap naik, meskipun dana triliunan rupiah sudah dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur. Seharusnya, pembangunan infrastruktur dimulai dari kebutuhan dasar rakyat terlebih dahulu, terlebih Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan pertaniannya. 

Ketiga, keberlanjutan pertanian. Indonesia berada di ranking ke-71 dari 78 negara berdasarkan data dari food sustainability index (indeks keberlanjutan pangan). 

Di tengah sistem keuangan yang kapitalistik, orang lebih memilih menimbun uang di perbankan, deposito, dan bermain di pasar modal, sehingga uang yang masuk ke dalam sektor riil yang produktif itu sangat kurang, termasuk pertanian. 

Selain itu, ada masalah konversi lahan yang berhubungan dengan para kapitalis. Mereka membuka industri dan perumahan di lahan-lahan yang diperuntukkan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan luas lahan pertanian menjadi berkurang. Meski ada upaya penanggulangan soal ini, tetapi belum ada kebijakan yang jelas, mengingat pendapatan pajak dari dunia industri dan perumahan juga cukup menggiurkan. 

Solusi tambal sulam untuk mengatasi hal tersebut tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Sejatinya, ini memperlihatkan kelemahan negara dalam kedaulatan pangan. Negara di dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator, yaitu sekadar menjalankan regulasi mengikuti arahan para kapitalis. 

Islam sangat memperhatikan masalah pangan, karena merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Islam mewajibkan seorang pemimpin negara dan jajarannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, terutama pangan. Dengan dorongan iman, mereka akan melaksanakan tugas dengan baik, karena memaham bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. 

Islam mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pokok, yaitu kecukupan dan kepastian kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Islam mengharamkan negara mematok harga. Islam juga memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga. 

Islam melarang kaum muslim bergantung pada asing agar negara bisa berdaulat. Namun, Islam tidak melarang impor, asalkan memenuhi kriteria syariat, seperti tidak bekerja sama dengan negara kafir harbi. 

Negara juga memiliki kebijakan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan, di antaranya dengan ekstensifikasi, yaitu yang berhubungan dengan penyediaan lahan pertanian dan meminimalkan alih fungsi lahan. Juga dengan melakukan intensifikasi, seperti meningkatkan kualitas benih, pupuk, metode pertanian, dan seterusnya. 

Selain produksi, negara juga mengatur distribusi dengan memutus rantai distribusi hingga dapat meminimalkan biaya, menjadikan harga bahan pokok tidak naik jauh. Akan ada sanksi bagi pelaku kecurangan, sehingga tidak ada yang berani berlaku curang. Semua dilakukan karena dorongan iman kepada Allah dan paham bahwa hal itu kelak diminta pertanggungjawaban. Namun, hanya negara yang berlandaskan Islam yang dapat mewujudkannya, sehingga kedaulatan pangan bukan hanya angan-angan lagi. 

Wallahualam bissawab.

Oleh: Yanyan Supiyanti, A.Md.
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab