Tinta Media: Pajak
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Kemplang Pajak Terus Bergulir, Bukti APBN Berasas Kapitalistik


Tinta Media - Kabinet merah putih sudah dibentuk. Presiden dan wapres terpilih pun sudah menjalani prosesi sumpah jabatan, menunjukkan bahwa pemerintahan baru sudah berjalan. Ironis, baru saja diresmikan, sudah memikul warisan problem menggurita.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajat Wibowo menyampaikan bahwa terjadi pengemplangan pajak yang mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai kisaran Rp300 triliun. (Cnbc.Indonesia, 9/10/24).

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan empat sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang, di antaranya dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, serta dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dari sektor ini. (Cnbc.Indonesia, 12/10/24).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2023, sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta penerimaan hibah.

Sedangkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia, per 31 Juli 2024, tercatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.045,32 triliunan atau 52,56 persen dari target. Data ini menunjukkan bahwa pajak memang menjadi sumber pemasukan utama di negeri ini. Ironis, pengemplangan pajak malah terjadi secara kronis.

Realitasnya, pengemplangan pajak ini bukan kali pertama, dan terjadi secara bergulir. Bahkan, case terbaru ketika pelaku pengemplangan pajak [RH] hanya dijatuhi hukuman pidana berupa kurungan penjara selama 8 bulan, serta denda sebesar Rp191,84 juta. (regional.espos.id, 22/03/24)

Case ini menunjukkan bahwa ternyata pungutan pajak berlaku untuk seluruh rakyat hanya untaian kata, tanpa penerapan nyata. Para pemilik modal, pengusaha, pemangku kekuasaan, terlihat mencolok seperti anak emas, ada perlakuan istimewa yang nampak privat. Meski setelah terkuak, dibalut dalam kedok korupsi. Miris, hal ini sudah berjalan lama bahkan mereka sudah kenyang menikmati uang rakyat lewat pajak. Tragis, ternyata mereka bebas pajak!

Meskipun majelis hakim menyatakan bahwa jika terdakwa tidak membayar denda dengan durasi waktu paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda yang dimiliki berhak disita oleh jaksa, kemudian dilelang untuk membayar denda. 

Bergulirnya case serupa menunjukkan bahwa hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera, terlebih ternyata keringanan demi keringanan memberi kemudahan.

Analogi sederhana, bahwasanya menggunakan uang rakyat untuk kesenangan pribadi dengan nominal cukup fantastis dan tentu merugikan negara merupakan kejahatan setimpal dengan kurungan penjara 8 bulan, dan denda dengan ketentuan-ketentuan berlaku. Tentunya, bagi pemilik modal  nominal tersebut tidak seberapa. Apabila terkendala dalam pembayaran denda pun, akan diganti dengan kurungan penjara selama tiga bulan. Tentu hukuman ini tidak adil untuk selevel koruptor kelas kakap.

Kalau kita tarik benang merah, akar masalahnya ada pada pungutan pajak tersebut, lalu mengerucut pada sistem yang mengatur di dalamnya. Menarik, ketika Dr. Riyan, M.Ag, seorang pengamat politik Islam mengatakan bahwa APBN yang ada di negeri ini berasas kapitalistik, dengan acuan keuntungan.

Sejatinya, kesejahteraan untuk rakyat hanyalah ilusi semata, selalu terkendala untuk menyentuh taraf sejahtera dan akar problematika. Ini karena dalam asas kapitalistik, pengelolaan SDA dilimpahkan kepada pihak swasta, bukan negara. Sehingga, menjadi wajar ketika salah satu pendapatan negara diambil melalui pungutan pajak.

Padahal, negeri ini memiliki kekayaan alam limpah ruah. Misalnya, perbandingan antara lautan dengan daratan yaitu 70 persen dibanding 30 persen, dengan beragam spesies 4.720 jenis. Namun, kenapa justru keadaan berbalik, rakyat justru mengonsumsi suplemen ikan, bukan ikan fresh? Bahkan, tidak semua rakyat bisa merasakan kelezatan ikan karena tergolong mahal untuk dinikmati.

Semenjak itu, pengelolaan SDA dalam Islam adalah menjadi tanggung jawab negara sebagai wakil rakyat, bukan diserahkan kepada swasta asing dan aseng.

Rasulullah pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bahwasanya umat Islam berserikat pada tiga perkara, ialah air, padang rumput, serta api.

Sehingga, pengelolaan SDA tidak boleh dilakukan secara privatisasi, karena merupakan kepemilikan umum. Artinya, pengelolaan ini dilimpahkan kepada negara dalam rangka kesejahteraan seluruh rakyat.

Sehingga, langkah strategis yang bisa dilakukan adalah mengganti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang  berasas kapitalistik menjadi APBN dengan asas syariah sesuai hukum syara.

APBN asas syariah ketika sudah diterapkan akan terlihat secara moneter. Negara akan beralih mata uang kertas ke mata uang emas dan perak. Secara fiskal, negara tidak lagi membebani rakyat dengan pajak. Namun, dalam APBN, pengelolaan kepemilikan umum, termasuk SDA dilakukan oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Kemudian langkah selanjutnya memperbaiki penegakan hukum yang adil dengan standar agama. Sistem hukum dalam Islam menekankan keadilan yang tidak memihak kepada segelintir orang, yaitu para pemilik modal. 

Para penegak hukum harus memenuhi syarat dan ketentuan Islam, sehingga menjunjung tinggi nilai keadilan dan tidak mudah disuap. Penerapan hukum yang adil dalam segala bidang dilakukan guna menciptakan masyarakat yang harmonis serta menghindari praktik-praktik korupsi dan berbagai macam problematika.

Contoh kasus, pemberantasan korupsi dalam pengemplangan pajak, bisa lebih efektif jika disertai dengan sanksi yang tegas dan pendekatan berbasis moral agama sehingga memberi efek jera.

Paket komplit tersebut hanya ditemui dalam agama Islam, karena Islam mengatur secara rinci sistem pemerintahan yang kompleks. Wallahu'alam Bisawab.




Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak., 
Penulis Ideologis

Kebocoran Pajak Menambah Polemik dalam Negeri



Tinta Media - Setelah kasus korupsi Tata Niaga PT Timah Tbk (TINS) terungkap beberapa bulan lalu dengan nilai kerugian mecapai Rp2,71 triliun, kini muncul 
polemik baru di tengah masyarakat yang tidak kalah mencengangkan. Polemik tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp300 triliun. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Bidang Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yusuf Ateh memperoleh data 300 pengusaha 'nakal' yang mengemplang pajak tersebut. Mereka adalah para pengusaha kebun sawit yang melakukan okulasi liar terhadap hutan yang berjumlah jutaan hektar.
(CNBC 12/10/2024).

Sebanyak 300 lebih pengusaha nakal tersebut dinyatakan belum membayar pajak kepada pemerintah. Mereka memiliki utang pajak senilai Rp300 triliun terhadap negara.

Ini sangat ironi dan menjadi polemik baru di dalam negeri. Bagaimana tidak, para pengusaha yang notabene adalah para elit kapitalis pemilik modal, nyatanya malah membuat negeri ini bangkrut, dan menambah kemunduran perekonomian.

Para elit kapitalis ini diberi hak pengelolaan lahan (HPL), juga pengelolaan kekayaaan alam secara bebas. Hal ini menjadikan koorporasi semakin kuat mencengkeram negeri ini. Sehingga, kerusakan akan semakin meluas. Contohnya penebangan hutan secara liar  demi mengganti tanaman hutan yang heterogen menjadi homogen. 

Dengan liberalisasi ekonomi, masyarakat diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk berekspresi, termasuk dalam hal pengelolaan lahan. Inilah wajah asli dari sistem kapitalis yang diemban oleh negeri tercinta ini, yaitu sistem yang menimbulkan kerusakan.

Ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam membatasi perbuatan manusia dengan hukum syara', yaitu hukum yang berasal dari Allah yang digunakan untuk mengatur manusia.

Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik umum (milkiyah am). Jadi, tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Pengelolaannya diserahkan kepada negara. Contohnya hutan. Negaralah yang berhak mengelola dan hasilnya akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.

Khalifah (pemimpin dalam Islam) akan melakukan kontrol terhdap masyarakat dan memberikan sanksi yang tegas pada pelaku pelanggaran sehingga tidak mengulangi perbuatannya.

Khalifah akan bersungguh-sungguh dalam memimpin rakyat, membawa kepada kemakmuran dan senantiasa mengarahkan masyarakat untuk tunduk terhadap hukum syara' (syariat).

Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 50, yang artinya:

"Apakah (hukum) jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik, dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Jadi, Allahlah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Jika yang dijalankan adalah hukum buatan manusia, maka akan terjadi kerusakan dalam segala lini kehidupan. Allahu a'lam bishawwab.




Oleh: Sarinah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 03 November 2024

Negara Pemalak Pajak Rakyat



Tinta Media - 'Orang bijak taat bayar pajak'. Itulah slogan yang selalu diserukan pemerintahan kepada masyarakat agar mau dan rajin membayar pajak. Luar biasa, penghasilan Indonesia paling besar berasal dari pajak. Jadi, wajar jika negeri ini menekankan kepada rakyatnya untuk selalu membayar pajak. Namun sayangnya, penekanan pembayaran pajak hanya ditujukan kepada rakyat kelas bawah, sedangkan kepada rakyat kelas atas apalagi pengusaha, negara cenderung bersikap lunak.

Hal ini terbukti dengan adanya potensi kehilangan penerimaan negara lebih dari 300 triliun akibat adanya pengemplangan pajak. Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan investasi, Jodi Mahardi, menyebut dugaan hilangnya potensi penerimaan negara berasal dari audit badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP). Dalam audit tersebut, BPKP menemukan 4 sumber potensi penerimaan negara yang hilang di sektor kelapa sawit. 

Diduga, ada sekitar 300 perusahaan yang melakukan pengemplangan pajak, tidak hanya dalam sektor kelapa sawit. Kebocoran akibat pajak juga terjadi pada kasus-kasus hukum. Ada 10-15 perusahaan yang lari dan tidak membayar pajak. Itu semua dalam jumlah yang sangat besar. (CNBC Indonesia.com 12/10/2024).

Sungguh miris, negara kehilangan APBN dengan nominal sangat besar karena adanya pengemplangan pajak. Perusahaan secara diam-diam kabur dan enggan membayar pajak. 

Negara yang menyaksikan hal tersebut tidak menangggapi ataupun mengatasi secara tegas. Negara cenderung lembut dan bersikap lunak dalam hal ini. Tidak ada hukum tegas yang diberlakukan. Yang ada, negara malah memberikan berbagai keringanan dan keistimewaan. Tax holiday dan tax amnesty adalah salah satu buktinya. 

Pengampunan pajak berkali-kali dilakukan oleh negara. Sedangakan kepada rakyat, kebijakan yang diberlakukan berbanding terbalik, 180 derajat. Negara bersikap sangat tegas kepada rakyat. Bahkan, negara tidak segan-segan untuk mendakwa siapa pun yang tidak membayar pajak.

Rakyat di negara-negara kapitalisme terus dijejali dengan berbagai macam pajak yang wajib untuk dibayar. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan. Negara menyeragamkan pajak antara orang kaya dan orang miskin. 

Belum lagi PHP negara atas berbagai pembangunan yang dibutuhkan rakyat. Katanya, uang pajak yang dibayarkan akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum. Nyatanya, pembangunan yang dijanjikan oleh negara terus ditunda dan tidak ada kepastiaanya. Parahnya lagi, pajak yang sudah rakyat bayarkan dengan susah payah malah dikorupsi oleh tikus-tikus berdasi yang tidak tahu diri. Mereka dengan seenaknya memakan uang rakyat tanpa hak. 

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadikan hukum negeri ini tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ketidakadilan dalam penerapan kebijakan pajak jelas-jelas menzalimi dan menyengsarakan rakyat. 

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sistem Islam terbukti dapat menyejahterakan rakyat selama bertahun-tahun lamanya. Islam memandang pajak sebagai salah satu peneriman APBN. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. 

Pajak didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk menunaikan balanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibakan atas mereka ketika tidak ada harta di Baitul mal untuk memenuhi belanja tersebut. 

Karena itu, pajak dalam Islam merupakan sumber penerimaaan yang insidental. Artinya, pajak hanya akan dipungut ketika sumber-sumber penerimaaan negara tidak mencukupi untuk membiayai pembelanjaan. Selain itu, pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus. 

Hal ini berbanding terbalik dengan pajak dalam sistem kapitalis yang bersifat permanen, bahkan menjadi sumber utama pengahsilan negara. 

Yang menjadi perbedaaan selanjutnya adalah objek pajak. Pajak dalam Islam hanya dipungut dari orang-orang muslim yang kaya. Artinya, tidak semua orang dibebani dengan pajak. Dengan demikian, orang kafir dan orang-orang miskin tidak dikenai kewajiban ini. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, pajak diberlakukan kepada semua kalangan masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin. Pemerintah tidak akan pandang bulu, semuanya dikenai kewajiban yang sama.

Selain itu, pembangunan yang ada di dalam Islam adalah pembangunan yang pemanfaatannya ditujukan kepada rakyat secara keseluruhan. Pembiayaannya diambilkan dari pemasukan negara, bukan dari pajak. Pemasukan negara Islam bisa berasal dari zakat, kharaj, jizayah, hibah, dan pengelolaan SDA oleh negara. 

Pajak adalah pilihan terakhir ketika kas negara benar-benar habis dan tidak mencukupi untuk membiayai berbagai keperluaan yang mendesak. Pemungutan pajak dalam Islam hanya ditujukan untuk menutupi kekurangan baitul mal, buakn untuk meningkatkan penerimaan Baitul mal. Oleh karena itu, pemungutan pajak tidak boleh dilakukan secara zalim dan semena-mena. 

Alhasil, penerapan sistem kapitalisme yang bertentangan dengan sistem Islam merupakan sebuah kesalahan bahkan dosa. Sebab, sistem kapitalis dengan nyata telah membuat hidup masyarakat semakit melarat. 

Sistem kapitalisme adalah aturan zalim yang sepantasnya ditinggalkan. Kezaliman ini hanya bisa dihilangkan dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dan naungan khilafah. Oleh karena itu, mari kita sama-sama hilangkan kezaliman penguasa dengan penerapan islam secara kaffah. wallhu ‘alam.



Oleh: Hasna Syarofah
(Gen Z, Muslim Writer)


Kamis, 31 Oktober 2024

Ironis Kebijakan Pajak Rakyat vs Pengusaha

Tinta Media - Negara ini sedang mengalami kebocoran anggaran dikarenakan pengemplangan pajak. Kebocoran anggaran yang terkuak senilai Rp 300 Triliun.  Kasus baru ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Negara ini.  Beberapa waktu silam terjadinya kasus korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang juga merugikan Negara dengan nilai Rp 271 Triliun. Bahkan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Sri Mulyani Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mendalami laporan 300 pengusaha pengemplangan pajak di sektor sawit.

Pemerintahan dari presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto berencana akan menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025 dengan mengejar penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak. Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, yakni Dradjad Wibowo mengatakan, anggaran untuk belanja negara tahun depan ini akan membutuhkan sekitar Rp 3.900 triliun. Ynag mana artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp 300 triliun dari alokasi belanja pada APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun. (Kompas, 9/10/2024).

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) turut membeberkan tentang potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 triliun di sektor kelapa sawit. Potensi akan hilangnya penerimaan negara itu sebelumnya diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sekaligus adik Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo.

Juru bicara dari Menko Marves, Jodi Mahardi menyebutkan bahwa data yang diungkapkan Hashim berasal dari audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dia mengatakan bahwa potensi penerimaan negara itu bisa didapatkan dari perbaikan tata kelola sektor kelapa sawit. (CNBCIndonesia, 10/10/2024).

Kebijakan pembayaran pajak yang Negara buat dari rakyat untuk rakyat nyatanya menyengsarakan rakyat dan mengistimewakan pengusaha. Pasalnya isu pengemplangan pajak terjadi pada segelintir pengusaha yang diberikan hak istimewa atas bebasnya tak membayar pajak. Negara mengistimewakan pengusaha dalam berbagai kebijakan seperti tax amnesty, insentif  dan memalak pajak kepada rakyat sipil.

Dalam sistem kapitalisme saat ini sektor barang dan jasa akan dikenai beban pajak. Negara menjadikan pajak bagian dari kebijakan fiskal. Fakta dari anggaran belanja negara tahun 2025 membutuhkan dana yang lebih besar lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Maka sudah dipastikan pajak yang akan dibayar rakyat akan lebih besar lagi mengingat besarnya anggaran yang dibutuhkan negara.

Kebijakan tidak adil dan tidak manusiawi dengan langkah blunder yang tidak berperasaan semacam ini hanya ada di sistem yang saat ini diterapkan ditengah-tengah kita yaitu sistem kapitalisme. Di mana sumber pendapatan utama Negara ini adalah pajak. Di saat polemik ekonomi sedang kritis yang dialami rakyat justru Negara sedang mengejar kekurangan anggaran Negara melalui pajak. 

Polemik semacam ini sangatlah membebani rakyat. Negara tidak berlaku tegas terhadap pengusaha pada soalan pajak dan berbanding terbalik ketika bersangkutan pajak dari rakyat. Inilah sistem ekonomi yang lemah itu, sungguh ironis sekali negara ini. 

Sistem kapitalisme  dalam urusan ekonominya sangatlah mempengaruhi para pemerintahan elite yang mengakibatkan tunduknya kepada para kapital (pemilik modal). Sampai-sampai dapat dikatakan bahwa para kapital-lah yang berkuasa di Negara ini.

Bahkan tercantum di dalam UU No.28 tahun 2007 pasal 4 ayat (1) bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terhutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa. Maka dari itu sudah sangat jelas kebijakan terkait pajak sangat mencekik rakyat dalam bentuk paksaan. 

Penjabaran pajak yang dilaksanakan kapitalisme hanya terjadi di sistem yang lemah tak bertanggung jawab terhadap rakyat yang menderita. Sistem ini memiliki pandangan bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang) dan berhak pula mencabut kembali kekuasaan sekaligus mengganti termasuk mengubah undang-undang sesuai kehendak sang kepala negara.

Berbeda jika di dalam sistem Islam. Islam melarang adanya pajak. Maka pajak (dharibah) akan berlaku jika Baitul mal kosong dan dalam keadaan mendesak serta genting. Bahkan jika pajak diterapkan dalam sistem Islam sekalipun, maka hanya diterapkan pada yang mampu dalam artian sudah tercukupi seluruh ekonomi keluarganya. 

Dikutip dari kitab Nizham Al-Islam pada bab sistem ekonomi pasal 148 dan pasal 149,  anggaran belanja Negara memiliki pos-pos yang baku yang telah ditentukan hokum syara’. Rincian pos-pos anggaran dan nilainya untuk masing-masing bagian, serta bidang-bidang apa saja yang memperoleh anggaran, semua ditentukan oleh pendapat dan ijtihad Khalifah. Sumber tetap pemasukan Baitul Mal berupa fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat.

Begitu jelas dalam kacamata Islam mengenai pemungutan pajak. Islam bukan hanya mengurusi polemik individu-individu saja, tetapi Islam Kaffah (menyeluruh) mengurusi urusan umat sampai bangun Negara dan menjauhkan rakyat dari kesengsaraan tanpa terikat pajak yang mencekik.
Wallahu'alam bishawwab.[]

Oleh: Dian Wiliyah Ningsih, Mahasiswi dan Aktivis Dakwah

Jumat, 04 Oktober 2024

Pajak Mengganas, Rumah Impian Kena Imbas


Tinta Media - Agustus lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan untuk menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Batas yang melebihi Rp 2000 triliun ini pertama kali terjadi dalam sejarah. Selain itu, Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pun diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam RAPBN yang masing-masing menjadi Rp 945,1 triliun dan Rp 1.209,3 triliun. Jika hal ini tercapai maka pemerintah akan memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai programnya di tahun depan (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).

Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemnkeu) mencatat posisi utang pemerintahan kembali mengalami kenaikan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun (Kontan.co.id, 18 Agustus 2024). Target pencapaian pajak yang sekan-akan merupakan suatu keharusan untuk mencapai kemajuan dan seolah-olah ini adalah “prestasi”. Padahal kita ketahui ini pada akhirnya akan menjadi beban ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pencapaian target ini mengharuskan pemerintah melirik apa yang dapat dijadikan “sasaran” pungutan pajak. Salah satunya mulai tahun depan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri tanpa kontraktor bakal dinaikkan dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen sesuai yang diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).

Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyampaikan bahwa pajak 2.4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Hal ini diterapkan dengan dalih menciptakan keadilan. Mengapa demikian? Ia menyampaikan hal ini dikarenakan membangun rumah dengan kontraktor terhitung PPN sehingga membangun rumah sendiri pada level pengeluaran yang sama semestinya juga diperlakukan sama. Namun, pajak ini tidak berlaku bagi semua jenis pembangunan. Melainkan ada syarat dan ketentuan. Yang akan dikenakan pajak adalah masyarakat menengah ke atas (detikproperti.com, 18 September 2024).

Sistem Ekonomi Kapitalis

Paradigma pembiayaan pembangunan yang diterapkan dalam sistem kapitalis-sekuler adalah dari pajak dan utang yang pada akhirnya membebani rakyat. Pajak merupakan sumber dana terbesar bagi berjalannya pembangunan. Sasaran utama pajak adalah rakyat yang pasti akan semakin memberatkan. Salah satunya adalah pajak PPN dalam hal membangun rumah. Dengan kondisi mendapatkan pekerjaan sulit dan banyaknya PHK dimana-mana membuat rakyat tidak memungkinkan untuk membangun rumah yang memadai. Sementara bagi rakyat yang memiliki kemampuan untuk membangun rumah yang memadai tersebut malah dikenai pajak yang makin tinggi. Dari sini terlihat jelas tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat apalagi dalam hal memberikan tempat huni (rumah) yang memadai dan layak untuk rakyatnya.

Fakta menunjukkan bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan bagi rakyatnya. Penetapan pajak ini sesuatu keniscayaan dalam sistem kapitalis-sekuler yang saat ini diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pajak merupakan pilar berdirinya sistem ekonomi kapitalis. Tanpa pajak tidak akan ada pembangunan.

