Tinta Media: Pancasila
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 September 2024

Pancasila Tanpa Agama, Moderasi Agama Agenda Pancasila

Tinta Media - Pelepasan jilbab terhadap anak Paskib terlihat ketika Pengukuhan di IKN. Ketua BPIP, Yudian Wahyudi membantah adanya pemaksaan, beliau berargumen bahwasanya setiap anggota Paskib harus menaati peraturan yang berlaku. Terkait atribut jilbab tertuang dalam peraturan terbaru yang sudah di tanda tangani oleh masing-masing anggota Paskib. Berarti atas kesadaran penuh mereka melepaskan jilbab. (Temponasional, 13/08/24)

Argumen-argumen terus digaungkan usaha membela diri. Ironis, jejak digital beliau mengatakan bahwa agama musuh terbesar Pancasila. Islam di klaim bertentangan dengan konsep Pancasila sebagai dasar aturan kehidupan manusia yang beragam, seperti Indonesia. Orientasi beliau, Islam terlalu ekstrem menjadi manuver politik, meskipun mayoritas Muslim namun tetap menentang Bhinneka Tunggal Ika. (Detiknews, 12/02/20)

Hal ini tuai kecaman dan kritik dari berbagai pihak, banyak pihak beranggapan bahwa hal tersebut tidak menunjukkan identitas dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Ekspresi yang tertuang justru menyelisihi sila pertama. Meskipun Yudian menyatakan ini merupakan ikhtiar uniform dalam rangka menjaga kebhinekaan dengan kesatuan.

Berujung menimbulkan paradigma menyesatkan dan multitafsir. Pertama, esensi dari Bhineka Tunggal Ika menjadi bercorak negatif, kedua  diskriminasi terhadap agama Islam terlihat jelas. Ketiga, terjadi pelanggaran HAM terhadap perempuan berjilbab. Keempat, kebebasan beragama tidak terealisasi dalam Pancasila.

Sejatinya mereka melupakan sejarah. Bahwasanya dalam kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari pejuang mayoritas Muslim, Kyai Hasyim Ashari (Pendiri NU), Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, para santri, bahkan pendiri NKRI seorang Muslim. Sehingga mustahil para pejuang, berjuang dengan memusuhi agama-Nya. Sejatinya, Islam dijadikan spririt mereka, dicontohkan bung Tomo dengan pekiknya takbir menyulutkan semangat Jihad fisabilillah untuk merdeka.

Jika ditelisik lebih mendalam, ibunda Fatimah yang terkenal dengan Fatmawati, seorang wanita Muslim yang menjahit bendera pusaka sang saka merah putih sebagai simbolik dalam paskibraka juga mengenakan jilbab. Sekarang sudah 79 tahun merdeka namun kebebasan mengekspresikan identitas agama kian terbatas.

Merdeka dari perang fisik namun pemikiran terjajah!

Berimpack hilangnya kepercayaan publik terhadap negara. Jika BPIP adalah wadah yang seharusnya paham Pancasila, kenapa tindakannya berseberangan? Pada siapa publik menyandarkan harapan dan rasa hormatnya, jika negara berkhianat?

Kisah Aidit perusak negara berkedok Pancasila terulang kembali, dengan opini yang sama. Agama musuh terbesar Pancasila. Berangkat dari 13 Agustus 2024, kita harus lebih aware lagi adanya agenda Islam moderat itu nyata. Berkedok nasionalisme memaksa hak manusia untuk memiliki rasa toleransi tinggi yang sejatinya menghianati Sang Pencipta.

Menurut Yudian menuju kesatuan membutuhkan pelicin dengan pelumas sekularisasi. Barometer seluruh perkara yang menyangkut kehidupan tidak disandarkan pada agama. Artinya masyarakat berkembang menuju maju diberi kebebasan mengatur kehidupan masing-masing, namun menyangkut persoalan kebutuhan banyak orang harus terikat dengan aturan negara dengan wadah konstitusi.

Carut-marutnya negeri ini karena eksisnya pemikiran-pemikiran liberal meracuni generasi bangsa. Adanya sekulerisasi justru menancapkan paradigma rancu dan sesat. Dengan tidak melibatkan peran Sang Khaliq di dalam aturan kehidupan.

Alhasil sekedar memaknai jilbab saja multitafsir. Ironis ketika dianggap tidak idealis dengan Bhineka Tunggal Ika. Memalingkan makna sesungguhnya terhadap makna lain, Indonesia memang beragam akan budaya, ras, kesukuan, dan agama. Beragam namun satu, bukan berarti mayoritas dipaksa minoritas. Beragam di sini esensinya terdiri dari kemajemukan tidak ada korelasi dengan menyeragamkan anak paskib tanpa jilbab.

Harus dipahami dengan saksama bahwa akar problem bersumber dari negara yang mengadopsi sekularisasi sebagai barometer pembuat aturan. Seharusnya kita memahami bahwasanya sifat dari akal itu terbatas. Ketika dipaksa untuk membuat aturan pasti hasilnya amburadul, membuat gaduh, bahkan menimbulkan masalah berantai.

Ketika kita move on dengan sistem toguth tentunya continue dengan seperangkat aturan yang datangnya memang dari Sang Khaliq, yaitu sistem politik Islam. Tentunya akan melahirkan pemikiran cemerlang, dan memiliki kerangka berpikir utuh dan jelas.

Tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terpecah belah, dan tidak mudah berkhianat. Karena dalam Islam jelas memiliki sistem pendidikan dengan kurikulum Islam yang akan melahirkan generasi dengan bertakwa dan berbudi luhur.

Setiap aktivitasnya mencerminkan agama masing-masing. Kemajemukan tidak menjadi kendala dan penghalang untuk bersatu dalam wadah Islam. Kenapa? Sudah dicontohkan dalam sejarah kegemilangan Islam, ketika Islam hampir 14 abad menguasai 2/3 benua dengan mengayomi agama nasrani, yahudi, dan Islam, yang notabene majemuk bukan hanya terdiri dari Islam semata. Sejatinya Islam agama sekaligus mabda yang mengatur seluruh alam, manusia, dan kehidupan.

Wallahu’alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., Penulis Ideologis, Kontributor Tinta Media

Senin, 08 Juli 2024

IJM: Pancasila Jadi Kedok Terjadinya Kapitalisme

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana.menilai, Pancasila hanya menjadi tameng atau kedok terjadinya kapitalisme.

"Melalui penguasa, Pancasila hanya menjadi tameng, kedok. Yang sebenarnya, terjadilah kapitalisme," ujarnya dalam unggahan video Bahaya IUP-Tambang untuk Ormas Keagamaan yang diterima Tinta Media, Rabu (3/7/2024).

Ia menjelaskan kapitalisme memandang tambang, minerba dan migas sebagai barang dagangan sehingga boleh dimiliki pribadi atau swasta.

"Konteks ini minerba, migas dan tambang menguntungkan segelintir orang, para pemodal," bebernya.

Ia mensinyalir ada kemungkinan ormas keagamaan akan merapat kepada pemilik modal

Dalam ideologi ada konsep menarik, ujarnya, dalam Islam migas, minerba dan tambang  yang menguasai hidup orang banyak dan milik rakyat harus dikuasai negara dengan orientasi pelayanan untuk kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.

Ia mengutip hadist Nabi Saw: "Manusia berserikat serta bersama-sama dalam air, padang pengembaraan dan api. Api itu termasuk didalamnya tambang (energi)".

“Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, kepemilikan dan pengolahan tambang yang dilakukan oleh swasta dengan konteks bisnis, hukumnya haram,” pungkasnya.[] Muhammad Nur

Rabu, 10 April 2024

Secara Normatif maupun Faktual, Pancasila Hanyalah Nama Lain dari Sekularisme

Tinta Media - Tadinya, kaum Muslim bersatu dalam naungan khilafah dengan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya sehingga tegaklah syariat Islam secara kaffah. Pasca runtuhnya khilafah, kaum Muslim terpisah dan tersekat ke lebih dari 57 negara bangsa dan tak satu pun negaranya yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. 

Hal itu terjadi lantaran faktor internal dan eksternal. Secara internal pemahaman kaum Muslim terhadap ajaran Islam mengalami kemerosotan signifikan. Secara eksternal, kafir penjajah berhasil menanamkan  ide sekularisme dan ide negara bangsa di benak tokoh-tokoh Muslim yang memang mengalami kemunduran pemahaman akan ajaran agamanya sendiri. 

Khusus di Indonesia, merupakan keberhasilan penjajah kafir Belanda dalam program Politik Etis pada 1901-1942 M, yang salah satu targetnya adalah berupa edukasi agar kaum Muslim menjadi sekuler dan menerima ide negara bangsa.

Walhasil, bukan berjuang mengusir penjajah untuk kembali menegakkan syariat Islam secara kaffah dengan sistem pemerintahan khilafah dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, setelah penjajah terusir malah semuanya menjadikan sekularisme sebagai dasar negaranya. Sistem pemerintahannya: ada yang demokrasi (contoh: Indonesia; Pakistan); ada pula yang kerajaan (contoh: Brunei Darussalam; Arab Saudi). 

Hanya saja, sekularisme ini memiliki nama beragam. Di Indonesia dikenal dengan nama Pancasila.

Normatif dan Faktual 

Mungkin sebagian kaum Muslim bertanya-tanya mengapa Pancasila dikatakan sebagai nama lain dari sekularisme, bukankah sila pertamanya jelas-jelas “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bahkan di Pembukaan UUD 1945 disebutkan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...”?

Dikatakan sekuler/sekularisme karena memang secara normatif maupun secara faktual mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah yang Mahakuasa) tetapi dalam tata negaranya, maupun sebagian (besar) hukum yang diterapkan bukan dari Islam, bahkan tak sedikit yang bertentangan dengan Islam.  

Secara tata negara, negara ini bersistem pemerintahan demokrasi (sesuai dengan sila keempat Pancasila). Sedangkan dalam pandangan Islam, demokrasi merupakan sistem kufur yang haram untuk ditegakkan, dijaga, dan disebarluaskan. Lantaran, sistem tersebut (1) bukan lahir dari akidah dan syariat Islam, tetapi lahir dari akidah sekuler kafir penjajah Barat, serta (2) menjadikan kedaulatan ada di tangan rakyat. 

Padahal dalam Islam, kaum Muslim sama sekali tak boleh menerapkan sistem pemerintahan yang lahir dari (1) akidah dan aturan selain Islam, dan (2) wajib hanya menjadikan Allah SWT yang berdaulat dengan menjadikan Al-Qur’an, Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas Syar’i sebagai sumber hukumnya.

Selain itu tak ada satu klausul pun dalam konstitusi negara Pancasila ini yang mewajibkan penyelenggara negara menerapkan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah yang Mahakuasa) secara kaffah. Makanya, banyak regulasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam tetapi tak pernah dinyatakan bertentangan dengan Pancasila. 

Di antaranya adalah regulasi yang melegalkan perbankan maupun pinjaman online (pinjol) menarik riba (bunga/interest); melegalkan negara melalui BUMN Sarinah mengimpor khamar (miras/minol) dan menjualnya di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini, juga melegalkan Pemda DKI Jakarta dan Pemda NTT memiliki saham di pabrik khamar. 

Sampai detik ini pun badan yang paling otoritatif dalam pembinaan ‘ideologi’ Pancasila (BPIP) tak pernah mempermasalahkan semua keharaman dalam Islam tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila.

Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam karena banyak pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam, (salah satunya adalah memandatkan kepada presiden agar membolehkan asing berinvestasi membuat pabrik miras di Indonesia) dikatakan sesuai Pancasila. 

“Saya bisa katakan Omnibus Law UU Cipta Kerja Pancasila banget,” ujar Sekretaris Utama BPIP Karjono, Jumat (27/11/2020) sebagaimana diberitakan di situs resmi BPIP, bpip.go.id.

Lebih jauh lagi, malah Ketua BPIP Yudian Wahyudi sebelumnya (Februari 2020) menyatakan, “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama.” Agama apa lagi yang dimaksud kalau bukan Islam? Karena selama ini ajaran agama yang distigma negatif rezim negara Pancasila ini adalah Islam, tak terdengar mereka menstigma negatif ajaran agama selain Islam. 

Di sini kaum Muslim mesti sadar, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. Selain itu, tak perlu pula berekspektasi seluruh syariat Islam akan diterapkan secara sempurna di negara Pancasila dengan sistem pemerintahan demokrasinya.

Karena, sekularisme ---apa pun namanya--- memastikan tata negaranya jangan sampai islami, dan (sebagian/sebagian besar/seluruh) aturan yang ditegakkan tak boleh dari Islam. 

Maka tak aneh, Pancasila kerap kali dijadikan alat rezim dari masa ke masa untuk menggebuk siapa saja yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah, dengan alasan: radikal, bertentangan dengan Pancasila, tidak demokratis, dan lain sebagainya.

Tapi giliran penjahat seksual manggung di podcastnya Deddy Corbuzier dan berbagai wasilah lainnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, “Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Deddy menampilkan LAGI BETE di podcast miliknya.” 

Padahal jelas-jelas propaganda kejahatan seksual yang dilakukan DC itu sama haramnya dengan praktik kejahatan seksual yang dilakukan pasangan penjahat seksual yang diundangnya, semuanya (dalam aturan Islam) wajib dihukum tegas, tanpa ampun. 

Maka, sekali lagi, dapat disimpulkan, secara normatif maupun faktual, Pancasila hanyalah nama lain dari sekularisme. Tak lebih dan tak kurang. Wallahu’alam bish-shawwab. [] 

Depok, 14 Syawal 1443 H | 15 Mei 2022 M

Oleh: Joko Prasetyo 
Jurnalis
 


Sabtu, 19 Agustus 2023

SYARIAH YESS, KHILAFAH YESS, PANCASILA NO, NKRI NO

Tinta Media - Kalau basis kesetiaan akan perjuangan adalah merujuk pada komitmen founding fathers, maka bagi umat Islam wajib terikat dan setia pada Khilafah. Mengingat, founding fathers umat Islam adalah para sahabat. Sementara, para sahabat pasca meninggalnya Rasulullah Saw telah bersepakat dengan Khilafah.

Saat Rasulullah Saw mangkat, para sahabat bermusyawarah di Saqifah Bani Saidah, berdebat tentang siapa pemimpin Umat Islam pengganti Rasulullah Saw. Lalu, para sahabat kemudian bersepakat membai'at Abu Bakar RA sebagai Khalifah.

Sementara bentuk negara dengan sistem Khilafah tidak diperdebatkan. Para sahabat telah paham dan sepakat, bahwa negara yang diwariskan Nabi Muhammad Saw berbentuk Khilafah. Para sahabat hanya berdebat tentang siapa Khalifahnya, dan akhirnya berakhir dengan kesepakatan membai'at Abu Bakar.

Para sahabat tidak pernah melirik sistem Republik, Kerajaan maupun Kekaisaran (seperti Romawi dan Persia ketika itu). Para sahabat memilih setia dan menaati Nabi Muhammad Saw, dengan melanjutkan kekuasaan Nabi melalui sistem Khilafah.  

Kenapa Sahabat melanjutkan kekuasaan Nabi dengan sistem Khilafah? 

Karena esensi kekuasaan Nabi adalah untuk menerapkan syariat Islam. Dan hanya sistem Khilafah, yang punya visi menerapkan syariat Islam, melaksanakan kedaulatan Syara'.

Republik melaksanakan kedaulatan rakyat, kerajaan melaksanakan kedaulatan Raja, kekaisaran melaksanakan kedaulatan kaisar. Sehingga, syariat Islam tidak kompatibel dengan sistem Republik, Kerajaan maupun kekaisaran.

Adapun Pancasila, bukan wahyu, bukan ajaran Nabi, bukan peninggalan para sahabat. Pancasila hanyalah buah pikir Soekarno dan diperdebatkan oleh sejumlah tokoh.

Adapun piagam Jakarta, juga hanya perdebatan sejumlah tokoh yang juga tidak meningkatkan statusnya menjadi dalil. Bahkan, piagam Jakarta menghasilkan konsensus yang batil berupa 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya'.

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, adalah konsensus batil. Karena syariat Islam berlaku bagi seluruh umat, sebagai Rahmat bagi semesta alam.

Pada era Nabi, syariat Islam diterapkan kepada seluruh warga negara Islam di Madinah, termasuk Bani Qoinuqo, Bani Quraizhah dan Bani Nadzir yang Yahudi, kepada kaum Nasrani dan Majusi.

Dalam konsepsi Khilafah yang menerapkan Islam, warga negara Khilafah ada yang muslim dan ahludz dzimmah. Keberlakuan syariat Islam bagi seluruh warga negara, bukan hanya bagi yang beragama Islam.

Dalam Islam, siapapun pembunuh baik pelakunya beragama Islam maupun non Islam, hukumannya diterapkan Islam yakni disanksi bunuh. Siapapun yang mencuri, baik muslim maupun non muslim akan dipotong tangannya. Siapapun yang berzina, baik muslim maupun non muslim akan dirajam.

Siapapun warga negara, baik muslim maupun non muslim wajib mendapatkan pelayanan dari Khilafah, berupa jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat basic, baik sandang, pangan dan papan. Khilafah memberi makan kepada semua rakyat, bukan hanya yang beragama Islam saja.

Republik adalah sistem batil, karena tidak menerapkan Islam melainkan menerapkan hukum rakyat. Meskipun disebut Republik Islam, tetap saja batil karena pemberlakuan hukum Allah SWT wajib tunduk pada UU rakyat.

Jadi, sebagai umat Islam maka wajib terikat dengan kesepakatan founding fathers, yakni para sahabat. Wajib terikat dengan syariat Islam dan memperjuangkan sistem Khilafah. Syariah dan khilafah yess, Pancasila dan NKRI No. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 

Minggu, 06 Agustus 2023

Joko Prasetyo: Kaum Nabi Luth Melanggar Pancasila?

 

Tinta Media - Jurnalis Senior Joko Prasteyo menuturkan, kalau kaum Nabi Luth melanggar Pancasila pastilah sudah dikecam habis-habisan.

"Kalau kaum Nabi Luth melanggar Pancasila pastilah sudah dikecam habis-habisan oleh badan yang paling otoritatif dalam pembinaan 'ideologi' Pancasila (BPIP), sebagaimana mereka mengecam kewajiban menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah," tuturnya kepada Tinta Media dalam tulisannya yang berjudul "Selamat Datang Kaum Nabi Luth di Negara Pancasila," Jumat (4/8/2023).

Sehingga menurutnya, dengan begitu menjadi jelas mana yang sesuai Pancasila dan mana yang tidak.

Joko Prasetyo juga menyatakan, rezim sebagai petugas pelaksana, penerap, dan penjaga Pancasila pastilah dengan lantang memekik, "Negara tidak boleh kalah dengan kaum Nabi Luth!" Sebagaimana lantangnya rezim menggunakan kata ganti "radikal-radikul" untuk menyudutkan perjuangan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

"Ormas tertentu juga pastilah ramai-ramai bubarkan acara tersebut dengan percaya diri karena pasti didukung oleh aparat, sebagaimana kebiasaan aparat membiarkan ormas tertentu mempersekusi aktivitas dakwah penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah," sambungnya.

Ia pun mengucapkan selamat datang kepada kaum Nabi Luth di negara Pancasila.

"Karena menurut anggota Al-Hakiim negara Pancasila (DPR) yang urung memberi sanksi kepada kalian di KUHP Baru, sebagaimana dikabarkan mantan petinggi BPIP yang sekarang jadi menko rezim, kelakuan kalian adalah kodrat," ujarnya mengakhiri.[] Muhar

Rabu, 05 Juli 2023

PANCASILA BUKAN DALIL, TIDAK BERPAHALA BAGI YANG MENGAMALKANNYA, TIDAK PULA BERDOSA ORANG YANG MENGABAIKANNYA


Tinta Media - Siapapun yang beramal, diniatkan bukan karena Allah SWT, maka amalnya tertolak. Siapapun yang ingin beramal karena Allah SWT, maka amalnya harus merujuk dalil. Yang dimaksud dalil adalah Al Qur'an, as Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma' Sahabat dan Qiyas Syar'i.

Pancasila bukan dalil, Sanad Pancasila berhenti pada Soekarno. Sementara Al Qur'an, as Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma' Sahabat dan Qiyas Syar'i adalah dalil yang sanadnya menyambung hingga kepada Rasulullah Saw.

Al Qur'an adalah Kalamullah, kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Membacanya adalah ibadah. Jadi, Al Qur'an sanadnya menyambung kepada Rasulullah Saw.

As Sunnah adalah setiap perkataan, perbuatan dan taqrirnya Rasulullah Saw atas perbuatan para sahabat. Jadi, As Sunnah sanadnya juga menyambung kepada Rasulullah Saw.

Sahabat Nabi, adalah para pengikut setia Nabi muhammad SAW. Para sahabat mustahil ijma' atas kemaksiatan. Setiap ijma' sahabat berlaku sebagai dalil. Ijma' sahabat sanadnya juga menyambung kepada Rasulullah Saw, karena sahabat adalah orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW, hidup dan berjuang bersama Nabi SAW serta merealisir arti persahabatan dengan kesetiaan dan pembelaan.

Sementara Pancasila? 

Pancasila hanya perkataan Soekarno. Tidak berpahala bagi yang mengamalkannya, tidak pula berdosa siapa yang mengabaikannya. Bahkan, pancasila akan menjadi maksiat besar ketika digunakan untuk menghalangi ketaatan kepada Allah SWT untuk menerapkan syariat Islam.

Saat ini, Pancasila justru digunakan untuk menghalangi syariat Islam. Umat Islam yang memperjuangkan syariat Islam, memperjuangkan Khilafah, dianggap menyalahi Pancasila dan dihalangi bahkan dibungkam dakwahnya.

Dalam masalah politik, Umat Islam tidak pernah diperintahkan untuk merujuk pada Pancasila. Umat Islam hanya diperintahkan merujuk pada dalil, yaitu Al Qur'an, as Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma' Sahabat dan Qiyas Syar'i .

Saat Rasulullah SAW mangkat, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Para Sahabat yang dekat dengan Nabi, dekat dengan Al Qur'an, bersepakat (Ijma') melanjutkan pemerintahan Islam yang ditinggalkan Nabi dengan sistem Khilafah dimana Abu Bakar RA dibaiat menjadi Khalifah yang pertama.

Jadi, para sahabat tidak mengambil sistem kerajaan seperti Persia, tidak mengambil sistem kekaisaran seperti Romawi, tidak pula mengambil sistem Republik yang meletakan kedaulatan hukum ditangan rakyat seperti dalam sistem Demokrasi.

Para sahabat meletakan kedaulatan hukum ditangan Syara', dan membaiat seorang Khalifah sebagai wakil umat untuk menerapkan Al Qur'an dan as Sunnah. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Abu Bakar RA menetapkan halal dan haram, perintah dan larangan, berdasarkan Syara'. Inilah, maksud dari kedaulatan ditangan Syara'.

Sementara sistem pemerintahan saat ini, menetapkan halal dan haram, perintah dan larangan berdasarkan kedaulatan Rakyat. Hukum harus tunduk pada rakyat, melalui wakilnya di DPR. Hukum Allah SWT dikalahkan dengan hukum rakyat.

Pancasila juga demikian, tidak digali dari dalil, bukan dalil, tidak bisa dijadikan sandaran amal. Siapa yang beramal diniatkan karena Pancasila, maka tidak bernilai. Kelak di akhirat akan menjadi orang orang yang merugi.

Jadi, daripada sibuk membahas Pancasila yang tidak ada nilainya dimata Allah SWT, lebih baik membahas Al Qur'an dan as Sunnah serta sistem Khilafah yang diterapkan para sahabat. Berpolitik mengikuti sahabat jelas berpahal dan nyambung sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW. []

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Kamis, 08 Desember 2022

IJM: Pancasila Jadi Alat untuk Menekan Pihak Oposisi

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai bahwa pancasila sejak orde lama, orde baru sampai orde reformasi sering dijadikan alat untuk menekan pihak-pihak yang beroposisi dengan rezim yang berkuasa.

"Kita tahu bagaimana dulu di masa orde lama, kelompok-kelompok yang anti pada nasakom diberangus dengan alasan anti pancasila. Di zaman Orde Baru misalnya, banyak orang yang kemudian protes kepada pemerintahan orde baru dianggap juga sebagai anti pancasila. Hari ini orang Islam yang menginginkan tegaknya syariat dan khilafah juga dianggap anti pancasila. Seringkali pancasila itu dijadikan sebagai tameng untuk menggebuk mereka-mereka yang kritis terhadap kekuasaan," tutur Agung Wisnu Wardana dalam program Aspirasi Rakyat: RKUHP Jauh Lebih Kolonial? di kanal Youtube Justice monitor Channel, Ahad (4/12/2022).

Menurutnya, berbagai upaya untuk mengganti pancasila sebagai dasar negara akan dipidanakan, seperti yang tertuang di dalam RKUHP pasal 190 ayat 1. Agung mengungkapkan isi RKUHP pasal 190 ayat 1, "Setiap orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan, tulisan atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun," ungkapnya.

RKUHP pasal 190 ayat 1, kata Agung, dinilai banyak pihak sebagai gejala otoritarianisme legitimasi rezim anti kritik dan menimbulkan polemik. 

"Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada pasal 190 ayat 1 dan ayat 2 dalam draft tahun 2019 maupun draft yang terbaru kontennya sama, hal itu diatur dalam paragraf 2 tentang peniadaan dan penggantian ideologi pancasila, dinilai banyak pihak sebagai gejala otoritarianisme legitimasi rezim anti kritik dan menimbulkan polemik," tuturnya.

Beberapa pasal dalam RKUHP yang dinilai krusial menimbulkan beragam penafsiran, seperti 190 ayat 1 tersebut. "Siapa sih yang kemudian dianggap akan mengganti pancasila atau meniadakan ideologi pancasila? itu kan pertanyaan menggelitik, toh rezim yang berkuasa hari ini menerapkan kapitalisme liberal sekuler, yang kemudian secara ekonomi liberal secara politik demokrasi," tuturnya.

Sejumlah pihak menilai bahwa pancasila tidak mempunyai blueprint sebuah ideologi. "Seharusnya punya blueprint atau cetak biru, konsep yang clear dari nilai-nilai filosofis seperti yang dimiliki ideologi sosialisme komunisme, ideologi liberalisme kapitalisme termasuk ideologi Islam," jelasnya.

Faktanya, kata Agung, KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan Belanda, negara yang menjajah bangsa ini berabad-abad lamanya.  

"Sehingga wajar jika sifat undang-undang ini memang mencerminkan sifat penjajahan atau bernuansa kolonial. KUHP ataupun rancangan KUHP yang sedang digodok sekarang itu, dinilai memang tidak bisa memenuhi semua aspirasi rakyat," tuturnya.

Ia mengatakan, sebaik apapun manusia ketika berusaha membuat aturan, tidak akan pernah menghasilkan aturan yang sempurna. 

"Manusia adalah makhluk yang berakal yang memiliki hawa nafsu, setiap orang akan memandang sesuatu sesuai kebutuhannya dan kepentingannya sendiri serta akan melahirkan perbedaan dan pertentangan," ungkapnya.

 
 *Solusi Islam*

Islam mengajarkan bahwa kebenaran itu hanya milik Allah SWT sebagai pencipta sekaligus pengatur manusia, alam dan juga kehidupan. "Kedaulatan itu di tangan pembuat hukum yaitu Allah Swt, yang tahu persis kebutuhan manusia, sudah selayaknya sebagai manusia yang beriman menjadikan Allah dan rasulnya sebagai sumber rujukan, yaitu memakai Alquran dan As-sunnah sebagai sumber dari segala sumber hukum, seperti tercantum di dalam Al-qur'an surat Muhammad ayat 33 dan surat An-nisa ayat 59," jelas Agung.

Menurutnya, hukum yang shahih yaitu hukumnya Allah SWT. "Dengan demikian KUHP ini hanya akan masuk akal dan berkah bagi semua apabila berlandaskan Islam semata," pungkasnya. [] Evi

Senin, 21 November 2022

Bagaimana Cara Negara Pancasila Menangani Kejahatan?

Tinta Media - Ditanya soal cara negara Pancasila menangani kejahatan, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyampaikan tanggapannya.

"Kalau ditanya bagaimana cara negara Pancasila mengatasi kejahatan, ya enggak tahu. Saya ini terus terang saja," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (2/11/2022).

Karena konsep Pancasila, ia sendiri tidak mengerti. "Yang jelas kalau ada kejahatan-kejahatan itu penyelesaiannya dengan KUHP. Sedangkan KUHP itu sendiri adalah warisan Belanda. Itu sangat keliru," ujarnya. 

Menurutnya, berbagai kerusakan dan kejahatan yang terjadi saat ini karena diterapkannya sekularisme.

"Sehingga saya melihat, memang hari ini di negeri kita ini, kenapa muncul banyak kerusakan di mana-mana? Itu karena diterapkannya sekularisme yaitu pemisahan agama dengan kehidupan," ujarnya.

Sekularisme di bidang ekonomi itu melahirkan kapitalisme, lanjutnya, sekularisme di bidang politik itu melahirkan demokrasi yang anak turunnya itu namanya oligarki. Sekularisme di bidang sosial itu liberalisme. Kebebasan beragama dan kebebasan bertingkah laku itu terjadi di mana-mana. Dan itu nyata di depan mata kita.

Terakhir, ia memberikan permisalan bahwa  di Indonesia terjadi krisis yang disebabkan oleh kapitalisme, namun cara yang dipakai adalah kapitalisme juga, jadi sama-sama rusak.

"Indonesia misalnya sedang krisis. Solusi apa yang dipakai? Pasti solusi kapitalisme. Dan rata-rata hari ini orang bingung menyelesaikan. Karena memang problem kerusakan ekonomi hari ini kapitalisme kalau dikasih solusi kapitalisme juga kan sama rusaknya," pungkasnya.[] Nur Salamah

Selasa, 30 Agustus 2022

ANTI KHILAFAH ANTI HT1, JUALAN RADIKALISME, SOK NKRI SOK PANCASILA, KAROMANI TERNYATA MALING!

Tinta Media - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penangkapan Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, saat ini Karomani tengah diperiksa di Gedung KPK, Jakarta.

Ali mengatakan, KPK melakukan operasi tangkap tangan di dua wilayah, yakni Bandung, Jawa Barat dan Lampung, pada Sabtu dini hari. 

Karomani disebut diduga menerima suap senilai sekitar Rp 2 miliar. Akan tetapi belum jelas suap itu terkait apa. 

Karomani sebelumnya diketahui memimpin Forum Rektor untuk menangkal radikalisme. Dia terkenal anti Khilafah, anti HTI.

Sebagai Ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB), Karomani, sering jualan radikalisme dan anti Khilafah. Jualan pancasila dan NKRI harga mati. Sok jagoan menentang Khilafah, ternyata maling.

Karomani, menambah deret nama orang yang sok pancasila, sok NKRI harga mati, menentang Khilafah, yang nyatanya maling. Sebelumnya, nama-nama seperti Rohmahurmuzy eks ketua PPP, Imam Nahrawi politisi PKB, juga paling sok Pancasila, anti Khilafah dan paling gencar jualan radikalisme. Faktanya mereka semua maling.

Sama seperti Setya Novanto, Idrus Marham, Juliari Peter Batubara, semuanya sok pancasilais. Ternyata, maling semua.

Sekarang tinggal kita perhatikan, yang jualan radikalisme, terorisme, menolak Khilafah dan ngakunya paling pancasila dan paling NKRI. Tunggu saja waktunya, ujung-ujungnya mereka diciduk KPK karena maling.

Semestinya, kalau tidak sependapat dengan Khilafah, minimal diam. Bukan menghalangi, apalagi menentang.

Pejuang Khilafah hanya menjalankan perintah Allah SWT. Berani berurusan dengan pejuang Khilafah, sama saja berani berurusan dengan Allah SWT.

Hati-hati, jangan menolak Khilafah apalagi menentangnya. Khilafah adalah ajaran Islam, dari Allah SWT. Berani berurusan dengan Khilafah, siap-siap dicokok KPK seperti Karomani. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik


Sabtu, 27 Agustus 2022

AK: Sok Pancasila, Sok NKRI Harga Mati, Menentang Khilafah, Ternyata Maling

Tinta Media - Penangkapan Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga menerima suap senilai sekitar Rp 2 miliar, dinilai Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin (AK) menambah deret nama orang yang sok pancasila, sok NKRI harga mati, menentang Khilafah, yang ternyata maling.

“Karomani, menambah deret nama orang yang sok pancasila, sok NKRI harga mati, menentang Khilafah, yang nyatanya maling,” ujar Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin kepada Tinta Media, Kamis (25/8/2022).

Sebelumnya, kata AK, nama-nama seperti Rohmahurmuzy eks ketua PPP, Imam Nahrawi politisi PKB, juga paling sok Pancasila, anti Khilafah dan paling gencar jualan radikalisme. "Faktanya mereka semua maling," tegasnya.

"Sama seperti Setya Novanto, Idrus Marham, Juliari Peter Batubara, semuanya sok pancasilais. Ternyata, maling semua," tambahnya.

Ia mengungkap Karomani sebagai Ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB), sering jualan radikalisme dan anti Khilafah. “Jualan pancasila dan NKRI harga mati, sok jagoan menentang Khilafah, ternyata maling,” ungkapnya.

AK menuturkan bahwa Karomani sebelumnya diketahui memimpin Forum Rektor untuk menangkal radikalisme. “Dia terkenal anti Khilafah, anti HTI,” tuturnya.

Ia mengingatkan kepada siapa saja yang jualan radikalisme, terorisme, menolak Khilafah dan ngakunya paling pancasila dan paling NKRI. “Tunggu saja waktunya, ujung-ujungnya mereka diciduk KPK karena maling,” tegasnya.

AK berharap, kalau tidak sependapat dengan Khilafah, minimal diam. “Bukan menghalangi, apalagi menentang,” harapnya.

Menurutnya berurusan dengan pejuang Khilafah, berarti berurusan dengan Allah. “Pejuang Khilafah hanya menjalankan perintah Allah SWT. Berani berurusan dengan pejuang Khilafah, sama saja berani berurusan dengan Allah SWT,”

Ia mengingatkan agar hati-hati, jangan menolak Khilafah apalagi menentangnya. Khilafah adalah ajaran Islam, dari Allah SWT. “Berani berurusan dengan Khilafah, siap-siap dicokok KPK seperti Karomani,” tandasnya.[] Raras

Senin, 22 Agustus 2022

𝐊𝐄𝐑𝐔𝐃𝐔𝐍𝐆, 𝐇𝐄𝐋𝐌, 𝐈𝐒𝐋𝐀𝐌 𝐃𝐀𝐍 𝐏𝐀𝐍𝐂𝐀𝐒𝐈𝐋𝐀

Tinta Media - Mengenakan seragam sekolah yang memadukan warna putih dan abu-abu itu hukumnya mubah. Tapi oleh negara Pancasila ini diwajibkan. Pihak sekolah memaksakan kepada siswa-siswinya untuk mengenakan seragam tersebut. Rezim negara Pancasila dan juga para pendengungnya (𝑏𝑢𝑧𝑧𝑒𝑟) adem karena itu dianggap tidak melanggar Pancasila.
.
Sedangkan Muslimah yang sudah 𝑎𝑞𝑖𝑙 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑔ℎ mengenakan kerudung (kain yang menutup kepala hingga dada kecuali muka) dan wajib mengenakan jilbab (kain yang menutup dari leher hingga telapak kaki kecuali tangan) itu hukumnya wajib. 
.
Tapi anehnya rezim negara Pancasila ini mempermasalahkannya sehingga gubernur setempat menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru sebuah SMA yang mengedukasi siswi Muslimahnya untuk mengenakan kerudung. Ingat, kerudung! Baru saja kerudung, belum dengan jilbabnya. (Namun kerudung ini disalahkaprahi oleh pengguna bahasa Indonesia bahkan oleh KBBI dengan nama jilbab, padahal jilbab dengan kerudung itu beda). 
.
Rezim negara Pancasila dan juga kelompok islamofobia, maupun media asing mendikte kaum Muslim dengan mengatakan guru tidak boleh memaksa siswi Muslimahnya mengenakan kerudung. Bahkan media asing mengatakan itu pelecehan! 
.
Lancang sekali! Benar-benar lancang rezim negara Pancasila, kelompok islamofobia, dan media asing (dan media lokal Indonesia juga sih) ini. Mereka kompak dalam kelancangan dan mengacak-acak pemahaman publik akan ajaran Islam.  
.
Opini menyesatkan ini menguat, sehingga ormas-ormas Islam juga menjadi defensif opologetif, dengan latah turut berkata, "Tidak boleh memaksa siswi Muslimah mengenakan kerudung." Hei, kalian itu ormas Islam atau ormas sekuler liberal? Ke mana jati diri kalian? Kalau tidak memaksa namanya bukan wajib dong, tapi sunah atau bahkan mubah. 
.
Mengapa dalam mengenakan kerudung semua menjadi pancasilais? Tetapi mengapa kalian semua tidak mempermasalahkan tindakan polisi lalu lintas yang radikal? Mengapa dikatakan radikal? Karena mereka menilang pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm. "Bukankah itu pemaksaan bagi pengandara sepeda motor untuk menggunakan helm? Radikal sekali! Intoleran! Tidak pancasilais." Boleh enggak dikatakan begitu?
.
Pasti orang-orang pancasilais, orang-orang liberal berkata, "Tidak boleh karena pakai helm kan untuk keselamatan si pengendara, maka wajar kalau pengendara motor diwajibkan pakai helm." 
.
Lha, apakah Muslimah ketika keluar rumah dengan menampakkan rambutnya itu tidak membahayakan dirinya dan juga lelaki yang melihatnya? Tentu membahayakan, sangat membahayakan, setidaknya mereka yang menampakkan aurat dan yang melihat aurat ini berdosa, tentu ini berbahaya bagi akhirat mereka. 
.
Tapi ah, apa bisa rezim negara Pancasila, kelompok islamofobia, dan sekuler intoleran berpikir sampai akhirat sana? Apa iya, mereka mengimani bahwa itu perbuatan maksiat dan dosa? Orang yang cerdas, yang islami, itu selain berpikir untuk keselamatan di dunia, mestinya berpikir pula untuk keselamatan di akhirat. Di sinilah ormas Islam harusnya berperan menjelaskan kewajiban ini. Bukan malah defensif apologetik!
.
Memaksakan warga negara pakai helm agar selamat di dunia saja tidak mengapa. Bahkan, memaksakan siswa-siswi pakai seragam putih abu-abu (yang bila tidak pakai seragam pun tidak membahayakan siapa pun) tidak apa-apa, apalagi memaksakan warga negara mengenakan kerudung agar selamat dunia akhirat, tentu lebih tidak mengapa lagi seharusnya. Tapi, malah kewajiban negara untuk memastikan semua Muslimah aqil baligh mengenakan kerudung dan jilbab ketika keluar rumah. Negara Islam maksudnya. Kalau negara Pancasila? Ya, seperti yang Anda lihat sendirilah!
.
Beginilah, bila kaum Muslim hidup di negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hal-hal yang membahayakan kaum Muslim diterjang terus, yang mendakwahkan ajaran Islam dipersekusi bahkan dikriminalisasi. Lebih mengerikan lagi, Pancasila dikatakan islami. Bagaimana bangsa ini mau selamat dunia akhirat? Membedakan benar-salah, baik-buruk, halal-haram aja sering kali bias kepentingan. Bahkan yang bertentangan dengan Islam malah dianggap harga mati. 
.
Padahal di akhirat, kita semua akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini sesuai tidak dengan ajaran Islam, bukan dengan Pancasila. Bila sesuai Islam, masuk surga. Bila tidak sesuai Islam, masuk neraka. Meskipun di dunia ini disebut-sebut sangat pancasilais, tetap saja tidak dapat mencegah seseorang yang bertentangan dengan Islam tersebut untuk masuk neraka!
.
Jadi, mumpung masih hidup di dunia, sesuaikanlah semuanya dengan Islam, termasuk kewajiban mengenakan kerudung dan jilbab bagi Muslimah yang sudah aqil baligh ketika keluar rumah ataupun bertemu lelaki bukan mahram. Bahkan sekolah negeri yang mestinya jadi pelopornya. Pastikan semua siswi Muslimah berkerudung dan berjilbab semua. Tidak masalah dikatakan radikal atau bertentangan dengan Pancasila, yang penting tidak bertentangan dengan aturan dari Allah SWT. Allahu Akbar!
.
.
Depok, 14 Muharram 1444 H | 12 Agustus 2022 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis

Rabu, 10 Agustus 2022

Kritikan KH Ahmad Zen Ingatkan Umat Islam agar Meyakini Al-Qur'an

Tinta Media - Substansi Kritikan KH. Ahmad Zaenuddin (Ahmad Zen) yang menyebut "Pancasila bukan kesepakatan Ulama, Pancasila pengkhianatan Soekarno," sehingga dilaporkan PDIP ke Polda Jabar dan Polda Metro Jaya dengan tudingan menyebar fitnah, pencemaran, SARA hingga menyebar hoax, dinilai Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin (AK) untuk mengingatkan umat Islam agar meyakini Al-Quran.

“Substansi kritiknya sebenarnya ingin mengingatkan umat Islam agar meyakini Al-Qur'an dan hanya menjadikan tauladan Nabi Muhammad SAW. Ingin mengajak umat Islam agar sadar adanya tipuan Pancasila yang menjauhkan umat Islam dari penerapan syariat Islam secara kaffah,” ungkapnya pada Tinta Media Selasa (9/8/2022).

Pasalnya, menurut  AK, jika umat ini masih meyakini Pancasila, atau berpura-pura menyatakan Pancasila sejalan dengan Islam, maka selamanya umat Islam di negeri ini tidak akan pernah dapat menerapkan syariat Islam, hingga unta masuk ke lobang jarum. Sebab, pancasila bukan ajaran Islam, bertentangan dengan Islam karena tidak mengizinkan syariat Islam diterapkan secara kaffah.

“Padahal, perintah menerapkan syariat Islam itu kaffah, bukan sepotong-sepotong. Menerapkam hukum sholat, juga hukum wajibnya hudud. Mewajibkan puasa, juga wajibnya mengemban dakwah dan jihad. Mengharamkan zina, riba, judi, miras, L68T, pergaulan bebas, penguasaan tambang oleh asing, memungut pajak, dan lain-lain,” tegasnya.

Jujur dan Berani

AK mengatakan, yang membedakan KH Ahmad Zaenuddin dengan orang yang mengaku pengembah dakwah lainnya adalah jujur dan berani. “Jujur terhadap ilmu, berani menyampaikan dan siap atas konsekuensi perjuangan. Dan orang yang jujur dan berani seperti ini, biasanya hanya terbentuk dari jiwa yang sabar dan ikhlas,” tukasnya.

Sabar dan ikhlas, lanjutnya, membuatnya jujur, takut menyembunyikan ilmu apalagi mengkhianati keyakinan. Maka beliau jujur menyampaikan dakwah yang semestinya disampaikan, bukan sekedar dakwah yang diinginkan orang.

“Sabar dan  ikhlas, membuatnya berani menyampaikan al haq, berikut resiko menanggung beban dakwah. Maka beliau berani menyampaikan dakwah yang semestinya disampaikan, bukan sekedar dakwah yang diinginkan orang,” imbuhnya.

Mungkin saja, duganya, banyak diantara kita -bahkan mayoritasnya- sependapat dengan KH Ahmad Zaenuddin, bahwa Pancasila menjadi penghalang untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah. “Namun, apakah kita memiliki sikap jujur dan berani seperti KH Ahmad Zaenuddin?” tanyanya.

"Kalau kita belum berani bersikap jujur, mungkin kita juga belum ikhlas dan sabar dalam perjuangan. Dan boleh jadi, hal itulah yang menghalangi datangnya pertolongan," imbuhnya. 

Ia menduga ada kemaslahatan dunia yang diprioritaskan, ketimbang bersikap jujur pada keyakinan dan berani menyuarakan kebenaran secara terbuka. "Mungkin, kita menghindari resiko dalam berjuang, sambil bermimpi ada pertolongan turun dari langit tanpa perlu mempersembahkan pengorbanan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab