Tinta Media: Pangan
Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 November 2022

Pengamat: Dunia Tengah Hadapi Krisis Pangan Global

Tinta Media - Menanggapi data terkait krisis pangan, pengamat sosial yang juga aktivis muslimah, Ustazah Najmah Sa'iidah menyampaikan bahwa dunia tengah menghadapi krisis pangan global.

"Benar, bahwa dari data-data tersebut, bisa dikatakan bahwa dunia ini tengah menghadapi krisis pangan global," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (3/11/2022).

Menurutnya, hal ini dikuatkan oleh pernyataan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang menilai angka krisis pangan cukup mengkhawatirkan.

"Diperkirakan 179 sampai 181 juta orang di 41 negara akan menghadapi krisis pangan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyebutkan bahwa jumlah orang yang rawan pangan meningkat dua kali lipat hanya dalam 2 tahun, 'Efek dari situasi Ukraina dapat mendorong jumlah ini meningkat menjadi 323 juta orang'," kutipnya.

Ia mengungkapkan banyak kalangan menilai bahwa krisis pangan dan energi dengan cepat menjadi bagian dari realitas dunia saat ini sebagai akibat dari pandemi disusul adanya perang antara Rusia dan Ukraina. Sehingga, lanjutnya, lonjakan harga pangan dan energi tidak dapat dihindari. Karena Rusia serta Ukraina memiliki posisi yang penting dalam rantai pasok pangan dan energi global.

"Sedangkan di negeri kita sendiri, sesungguhnya lonjakan harga barang kebutuhan pokok sudah berlangsung lama dan beberapa bulan terakhir ini semakin menjadi, bahkan diiringi dengan kelangkaan beberapa kebutuhan pokok. Dan diperkirakan di akhir tahun ini negeri ini akan mengalami resesi atau krisis ekonomi lagi," paparnya.

Bukan Kali Pertama

Ia menilai kondisi ini bukan kali pertama, tapi sudah kesekian kalinya. Bahkan justru saat ini kondisinya sudah sangat parah. 

"Dunia saat ini, termasuk negeri kita saat ini dalam kondisi yang sangat buruk, tidak hanya dalam masalah ekonomi tapi dalam seluruh aspek kehidupan," ujarnya.

Ini terjadi, lanjutnya, karena sistem kehidupan yang diadopsi adalah sistem kehidupan atau aturan-aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas  sehingga yang terjadi bukan kebaikan tapi justru kenestapaan.

Ustazah Najmah mengungkapkan bahwa berbagai kalangan menilai terjadinya krisis pangan saat ini diakibatkan karena pandemi Covid 19, dan juga invasi Rusia ke Ukraina. Namun, menurutnya jika kita telusuri lebih dalam sebenarnya pandemi dan adanya perang ini merupakan permasalahan cabang, karena krisis ini sesungguhnya sudah berlangsung lama. 

"Sedangkan akar masalahnya adalah sistem sekuler kapitalis yang mencengkeram dunia saat ini. Dimana sistem sekuler kapitalisme ini memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan penjajahan sebagai thoriqohnya," jelasnya.

Ia memandang negara-negara Barat berambisi menguasai dunia dan mendikte negeri-negeri lain, terutama negara-negara dunia ke-3 atau negara berkembang termasuk Indonesia.

"Memang bukan penjajahan secara fisik, tapi inilah sesungguhnya penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh negara Barat-negara sekular kapitalis besar- terhadap negeri-negeri yang menjadi agennya," paparnya.

Ia mengatakan bahwa penjajahan gaya baru inilah  yang akhirnya menjadikan negeri ini dan banyak negeri Islam mengikuti sistem kehidupan yang diterapkan negeri penjajah dan dengan leluasa negeri penjajah "menjerat" negeri-negeri terjajah sekaligus mengeksploitasi sumber daya alamnya.

"Tidak aneh jika negeri terjajah mengadopsi apa yang dikehendaki oleh negeri penjajah untuk mengeksiskan sistem sekuler kapitalisnya, seperti sistem ekonomi berbasis riba, sistem mata uang kertas yang semuanya memberikan dampak terjadinya krisis," terangnya.

Dan celakanya lagi, sambungnya, ketika negeri besar itu mengalami krisis, maka akan menyebabkan efek domino kepada negeri-negeri jajahannya. 

"Tentu situasi ini tidak boleh kita biarkan terus terjadi! Umat negeri ini harus bangkit dan melawan penjajahan," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Minggu, 13 November 2022

Harga Kedelai Naik, Subsidi Bukan Solusi

Tinta Media - Harga kedelai naik hingga Rp13.000 per kilogram sejak Oktober 2022 lalu karena stok menipis. Adanya program subsidi dari pemerintah sebesar Rp1.000 membuat sejumlah produsen tahu dan tempe lebih memilih untuk tidak ikut aksi mogok massal dan lebih memilih untuk menghargai program subsidi tersebut. 

Dengan adanya  program subsidi, maka harga kedelai menjadi Rp12.500 per kilogramnya. Program ini melanjutkan apa yang memang sudah berjalan sejak bulan Mei, Juni hingga Juli, ungkapnya.

Lagi dan terus berulang, kenaikan harga berbagai macam kebutuhan memang selalu terjadi tiap tahun. Begitu juga dengan harga bahan dasar tahu dan tempe, yaitu kedelai.
Situasi seperti ini terus membayangi  masyarakat negeri ini dan sangat terasa bagi masyarakat kalangan menengah kebawah. 

Semenjak terjadi pandemi, perekonomian memburuk. Banyaknya terjadi PHK karena perusahaan bangkrut.  Keadaan ini terus berlangsung hingga hari ini dan membuat dada terasa sesak. Rakyat pun menjerit  di tengah impitan ekonomi akibat dicabutnya subsidi BBM (Bahan bakar minyak) yang menyebabkan naiknya harga  bahan kebutuhan pokok. Salah satu di antaranya adalah  bahan dasar pembuatan tahu dan tempe, yaitu kedelai. Rendahnya jumlah pasokan kedelai menyebabkakan jumlah impor meningkat, sehingga harga menjadi naik. 

Namun, masyarakat seakan sudah terbiasa dengan keadaan ini, bahkan ada sebagian masyarakat yang hanya bisa pasrah menerima keadaan. Meski begitu, mereka harus memutar otak untuk terus bisa bertahan dalam kondisi seperti ini. Adanya subsidi membuat  sebagian dari mereka (produsen tempe)  enggan untuk ikut aksi  mogok produksi. Mereka merasa bahwa dengan ikut aksi mogok, produksi tetap tidak bisa mengubah kondisi, tidak ada perubahan nyata yang diberikan oleh pemerintah.   

Maka, wajar jika kepercayaan rakyat pada pemerintah memudar. Mereka berpikir bahwa dengan aksi mogok yang dijalankan, mereka harus tetap makan dan mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga, para produsen tempe pun memilih untuk tetap berproduksi. 

Tahu dan tempe adalah makanan yang mengandung protein nabati. Keberadaannya sangat penting sebagai pendamping nasi dengan harga terjangkau bagi masyarakat menengah kebawah. 

Ironis memang. Bukan hanya derita para produsen tempe, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, termasuk para buruh yang juga terus menyuarakan aksinya menuntut keadilan dengan minta upah dinaikkan. Namun, pemerintah seakan tidak menggubris suara rakyat yang semakin terjepit. Rakyat pun terabaikan dan dibiarkan berjuang sendiri.  