Sistem Ekonomi Islam

Sistem Islam yang sempurna dan paripurna yang berasal dari sang Khaliq telah menetapkan bagaimana sistem ekonomi dalam tuntunan syariat Islam. Dalam sistem ekonomi Islam akan diterapkan kebijakan yang berdasarkan politik ekonomi Islam,  adanya jaminan dalam pemenuhan kebutuhan primer (pokok) bagi seluruh rakyat baik muslim maupun non-muslim serta baik miskin maupun kaya selama memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah Islamiyah. Hal ini sangat berbeda dengan dalil yang disampaikan oleh di atas bahwa pengenaan pajak rumah untuk mencapai “keadilan”. Dalam sistem ekonomi Islam negara yang merupakan pengurus rakyat bukan hanya berperan sebagai regulator akan memastikan seluruh rakyat terpenuhi akan kebutuhan primernya (makan, sandang maupun papan) dan  tidak terbatas hanya pada rakyat miskin. Penjaminan ini dilakukan negara melalui diberikannya kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta adanya hukum-hukum tentang tanah yang telah diatur oleh syariat secara rinci.

Sumber penerimaan negara dalam sistem Islam banyak sekali. Sumber penerimaan negara yang tetap akan ada walaupun tidak ada kebutuhan apa-apa yang merupakan hak kaum muslim dan masuk dalam Baitul Maal yakni: 1. Fai’ ; 2.Jizyah; 3. Kharaj; 4. ‘Usyur; 5. Harta milik umum yang dilindungi negara; 6. Harta haram pejabat dan pegawai negara; 7. Khumus Rikaz dan tambang; 8. Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; 9. Harta orang murtad.

Pada saat kondisi Baitul Maal ini kosong dan tidak mencukupi untuk membiayai besaran belanja maka dalam kondisi seperti ini khalifah (kepala negara) akan mengambil beberapa kebijakan yang sesuai dengan hukum syara’. Salah satunya dengan memungut pajak. Namun, pajak ini tidak dipungut dari seluruh kaum muslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu yang memiliki kelebihan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf) sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Sehingga pajak bukanlah pemasukan utama dalam sistem Ekonomi Islam. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang akan menyejahterakan hidup kita yakni Sistem Islam yang diterapkan secara sempurna dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 17 Agustus 2024

Pajak Naik, kok Bangga?

Tinta Media - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya 13 triliun rupiah, yang kini peningkatannya bisa diacungi jempol sebagai tanda kinerja DJP yang sangat maksimal. Sri Muliani mengapresiasi kenaikan pajak untuk tahun 2024 yang ditargetkan sebesar 1.988,9 triliun rupiah (CNN Indonesia, 14/07/2024).

Para pemangku jabatan tertawa riang melihat deretan angka yang begitu pesat kenaikannya. Akan tetapi tidak dengan rakyat. Mereka terus bergelut mencari cara agar bisa bertahan hidup. Apalagi jika harus membayar pajak yang sangat memberatkan bagi semua kalangan masyarakat dengan segala problematika hidup yang menghimpit. Entah dalam definisi menjaga negara seperti apa yang dimaksudkan, jika rakyat yang menjadi bagian dari suatu negara berada dalam kondisi sengsara. Hal ini membuktikan, tidak ada tujuan lain dari negara kecuali sekadar mencapai target angka (pajak) dan kepuasan pribadi.

Pajak di Mata Kapitalisme

Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara, yang sekaligus adalah jantung bagi kapitalisme. Faktanya pajak menjadi cara yang mudah untuk mengumpulkan dana, yang mana ini sesuai dengan prinsip kapitalisme yaitu meminimalisir usaha untuk meraup keuntungan yang berlimpah.

Di lain sisi, SDA yang melimpah justru malah dikelola oleh pihak swasta, baik individu ataupun korporasi lokal dan asing. Jika negara ini independen dan mau mengelola SDA sendiri, maka akan sangat cukup untuk menyejahterakan rakyat. Sayangnya rakyat di negeri ini justru hanya dijadikan korban yang dirampas habis-habisan dengan pemungutan pajak dari berbagai sektor, seperti pajak sembako, bangunan, tanah, kendaraan dan perkebunan dengan dalih membawa kesejahteraan.

Padahal kesengsaraan rakyat justru dimulai dari pemungutan pajak dengan hukum wajib tanpa mengenal status sosial dan pendapatannya. Fungsi negara dalam melayani rakyat di sistem hari ini nihil. Negara membuat aturan yang hanya menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat biasa. Tidak mengherankan jika hal ini akhirnya membuat para pemangku jabatan dan pengusaha memiliki kekayaan triliunan rupiah bahkan bisa menyamai kekayaan negara. Sehingga sistem ini telah membuat jarak yang jauh antara si kaya dan si miskin.

Konsep Pajak dalam Islam

Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam dalam urusan bernegara. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan dalam menjalankan dan mengelola negara. Pajak menjadi pilihan terakhir ketika menyelesaikan permasalahan perekonomian negara.

Mekanisme penarikan pajak dalam Islam bukan diberlakukan pada semua rakyat, melainkan hanya dibebankan pada para aghniya' (kaum muslim yang kaya). Karena tujuan dasar penarikan pajak adalah untuk membantu keberlangsungan kehidupan rakyat. Perlu diingat, dalam sistem Islam pajak tidak diwajibkan kepada semua rakyat!

Oleh karena itu, solusi pajak hanya dikeluarkan jika terjadi kondisi darurat, seperti baitulmal kosong atau sedang terjadi masa paceklik, sedangkan ada pengeluaran wajib yang tak bisa ditunda. Perlu digarisbawahi bahwa dalam khilafah (daulah Islam), pemimpin yang terpilih yakni khalifah bukanlah pemimpin dari kalangan orang awam. Khalifah wajib memiliki akidah Islam yang kokoh, yang memiliki tujuan dan visi misi akhirat bahwa semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban.

Ketika pemimpinnya cerdas dan bertakwa, maka akan bisa mengamankan sistem keuangan dan ekonomi dengan sangat akurat. Pun dia akan memilih orang-orang sebagai pejabat pemerintahan dengan kapabilitas mumpuni, yang akan membantunya menerapkan aturan yang bersumber dari Allah SWT. Di dalam sistem Islam tidak ada pemangku jabatan yang bangga dengan kenaikan pendapatan pajak yang hanya fokus pada angka, bukan kesejahteraan rakyat.

Mengapa dalam Khilafah Tidak Wajib Pajak?

Dalam khilafah pajak bukanlah kewajiban yang dijadikan sebagai sumber pemasukan. Mengapa bisa demikian? Karena dalam sistem Islam terdapat pembagian kepemilikan harta, yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Pembagian ini tidak ditemukan di sistem ekonomi mana pun, namun justru dengan ini distribusi kekayaan akan merata dan mampu menyejahterakan masyarakat. Kepemilikan umum berupa hutan, padang rumput dan air tidak bisa dikuasai oleh individu maupun negara. Negara hanya bertugas untuk mengelolanya, kemudian hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Selain itu, negara dalam sistem Islam memiliki pos pemasukan dari _jizyah, fa'i, kharaj dan khumus_. Tidak ada pajak wajib dan rutin yang dipungut.

Dari pos pemasukan yang banyak dan rinci ini, maka tidak ada lagi kekayaan alam yang dikuasai oleh segelintir orang seperti sistem kapitalisme sekuler. Pos pengeluaran dalam khilafah akan menyejahterakan rakyat, individu per individu. Dalam negara Islam tidak ditemukan rakyat yang kelaparan dan sebagainya. Pun jika ada rakyat yang miskin, kesejahteraan mereka tetap terjamin dengan mekanisme yang telah diwariskan Rasulullah saw. dan khulafaur rasyidin.

Maka dari itu, sudah saatnya kaum muslimin beralih dari sistem kapitalisme ke sistem Islam. Karena hanya dengan Islam lah sebaik-baik jaminan dan perlindungan akan terwujud. Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem kapitalisme, yang mana para pemangku jabatan hanya membutuhkan rakyat di saat pesta demokrasi saja. Selaras dengan tujuannya yang hanya mencari keuntungan di dunia. Campakkan kapitalisme, back to Islam kaffah!

Oleh : Raodah Fitriah, S.P., Sahabat Tinta Media 

Selasa, 06 Agustus 2024

Penerimaan Pajak Meningkat, Prestasi atau Ironi?


Tinta Media - Saat ini, pajak menjadi pungutan wajib bagi rakyat. Pasalnya, pajak adalah instrumen penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Keinginan menjadi bangsa yang sejahtera dan adil mustahil terwujud tanpa adanya pajak. Inilah ungkapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. 

Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat secara signifikan sejak 1983. Sebelumnya hanya Rp13 triliun. Hal itu ia sampaikan dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, 14 Juli. 

Mulanya, wanita yang akrab disapa Ani itu mengatakan bahwa pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen yang penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-cita.

“Kita semua mengetahui bahwa untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara ini, negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, ingin menjadi negara yang sejahtera, dan adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara,” jelas Sri Mulyani dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia, 14/07/2024)

Meningkatnya angka penerimaan pajak yang dibanggakan oleh menteri ekonomi sejatinya menunjukkan bahwa pungutan yang dibebankan kepada rakyat meningkat. Hal merupakan ini keniscayaan dalam sistem kapitalis-demokrasi sebab pajak menjadi sumber utama pemasukan negara. Dengan kata lain, pajak menjadi tulang punggung perekonomian negara. 

Saat ini, ada begitu banyak jenis pajak yang ditarik dari rakyat. Pemerintah terus membangun narasi positif bahwa pajak akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Konon, pajak yang ditarik akan dialokasikan untuk kepentingan pembangunan negara, baik untuk fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, ataupun lainya. Dengan fasilitas tersebut, rakyat dapat mengakses segala kebutuhan dengan mudah dan mengantarkan pada kesejahteraan rakyat. 

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Banyaknya jenis pajak yang dibebankan rakyat justru menambah pengeluaran rakyat. Masyarakat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Bukannya sejahtera, nyatanya rakyat semakin tercekik dengan besarnya nominal dan banyaknya jenis pajak yang dibebankan negara. 

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai/PPN yang dikenakan pada pelaku usaha membuat mereka menaikkan harga jual yang berimbas pada mahalnya harga-harga di pasaran. Sementara, hal ini tidak dibarengi dengan kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan maupun kenaikan gaji, sehingga rakyat kian tercekik. 

Sungguh ironis, pajak yang digembor-gemborkan untuk pembangunan negara nyatanya jauh panggang dari api. Rakyat tidak benar-benar merasakan imbalan setimpal dengan berbagai jenis pajak yang dibebankan. 

Pembangunan infrastruktur hanya terjadi di kota-kota besar. Masih banyak wilayah di Nusantara yang jauh dari fasilitas yang layak. 

Di berbagai daerah, banyak jalanan dan jembatan reyot yang membahayakan nyawa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, jalan tersebut merupakan akses utama mobilitas masyarakat. Selain itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan jauh dari kata layak. 

Sementara itu, rakyat kerap disuguhi dengan gaya hidup mewah para pejabat. Gaji dan tunjangan para pejabat terus naik dengan segala fasilitas mewahnya. Sementara, pejabat pajak yang tersandung korupsi sangat marak. 

Di sisi lain, gaji guru honorer jauh dari kata layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, mereka tetap wajib membayar pajak dan program-program pemerintah lainya yang sejatinya terus menambah beban. Realisasinya pun jauh dari yang dijanjikan. 

Sungguh, rasa keadilan kian terkikis di negeri ini. Penguasa yang harusnya mengurusi rakyat malah bertindak sebaliknya. 

Inilah konsekuensi penerapan sistem demokrasi-kapitalis. Dalam sistem ini, pajak adalah sumber pemasukan negara selain utang luar negeri. Maka, sungguh mustahil kemajuan dan kesejahteraan terwujud jika ditopang dari utang dan pungutan terhadap rakyat. 

Satu-satunya cara berlepas dari pajak yang kian menjerat adalah mengganti sistem yang menjadi akar persoalan ini yakni aturan ala kapitalis-demokrasi dengan sistem Islam.
 
Islam adalah agama sempurna yang datang dari Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, Allah Swt. Islam berisi aturan hidup bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk sumber-sumber pemasukan negara.  

Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah tidak bergantung pada pajak sebagai sumber pemasukan negara. 
Dalam Islam, negara memiliki banyak sumber pemasukan, di antaranya anfal atau ganimah, yakni harta yang diperoleh kaum muslimin dari medan perang, baik berupa persenjataan, bahan pangan, uang, barang dagangan, dan sejenisnya.

Selanjutnya, ada jizyah atau pungitan atas orang kafir yang tunduk dalam kepemimpinan Islam. Sumber berikutnya adalah kharaj atau pungutan atas tanah yang diperoleh dari perjanjian damai maupun peperangan.

Selain itu, ada pemasukan dari harta milik umum atau harta milik seluruh kaum muslimin yang haram dikuasai individu atau swasta.

Harta milik umum meliputi seluruh sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas, tambang emas, batu bara, biji besi, nikel, hutan, kekayaan laut, perairan, dan masih banyak lagi potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pemasukan negara. 

Bayangkan jika sumber daya alam yang tersebar di seluruh Indonesia tersebut tidak dikuasai asing seperti saat ini, di bawah kepemimpinan sistem kapitalisme, tentu kekayaan tersebut akan menghantarkan Indonesia kepada kesejahteraan, kemajuan, dan kemakmuran. Negeri ini berpotensi besar menjadi negara adidaya dunia dengan seluruh kekayaan alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. 

Dalam negara Islam, pajak atau dharibah hanya akan ditarik apabila kas baitul mal kosong dan negara dalam situasi genting di luar kehendak manusia, seperti adanya bencana alam, wabah penyakit, atau keperluan mendesak yang mengharuskan kepengurusan umat saat itu juga. 

Maka, dalam kondisi tersebut akan ditarik pajak kepada kaum muslimin yang kaya saja. Saat kondisi telah stabil, maka pungutan pajak tersebut akan dihentikan. Sebab, pajak ditarik untuk menutupi kekurangan baitul mal, bukan sumber pemasukan utama. 

Penguasa dalam Islam berfungsi sebagai ra’in, yaitu mengurusi seluruh urusan umat dan berjalan di bawah sistem yang tegak di atas akidah yang lurus dan keimanan yang senantiasa dikondisikan. Dengan demikian, niscaya kepengurusan umat akan berjalan baik sesuai tuntutan syari’at. 

Adanya sanksi yang tegas bagi penguasa yang abai atau melakukan kezaliman, seperti tindak korupsi, akan dikenakan sanksi tegas tanpa pandang bulu. 

Rasa takut akan siksa di akhirat menjadikan para penguasa hati-hati dan amanah dalam menjalankan kepemimpinannya. 

Hal itu sangat jauh dari kepemimpinan sistem kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga jauh dari nilai keimanan. Sistem tersebut menjadikan materi atau keuntungan sebagai tolok ukur. Tak heran jika banyak pejabat tersandung kasus korupsi. 

Hanya Islam sistem hidup terbaik yang akan mendatangkan kesejahteraan di semua aspek kehidupan, terbukti umat Islam pernah berjaya selama 13 abad lamanya di bawah penerapan Islam. Ini karena Islam turun dari Sang Pencipta alam semesta, yang pasti terbaik dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bi shawwab.

Oleh: Imroatus Sholeha, Frelance Writer

Sabtu, 03 Agustus 2024

Pajak Naik, Rakyat Tetap Tercekik

Tinta Media - Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengumumkan bahwa negara yang sejahtera dan adil membutuhkan penerimaan pajak yang baik (liputan6.com, 14/7/2024). Pajak merupakan instrumen penting dalam membangun cita-cita bangsa dan negara. Demikian lanjutnya.

Sri Mulyani pun memaparkan perkembangan penerimaan pajak yang terkategori baik dari masa ke masa. Menteri Keuangan merinci, tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih di posisi Rp13 triliun. Kemudian memasuki masa reformasi (1999) penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Untuk tahun 2024, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun. Sektor pajak merupakan sektor pijakan yang mampu diandalkan dalam berbagai situasi. Ungkapnya.

Konsep Keliru ala Kapitalisme

Penerimaan pajak yang terus meningkat dapat diartikan sebagai naiknya jumlah pungutan yang ditetapkan atas rakyat. Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan instrumen utama dalam membangun infrastruktur. Negara selalu mengaruskan opini bahwa rakyat bijak, taat pajak. Dan senantiasa menggemborkan bahwa setiap pajak yang dipungut dari rakyat berimplikasi positif dengan pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Beberapa diantaranya, subsidi BBM, kesehatan, pendidikan dan beragam sektor layanan lainnya. Kebijakan pajak yang ditetapkan hingga saat ini diharapkan mampu memberikan pelayanan merata bagi seluruh rakyat, termasuk bagi rakyat berpenghasilan rendah. Baik layanan kesehatan, pendidikan maupun akses kebutuhan primer. Sehingga pemerintah terus mengimbau agar rakyat taat dan disiplin membayar pajak.

Negara dengan konsep yang berpijak pada kapitalisme akan selalu menganggap benar bahwa pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang menjanjikan. Karena potensinya begitu besar yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun faktanya, dari tahun ke tahun jumlah pajak ini semakin memberatkan rakyat. Tanpa diiringi tingkat kesejahteraan yang layak. Justru sebaliknya, angka kemiskinan semakin bertambah dan kian ekstrim dari waktu ke waktu. Kasus kelaparan terus terjadi, buruknya layanan kesehatan, sempitnya lapangan kerja ditambah dengan layanan pendidikan yang kian memprihatinkan. Mestinya, jika secara teoritis pajak memiliki konsep menyejahterakan dan menjaga kepentingan rakyat, semua kesulitan ini tidak akan terjadi. Namun faktanya, semua kesulitan ini semakin membelit dan membuat rakyat makin sulit.

Pemikiran rakyat semakin teracuni oleh konsep kapitalisme yang keliru. Mereka menganggap tidak ada penerimaan negara selain dari pajak dan utang luar negeri. Seharusnya kita semua mampu belajar dari konsep pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam tatanan konsep amanah yang mengedepankan kemandirian dan ketangguhan suatu negara. Tanpa harus bergantung pada negara lain atau menjadikan rakyat sebagai tameng ekonomi.

Di sisi lain, instrumen pajak ditetapkan bagi sebagian besar rakyat ekonomi kecil dan menengah. Sementara, golongan ekonomi atas justru dengan mudah mengemplang pajak dengan berbagai strategi dan alasan. Kezaliman yang nyata.

Tanah air, memiliki sumber daya alam melimpah ruah. Sumber daya ini memiliki potensi luar biasa jika diatur dan dikelola dengan baik dan optimal. Namun sayang, konsep liberalisme kapitalistik telah melenyapkan segala bentuk harapan atas seluruh kekayaan yang dimiliki negeri ini. Kekayaan alam yang ada justru dilimpahkan pengelolaannya pada asing dan swasta. Alhasil, rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam demi mengakses kebutuhannya. Bak jatuh tertimpa tangga, selain sulitnya akses pemenuhan kebutuhan, rakyat pula harus menanggung beban berat pajak yang ditetapkan negara di setiap bidang layanan.

Inilah fokus kekeliruan sistem kapitalisme yang terus menjebak rakyat. Pajak disinyalir naik, namun rakyat terus sulit dan tercekik. Tentu saja, konsep ini menyalahi fitrah pengaturan manusia sebagai individu yang butuh tata kelola adil dan bijaksana. Wajar saja, saat kehidupan kian dimiskinkan secara sistemis oleh kebijakan-kebijakan yang absurd.

Tata Kelola Ekonomi dalam Islam

Sistem Islam memiliki mekanisme dan konsep yang berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme. Sistem ekonomi Islam tidak pernah menjadikan pajak dan utang luar negeri sebagai pijakan perekonomian negara. Institusi berbasis sistem Islam, yakni khilafah, menitikberatkan segala bentuk pengelolaan ekonomi pada tata kelola sumber kekayaan alam secara adil, bijaksana dan amanah sesuai tuntunan syariah.

Khilafah memiliki pos-pos khusus dalam tata kelola ekonomi. Semua diurusi demi mencapai kesejahteraan rakyat. Islam menetapkan bahwa negara harus berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai) yang mampu menjaga setiap kebutuhan individu umat.

Rasulullah SAW. Bersabda,

“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori).

Khilafah mengatur bahwa ada tiga jenis pos pemasukan utama dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, penerimaan dari pos pengelolaan harta kepemilikan umum, berupa barang tambang, minyak, gas alam, dan lainnya. Kedua, penerimaan dari kepemilikan negara, berupa kharaj, fa’i, ghanimah, dan lainnya. Ketiga penerimaan dari zakal maal, yang hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf, yakni fakir, miskin, ibnu sabil, gharimiin, amil dan seterusnya. Harta dari zakat maal tidak dialokasikan untuk keperluan lainnya. Sehingga kebutuhan rakyat mampu tercukupi dan terjaga pengadaannya. Ketiga pos pemasukan termasuk mampu mengcover seluruh kebutuhan rakyat untuk mencapai taraf sejahtera. Dengan konsep inilah, negara tidak perlu menetapkan pungutan pajak.

Sistem ekonomi Islam, satu-satunya sistem tangguh yang mampu mencapai kemakmuran seluruh rakyat dengan sempurna.  Sistem gemilang ini telah terbukti keberhasilannya dalam menggenggam kejayaan dan cahaya Islam selama 13 abad lamanya. Penerapan sistem yang amanah di bawah dekapan khilafah, niscaya melahirkan berkah.

Wallahu ‘alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Sabtu, 20 Juli 2024

Pendapatan Pajak Meningkat, Rakyat Kian Sekarat

“Bahagia di atas penderitaan rakyat.” 

Tinta Media - Ungkapan ini seolah tergambar pada sosok Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat mengungkap meningkatnya pendapatan pajak tahun 2024. 

Sri Mulyani mengaku senang mendengar pengakuan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo bahwa Direkturat Jenderal Pajak akan terus melakukan perbaikan dan penguatan secara berkelanjutan serta selalu ada inisiatif untuk memperbaiki diri di setiap masa. (liputan6.com, 14-7-2024).

Wajar jika pemegang kendali keuangan negara merasa senang ketika mendapat laporan kenaikan pendapatan, meski pendapatan tersebut didapat dari memalak rakyat atas nama pajak. 

Pasalnya, pajak menjadi sumber pendapatan utama negara penganut sistem kapitalisme sekuler. Mereka berpendapat bahwa untuk membangun negara hingga mencapai sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik. Padahal, sejatinya pungutan pajak merupakan bentuk kezaliman negara.

Semestinya negara berperan sebagai pengurus dan penjamin kesejahteraan rakyat, bukan justru mengambil kekayaannya. 

Ironi, Indonesia yang kaya sumber daya alam justru mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama.

Akan tetapi, itulah fakta yang terjadi saat ini. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator dalam hal tata kelola urusan negara. Hal ini seolah membenarkan slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” yang pada kenyataannya hanya sebagian kecil hasil pajak diperuntukkan rakyat. 

Jika ditelusuri, sebagian besar pajak yang dipungut dari rakyat nyatanya digunakan untuk membayar penguasa dan para dewan terhormat yang katanya mewakili inspirasi rakyat. Belum lagi pajak yang dikorupsi dan sulit ditelusuri karena dilakukan secara sistemik. 

Sungguh, ini adalah bentuk kezaliman yang nyata, terlebih berbagai kesulitan dialami oleh sebagian besar masyarakat. 

Jika sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama suatu negara, maka sistem Islam justru memiliki berbagai sumber penerimaan negara, bahkan dalam jumlah besar. Hal ini karena Islam memiliki sistem kepemilikan yang diatur pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. 

Kepemilikan umum merupakan satu satu yang diatur pemanfaatannya untuk masyarakat, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, dan Abu Majah. 

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (gembalaan), dan api.” 

Dari kepemilikan umum itulah negara yang menjalankan sistem Islam akan memiliki pendapatan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu contoh kepemilikan umum adalah bahan tambang. Maka, bahan tambang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. 

Tambang tidak boleh diberikan pengelolaannya kepada swasta, negara asing, apalagi organisasi masyarakat, bahkan individu sebagaimana terjadi saat ini di Indonesia. Dengan pengelolaan bahan tambang yang baik oleh negara, maka pungutan pajak tidak perlu lagi dilakukan dalam negara Islam.

Sejatinya, sistem Islam membolehkan pungutan pajak, tetapi dengan beberapa syarat. Syariat membolehkan penarikan pajak dengan empat kriteria (syarat) utama:

Pertama, pemungutan pajak hanya untuk melaksanakan kewajiban syar’i yang menjadi kewajiban bersama antara negara dan kaum muslimin secara umum.

Kedua, pemungutan pajak bersifat temporer, ketika kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan umum. Penarikan pajak bersifat tidak tetap dan tidak berkelanjutan. 

Dengan demikian, pungutan pajak segera dihentikan ketika negara sudah mendapat pemasukan dari pos lain (hasil tambang misalnya).

Ketiga, pajak justru hanya diambil dari kaum muslimin, tidak boleh menarik pajak dari warga non-muslim, terlebih mereka sudah dikenakan jiziah.

Keempat, pajak tidak dibebankan pada semua orang, apalagi rakyat miskin. Pajak hanya ditarik dari warga yang mampu.

Apabila negara memungut pajak tanpa memenuhi syarat di atas, misalnya mewajibkan semua masyarakat termasuk rakyat miskin untuk membayar pajak, bahkan di berbagai sisi (pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasillan, dan sebagainya), maka penguasa tersebut telah zalim terhadap rakyat. 

Pemungut pajak semacam itu kelak akan disiksa sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya, 

“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut pajak/cukai (yang tidak syar’i).”(HR. Ahmad dan Al-Hakim).

Kesimpulannya, pajak pada sistem kapitalis tidak bisa membuat rakyat sejahtera, tetapi justru menambah beban. Maka dari itu, solusi tuntas untuk meraih kesejahteraan rakyat adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang zalim tersebut dengan sistem Islam yang berasal dari Allah, Pencipta manusia, alam, dan kehidupan. 
Allahu ‘alam bish shawab.

Oleh: R. Raraswati, Sahabat Tinta Media

Jumat, 12 Juli 2024

Duta Pajak Produk Kapitalis, Bukan Solusi Hakiki



Tinta Media - Untuk meningkatkan kepercayaan publik dalam membayar pajak, khususnya kaum milenial, Pemerintah Kabupaten Bandung menggelar ajang Pemilihan Duta Pajak Kabupaten Bandung tahun 2024. Ajang tersebut diperuntukkan bagi anak-anak muda yang berpotensi bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Pada hari Jumat di hotel Sunshine, Soreang (08/03/2024), berlangsung acara grand final duta pajak kabupaten Bandung tahun 2024. 

Sambutan disampaikan oleh DR. Cakra Amiyana selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung. Beliau menyampaikan bahwa acara Grand Final Duta Pajak ini adalah salah satu inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung.

Bupati Dadang Supriatna berpesan bahwa momen duta pajak ini sangat penting dalam rangka menyadarkan masyarakat tentang wajibnya membayar pajak. 

Cakra mengatakan bahwa hal itu merupakan sebuah komitmen untuk diwujudkan. Dengan terpilihnya duta pajak ini, masyarakat bisa terbantu mendapatkan pengertian akan pentingnya membayar pajak dan pentingnya pajak untuk pembangunan.

Benarkah pemilihan duta pajak merupakan solusi tepat guna meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak atau hanya sekedar solusi pragmatis yang justru akan membebani rakyat? 

Fakta ini menunjukkan lemahnya sistem kapitalisme dalam mengurusi urusan rakyat. Negara kapitalis memandang bahwa pajak adalah sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, pajak menjadi hal biasa yang justru harus didorong agar masyarakat tidak lalai dan abai untuk membayar pajak. 

Di sisi lain, kondisi perekonomian hari ini justru sedang terpuruk dengan hantaman naiknya harga berbagai kebutuhan pokok  menjelang Ramadan. Naiknya harga menjelang Ramadan sudah menjadi rutinitas setiap tahun. Jika harga sudah naik, cenderung enggan untuk turun.  Itu sungguh menyakiti hati rakyat. Ditambah lagi dengan adanya rencana kenaikan  tarif PPN sebesar 12% akhir Januari 2025. Sungguh sangat disayangkan mengingat kondisi perekonomian hari ini serba susah. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. 

Namun, hal itu sangat wajar dalam sistem demokrasi kapitalisme liberal. Rakyat diibaratkan sebagai pembeli sedangkan penguasa sebagai penjual. Keuntungan dan manfaat sangat diagungkan tanpa peduli terhadap kondisi rakyat kalangan ekonomi bawah. 

Bagi kapitalis, pajak adalah nyawa yang membuat sistem itu bertahan dan tetap eksis. Ini karena sumber daya alam yang seharusnya menjadi sumber penghasilan negara justru dikelola oleh pihak swasta dan asing. Rakyat justru hanya mendapatkan remahnya saja, sungguh memilukan.

Membangkitkan kesadaran untuk membayar pajak adalah tujuan pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara, karena kalau kesadaran masyarakat untuk membayar pajak turun dan melemah, maka negara akan mengalami defisit anggaran. Negara tidak akan peduli dengan kondisi rakyat. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara mendapatkan anggaran pendapatan minim usaha, yaitu dengan menarik dan menaikkan pajak, mengingat utang negara begitu besar sehingga para pemangku kebijakan melakukan berbagai cara  untuk bisa menghasilkan pundi-pundi uang dari pajak. 

Solusi Hakiki Hanya Ada dalam Islam

Sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam akan melahirkan seorang pemimpin dan rakyat yang bertakwa, pemimpin yang takut dengan Allah karena sadar apa yang diperbuat akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah bersabda, "Ingatlah tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinan itu. Seorang imam atas manusia itu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban itu." (HR. Imam Bukhari no: 844). 

Negara Islam bukan negara pemalak. Islam juga tidak memprioritaskan pajak sebagai pendapatan utama seperti halnya negara kapitalis. Ini karena pendapatan negara Islam bukan dari hasil menarik pajak.

Islam mempunyai hasil pendapatan yang diperoleh dari harta fa'i, gonimah, jizyah, kharaj, dan harta kepemilikan umum yang dilindungi negara. Islam adalah negara adidaya dengan sumber daya alam sebagai harta yang akan dikelola sesuai dengan syariat Islam. Sumber daya alam yang sangat banyak tentunya akan mendatangkan  banyak kemaslahatan untuk rakyat. Tiga harta kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan umum, kepemilikan individu, dan kepemilikan negara. 

Harta kepemilikan umum akan dikelola oleh negara untuk kemudian disalurkan kepada rakyat dalam bentuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Jadi, Islam tidak mewajibkan setiap individu untuk membayar pajak selama harta baitul mal masih aman. Kecuali jika ketersediaan baitul mal menipis, baru dibolehkan mengambil pajak, itu pun hanya diminta kepada orang kaya saja. 

Dari segi sanksi,  hukum Islam sangat tegas dan akan memberi efek jera, sebagai penebus dosa di akhirat. Sehingga, sistem Islam sangat cocok dan relevan untuk diterapkan dalam sebuah institusi negara, yaitu khilafah Islamiyyah. 

Jelaslah bahwa pemilihan duta pajak hanyalah sebuah solusi pragmatis yang tidak akan menghasilkan kebaikan dan keberkahan. Hanya penerapan Islam secara kaffah-lah satu-satunya solusi hakiki problematika kehidupan yang akan mampu menyejahterakan rakyat seluruhnya baik muslim maupun nonmuslim. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Kamis, 30 Mei 2024

Pajak: Memalak Rakyat, Memakmurkan Pengusaha

Tinta Media - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak didefinisikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Berdasarkan definisi tersebut, sudah sangat jelas bahwa pajak bersifat wajib.

Pajak merupakan sumber pendapatan negara dan berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Jadi, pajak digunakan untuk menjalankan tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, pajak dijadikan tulang punggung perekonomian negara.

Mirisnya, dalam kondisi berkurangnya target pemasukan negara melalui pajak, justru negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang malah membantu ‘pengusaha’. Seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu dengan menerbitkan aturan terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan bahwa salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif PPh kepada para pengusaha atau investor yang menanamkan modal atau mendirikan dan menjalankan usaha di IKN (nasional.kontan.co.id 19/05/2024)

Di sisi lain, pemerintah menetapkan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru di tahun 2025 mendatang, yaitu dari 11% menjadi 12%. Tentu saja hal ini akan memberatkan sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah karena akan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Sudah dipastikan, hal ini akan menurunkan daya beli mereka. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat (Kontan.co.id, Minggu 10/03/2024).

Peraturan yang cenderung berubah-ubah dan berpihak pada kepentingan masyarakat tertentu sudah dapat dipastikan terjadi pada negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, ekonomi berada di tangan para pemilik modal. Dengan demikian, peraturan pun pasti memihak pada kelompok masyarakat ini. Jadi, sebenarnya pajak yang dipungut oleh negara ini untuk kemakmuran siapa, rakyat atau pengusaha?

Hanya Islam yang Mempunyai Solusi Tepat

Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara adalah menunjukkan betapa lemahnya sistem kapitalisme. Alih-alih memakmurkan rakyat, sistem ini justru semakin membebani rakyat. Bahkan, negara dapat mengubah aturan yang terkait pajak ini tanpa dianggap melanggar aturan negara. Ini membuktikan bahwa aturan yang diterapkan adalah berasal buatan manusia yang terbatas.

Dalam Daulah Islam, pajak bukan merupakan sumber pemasukan negara. Bahkan, dalam Daulah Islam, pemungutan pajak dilarang kecuali pada kondisi tertentu, yaitu ketika ada kebutuhan rakyat yang mendesak sedangkan pada saat itu baitul maal kosong. Pemungutan pajak pun hanya diterapkan pada orang yang mampu dan dalam waktu yang terbatas sesuai dengan kebutuhan negara, bukan terus-menerus.

Daulah Islam adalah negara yang kaya. Terbukti selama 1300 tahun lamanya Islam diadopsi sebagai ideologi oleh khilafah Islamiah, perekonomiannya berkembang dengan pesat. Pada saat itu, masyarakat hidup sejahtera dan diperlakukan dengan adil oleh negara.

Dalam Islam, negara mempunyai berbagai macam sumber pemasukan. Di antaranya, ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta yang diperoleh dari non muslim dengan cara damai tanpa peperangan), jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam), kemudian hasil tambang, laut, dan juga hutan serta sumber lainnya.

Jadi, pajak bukanlah sumber pemasukan negara dalam Daulah Islam.

Oleh: Rini Rahayu (Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Sabtu, 06 April 2024

Polemik Gaji dan THR Dipangkas PPH

Tinta Media - Banyak orang terkejut dan protes melihat besarnya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) mereka di bulan Maret, biang keroknya adalah skema baru perhitungan dan pemungutan pajak penghasilan (pph) yang di terapkan Januari 2024, (BBC news, 29/3/2024)

Miris dalam kondisi yang serba sulit seperti ini di tengah-tengah harga pangan yang melambung tinggi ,rakyat di suguhkan kembali dengan adanya potongan pajak tunjangan hari raya (THR). 

Sejatinya THR merupakan  bonus tahunan yang didapat karyawan dari perusahaan untuk pemenuhan kebutuhan di hari raya, adanya potongan tersebut sangat meresahkan warga apalagi yang memiliki keluarga dan mengurusi orang tua ketar ketir untuk mengatur ulang dan mencukup cukupkan biaya kebutuhan .

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat memberatkan rakyat seharusnya negara menjamin kesejahteraan rakyat bukan memotong pajak dari hasil keringat rakyat.

Dalam bingkai kapitalisme pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara dibanding sumber yang lainnya, padahal Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi hasilnya sangat minim, hubungan negara dengan rakyat hanya sebatas sebagai pemungut pajak saja bukan periayah, hampir semua dipajaki, hasil uang pajak pun berupa layanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur rakyat pun harus bayar mahal, sungguh sangat ironis sekali. 

Berbeda dengan lingkup Islam, pajak bukanlah sumber utama negara, Islam mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, adapun pungutan pajak itu pun tidak memberatkan rakyat seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainnya. Dari semua itu akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak. Pajak hanya di tarik dari orang kaya saja itu pun jika kas negara kosong dengan begitu Islam mampu mewujudkan ekonomi mandiri tanpa harus memungut pajak. 

Berdasarkan fakta di atas sangat jelas sekali  solusi yang mampu menuntaskan berbagai problematika umat hanya Islam karena islamlah yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya tanpa adanya pungutan pajak. 

Wallohu 'alam biashshowab.

Oleh: Ummu Zaki
Sahabat Tinta Media 


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab