Senin, 04 November 2024
Kebocoran Pajak Menambah Polemik dalam Negeri
Minggu, 03 November 2024
Negara Pemalak Pajak Rakyat
Kamis, 31 Oktober 2024
Ironis Kebijakan Pajak Rakyat vs Pengusaha
Jumat, 04 Oktober 2024
Pajak Mengganas, Rumah Impian Kena Imbas
Tinta Media - Agustus lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan untuk menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Batas yang melebihi Rp 2000 triliun ini pertama kali terjadi dalam sejarah. Selain itu, Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pun diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam RAPBN yang masing-masing menjadi Rp 945,1 triliun dan Rp 1.209,3 triliun. Jika hal ini tercapai maka pemerintah akan memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai programnya di tahun depan (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).
Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemnkeu) mencatat posisi utang pemerintahan kembali mengalami kenaikan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun (Kontan.co.id, 18 Agustus 2024). Target pencapaian pajak yang sekan-akan merupakan suatu keharusan untuk mencapai kemajuan dan seolah-olah ini adalah “prestasi”. Padahal kita ketahui ini pada akhirnya akan menjadi beban ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pencapaian target ini mengharuskan pemerintah melirik apa yang dapat dijadikan “sasaran” pungutan pajak. Salah satunya mulai tahun depan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri tanpa kontraktor bakal dinaikkan dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen sesuai yang diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).
Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyampaikan bahwa pajak 2.4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Hal ini diterapkan dengan dalih menciptakan keadilan. Mengapa demikian? Ia menyampaikan hal ini dikarenakan membangun rumah dengan kontraktor terhitung PPN sehingga membangun rumah sendiri pada level pengeluaran yang sama semestinya juga diperlakukan sama. Namun, pajak ini tidak berlaku bagi semua jenis pembangunan. Melainkan ada syarat dan ketentuan. Yang akan dikenakan pajak adalah masyarakat menengah ke atas (detikproperti.com, 18 September 2024).
Sistem Ekonomi Kapitalis
Paradigma pembiayaan pembangunan yang diterapkan dalam sistem kapitalis-sekuler adalah dari pajak dan utang yang pada akhirnya membebani rakyat. Pajak merupakan sumber dana terbesar bagi berjalannya pembangunan. Sasaran utama pajak adalah rakyat yang pasti akan semakin memberatkan. Salah satunya adalah pajak PPN dalam hal membangun rumah. Dengan kondisi mendapatkan pekerjaan sulit dan banyaknya PHK dimana-mana membuat rakyat tidak memungkinkan untuk membangun rumah yang memadai. Sementara bagi rakyat yang memiliki kemampuan untuk membangun rumah yang memadai tersebut malah dikenai pajak yang makin tinggi. Dari sini terlihat jelas tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat apalagi dalam hal memberikan tempat huni (rumah) yang memadai dan layak untuk rakyatnya.
Fakta menunjukkan bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan bagi rakyatnya. Penetapan pajak ini sesuatu keniscayaan dalam sistem kapitalis-sekuler yang saat ini diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pajak merupakan pilar berdirinya sistem ekonomi kapitalis. Tanpa pajak tidak akan ada pembangunan.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem Islam yang sempurna dan paripurna yang berasal dari sang Khaliq telah menetapkan bagaimana sistem ekonomi dalam tuntunan syariat Islam. Dalam sistem ekonomi Islam akan diterapkan kebijakan yang berdasarkan politik ekonomi Islam, adanya jaminan dalam pemenuhan kebutuhan primer (pokok) bagi seluruh rakyat baik muslim maupun non-muslim serta baik miskin maupun kaya selama memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah Islamiyah. Hal ini sangat berbeda dengan dalil yang disampaikan oleh di atas bahwa pengenaan pajak rumah untuk mencapai “keadilan”. Dalam sistem ekonomi Islam negara yang merupakan pengurus rakyat bukan hanya berperan sebagai regulator akan memastikan seluruh rakyat terpenuhi akan kebutuhan primernya (makan, sandang maupun papan) dan tidak terbatas hanya pada rakyat miskin. Penjaminan ini dilakukan negara melalui diberikannya kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta adanya hukum-hukum tentang tanah yang telah diatur oleh syariat secara rinci.
Sumber penerimaan negara dalam sistem Islam banyak sekali. Sumber penerimaan negara yang tetap akan ada walaupun tidak ada kebutuhan apa-apa yang merupakan hak kaum muslim dan masuk dalam Baitul Maal yakni: 1. Fai’ ; 2.Jizyah; 3. Kharaj; 4. ‘Usyur; 5. Harta milik umum yang dilindungi negara; 6. Harta haram pejabat dan pegawai negara; 7. Khumus Rikaz dan tambang; 8. Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; 9. Harta orang murtad.
Pada saat kondisi Baitul Maal ini kosong dan tidak mencukupi untuk membiayai besaran belanja maka dalam kondisi seperti ini khalifah (kepala negara) akan mengambil beberapa kebijakan yang sesuai dengan hukum syara’. Salah satunya dengan memungut pajak. Namun, pajak ini tidak dipungut dari seluruh kaum muslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu yang memiliki kelebihan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf) sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Sehingga pajak bukanlah pemasukan utama dalam sistem Ekonomi Islam. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang akan menyejahterakan hidup kita yakni Sistem Islam yang diterapkan secara sempurna dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media
Sabtu, 17 Agustus 2024
Pajak Naik, kok Bangga?
Tinta Media - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya 13 triliun rupiah, yang kini peningkatannya bisa diacungi jempol sebagai tanda kinerja DJP yang sangat maksimal. Sri Muliani mengapresiasi kenaikan pajak untuk tahun 2024 yang ditargetkan sebesar 1.988,9 triliun rupiah (CNN Indonesia, 14/07/2024).
Para pemangku jabatan tertawa riang melihat deretan angka yang begitu pesat kenaikannya. Akan tetapi tidak dengan rakyat. Mereka terus bergelut mencari cara agar bisa bertahan hidup. Apalagi jika harus membayar pajak yang sangat memberatkan bagi semua kalangan masyarakat dengan segala problematika hidup yang menghimpit. Entah dalam definisi menjaga negara seperti apa yang dimaksudkan, jika rakyat yang menjadi bagian dari suatu negara berada dalam kondisi sengsara. Hal ini membuktikan, tidak ada tujuan lain dari negara kecuali sekadar mencapai target angka (pajak) dan kepuasan pribadi.
Pajak di Mata Kapitalisme
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara, yang sekaligus adalah jantung bagi kapitalisme. Faktanya pajak menjadi cara yang mudah untuk mengumpulkan dana, yang mana ini sesuai dengan prinsip kapitalisme yaitu meminimalisir usaha untuk meraup keuntungan yang berlimpah.
Di lain sisi, SDA yang melimpah justru malah dikelola oleh pihak swasta, baik individu ataupun korporasi lokal dan asing. Jika negara ini independen dan mau mengelola SDA sendiri, maka akan sangat cukup untuk menyejahterakan rakyat. Sayangnya rakyat di negeri ini justru hanya dijadikan korban yang dirampas habis-habisan dengan pemungutan pajak dari berbagai sektor, seperti pajak sembako, bangunan, tanah, kendaraan dan perkebunan dengan dalih membawa kesejahteraan.
Padahal kesengsaraan rakyat justru dimulai dari pemungutan pajak dengan hukum wajib tanpa mengenal status sosial dan pendapatannya. Fungsi negara dalam melayani rakyat di sistem hari ini nihil. Negara membuat aturan yang hanya menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat biasa. Tidak mengherankan jika hal ini akhirnya membuat para pemangku jabatan dan pengusaha memiliki kekayaan triliunan rupiah bahkan bisa menyamai kekayaan negara. Sehingga sistem ini telah membuat jarak yang jauh antara si kaya dan si miskin.
Konsep Pajak dalam Islam
Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam dalam urusan bernegara. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan dalam menjalankan dan mengelola negara. Pajak menjadi pilihan terakhir ketika menyelesaikan permasalahan perekonomian negara.
Mekanisme penarikan pajak dalam Islam bukan diberlakukan pada semua rakyat, melainkan hanya dibebankan pada para aghniya' (kaum muslim yang kaya). Karena tujuan dasar penarikan pajak adalah untuk membantu keberlangsungan kehidupan rakyat. Perlu diingat, dalam sistem Islam pajak tidak diwajibkan kepada semua rakyat!
Oleh karena itu, solusi pajak hanya dikeluarkan jika terjadi kondisi darurat, seperti baitulmal kosong atau sedang terjadi masa paceklik, sedangkan ada pengeluaran wajib yang tak bisa ditunda. Perlu digarisbawahi bahwa dalam khilafah (daulah Islam), pemimpin yang terpilih yakni khalifah bukanlah pemimpin dari kalangan orang awam. Khalifah wajib memiliki akidah Islam yang kokoh, yang memiliki tujuan dan visi misi akhirat bahwa semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban.
Ketika pemimpinnya cerdas dan bertakwa, maka akan bisa mengamankan sistem keuangan dan ekonomi dengan sangat akurat. Pun dia akan memilih orang-orang sebagai pejabat pemerintahan dengan kapabilitas mumpuni, yang akan membantunya menerapkan aturan yang bersumber dari Allah SWT. Di dalam sistem Islam tidak ada pemangku jabatan yang bangga dengan kenaikan pendapatan pajak yang hanya fokus pada angka, bukan kesejahteraan rakyat.
Mengapa dalam Khilafah Tidak Wajib Pajak?
Dalam khilafah pajak bukanlah kewajiban yang dijadikan sebagai sumber pemasukan. Mengapa bisa demikian? Karena dalam sistem Islam terdapat pembagian kepemilikan harta, yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Pembagian ini tidak ditemukan di sistem ekonomi mana pun, namun justru dengan ini distribusi kekayaan akan merata dan mampu menyejahterakan masyarakat. Kepemilikan umum berupa hutan, padang rumput dan air tidak bisa dikuasai oleh individu maupun negara. Negara hanya bertugas untuk mengelolanya, kemudian hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Selain itu, negara dalam sistem Islam memiliki pos pemasukan dari _jizyah, fa'i, kharaj dan khumus_. Tidak ada pajak wajib dan rutin yang dipungut.
Dari pos pemasukan yang banyak dan rinci ini, maka tidak ada lagi kekayaan alam yang dikuasai oleh segelintir orang seperti sistem kapitalisme sekuler. Pos pengeluaran dalam khilafah akan menyejahterakan rakyat, individu per individu. Dalam negara Islam tidak ditemukan rakyat yang kelaparan dan sebagainya. Pun jika ada rakyat yang miskin, kesejahteraan mereka tetap terjamin dengan mekanisme yang telah diwariskan Rasulullah saw. dan khulafaur rasyidin.
Maka dari itu, sudah saatnya kaum muslimin beralih dari sistem kapitalisme ke sistem Islam. Karena hanya dengan Islam lah sebaik-baik jaminan dan perlindungan akan terwujud. Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem kapitalisme, yang mana para pemangku jabatan hanya membutuhkan rakyat di saat pesta demokrasi saja. Selaras dengan tujuannya yang hanya mencari keuntungan di dunia. Campakkan kapitalisme, back to Islam kaffah!
Oleh : Raodah Fitriah, S.P., Sahabat Tinta Media
Selasa, 06 Agustus 2024
Penerimaan Pajak Meningkat, Prestasi atau Ironi?
Sabtu, 03 Agustus 2024
Pajak Naik, Rakyat Tetap Tercekik
Tinta Media - Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengumumkan bahwa negara yang sejahtera dan adil membutuhkan penerimaan pajak yang baik (liputan6.com, 14/7/2024). Pajak merupakan instrumen penting dalam membangun cita-cita bangsa dan negara. Demikian lanjutnya.
Sri Mulyani pun memaparkan perkembangan penerimaan pajak yang terkategori baik dari masa ke masa. Menteri Keuangan merinci, tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih di posisi Rp13 triliun. Kemudian memasuki masa reformasi (1999) penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Untuk tahun 2024, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun. Sektor pajak merupakan sektor pijakan yang mampu diandalkan dalam berbagai situasi. Ungkapnya.
Konsep Keliru ala Kapitalisme
Penerimaan pajak yang terus meningkat dapat diartikan sebagai naiknya jumlah pungutan yang ditetapkan atas rakyat. Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan instrumen utama dalam membangun infrastruktur. Negara selalu mengaruskan opini bahwa rakyat bijak, taat pajak. Dan senantiasa menggemborkan bahwa setiap pajak yang dipungut dari rakyat berimplikasi positif dengan pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Beberapa diantaranya, subsidi BBM, kesehatan, pendidikan dan beragam sektor layanan lainnya. Kebijakan pajak yang ditetapkan hingga saat ini diharapkan mampu memberikan pelayanan merata bagi seluruh rakyat, termasuk bagi rakyat berpenghasilan rendah. Baik layanan kesehatan, pendidikan maupun akses kebutuhan primer. Sehingga pemerintah terus mengimbau agar rakyat taat dan disiplin membayar pajak.
Negara dengan konsep yang berpijak pada kapitalisme akan selalu menganggap benar bahwa pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang menjanjikan. Karena potensinya begitu besar yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun faktanya, dari tahun ke tahun jumlah pajak ini semakin memberatkan rakyat. Tanpa diiringi tingkat kesejahteraan yang layak. Justru sebaliknya, angka kemiskinan semakin bertambah dan kian ekstrim dari waktu ke waktu. Kasus kelaparan terus terjadi, buruknya layanan kesehatan, sempitnya lapangan kerja ditambah dengan layanan pendidikan yang kian memprihatinkan. Mestinya, jika secara teoritis pajak memiliki konsep menyejahterakan dan menjaga kepentingan rakyat, semua kesulitan ini tidak akan terjadi. Namun faktanya, semua kesulitan ini semakin membelit dan membuat rakyat makin sulit.
Pemikiran rakyat semakin teracuni oleh konsep kapitalisme yang keliru. Mereka menganggap tidak ada penerimaan negara selain dari pajak dan utang luar negeri. Seharusnya kita semua mampu belajar dari konsep pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam tatanan konsep amanah yang mengedepankan kemandirian dan ketangguhan suatu negara. Tanpa harus bergantung pada negara lain atau menjadikan rakyat sebagai tameng ekonomi.
Di sisi lain, instrumen pajak ditetapkan bagi sebagian besar rakyat ekonomi kecil dan menengah. Sementara, golongan ekonomi atas justru dengan mudah mengemplang pajak dengan berbagai strategi dan alasan. Kezaliman yang nyata.
Tanah air, memiliki sumber daya alam melimpah ruah. Sumber daya ini memiliki potensi luar biasa jika diatur dan dikelola dengan baik dan optimal. Namun sayang, konsep liberalisme kapitalistik telah melenyapkan segala bentuk harapan atas seluruh kekayaan yang dimiliki negeri ini. Kekayaan alam yang ada justru dilimpahkan pengelolaannya pada asing dan swasta. Alhasil, rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam demi mengakses kebutuhannya. Bak jatuh tertimpa tangga, selain sulitnya akses pemenuhan kebutuhan, rakyat pula harus menanggung beban berat pajak yang ditetapkan negara di setiap bidang layanan.
Inilah fokus kekeliruan sistem kapitalisme yang terus menjebak rakyat. Pajak disinyalir naik, namun rakyat terus sulit dan tercekik. Tentu saja, konsep ini menyalahi fitrah pengaturan manusia sebagai individu yang butuh tata kelola adil dan bijaksana. Wajar saja, saat kehidupan kian dimiskinkan secara sistemis oleh kebijakan-kebijakan yang absurd.
Tata Kelola Ekonomi dalam Islam
Sistem Islam memiliki mekanisme dan konsep yang berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme. Sistem ekonomi Islam tidak pernah menjadikan pajak dan utang luar negeri sebagai pijakan perekonomian negara. Institusi berbasis sistem Islam, yakni khilafah, menitikberatkan segala bentuk pengelolaan ekonomi pada tata kelola sumber kekayaan alam secara adil, bijaksana dan amanah sesuai tuntunan syariah.
Khilafah memiliki pos-pos khusus dalam tata kelola ekonomi. Semua diurusi demi mencapai kesejahteraan rakyat. Islam menetapkan bahwa negara harus berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai) yang mampu menjaga setiap kebutuhan individu umat.
Rasulullah SAW. Bersabda,
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori).
Khilafah mengatur bahwa ada tiga jenis pos pemasukan utama dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, penerimaan dari pos pengelolaan harta kepemilikan umum, berupa barang tambang, minyak, gas alam, dan lainnya. Kedua, penerimaan dari kepemilikan negara, berupa kharaj, fa’i, ghanimah, dan lainnya. Ketiga penerimaan dari zakal maal, yang hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf, yakni fakir, miskin, ibnu sabil, gharimiin, amil dan seterusnya. Harta dari zakat maal tidak dialokasikan untuk keperluan lainnya. Sehingga kebutuhan rakyat mampu tercukupi dan terjaga pengadaannya. Ketiga pos pemasukan termasuk mampu mengcover seluruh kebutuhan rakyat untuk mencapai taraf sejahtera. Dengan konsep inilah, negara tidak perlu menetapkan pungutan pajak.
Sistem ekonomi Islam, satu-satunya sistem tangguh yang mampu mencapai kemakmuran seluruh rakyat dengan sempurna. Sistem gemilang ini telah terbukti keberhasilannya dalam menggenggam kejayaan dan cahaya Islam selama 13 abad lamanya. Penerapan sistem yang amanah di bawah dekapan khilafah, niscaya melahirkan berkah.
Wallahu ‘alam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor
Sabtu, 20 Juli 2024
Pendapatan Pajak Meningkat, Rakyat Kian Sekarat
Jumat, 12 Juli 2024
Duta Pajak Produk Kapitalis, Bukan Solusi Hakiki
Kamis, 30 Mei 2024
Pajak: Memalak Rakyat, Memakmurkan Pengusaha
Tinta Media - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak didefinisikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Berdasarkan definisi tersebut, sudah sangat jelas bahwa pajak bersifat wajib.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara dan berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Jadi, pajak digunakan untuk menjalankan tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, pajak dijadikan tulang punggung perekonomian negara.
Mirisnya, dalam kondisi berkurangnya target pemasukan negara melalui pajak, justru negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang malah membantu ‘pengusaha’. Seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu dengan menerbitkan aturan terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan bahwa salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif PPh kepada para pengusaha atau investor yang menanamkan modal atau mendirikan dan menjalankan usaha di IKN (nasional.kontan.co.id 19/05/2024)
Di sisi lain, pemerintah menetapkan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru di tahun 2025 mendatang, yaitu dari 11% menjadi 12%. Tentu saja hal ini akan memberatkan sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah karena akan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Sudah dipastikan, hal ini akan menurunkan daya beli mereka. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat (Kontan.co.id, Minggu 10/03/2024).
Peraturan yang cenderung berubah-ubah dan berpihak pada kepentingan masyarakat tertentu sudah dapat dipastikan terjadi pada negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, ekonomi berada di tangan para pemilik modal. Dengan demikian, peraturan pun pasti memihak pada kelompok masyarakat ini. Jadi, sebenarnya pajak yang dipungut oleh negara ini untuk kemakmuran siapa, rakyat atau pengusaha?
Hanya Islam yang Mempunyai Solusi Tepat
Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara adalah menunjukkan betapa lemahnya sistem kapitalisme. Alih-alih memakmurkan rakyat, sistem ini justru semakin membebani rakyat. Bahkan, negara dapat mengubah aturan yang terkait pajak ini tanpa dianggap melanggar aturan negara. Ini membuktikan bahwa aturan yang diterapkan adalah berasal buatan manusia yang terbatas.
Dalam Daulah Islam, pajak bukan merupakan sumber pemasukan negara. Bahkan, dalam Daulah Islam, pemungutan pajak dilarang kecuali pada kondisi tertentu, yaitu ketika ada kebutuhan rakyat yang mendesak sedangkan pada saat itu baitul maal kosong. Pemungutan pajak pun hanya diterapkan pada orang yang mampu dan dalam waktu yang terbatas sesuai dengan kebutuhan negara, bukan terus-menerus.
Daulah Islam adalah negara yang kaya. Terbukti selama 1300 tahun lamanya Islam diadopsi sebagai ideologi oleh khilafah Islamiah, perekonomiannya berkembang dengan pesat. Pada saat itu, masyarakat hidup sejahtera dan diperlakukan dengan adil oleh negara.
Dalam Islam, negara mempunyai berbagai macam sumber pemasukan. Di antaranya, ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta yang diperoleh dari non muslim dengan cara damai tanpa peperangan), jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam), kemudian hasil tambang, laut, dan juga hutan serta sumber lainnya.
Jadi, pajak bukanlah sumber pemasukan negara dalam Daulah Islam.
Oleh: Rini Rahayu (Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)