Padahal, sudah seharusnya negara mengurusi semua kebutuhan rakyat dengan baik. Tugas negara menyediakan  kebutuhan sandang, pangan, dan  papan pada rakyat seluruhnya. Namun, mungkinkah hal itu tercapai dalam kondisi sistem sekarang, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (Sekularisme) yang menjadi sumber segala keruwetan negri ini? Pertanyaan tersebut muncul karena semua permasalahan bermuara pada sebuah sistem yang diterapkan saat ini. Segala kebijakan ditetapkan berdasarkan pasar bebas. Negara hanya sebagai regulator saja.

Islam Punya Solusi

Tugas negara adalah mengurus dan mencukupi kebutuhan rakyat, termasuk dalam mengurus lahan pertanian, semua ada aturannya. 

Islam  tidak akan membiarkan tanah mati, sehingga ketika ada lahan yang tidak diolah atau dibiarkan begitu saja, maka negara membolehkan siapa saja untuk mengolahy sehingga menjadi lahan yang menghasilkan. Negara dalam sistem Islam pun akan menyediakan benih yang berkualitas bagus, mengurus pengairan yang bagus. Maka dengan begitu,  hasil pertanian pun akan melimpah, sehingga kebutuhan bahan pangan akan terpenuhi. 

Islam pun  mengajarkan hidup hemat sehingga hasil pertanian yang melimpah bisa disimpan dalam waktu beberapa tahun, sampai waktunya panen kembali.

Pertanian adalah sektor yang penting dan sangat diperhatikan dalam Islam. Demikian pentingnya kegiatan pertanian, hingga bidang ini tidak boleh diabaikan karena merupakan sumber terpenting bagi kehidupan manusia, sehingga  menjadi negara yang sejahtera dan mandiri pangan.  

Bertani adalah salah satu cara bagi manusia untuk mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah, selain menerima manfaat atau pendapatan yang halal. Ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan Islam dalam mengatur aspek kehidupan manusia  dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai tuntunan atau pedoman dalam kehidupan.

Maka, sudah seharusnya manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah selalu tunduk dan menjadikan Al-Qur'an sebagai rujukan dalam kehidupan. Sudah saatnya kita mengambil Islam sebagai satu satunya sistem yang menjamin mensejahterakan seluruh alam , dalam bingkai KHILAFAH ISLAMIYYAH. 

Wallahu a'lam.

Oleh: Dartem
Ibu Rumah Tangga



Kamis, 03 November 2022

Bantuan Daerah Rawan Pangan Belum Sentuh Akar Permasalahan

Tinta Media - Penanganan rawan pangan seperti yang dilakukan Pemkab Bandung tentu baik. Hanya sayang, hal itu dilakukan dengan cara sporadis. Padahal, kesulitan pangan masyarakat terjadi terus-menerus. Selama ini, bantuan pangan belum menyentuh akar masalah.

Mengapa terjadi rawan pangan? 
Akar masalah terjadinya rawan pangan sebenarnya bukan karena tidak ada bahan pangan. Akan tetapi, masyarakat tidak mampu membeli bahan pangan tersebut karena harganya mahal, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan kecil. 

Hal ini dikarenakan pengelolaan pangan dan pertanian ditangani oleh swasta. Ini adalah pengelolaan cara kapitalis, yaitu pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Hal ini memudahkan jalan swasta menguasai rantai pasokan bahan pangan, mulai dari produksi sampai konsumsi. Terlebih, pengaturan ala kapitalisme ini hanya berorientasi profit, bukan kemaslahatan rakyat. 

Krisis pangan rupanya sudah dirasakan di Kabupaten Bandung. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Bandung menyalurkan beras guna menangani masyarakat miskin di 8 kecamatan yang masuk kategori rawan pangan. (Neraca/12/10/2022)

Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada sekitar 1000 keluarga yang akan menerima bantuan beras tersebut.  Selain bantuan beras,  Pemkab Bandung juga menyiapkan Operasi Pasar Murah bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat rawan pangan.

Semua bantuan ini diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.  Operasi Pasar Murah dilaksanakan di 31 kecamatan,  Kab Bandung. 

Menurut Islam, pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Islam mempunyai visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan untuk rakyat. Sistem perekonomian Islam bertumpu pada pembangunan sektor ekonomi riil yang dilaksanakan oleh negara, bukan swasta apalagi asing. 

Rakyat membutuhkan solusi yang tepat dan adil agar terbebas dari krisis pangan, bukan solusi sesaat. Solusi tersebut adalah kembali pada aturan Sang Pencipta, Allah Swt,  yaitu dengan menerapkan Islam kaffah. 

Islam menekankan bahwa rakyat adalah amanah yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Nabi Muhammad saw. telah mengingatkan, 

"Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan, dan orang miskin,  kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan,  kebutuhan dan kemiskinannya." (HR at Tirmidzi). 

Penanganan rawan pangan dalam Daulah Islam pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r a. dengan membangun irigasi ke area pertanian dan pengendalian suplai pangan saat musim paceklik di suatu daerah.

Pangan sebagai kebutuhan pokok bagi rakyat wajib dipenuhi oleh negara melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian.  

Intensifikasi lahan dilakukan dengan meningkatkan kualitas benih, penggunaan obat-obatan, pemanfaatan teknologi, pelatihan petani dalam budidaya pertanian dan pemberian modal bagi yang membutuhkan. 

Ekstensifikasi dilakukan dengan menggarap kembali tanah-tanah mati (lebih dari 3 tahun tidak diolah) oleh siapa saja yang membutuhkan.

Demikianlah Islam mengatasi rawan pangan, karena bagi seorang pemimpin muslim, haram hukumnya menelantarkan rakyatnya.

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Wiwin Widaningsih
Sahabat Tinta Media

Selasa, 01 November 2022

Hadapi Krisis Pangan, FAKTA: Negara Harus Memiliki Kedaulatan

Tinta Media - Untuk menghadapi ancaman krisis pangan, Koordinator Forum Analisis Kebijakan Strategis (FAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan seharusnya negara memiliki kedaulatan pangan.
 
“Kalau perspektif Islam yang namanya pangan itu harus memiliki kedaulatan pangan, tidak cukup hanya ketahanan pangan saja. Artinya kita harus mandiri dalam hal pangan, tidak bergantung pada negara lain,” tuturnya di acara Kajian Ekonomi Islam: Krisis Pangan Dunia, Kegagalan Kapitalisme Global, Sabtu (29/10/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
 
Kalau pangan bergantung  pada negara lain sama artinya menggantungkan kedaulatan pada negara lain. “Bergantung terhadap negara lain sama dengan mempersembahkan negara kita untuk dijajah negara lain,” sambung  Erwin.
 
Erwin mengatakan krisis pangan bukan hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia. Ia mengutip data yang dipublikasikan FAO (lembaga pangan dunia) sekitar 2,3 miliar manusia diseluruh dunia mengalami kekurangan pangan.
 
“Dalam satu menit ada 11 orang meninggal  di seluruh dunia karena kelaparan. Kita mau bilang apa? Ini semacam senjata pemusnah masal yang menciptakan kematian setiap menit. Jadi kelaparan itu adalah senjata pemusnah masal,” bebernya.
 
Meski demikian, Erwin memaparkan fakta menarik, jumlah produksi sereal di dunia dibanding dengan jumlah populasi manusia selalu lebih besar. “Lahan memang tidak bertambah besar tapi manusia punya kemampuan berkreasi, memproduksi dari 1 jenis menjadi 10 jenis sereal,” jelasnya.
 
Fakta lain, beber  Erwin, di seluruh penjuru dunia ada orang-orang yang sangat kelaparan dalam jumlah yang sangat besar, di sisi lain ada orang-orang obesitas dalam jumlah yang besar pula.
 
“Di seluruh  penjuru dunia ada 1,46 miliar orang yang obesitas, di seluruh penjuru dunia juga  ada 800,5 juta orang mengalami kelaparan yang sangat,” ungkapnya.
 
Erwin juga menyajikan data  jumlah makanan yang terbuang per tahun mencapai 1,3 miliar ton atau senilai 1 triliun US$. “Jadi kalau misalnya makanan sisa ini ditumpuk mungkin 100 Monas itu masih kalah tinggi, saking banyaknya makanan yang terbuang,” ucapnya memberikan permisalan.
 
Erwin lalu menyimpulkan masalah krisis  pangan dunia itu bukan karena kurangnya persediaan makanan tetapi karena buruknya distribusi makanan.
 
“Makanan tertumpuk pada teritorial tertentu, pada negara tertentu yaitu negara-negara maju seperti negara-negara di Amerika dan Eropa, tidak terdistribusikan ke naga-negara lain semisal Afrika. Ini kegagalan kapitalisme global,”paparnya.
 
Solusi
 
Erwin menjelaskan,  dalam perspektif sistemik solusi mengatasi krisis pangan ada dua yaitu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. “Ketahanan pangan intinya tahan saja, pangan yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, kalau kurang bisa impor, bersifat insidental. Ini perspektif kapitalis, aktif-negatif,” jelasnya.
 
Kalau perspektif Islam, lanjutnya, kedaulatan pangan yang sustainable, karena paradigma politiknya pengurus urusan masyarakat. Maka yang nomor satu untuk diamankan adalah berkaitan ketersediaan pangan untuk masyarakat.
 
“Dengan dua paradigma ini pada akhirnya Islam akan terpilih karena lebih baik dengan kedaulatan pangan yang sustainable,” simpulnya.
 
Erwin menjelaskan beberapa poin konsep Islam tentang pangan. Pertama, dasar kedaulatan pangan terdapat dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233  berkaitan dengan ibu yang menyusui dan Ath-Thalaq ayat 6 berkaitan suami harus menyiapkan perumahan bagi istrinya.

“Hal yang paling mendasar mulai  dari ibu yang melahirkan anak itu diperhatikan, karena yang lahir itu adalah masa depan peradaban, enggak boleh manusia itu diabaikan ketika dia baru lahir. Justru penghargaan terbaik bagi manusia itu ketika baru dilahirkan. Disambut dengan cara terbaik, dipersembahkan gizi terbaik,” ungkapnya penuh takjub.
 
Jadi, sambung Erwin, paradigma politik pangan dalam Islam adalah paradigma dengan indikator-indikator yang sangat mikro sampai kepada level bayi yang baru lahir.
 
“Cukup dikatakan politik pangan itu gagal ketika ada satu bayi saja yang tidak menetek kepada ibunya karena ibunya terpaksa bekerja,” tandasnya.
 
Kedua, sebut Erwin, produksi pangan dalam Islam, dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. “Ekstensifikasi dengan menghidupkan tanah mati, tidak boleh menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun, larangan menyewakan lahan pertanian. Pada akhirnya kepemilikan lahan itu identik dengan produksi,” terangnya.
 
Ketiga , lanjut Erwin, alokasi hasil pangan yang memastikan semua orang terpenuhi kebutuhannya. Kemudian konsumsi, distribusi serta pengolahan harus merata kepada tiap-tiap individu anggota masyarakat.
 
Terakhir, Erwin menyebut bahwa yang bertanggung jawab dalam kedaulatan pangan ada tiga pihak.”Rumah tangga, komunitas masyarakat dan juga negara,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.
 

Minggu, 30 Oktober 2022

Daerah Pertanian Terkena Rawan Pangan, Kok Bisa?

Tinta Media - Ketua DPRD Kabupaten Bandung, Sugiharto membantah pernyataan Bupati Bandung Dadang Supriatna, yang sebelumnya menyatakan bahwa terdapat 20 desa yang masuk kategori rawan pangan, Salah satunya Desa Sugih Mukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Sugiharto menilai, bahwa Desa Sugih Mukti tidak tergolong rawan pangan, karena pertanian di sana cukup baik, bahkan warga desa beternak dan bertani. Oleh karena itu, pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Bandung sebaiknya mulai membangun infrastruktur di desa tersebut, termasuk akses jalan. (Kamis, 6/9/2022)

Sugiharto mengakui bahwa dia tahu betul persoalan yang ada di desa tersebut, yaitu terdapat perkebunan yang dikelola oleh swasta, yang dikenal dengan nama Paranggong. Produktivitas teh di perusahaan itu cukup tinggi, sehingga terjadi persaingan antara perusahaan swasta dengan hasil produksi teh yang dikelola masyarakat lokal.

Menilik dari realitas tersebut, walaupun masih banyak masyarakat yang bertani dan berternak untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan swasta besar yang hadir di tengah-tengah mereka. Wajar jika petani sekitar merasa khawatir dan menilai bahwa kehadiran perusahaan swasta akan menjadi masalah bagi keberlangsungan pertanian dan perkebunan mandiri, milik individu masyarakat.

Persaingan kekuatan modal dan mekanisme pemasaran yang djalankan, tentu saja akan dimenangkan oleh perusahaan besar, sehingga para petani lokal akan kalah. Apalagi jika perusahaan tersebut bukan hanya berskala nasional, tetapi multinasional, bahkan internasional, para petani akan gulung tikar.

Hal tersebut terjadi karena telah dibukanya keran investasi asing secara besar-besaran di hampir seluruh bidang, sehingga berpeluang masuknya para pemodal (kapitalis) asing, dan menjadi pemain utama, dari hulu hingga hilir, dari mulai penyediaan benih hingga panen dan pemasaran. 

Selain itu, kondisi buruk yang dialami para petani akibat tingginya biaya operasional dan rendahnya penjualan hasil pentanian dan perkebunan, sering kali mengakibatkan mereka putus asa, hingga ada yang membuang-buang produk mereka, karena sangat kesal dan kecewa akibat kerugian yang dialami.

Terlebih lagi, adanya para pengepul yang melakukan spekulasi harga di tengah penyesuaian kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Ini menambah kemarahan para petani, karena berakibat anjloknya harga komoditas mereka. Berbagai faktor tersebut telah mematikan kehidupan para petani lokal, sehingga desa yang mata pencaharian utamanya bertani dan berkebun, masyarakatnya terancam krisis pangan. Ketika para petani lokal mati, maka perusahaan swastalah yang menguasai sektor pertanian dan perkebunan ini dan mendapatkan keuntungan besar.

Pembangunan infrastruktur jalan yang diusulkan, bukan solusi terhadap masalah yang dihadapi para petani lokal, tetapi kemampuan untuk aktif dalam berproduksi kembali. Adapun infrastruktur jalan hanya berhubungan dengan kemudahan dalam distribusi. Pada akhirnya, infrastruktur jalan yang dibangun hanya dapat dinikmati oleh perusahaan swasta yang eksis, untuk memudahkan distribusi hasil panen mereka.

Inilah realitas kehidupan di alam kapitalis sekuler, yang mengedepankan kepentingan para kapitalis dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam pertanian. Hukum rimba pun berlaku, yang kaya dan kuat semakin berkuasa, yang miskin dan lemah semakin terpuruk. 

Ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Masyarakat kecil makin terjepit, menjerit, sedangkan pihak-pihak yang berkuasa dan bermodal besar, merasa bebas melakukan apa saja demi kepentingan dirinya sendiri, tanpa merasa berdosa. 

Sistem kapitalis sekuler adalah sistem yang rusak dan merusak, telah menggerus sisi kemanusiaan dan fitrah manusia. Kita butuh sistem hidup yang memanusiakan manusia, dan itu hanya datang dari Zat yang menciptakan manusia, yaitu Allah Swt. Itulah sistem Islam.

Di dalam Islam, ketersediaan pangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat menjadi hal yang utama, karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, negara akan senantiasa memastikan bahwa para petani senantiasa produktif dalam pertaniannya. Jika perlu, negara akan menyuplai ketersediaan bibit unggul, pupuk, dan pengairan yang memadai bagi para petani, sehingga memudahkan mereka dalam berproduksi. 

Para petani akan berlomba dalam menghasilkan produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hingga ketahanan pangan tercipta. Jikapun surplus dan memungkinkan untuk dijual ke luar negeri, boleh untuk dilakukan. 

Kebijakan negara tidak membolehkan adanya orang asing dalam pengelolaan pertanian di dalam negeri. Persaingan yang ada hanyalah antar petani dalam negeri yang secara sehat berdasarkan syariat Islam.

Adapun keberadaan para pengepul, mereka diharamkan di dalam Islam. Maka, tidak dibolehkan ada yang menjalankan profesi tersebut. Jikalau ada yang melakukan praktik pengepulan, akan dikenai sanksi ta'zir dari kepala negara (khalifah).

Terkait pembangunan infrastruktur, maka negara sangat memperhatikan keberadaanya untuk memudahkan pendistribusian berbagai komoditas pertanian agar sampai ke tengah masyarakat.

Infrastruktur tersebut mulai dari bendungan untuk irigasi, jalan-jalan, jembatan, dan lain-lain, yang merupakan fasilitas umum bagi seluruh rakyat, sebagai milik rakyat secara umum, dan didanai dari dana milik umum, yang dikelola oleh negara. 

Keberadaan infrastruktur ini adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyat. Oleh karena itu, pembangunannya pun tidak akan melanggar hak-hak rakyat, seperti mengambil tanah rakyat secara paksa dengan alasan pembangunan infrastruktur seperti banyak terjadi di dalam negara kapitalis. Kalaupun harus menggunakan tanah rakyat, maka dengan akad yang jelas, semisal jual-beli. Itu pun dengan tetap memperhatikan kelestarian alam sekitarnya, sehingga tidak ada satu pun aspek kezaliman di dalamnya. Kebijakan ini berpijak pada sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya: 

"Imam (pemimpin) ibarat penggembala yang dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dia gembalakan" (HR Bukhari)

Demikianlah, ketahanan pangan di dalam Islam hanya dapat terwujud ketika pengaturannya dikembalikan kepada sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari penerapan Islam kaffah oleh negara khilafah. Untuk mewujudkan hal tersebut, butuh perjuangan yang sungguh-sungguh, berdakwah memahamkan umat tentang kesempurnaan dan keindahan Islam, hingga menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semoga Allah segera memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk tegaknya syariah Islam kaffah, aamiin.

Wallahu'alam.

Oleh: Dartem
Ibu Rumah Tangga

Minggu, 09 Oktober 2022

MMC: Indonesia Tak Mampu Wujudkan Kemandirian Pangan Karena...

Tinta Media - “Ada dua faktor pemicu ketidakmampuan Indonesia untuk mewujudkan kemandirian pangan khususnya kedelai,” ujar Narator MMC pada rubrik Serba-serbi MMC: Harga Kedelai Naik Lagi, Perajin Tahu Tempe Menjerit, Minggu (2/10/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center Lovers.

Menurutnya, faktor pertama adalah diadopsinya liberalisasi perdagangan sebagai konsekuensi bergabungnya Indonesia dalam WTO sehingga Indonesia terikat untuk mengimplementasikan agreement on Agriculture.

“Unsur utamanya pengurangan subsidi dalam negeri dan membuka akses pasar,” jelasnya.

Ia menyampaikan, setelah penandatanganan Letter of intent (LoI) IMF, penghapusan bea masuk impor diberlakukan. “Hal ini mengakibatkan Indonesia di serbu berbagai produk impor termasuk kedelai,” tutunya.
“Sejak itulah produksi kedelai lokal terus menurun sementara importir swasta bertambah leluasa mendatangkan kedelai dari luar negeri,” lanjutnya.

Adapun faktor kedua, menurut Narator, adalah berkuasanya kepemimpinan berparadigma Neo Liberal yang cenderung abai mengurusi rakyat. “Hal ini tampak dari ketidakseriusan pemerintah meningkatkan produktivitas kedelai dalam negeri,” terangnya.

Dia menyampaikan data yang ada selama kurun dua dekade lebih yang tidak ada penambahan luas tanam kedelai. “Bahkan cenderung berkurang,” tuturnya.
 
Ia menilai upaya pengembangan bibit varietas unggul juga makin melemah, serta tidak ada perlindungan harga di tingkat petani. “Pemerintah malah membiarkan mafia impor pemburu rente mencari untung dari impor ini,” nilainya. 

“Oleh karena itu kemandirian dan kedaulatan pangan tidak akan pernah tercapai selama sistem kapitalisme liberal masih diadopsi oleh negeri ini,” tegasnya kemudian. 

Menurutnya, agar dapat menghentikan ketergantungan pada impor dan terwujudnya kedaulatan pangan, satu-satunya solusi adalah menerapkan sistem politik Islam. “Dengan penerapan sistem politik Islam yaitu Khilafah, negara akan menjalankan sistem politik dan ekonomi Islam termasuk dalam pengelolaan pertanian,” jelasnya.
 
Narator memaparkan bagaimana Khilafah akan menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri berdasarkan syariat Islam. 
“Di dalam negeri, negara hadir sebagai penanggungjawab kebutuhan rakyat, termasuk dalam pemenuhan pangan yang merupakan kebutuhan asasi,” paparnya.

Disampaikan juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam; “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus-urusan rakyatnya dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya,” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dijelaskannya bahwa Negara Khilafah akan serius mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan dengan cara menggejot produksi dalam negeri. “Khilafah wajib mendukung petani agar berproduksi maksimal berupa pemberian kemudahan mendapat bibit unggul, mesin atau teknologi pertanian terbaru,” jelasnya.
 
“Khilafah juga akan menyalurkan bantuan pemodalan, membangun infrastruktur pertanian, jalan, Irigasi dan lainnya,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa Khilafah akan menyelenggarakan penelitian, pendidikan, pelatihan pengembangan Inovasi dan sebagainya.

“Khilafah juga akan menerapkan hukum pertanahan dalam Islam yang akan menjamin kepemilikan lahan pertanian berada di kalangan yang memang mampu mengelolanya, supaya tidak ada lahan yang menganggur,” terangnya.

“Bahkan juga akan menghilangkan dominasi penguasaan lahan oleh segelintir orang,” tambahnya.
 
Narator menilai, dengan pelaksanaan syariat Islam oleh Khilafah, berbagai faktor penyebab distorsi pasar akan hilang. misalnya penimbunan barang, kartel, penipuan, dan sebagainya yang memicu lonjakan harga secara tidak wajar. Khilafah juga akan menghapus para mafia pangan, diantaranya dengan cara menghilangkan peran korporasi dan penegakan sanksi sesuai Islam.
“Yang tak kalah penting, kedaulatan pangan akan tercapai seiring realisasi politik luar negeri Khilafah,” jelasnya.

“Yakni Khilafah menjadi negara yang mandiri atau independen,” imbuhnya.

Menurutnya, Khilafah tidak boleh tergantung dan terikat kepada perjanjian yang bertentangan dengan Islam. “Apalagi sudah nyata mengancam kedaulatan negara, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman,’ QS. An-Nisa ayat 141,” tegasnya.

“Oleh karena itu, hanya Khilafah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan termasuk kedelai yang akan menyejahterakan petani kedelai pedagang hingga konsumen,” tutupnya. [] Raras

Senin, 05 September 2022

Genjot Produksi Pangan dengan Sistem Aman

Tinta Media - Imbaun Ketua Umum HKTI/Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jend TNI (purn) DR Moeldoko SIP untuk mengenjot produksi pangan harus di apresiasi sekaligus dikritisi. 
Sudah seharusnya lndonesia mengenjot produksi pangan. Dengan kekayaan melimpah, pasti negeri ini bisa mewujudkannya dengan segera. Namun, fakta berkata lain. Negeri ini masih terus mengantungkan pangan pada impor.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada periode Januari-Juni 2022 Indonesia masih tercatat mengimpor komoditas pangan seperti keledai, beras, gula, bawang putih, jagung, hingga kopi. Barang impor biasanya di kruskan dengan dolar Amerika Serikat (AS). Posisi rupiah terhadap dolar AS terpantau masih bergerak di level Rp14.700/US$. Cnbcindonesia.com (17/8/2022).

Mungkinkah mengenjot produksi dengan impor? Impor berarti mendatangkan. Ini adalah bentuk perdagangan, bukan produksi. Apalagi dengan adanya pasar bebas dunia, barang produksi apa saja bisa membanjiri pasar dalam negeri.

Di sisi lain, petani di lndonesia bagai anak tiri. Pupuk mahal, tekhnologi tak diperbarui, lahan semakin sempit, dan pengairan yang sulit, menjadikan produksi kalah jauh dengan kualitas barang luar negeri. Dari sini, pasti pihak pengekspor yang meraup keuntungan besar. Pengimpor hanya menerima barang sesuai pesanan. Terlebih, petani tak lebih hanya menjadi pelengkap pencitraan pènguasa.

Inilah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini menjadikan pemodal saja yang bisa menguasai berbagai komoditas. Produksi pangan masih jauh dari angan, apalagi mengenjotnya. Selama sistem ini menjadi pijakan, sampai kapan pun tak akan bisa menggenjot produksi pangan. Masih ingat dua tahun lalu, di saat petani panen raya beras, pèmerintah justru impor 1 juta ton beras? Tak ayal, harga gabah di petani anjlok. Tentu kerugian besar diterima petani dalam negeri.

Sistem lslam Bisa Mengenjot Produksi Pangan

Islam selama kurun waktu 13 abad mampu bertahan memenuhi pangan warga negaranya, produksi melimpah hingga kesejahteraan dirasakan semua kalangan.
Beberapa langkah yang ditempuh lslam dalam kebijakan pertanian, guna memenuhi pangan rakyatnya, antara lain:

Pertama, meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Ini disebut intensifikasi, yaitu dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.

Kedua, dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan mawat/tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak bertuan dan tidak tampak ada bekas pengelolaan, seperti pemagaran, tanaman, maupun aktivitas yang lainnya. Ini disebut ektensifikasi.

Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan.
Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda:

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

Setiap orang yang memiliki tanah akan dimotivasi untuk mengelola tanahnya secara optimal. Masyarakat yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah, akan diberi modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan menelantarkan selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih negara dan diberikan kepada yang lain.

Ketiga, kebijakan distribusi: sederhana, cepat, dan merata. Penataan distribusi kekayaan oleh negara pun tak luput menjadi perhatian negara, mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaan, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negara.

Jika ada kesenjangan antar individu, negara harus memecahkan dengan mewujudkan pemerataan dan keseimbangan harta dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan harta negara kepada masyarakat yang memerlukan, tetapi terbatas dalam memenuhi kebutuhannya. 

Semua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, sederhana, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti kebutuhan pokok pangan.

Keempat, kebijakan terkait ketersediaan pangan. Sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini, negara melarang adanya praktik penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat.

Khalifah juga harus mencegah masuknya intervensi asing dalam pengelolaan bidang pertanian, baik lewat industri, pertanian, swasta maupun asing karena ini menghambat hingga membahayakan kedaulatan pangan dalam negeri.

Begitulah mekanisme yang diterapkan sistem lslam, aman dan pasti produksi pangan akan melimpah. Tak sulit untuk mengenjot produksi pangan dalam sistem ini, karena para pejabat menjalankannya secara optimal dalam rangka melayani rakyat. Ditambah sikap amanah para pemimpin, menjadikan kehidupan petani dan semua rakyat sejahtera.
Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Selasa, 23 Agustus 2022

Spekulasi Kenaikan Harga Mie Instan, Bukti Belum Total Swasembada Pangan

Tinta Media - Ironis, belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan spekulasi harga mie instan yang disebut-sebut bisa naik 3 kali lipat. Hal itu dikatakan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sebab harga gandum saat ini tengah naik dan pasokan pun sulit. Sebelumnya, Presiden Jokowi pun sempat menyinggung hal tersebut.

Belum selesai dengan climate change, kita pun dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia. Dalam kondisi tersebut, ada 180 juta ton gandum tidak bisa keluar. Hal ini tentu berimbas pada kondisi di Indonesia.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, tentu kita tidak bisa sekadar beralih konsumsi pada bahan pangan lainnya, terlebih Indonesia adalah negara agraris. Sudah bertahun-tahun lamanya kebutuhan gandum kita selalu bergantung pada hasil impor. Hal ini menunjukkan bahwa negeri yang kaya akan SDA ini masih jauh dari predikat negara mandiri dan berswasembada pangan. 

Bukankah ini menjadi tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan? Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut? Bagaimana seharusnya negara menyikapi kenaikan harga pangan? 

Ironis Negara Agraris

Sebagaimana pemberitaan, Menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77, Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) sebagai pengakuan atas sistem pertanian-pangan yang tangguh dan swasembada beras periode tahun 2019-2021, melalui penggunaan teknologi inovasi padi. 

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menilai, semestinya kebijakan yang diklaim oleh pemerintah bisa menggenjot produksi beras, dapat diimplementasikan untuk komoditas pangan yang lain, seperti kacang kedelai, gula, daging sapi, atau bahkan terigu.

Di samping itu, jika pemerintah memahami besarnya ketergantungan Indonesia terhadap gandum, bukankah seharusnya pemerintah membuat langkah yang nyata untuk mewujudkan swasembada bahan pangan lainnya selain beras?

Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya begitu ironis. Hal ini karena Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara total. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati umat manusia.

Di samping itu, aspek pertanian yang tidak terurus telah menambah angka kemiskinan masyarakat Indonesia. Jika swasembada beras dapat terwujud dengan adanya dukungan pemerintah melalui pembangunan irigasi pertanian, mengapa hal itu tidak dilakukan untuk bahan pangan lainnya? Bukankah kebutuhan rakyat terhadap gandum, gula, terigu, dan sejenisnya pun sangat penting?

Merunut Masalah

Aspek pertanian tidak bisa terpisah dari sektor lain yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia, mulai dari kebijakan pemerintah di sektor pertanian, pengelolaan tanah, penemuan inovasi, dan juga dukungan sektor industri yang menopang sektor pertanian. Aksi industrialisasi dan pengembangan wilayah yang massif makin berdampak pada kian menyempitnya lahan pertanian.

Kasus alih fungsi lahan banyak terjadi. Meskipun berbagai kebijakan hadir untuk mengerem laju alih fungsi lahan, tetapi kenyataan berkata lain. Tumpang tindih kebijakan sudah menciptakan hukum rimba di tengah masyarakat. Begitu banyak masyarakat yang harus merelakan lahan milik mereka demi mengejar target pembangunan yang kapitalistik.

Alhasil, konversi lahan pertanian menjadi pabrik atau bisnis perumahan makin massif. Kalaupun masih ada lahan tersisa, kualitasnya makin jauh berkurang karena sudah tercemar limbah pabrik dan rumah tangga.

Selain itu, dukungan pemerintah dalam pengadaan pupuk dinilai masih sangat kurang. Harga pupuk nonsubsidi pun sangat mencekik para petani. Sementara itu, pemberian pupuk bersubsidi masih menimbulkan keluhan dari para petani. Hal ini karena selisih antara kebutuhan dan jumlah pupuk subsidi sangat jomplang.

Kebutuhan petani terhadap pupuk per 2021 sudah mencapai 24 juta ton/tahun. Sedangkan yang disalurkan pemerintah hanya 9 juta ton/tahun. Alokasi pupuk ini pun hanya ditujukan kepada para petani padi, sedangkan sektor lainnya tidak. Padahal, kebijakan ketahanan pangan itu meliputi seluruh kebutuhan pangan masyarakat.

Karut-marut kebijakan di bidang pertanian ini tidak lepas dari paradigma sistemis yang dijalankan pemerintah. Cita-cita mewujudkan ketahanan, bahkan kedaulatan pangan seolah jauh dari harapan para petani. Semrawutnya pengelolaan sektor pertanian seiring laju pembangunan yang kapitalistik, telah menciptakan stigma lekatnya kemiskinan terhadap para petani. Walhasil, negeri ini agraris, tetapi petaninya gigit jari. Rakyat pun harus menanggung kenaikan harga pangan karena bahan baku yang selalu bergantung dari hasil impor negara lain.

Tentu kita butuh satu paradigma khusus untuk mengukuhkan cita-cita kedaulatan pangan secara sistemis. Islam memiliki pandangan khusus untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang hakiki. Lalu bagaimana caranya?

Perspektif Islam

Untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan di seluruh jenis pangan, negeri ini butuh politik pertanian yang visioner. Dalam Islam, politik pertanian kekhilafahan terdiri atas dua strategi penting. 

Pertama, intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas pertanian yang meliputi pengadaan bibit unggul, pupuk berkualitas, inovasi berbasis teknik pertanian modern, dan dukungan sarana prasarana lainnya untuk mengembangkan sektor pertanian.

Kedua, ekstensifikasi pertanian, yaitu dengan menambah luas area yang akan ditanami. Dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut. Tanah tersebut lalu pemerintah berikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”

Atas hal ini, aspek produktivitas pertanian dapat terkontrol. Di sisi lain, pemerintah pun dapat mengerahkan para pegawai negeri, khususnya dari departemen pertanahan, untuk mengawasi tanah-tanah yang dimiliki rakyat. Jelas ini membutuhkan komunikasi lintas sektor demi terwujudnya kemaslahatan umat.

Melalui pengawasan tanah produktif ini, akan tercipta atmosfer kondusif dan semangat kerja yang produktif dari para petani. Jadi, aspek intensifikasi yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, bersamaan dengan ekstensifikasi pertanian yang memadai akan mampu menopang terwujudnya swasembada pangan.

Di samping itu, kebijakan politik pertanian ini diiringi dengan politik industri yang menjadikan negara mandiri dalam menyediakan sarana dan prasarana, seperti alat maupun mesin pertanian. Dengan demikian, khilafah akan menjadi negara yang mandiri dan tidak bergantung pada negara lain.

Dampak dari seluruh strategi ini adalah bahan baku akan melimpah dan hasil pertanian pun meningkat. Etos kerja pertanian pun menjadi kondusif. Walhasil, cita-cita swasembada dan kedaulatan pangan bukanlah sekadar harapan. Ada langkah-langkah strategis untuk mewujudkan itu semua, dan Islam punya solusinya. Wallahu a'lam.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 24 Juli 2022

Harga Pertamax, Bahan Pangan, dan PPN Naik Bersama, Rakyat Semakin Menderita

Tinta Media - Kenaikan harga Pertamax di tengah perekonomian masyarakat yang mulai membaik usai didera Covid-19 bagai palu godam yang meluluhlantakkan kembali. 

Kenaikan harga Pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500 per liter pun menggerus daya beli masyarakat. Akibatnya, kini sebagian pengguna kendaraan bermotor beralih ke Pertalite untuk mengisi bahan bakar.

Hal itu membuat antrean Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Pemilik kendaraan bermotor dengan keuangan pas-pasan terpaksa harus bersabar mengantre panjang agar mendapat bahan bakar yang tidak memberatkan kondisi keuangan mereka.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, masyarakat terpaksa harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang terus meningkat.

PT Pertamina Patra Niaga mengatakan bahwa kenaikan Pertamax dipicu harga minyak dunia yang melambung sehingga mendorong harga minyak mentah Indonesia mencapai US$114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24/3/2022.

Kondisi ini dapat menekan keuangan Pertamina sehingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi tidak dapat terelakkan. Kenaikan harga Pertamax yang ditetapkan saat ini masih disebut lebih rendah jika dibanding harga seharusnya yang dapat mencapai Rp16.000/liter.

Dalih naiknya minyak mentah dunia yang berakibat pada kenaikan harga BBM nonsubsidi ini nyatanya menuai kritik keras dari banyak pihak. Kenaikan harga tersebut membuktikan bahwa pemerintah tak mampu mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia.

Daya Beli Masyarakat Menurun

Pertimbangan Pertamina ini nyatanya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kenaikan harga Pertamax cukup riskan, karena momentumnya bersamaan dengan kenaikan harga pangan dan PPN. Situasi ini jelas memukul masyarakat dan menurunkan daya beli mereka.

Salah satu efek domino yang timbul akibat kenaikan harga Pertamax adalah langkanya Pertalite yang mulai terasa. Terbukti, SPBU di beberapa wilayah mengalami kekosongan Pertalite. Kalau sudah begini, dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan semakin terasa.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, mau tidak mau masyarakat harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang makin meningkat.

Politik Energi Rezim Neoliberal

Berulangkali rezim ini mengeluh bahwa APBN terbebani subsidi BBM. Pemerintah merasa berat, sehingga meminta rakyat berempati, mau paham, dan ikhlas jika BBM dinaikan. Akan tetapi, rezim tidak memahami bahwa beban hidup masyarakat sudah begitu berat. Bahkan, saat pandemi, banyak terjadi kasus bunuh diri karena khawatir dengan kehidupannya.

Rezim meminta agar rakyat bersedia menerima kenaikan BBM, tetapi rakyat menolak. Kini, rezim memutar otak, memaksa rakyat mengonsumsi Pertamax dengan modus aplikasi dan bar code. Mereka tega mempersulit rakyat, demi merogoh kocek lebih besar. Rakyat terpaksa membeli pertamax yang sudah lebih dulu dinaikan, dengan modus mempersulit beli pertalite.

Bukan hanya dipaksa belanja pertamax, tetapi rakyat pun dipaksa memanggul beban lebih berat karena harus menanggung beban kenaikan harga kebutuhan pokok akibat naiknya biaya transportasi.

BBM merupakan barang primer, hak semua rakyat. Dulu saat minyak mentah dunia turun sampai US$20 per barel, rakyat tidak pernah mendapat harga BBM murah. Akan tetapi kini, dengan dalih harga minyak dunia naik, BBM juga mau dinaikan.

Meningkatnya harga BBM secara terus-menerus, tidak lepas dari buruknya tata kelola dan politik energi rezim neoliberal yang ditopang sistem sekuler. Sistem ini hanya memosisikan negara sekadar sebagai penjaga dari kegagalan pasar.

Akibatnya, semua hajat hidup rakyat, termasuk BBM, dikelola dalam kacamata bisnis dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar, sebagaimana dikukuhkan dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Nyatanya, sebagian besar ladang minyak bumi malah dikelola oleh pihak asing.

Dengan demikian, dari pernyataan itu, dapat kita pahami bahwa mahal dan meningkatnya harga BBM bukan karena Indonesia kekurangan sumber daya minyak, tetapi terletak pada visi rezim dan tata kelola minyak yang kapitalistik.

Tata Kelola Minyak Sesuai Syariat

Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang jumlahnya besar, seperti minyak bumi, merupakan harta milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim bersekutu dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud)

Pengelolaannya pun wajib dilakukan secara langsung oleh Khalifah selaku kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, orang-orang berlindung di belakangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)

Pengelolaan minyak bumi wajib dilakukan oleh negara secara mandiri, dan mendistribusikannya secara adil ke tengah masyarakat. Negara hadir untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak mengambil keuntungan, kecuali dengan biaya produksi yang layak. Kalaupun negara mengambil keuntungan, hasilnya harus dikembalikan lagi ke rakyat dalam berbagai bentuk.

Dengan demikian, pemerintah tidak boleh menyerahkan pengelolaan minyak bumi kepada swasta, apalagi pihak asing. Harga BBM dapat dipastikan murah (bahkan gratis) dan mudah diakses oleh seluruh rakyat. Hasil pengelolaannya dapat diberikan juga dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun kebutuhan publik lainnya secara gratis. 

Sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang bertakwa, yaitu mereka yang menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 01 Juli 2022

Sastrawan Politik: Dimana Suara Capres dan Pendukungnya dalam Masalah Krisis Pangan dan Energi?


Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin, mempertanyakan suara Capres dan pendukungnya dalam masalah krisis pangan dan energi. "Dimana suara Capres dan pendukungnya dalam masalah krisis pangan dan energi?" tanyanya kepada Tinta Media, Rabu (29/6/2022).

Khozinudin menyebutkan nama seperti Cak Imin yang hanya sibuk ngotot dirinya ingin menjadi Capres. "Tapi tak jelas, programnya apa. Sama seperti Prabowo, piikiran apa untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi ini? Tidak ada," bebernya.

Erick Thohir, Khofifah, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto hingga Giring PSI, lanjutnya tak ada yang bicara solusi atas potensi krisis pangan dan energi ini. "Semua bungkam, karena memang dangkal dan tak punya pikiran dan narasi dalam memberikan solusi atas problem yang menimpa negeri," ungkapnya.

Ia pun menambahkan pendukung Anies juga hanya sibuk bicara sambil membagikan foto Saudara Anies Baswedan kunjungan di sejumlah tempat, di dalam dan luar Negeri. "Atau hanya menyampaikan pesan citra politik via hadirnya tukang bakso di Balai Kota," imbuhnya.

Khozinudin melanjutkan seperti juga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, hanya sibuk mempertanyakan kenapa tukang Bakso baru hadir di Balai Kota hari ini, padahal Anies sudah menjabat Gubernur sejak lima tahun lalu. "Hasto hanya sibuk menyerang Anies dengan kasus tukang bakso, setelah sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati mempersoalkan calon mantu seperti tukang bakso," jelasnya.

Ia pun menyatakan kalau Pilpres 2024 itu solusi, capres yang muncul hari ini -atau paling tidak pendukungnya- semestinya sudah punya tawaran solusi atas adanya potensi krisis pangan dan energi ini. "Bukan hanya sibuk bermain citra, kampanye berbusa namun tak memberikan solusi terhadap akar masalah," geramnya.

Khozinudin menjelaskan bahwa resesi ekonomi yang dapat berdampak pada krisis ekonomi, krisis politik hingga krisis sosial tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari elit politik di negeri ini. "Krisis Politik hingga Krisis Sosial Tidak Pernah Mendapatkan Perhatian Serius dari Elit Politik Negeri ini," terangnya.

Ia pun memberi alasan beberapa point yang memperkuat pernyataannya. "Tidak ada yang bicara tentang program swasembada pangan, agar pangan kita tidak tergantung pada import," tuturnya.

Khozinudin melanjutkan tidak ada yang bicara kemandirian energi hingga nasionalisasi sektor pertambangan dan energi. "Agar negara berdaulat dan terbebas dari cengkeraman oligarki," tambahnya.

Tidak ada yang bicara soal proteksionisme lanjutnya, agar market negeri ini dimanfaatkan oleh pengusaha sendiri. "Tidak ada yang berfikir untuk meninggalkan fiat money, melepas ketergantungan terhadap dolar dan beralih pada sistem moneter berbasis dinar dirham (emas dan perak) agar krisis dan resesi ekonomi Amerika dan dunia tidak di eksport ke Indonesia," tegasnya.

Menurutnya, tidak ada yang bicara melakukan restrukturisasi kebijakan fiskal dengan meninggalkan sumber pendapatan ABNK kuno yang berbasis pada pajak dan utang.

Ia menyesalkan tidak ada program untuk menggenjot sektor riel yang tahan banting akan krisis dan segera menghapus ekonomi non riel (bursa saham dan komoditi berjangka), dan seterusnya. "Tidak ada pikiran untuk mengoptimalisasi SDM negeri ini, yakni putera putera terbaik bangsa Indonesia," sesalnya.

Ia menuturkan, hal itu untuk mengelola kekayaan alam negeri ini agar memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat. "Yang ada kekayaan di negeri ini hanya untuk menyejahterakan perusahaan Amerika, perusahaan China, TKA Cina, Luhut Binsar Panjaitan, Erick Thohir, dan sejumlah pemilik korporasi swasta lainnya," pungkasnya.[] Nita Savitri


Senin, 02 Mei 2022

Kenaikan Harga Pangan Makin Menyusahkan Rakyat


Tinta Media  - Kenaikan harga pangan menjelang lebaran dinilai semakin menyusahkan rakyat. "Kenaikan harga pangan makin menyusahkan rakyat. Mulai dari minyak goreng, tahu, tempe, daging sapi/ayam, cabai, bawang merah hingga gula kompak naik," tutur narator dalam Serba-serbi MMC: Lonjakan Inflasi Akibat Kenaikan Harga, Ekonomi Kapitalisme Sengsarakan Rakyat di kanal YouTube Muslimah Media Center, Senin (25/4/2022).

Mengatasi hal ini, lanjut narator, pada umumnya solusi yang ditawarkan adalah mendesak penguasa untuk mematok harga, "Sepintas solusi ini benar, namun menyebabkan inflasi semakin berkelanjutan. Dengan penguasa mematok harga, harga akan stabil pada waktu tertentu tapi perlahan mengurangi daya beli mata uang," bebernya.

Apalagi kini sistem mata uang yang diterapkan tidak adil dan tidak stabil. Sekarang sistem mata uang yang berlaku sistem mata uang kertas, tanpa kontrol dan tanpa back up dan semakin diperparah dengan sistem bunga.

"Sistem pasar bebas pun yang dianut sistem ekonomi kapitaslis menihilkan peran negara sehingga para kartel oligarki diberi ruang meraup keuntungan pribadi, " lanjutnya.

"Inilah kezaliman dari sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat," tegasnya.

Menurutnya, ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang dibangun berdasarkan aqiqah Islam. Untuk mengatasi hal ini, lanjutnya lagi, ada beberapa langkah yang akan dilakukan negara khilafah.

Pertama, menjaga penawaran dan permintaan di pasar agar tetap seimbang, yaitu bukan mematok harga barang dan jasa. "Harga barang dalam Islam justru dibiarkan mengikuti mekanisme penawaran dan permintaan di pasar," jelasnya. 

Kedua, negara memiliki peran menyeimbangkan ketersediaan barang dan jasa. "Ketika penawaran dan permintaan barang tidak stabil negara bisa memasok barang dan jasa dari wilayah lain," ungkapnya.

Ketiga, jika berkurangnya pasokan disebabkan penimbunan para kartel oligarki, para pelakunya dikenai sanksi ta'zir dan wajib melepaskan barang kembali ke pasar.

Keempat, jika kenaikan harga dikarenakan penipuan, negara bisa menjatuhi sanksi ta'zir dan hak khiyar atau membatalkan atau melanjutkan akad.

Kelima, jika kenaikan barang disebabkan faktor inflasi, negara wajib menjaga mata uangnya dengan standar emas dan perak, termasuk tidak menambah jumlah sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.

"Inilah langkah-langkah yang bisa dilakukan negara khilafah dalam mengendalikan harga barang dan jasa. Langkah ini pun sebagai jaminan bahwa khilafah akan memastikan masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhan dasar pokok mereka secara layak," pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin

Jumat, 08 April 2022

Korporatisasi Pertanian, Bukti Lepas Tangannya Pemerintah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1vpq2VZRdRsuqTJDwtURKbXXMpNf1urpM

Tinta Media - Data ketahanan pangan menunjukkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia pada 2020 hanya sekitar 21 hari. Angka ini terpaut jauh dari Thailand dan India yang merupakan negara kecil yang memiliki cadangan pangan lebih dari 140 hari, apalagi jika dibandingkan dengan Amerika yang memiliki 1.068 hari.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia ini hanya sedikit berbeda dua hari dengan Vietnam.

Dalam acara Korporatisasi Pertanian dalam Mendukung Ekosistem Halal Value Chain Berbasis Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di Ponpes Al-Ittifaq, Kabupaten Bandung, Selasa (22/3/2022),  Wapres mendukung inisiatif dari Kementerian Koperasi dan UKM yang menghadirkan program pemberdayaan petani melalui Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Menurutnya, hal ini dapat menjadi salah satu upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah berupaya memperkuat ketahanan pangan dengan mengalokasikan anggaran Rp76,9 triliun pada 2022 ini. Koperasi dinilai sebagai solusi tepat bagi terbentuknya korporatisasi para petani dan nelayan untuk meningkatkan produktivitas pangan. Ini karena koperasi sudah memiliki payung hukum dan modal sebagian besar dimiliki anggota.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan bahwa Ponpes Al-Ittifaq di Bandung menjadi role model pembentukan Kopontren dalam mewujudkan program korporatisasi petani. Selama ini, pendekatan pemerintah hanya dari input pengadaan saja, baik dari pupuk dan lainnya sehingga konsep korporatisasi pangan bagi petani kecil tidak bisa berjalan sendiri.

Corporate farming akan mengonsolidasi petani-petani kecil perorangan dalam bentuk koperasi. Diharapkan dengan program ini, ekosistem pertanian akan lebih efektif dan efisien, mulai dari pembiayaan, proses produksi, hingga pemasaran yang terintegrasi dan saling menguntungkan berbagai pihak melalui badan hukum koperasi.

Dengan koperasi, korporatisasi pertanian mampu dijalankan mulai dari sisi hulu sampai hilir. Dengan sistem ini, pembiayaan para petani, penyerapan hasil produksi hingga memasarkan hasil pertanian dilakukan koperasi sebagai off taker atau penghubung komoditas pertanian yang nantinya bekerja sama dengan berbagai pihak, baik swasta maupun korporasi.

Alternatif instrumen pembiayaan kepada koperasi dilakukan melalui penyaluran anggaran pemerintah melalui LPDB-KUMKM. Hal ini bertujuan untuk memperkuatan modal koperasi dan dilakukan dengan pembiayaan dana secara bergulir. Melalui Corporate Farming (korperasi pertanian) pemerintah berharap akan terbentuk ekosistem yang pertanian yang lebih efisien dan efektif serta lebih terintegrasi dan saling menguntungkan.

Ketahanan pangan memang sangat vital bagi semua negara karena makanan berkaitan dengan kelangsungan hidup seluruh populasi dunia. Tak hanya sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam, baik di darat maupun perairan. Selain itu negeri ini pun terkenal dengan hasil perkebunannya, seperti karet, kelapa sawit, tembakau, kapas, kopi, beras, dan lainnya. Hasil tambang pun melimpah ruah.

Namun miris, terkenal sebagai negara agraris yang subur dan kekayaan alam melimpah ruah dan seharusnya memiliki ketahanan yang kuat dalam berbagai aspek, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Bahkan, untuk bertahan dari kekurangan makanan saja kita tidak mampu sehingga harus mengimpor bahan-bahan pokok dari negara tetangga.

Kebijakan impor secara terus-menerus semakin membuat para petani terpuruk. Tak ayal, banyak dari mereka yang meninggalkan profesinya sebagai petani. Hal ini semakin memperburuk kondisi dan membuat semakin ketergantungan negara kepada impor. Kalau sudah begini, perekonomian negara pun semakin anjlok. Pertanian hanya dipandang sebelah mata bagi pemasukan. Negara malah mengutamakan pemasukan dari sektor pajak dan hutang yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan menurunkan kesejahteraan ekonomi.

Padahal, pertanian merupakan sektor terpenting dalam pemenuhan hajat rakyat dan seharusnya menjadi salah satu sektor utama untuk meningkatkan perekonomian.

Negara wajib bertanggung jawab penuh dalam mendukung dan meningkatkan kesejahteraan dengan menunjang keberhasilan sektor pertanian, bukannya malah menjadi regulator dan menyerahkan peningkatan ketahanan pangan kepada pihak swasta ataupun korporasi dalam bentuk koperesi. Inilah jika kita hidup di negeri yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme. Negara tidak akan benar-benar ikhlas mengurusi urusan rakyat karena rakyat hanya dijadikan ladang bisnis bagi para pemangku jabatan.

Ini berbanding terbalik dengan negara yang menganut sistem Islam atau khilafah. Ekonomi Islam mengakui produktivitas seluruh kegiatan perekonomian yang legal sesuai syariah, baik produksi barang maupun produksi jasa. Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan menambah dan mendapatkan kekayaan dan kesejahteraan rakyat dengan cara meningkatkan produksi nabati dan hewani.

Pertanian memiliki urgensi sangat besar dalam kehidupan karena merupakan sumber makanan dan pemasukan kekayaan umat. Dengan pertanian, akan dapat diberdayakan sejumlah besar tenaga kerja. Bahkan, sejarah mencatat bahwa dalam fikihnya, Khalifah Umar bin Khathab memberikan perhatian yang sangat besar pada pertanian. Beliau menjadikan pertanian sebagai kegiatan utama negara dan salah satu sumber terpenting bagi kas negara atau Baitul Mal.

Karena itu, dalam khilafah, pertanian mendapatkan pengaturan dari negara mulai dari konsep pengelolaan lahan hingga penjualan dan distribusi hasil pertanian. Hal ini karena kewajiban negara adalah untuk melayani umat dan menjamin seluruh kebutuhan pangan individu. Untuk memaksimalkan pengelolaan lahan, maka khalifah akan memberikan dukungan penuh kepada para petani mulai dari modal, sarana produksi, teknologi, serta berbagai infrastruktur seperti  pembuatan irigasi, jembatan, dan lainnya.

Selain itu, khilafah terlepas dari segala bentuk intervensi negara-negara asing dan memiliki kemandirian pangan sehingga tidak akan bergantung pada impor, tidak terjadi benturan dengan harga pupuk yang tinggi sehingga membuat harga melambung tinggi. Dukungan seperti itu akan membuat para petani bersemangat dalam memproduksi dan terhindar dari lekurangan pangan.

Sejarah mencatat bahwa khilafah pernah mencapai kegemilangan dalam ketahanan pangan. Pertaniaan berproduksi sepanjang tahun dengan jenis tanaman yang bervariasi, bahkan daerah yang ditinggalkan penduduk tumbuh menjadi daerah padat penduduk yang produktif pertaniannya. Ini karena konsep Islam mengharamkan tanah atau lahan yang kosong tidak produktif atau ditelantarkan selama tiga tahun.

Wallahu'alam bisshawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab