Tinta Media: Paludan
Tampilkan postingan dengan label Paludan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Paludan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Juli 2023

UIY : Harus Ada Tuntutan Hukum Internasional bagi Pelaku Pembakaran Al-Qur’an


Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa diperlukan tuntutan hukum internasional untuk menghukum pelaku pembakaran Al-Qur’an agar tidak kembali berulang kejadian tersebut di masa mendatang.

 

“Kepada yang bersangkutan harus ada tuntutan hukum. Artinya tuntunan hukum bukan hanya mengandalkan hukum Swedia, tentu saja harus tuntutan internasional,” ujarnya di Fokus to The Point: Pembakaran Al-Qur’an, Bagaimana Menghukum Swedia?  melalui kanal You Tube UIY Official, Senin (3/7/2023).

 

Hal tersebut disampaikan karena menurutnya akan efektif dalam menghukum pelaku pembakaran. “Tindakan efektif itu apa ukurannya? Tindakan efektif itu adalah jika dengan tindakan itu tidak terulang kejadian serupa,” tegasnya.

 

UIY kemudian mencontohkan Salman Rusdi yang dulu telah melakukan kejahatan melawan IsIam dengan bukunya Satanic Verses. Karena itu dunia Islam memutus bahwa dia bersalah dan dihukum menjadi buronan internasional.

 

Meskipun beberapa negara di Arab dan juga Turki termasuk Indonesia memprotes keras aksi pembakaran ini, namun menurut UIY itu dirasa kurang efektif. 


“Protes itu bagus. Ketika kasus Paludan membakar Al-Qur’an, ada juga protes, tapi kemudian diulang oleh Salwan. Itu menunjukkan bahwa protes yang kemarin berkenaan dengan Paludan itu tidak cukup efektif,” singgungnya.

 

Ia mengatakan, selain sosok Salwan sebagai individu yang harus dihukum, Swedia sebagai sebuah negara yang melindungi dan menganggap bahan yang ilegal, juga harus dihukum. Baik secara politik, hukum maupun ekonomi.

 

"Tindakan politik pemutusan hubungan diplomatik seluruh dunia Islam yang berjumlah lebih dari 50 negara dengan Swedia. Kemudian pemutusan hubungan ekonomi, misalnya ekspor impor dihentikan, saya kira itu akan sangat berdampak besar," imbuhnya.

 

UIY juga menyayangkan kelemahan kekuatan politik umat Islam yang jumlahnya hampir dua miliar tak berdaya menghadapi seorang Salwan dan Paludan atau sebuah negara kecil Swedia.

 

Menurutnya, jika Khilafah Islam ada seperti di era Khilafah Ustmaniyah, aksi penghinaan itu sangat bisa dicegah.


"Sangat bisa. Mengapa? Karena Khilafah itu mempunyai kekuatan efektif. Kekuatan efektif itu artinya kekuatan yang dilihat oleh mereka secara nyata, yakni jihad yang dikenal oleh mereka bukan sekedar sebagai sebuah retorika. Dan itulah yang saat sekarang ini tidak ada," pungkasnya. [] Langgeng 

Minggu, 05 Februari 2023

Begini Seharusnya Sikap Seorang Muslim terhadap Pelaku Pembakaran Al-Qur'an

Tinta Media - Menanggapi peristiwa pembakaran Al-Qur'an oleh Rasmus Paludan di Swedia, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam.Gus Uwik, menuturkan sikap yang seharusnya dilakukan oleh individu muslim.

"Secara individu muslim harus punya sikap yang jelas dan tegas," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (1/2/2023).

Hal tersebut, kata Gus Uwik, dengan mengutuk dan mendesak agar pelaku dan negara yang “melegalkan” pelecehan tersebut di tindak dan di hukum berat. "Jelas itu pelanggaran dan bentuk pelecehan pada keyakinan Umat Islam," tegasnya.

Sikap penolakan tersebut, lanjutnya, harus “dinampakkan" dengan jelas. "Jangan hanya sekedar omongan pinggir jalan atau di warung kopi. Sikap penolakan tegas (yang dibenarkan oleh syara’) tersebut harus disuarakan dan dinampakkan. 
"Bisa melalui demo, tabligh akbar, tulisan-tulisan dan sikap-sikap yang lain. Jangan hanya diam apalagi memusuhi saudara muslim yang menampakkan sikap penolakannya secara tegas," ujarnya.

Tegas 

Menurutnya, dalam konteks negara Islam, maka sikapnya pun juga harus tegas. Sebagaimana dicontohkan oleh Sultan Abdul Hamid, Khalifah Turki Utsmani ketika ada rencana pagelaran seni drama di Prancis yang temanya melecehkan Nabi Muhammad. 

"Maka Khalifah Abdul Hamid langsung marah dan memanggil Dubes Prancis. Sang Khalifah langsung mengancam, jika pertunjukan drama tersebut akan tetap dilakukan, maka jihad perang akan dikumandangkan," bebernya.

Gus Uwik menjelaskan bahwa sikap tegas inilah yang akhirnya membuat pemerintah Prancis “keder” dan akhirnya membatalkan pertunjukan drma tersebut.

"Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Islam. Dengan kekuatan yang dipunyai dipakai untuk melindungi agama Islam. Tidak membiarkannya begitu saja aksi pelecehan terhadap Islam," tegasnya.

Ia menyayangkan bahwa saat ini memang Negara Islam tidak ada. Oleh karena itu menjadi kewajiban kita seluruh umat Islam untuk berupaya sekuat tenaga untuk menegakkan Kembali. 

"Jika sudah tegak maka tindakan melecehkan Islam tidak akan pernah terulang Kembali," tukasnya.

Gus Uwik memaparkan adanya Khalifah akan menyatakan perang dan memobilisir umat Islam seluruhnya untuk menyerang negara yang melindungi pelecehan Islam tersebut. 

"Oleh karenanya , yuk kita bersama-sama berdakwah yang tujuannya satu, mengembalikan kemuliaan Islam dengan tegaknya Khilafah," pungkasnya.[] Nita Savitri

Al-Qur'an Dibakar, Gus Uwik: Paludan Jelas Melecehkan dan Menista Islam

Tinta Media - Menanggapi kejadian pembakaran Al-Qur'an secara berulang oleh Paludan, Peneliti Pusat Peradaban Islam, Gus Uwik menegaskan bahwa hal itu jelas melecehkan bahkan menistakan AlQur’an apapun itu dalihnya.
"Paludan jelas melecehkan bahkan menistakan Al-Qur'an, apapun dalihnya," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (1/2/2023).

Gus Uwik menambahkan tindakan membakar Al-Qur’an minus motif saja termasuk tindakan menista, apalagi ini ada motifnya. "Al-Qur’an ’an adalah kitab suci umat Islam. Tindakan melecehkannya apalagi membakarnya jelas tindakan yang 'over dosis'. Wajib di kutuk," ucapnya geram.

Ia meyakinkan bahwa hal itu termasuk tindakan yang melecehkan keyakinan umat Islam. "Dan ini tidak bisa ditolelir," tegasnya.

Apalagi motif berniat membakarnya tidak masuk akal dan sangat tidak nyambung sama sekali. "Apa korelasi rencana pembakaran Al Qur’an dengan “tekanan” agar Pemerintah Swedia masuk NATO? Jelas tidak nyambung," ungkapnya heran.

Menurutnya,  memang Islam adalah isu seksi. Mungkin Paludan ingin mengambil isu seksi yang dengan itu dia mendapat perhatian khalayak dan pemerintah Swedia melalui aksinya. "Membakar ban, buku, motor, mobil, dll bisa jadi tidak mampu menghasilkan efek “kejut perhatian” khalayak ramai. Dengan hanya membakar Al Qur’an mungkin, dia mampu mencuri perhatian. Bahkan perhatian dunia. Dan berhasil," bebernya.

Namun, lanjutnya, di titik inilah nampak kedunguannya. Menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuan. Apalagi bersenandung dengan spirit islamophobia, lengkap sudah. 

"Moment mencuri perhatian yang dipadu dengan Islamophobia akut muncullah rencana gila membakar Al Qur’an tiap Jum'at. Ini jelas gila, melecehkan sekaligus benci Islam," jelasnya.

Dirinya menekankan agar rencana ini harus di tolak. "Jangan sampai kebencian kepada Islam terus berulang tanpa ada yang mengentikannya. Harus di lawan," tandasnya.

Sikap Ambigu Swedia

Gus uwik memaparkan bagaimana sikap ambigu Swedia. "Jika logikanya menjaga agama, maka rencana tersebut seharusnya di tolak. Karena dengan dalih yang sama, akan muncul seseorang yang akan berencana membakar injil tiap minggu," bebernya.

Jika logikanya menjaga kebebasan berekspresi maka justru harus digagalkan dan ditindak tegas. "Karena jika dibiarkan maka akan menjadi alibi/dalih orang lain untuk berencana membakar kita suci agama lain. Hanya semata karena logika kebebasan berekspresi," ungkapnya.

Jadi di tinjau secara logika dan kebebasan saja, melegalkan pembakaran tersebut jelas akan banyak melahirkan kerugian. "Apalagi di tinjau secara keyakinan agama. Jelas haram dan tidak boleh," tegasnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah Swedia tidak boleh melegalkan pembakaran Al Qur’an. "Harus menindak tegas pelakunya. Karena ini akan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang meluas," tandasnya.

Ia pun menguraikan penyebab peristiwa ini adanya islamophobia. Benci kepada Islam yang sangat akut. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan menutup diri mencari kebenaran informasi tentang Islam. "Apakah Islam itu mengerikan, menakutkan dan mesin pembantai?" tanyanya kesal.

Gus Uwik menambahkan adanya dua sikap inilah jika terus dipupuk, maka akan terus memunculkan rencana-rencana jahat untuk melecehkan bahkan merusak Islam dengan segala macam cara.

"Dua sikap salah di atas, jika dimiliki oleh individual akan memiliki daya rusak kecil. Namun berbeda halnya jika dua sikap salah tersebut bercokol pada institusi negara. Maka daya rusaknya akan dahsyat sekali," imbuhnya.

Negara akan menggunakan semua instrumennya, baik ekonomi, politik, militer, intelijen dan instrument lainnya untuk membuat makar jahat melecehkan dan merusak Islam. 

Ia juga menekankan adanya dua kondisi di atas akan terus memunculkan gelombang islamophobia. Seolah-olah ada yang aktif memproduksi isu tersebut. Teratur pola dan moment munculnya.

"Di samping itu juga, kejadihan pelecehan simbol-simbol dan keyakinan Islam adalah dalam rangka mempertahankan sistem demokrasi sekuler dari ancaman system Islam," ujarnya.

Ia menjelaskan adanya Islam adalah musuh nyata demokrasi-sekuler. Apalagi sekarang, umat Islam mulai bergeser meyakini dan menjalankan syariat Islam secara total dalam kehidupan. Dan mulai meninggalkan tatanan dan aturan yang muncul dari demokrasi-sekuler. 

"Jelas, bagi orang dan negara pengusung demokrasi-sekuler maka ini adalah ancaman yang nyata. Maka ‘orkestrasi’ isu-isu yang melecehkan Islam akan terus diproduksi dan direkaya" pungkasnya. [] Nita Savitri

Al-Qur'an Dibakar, Gus Uwik: Paludan Jelas Melecehkan dan Menista Islam

Tinta Media - Menanggapi kejadian pembakaran Al-Qur'an secara berulang oleh Paludan, Peneliti Pusat Peradaban Islam, Gus Uwik menegaskan bahwa hal itu jelas melecehkan bahkan menistakan AlQur’an apapun itu dalihnya.
"Paludan jelas melecehkan bahkan menistakan Al-Qur'an, apapun dalihnya," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (1/2/2023).

Gus Uwik menambahkan tindakan membakar Al-Qur’an minus motif saja termasuk tindakan menista, apalagi ini ada motifnya. "Al-Qur’an ’an adalah kitab suci umat Islam. Tindakan melecehkannya apalagi membakarnya jelas tindakan yang 'over dosis'. Wajib di kutuk," ucapnya geram.

Ia meyakinkan bahwa hal itu termasuk tindakan yang melecehkan keyakinan umat Islam. "Dan ini tidak bisa ditolelir," tegasnya.

Apalagi motif berniat membakarnya tidak masuk akal dan sangat tidak nyambung sama sekali. "Apa korelasi rencana pembakaran Al Qur’an dengan “tekanan” agar Pemerintah Swedia masuk NATO? Jelas tidak nyambung," ungkapnya heran.

Menurutnya,  memang Islam adalah isu seksi. Mungkin Paludan ingin mengambil isu seksi yang dengan itu dia mendapat perhatian khalayak dan pemerintah Swedia melalui aksinya. "Membakar ban, buku, motor, mobil, dll bisa jadi tidak mampu menghasilkan efek “kejut perhatian” khalayak ramai. Dengan hanya membakar Al Qur’an mungkin, dia mampu mencuri perhatian. Bahkan perhatian dunia. Dan berhasil," bebernya.

Namun, lanjutnya, di titik inilah nampak kedunguannya. Menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuan. Apalagi bersenandung dengan spirit islamophobia, lengkap sudah. 

"Moment mencuri perhatian yang dipadu dengan Islamophobia akut muncullah rencana gila membakar Al Qur’an tiap Jum'at. Ini jelas gila, melecehkan sekaligus benci Islam," jelasnya.

Dirinya menekankan agar rencana ini harus di tolak. "Jangan sampai kebencian kepada Islam terus berulang tanpa ada yang mengentikannya. Harus di lawan," tandasnya.

Sikap Ambigu Swedia

Gus uwik memaparkan bagaimana sikap ambigu Swedia. "Jika logikanya menjaga agama, maka rencana tersebut seharusnya di tolak. Karena dengan dalih yang sama, akan muncul seseorang yang akan berencana membakar injil tiap minggu," bebernya.

Jika logikanya menjaga kebebasan berekspresi maka justru harus digagalkan dan ditindak tegas. "Karena jika dibiarkan maka akan menjadi alibi/dalih orang lain untuk berencana membakar kita suci agama lain. Hanya semata karena logika kebebasan berekspresi," ungkapnya.

Jadi di tinjau secara logika dan kebebasan saja, melegalkan pembakaran tersebut jelas akan banyak melahirkan kerugian. "Apalagi di tinjau secara keyakinan agama. Jelas haram dan tidak boleh," tegasnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah Swedia tidak boleh melegalkan pembakaran Al Qur’an. "Harus menindak tegas pelakunya. Karena ini akan berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang meluas," tandasnya.

Ia pun menguraikan penyebab peristiwa ini adanya islamophobia. Benci kepada Islam yang sangat akut. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan menutup diri mencari kebenaran informasi tentang Islam. "Apakah Islam itu mengerikan, menakutkan dan mesin pembantai?" tanyanya kesal.

Gus Uwik menambahkan adanya dua sikap inilah jika terus dipupuk, maka akan terus memunculkan rencana-rencana jahat untuk melecehkan bahkan merusak Islam dengan segala macam cara.

"Dua sikap salah di atas, jika dimiliki oleh individual akan memiliki daya rusak kecil. Namun berbeda halnya jika dua sikap salah tersebut bercokol pada institusi negara. Maka daya rusaknya akan dahsyat sekali," imbuhnya.

Negara akan menggunakan semua instrumennya, baik ekonomi, politik, militer, intelijen dan instrument lainnya untuk membuat makar jahat melecehkan dan merusak Islam. 

Ia juga menekankan adanya dua kondisi di atas akan terus memunculkan gelombang islamophobia. Seolah-olah ada yang aktif memproduksi isu tersebut. Teratur pola dan moment munculnya.

"Di samping itu juga, kejadihan pelecehan simbol-simbol dan keyakinan Islam adalah dalam rangka mempertahankan sistem demokrasi sekuler dari ancaman system Islam," ujarnya.

Ia menjelaskan adanya Islam adalah musuh nyata demokrasi-sekuler. Apalagi sekarang, umat Islam mulai bergeser meyakini dan menjalankan syariat Islam secara total dalam kehidupan. Dan mulai meninggalkan tatanan dan aturan yang muncul dari demokrasi-sekuler. 

"Jelas, bagi orang dan negara pengusung demokrasi-sekuler maka ini adalah ancaman yang nyata. Maka ‘orkestrasi’ isu-isu yang melecehkan Islam akan terus diproduksi dan direkaya" pungkasnya. [] Nita Savitri

Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika









Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab