Tinta Media: Pajak
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2024

Pajak: Memalak Rakyat, Memakmurkan Pengusaha

Tinta Media - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak didefinisikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Berdasarkan definisi tersebut, sudah sangat jelas bahwa pajak bersifat wajib.

Pajak merupakan sumber pendapatan negara dan berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Jadi, pajak digunakan untuk menjalankan tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, pajak dijadikan tulang punggung perekonomian negara.

Mirisnya, dalam kondisi berkurangnya target pemasukan negara melalui pajak, justru negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang malah membantu ‘pengusaha’. Seperti yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu dengan menerbitkan aturan terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan bahwa salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif PPh kepada para pengusaha atau investor yang menanamkan modal atau mendirikan dan menjalankan usaha di IKN (nasional.kontan.co.id 19/05/2024)

Di sisi lain, pemerintah menetapkan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru di tahun 2025 mendatang, yaitu dari 11% menjadi 12%. Tentu saja hal ini akan memberatkan sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah karena akan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Sudah dipastikan, hal ini akan menurunkan daya beli mereka. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat (Kontan.co.id, Minggu 10/03/2024).

Peraturan yang cenderung berubah-ubah dan berpihak pada kepentingan masyarakat tertentu sudah dapat dipastikan terjadi pada negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, ekonomi berada di tangan para pemilik modal. Dengan demikian, peraturan pun pasti memihak pada kelompok masyarakat ini. Jadi, sebenarnya pajak yang dipungut oleh negara ini untuk kemakmuran siapa, rakyat atau pengusaha?

Hanya Islam yang Mempunyai Solusi Tepat

Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara adalah menunjukkan betapa lemahnya sistem kapitalisme. Alih-alih memakmurkan rakyat, sistem ini justru semakin membebani rakyat. Bahkan, negara dapat mengubah aturan yang terkait pajak ini tanpa dianggap melanggar aturan negara. Ini membuktikan bahwa aturan yang diterapkan adalah berasal buatan manusia yang terbatas.

Dalam Daulah Islam, pajak bukan merupakan sumber pemasukan negara. Bahkan, dalam Daulah Islam, pemungutan pajak dilarang kecuali pada kondisi tertentu, yaitu ketika ada kebutuhan rakyat yang mendesak sedangkan pada saat itu baitul maal kosong. Pemungutan pajak pun hanya diterapkan pada orang yang mampu dan dalam waktu yang terbatas sesuai dengan kebutuhan negara, bukan terus-menerus.

Daulah Islam adalah negara yang kaya. Terbukti selama 1300 tahun lamanya Islam diadopsi sebagai ideologi oleh khilafah Islamiah, perekonomiannya berkembang dengan pesat. Pada saat itu, masyarakat hidup sejahtera dan diperlakukan dengan adil oleh negara.

Dalam Islam, negara mempunyai berbagai macam sumber pemasukan. Di antaranya, ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta yang diperoleh dari non muslim dengan cara damai tanpa peperangan), jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam), kemudian hasil tambang, laut, dan juga hutan serta sumber lainnya.

Jadi, pajak bukanlah sumber pemasukan negara dalam Daulah Islam.

Oleh: Rini Rahayu (Aktivis Dakwah, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Sabtu, 06 April 2024

Polemik Gaji dan THR Dipangkas PPH

Tinta Media - Banyak orang terkejut dan protes melihat besarnya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) mereka di bulan Maret, biang keroknya adalah skema baru perhitungan dan pemungutan pajak penghasilan (pph) yang di terapkan Januari 2024, (BBC news, 29/3/2024)

Miris dalam kondisi yang serba sulit seperti ini di tengah-tengah harga pangan yang melambung tinggi ,rakyat di suguhkan kembali dengan adanya potongan pajak tunjangan hari raya (THR). 

Sejatinya THR merupakan  bonus tahunan yang didapat karyawan dari perusahaan untuk pemenuhan kebutuhan di hari raya, adanya potongan tersebut sangat meresahkan warga apalagi yang memiliki keluarga dan mengurusi orang tua ketar ketir untuk mengatur ulang dan mencukup cukupkan biaya kebutuhan .

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat memberatkan rakyat seharusnya negara menjamin kesejahteraan rakyat bukan memotong pajak dari hasil keringat rakyat.

Dalam bingkai kapitalisme pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara dibanding sumber yang lainnya, padahal Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi hasilnya sangat minim, hubungan negara dengan rakyat hanya sebatas sebagai pemungut pajak saja bukan periayah, hampir semua dipajaki, hasil uang pajak pun berupa layanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur rakyat pun harus bayar mahal, sungguh sangat ironis sekali. 

Berbeda dengan lingkup Islam, pajak bukanlah sumber utama negara, Islam mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, adapun pungutan pajak itu pun tidak memberatkan rakyat seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainnya. Dari semua itu akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak. Pajak hanya di tarik dari orang kaya saja itu pun jika kas negara kosong dengan begitu Islam mampu mewujudkan ekonomi mandiri tanpa harus memungut pajak. 

Berdasarkan fakta di atas sangat jelas sekali  solusi yang mampu menuntaskan berbagai problematika umat hanya Islam karena islamlah yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya tanpa adanya pungutan pajak. 

Wallohu 'alam biashshowab.

Oleh: Ummu Zaki
Sahabat Tinta Media 


Atas Nama Pajak, Rakyat Terus Dipalak


Tinta Media - Selain mengharapkan kemenangan di hari yang fitri, tunjangan hari raya (THR) juga selalu dinanti-nanti. THR, ibarat oasis di padang pasir, penghasilan tambahan yang bisa membantu memenuhi ‘kebutuhan’ di hari raya.

Namun di tengah euforia ini, masyarakat dibuat miris. Bagaimana tidak, baru saja senang dapat penghasilan lebih, sekarang harus mengelus dada karena terkena potongan. THR khusus karyawan swasta akan dikenakan pajak penghasilan (Pph) 21. Banyak rakyat yang terkejut dan mengeluh besaran potongan pajak.

Ramai-ramai netizen mengeluh di medsos terkait potongan Pph 21 yang lebih besar dari tahun lalu. Netizen beranggapan besarnya potongan pajak disebabkan perhitungan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang diterapkan sejak Januari 2024 lalu. (kompas.com 27/3/24)

Menanggapi protes masyarakat, pemerintah melalui Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan skema TER memang lebih tinggi pajaknya. Tetapi Dwi menyebutkan TER sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara internasional. (kompas.com 1/4/ 24)
 
Bagi pekerja, besar potongan THR sangat memberatkan dibandingkan bulan lalu. THR yang diharapkan untuk keperluan hari raya, seperti ongkos mudik, baju, sembako dan lainnya harus pintar-pintar mengatur ulang demi agenda wajib tidak terlewat.

Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara merupakan khas ekonomi kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan negara yang paling besar. Tidak heran, karena semua aspek perekonomian tidak luput dari pajak. Bahkan, setiap tahun persentase pajak akan mengalami kenaikan.

Pemerintah bagai lintah darat yang terus menghisap darah rakyat. Di saat semua pihak menaikkan harga pangan, pemerintah malah ikut menaikkan pajaknya. Berdalih, pajak untuk pembangunan, kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Tetapi ternyata rakyat tidak bisa merasakan dan menjangkau fasilitas dengan mudah. Tidak ada pendidikan, kesehatan, keamanan hingga transportasi yang gratis.

Maka, masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme? Padahal rakyat bisa mewujudkan kondisi yang berbeda. Rakyat bisa hidup tenang tanpa khawatir dengan setumpuk masalah. Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan mampu memberi bukti kesejahteraan bagi rakyatnya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pajak bukanlah pemasukan negara satu-satunya. Sebaliknya, negara punya berbagai macam pos pendapatan. Salah satunya, mengoptimalkan pendapatan dari sektor kepemilikan umum berupa sumber daya alam (SDA) yang tidak terbatas. SDA dikelola oleh negara dan hasilnya untuk rakyat.

Selain itu, ada pendapatan lainnya dari harta rampasan perang (ghanimah), fa'i, kharaj dan jizyah serta zakat. Sehingga pemasukan negara tidak dari pajak atau utang. Kalau pun negara terpaksa menarik pajak, hanya dalam keadaan genting. Ketika kas negara mengalami kekosongan dan ada keperluan yang mendesak. Dengan syarat, pajak hanya dibebankan kepada orang yang mampu. Sama dengan utang, negara boleh berhutang kepada rakyatnya yang kaya atau negara yang tunduk terhadap syari'at.

Untuk itu, mengambil hak rakyat atas jerih payahnya merupakan kezaliman. Islam telah mengatur sistem pengupahan dengan terperinci. Allah SWT telah berfirman, “berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6). Terlebih lagi menunda hak pekerja setelah selesai menunaikan kewajiban. Rasulullah saw. bersabda, “berikanlah upah buruh, sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah).

Seandainya sistem Islam diterapkan kembali dalam aspek kehidupan dalam bingkai Khilafah, kesejahteraan bukan sekadar angan-angan. Fenomena THR dalam setahun sekali tidak akan diperlukan, karena setiap kebutuhan (sandang, pangan, papan) rakyat telah terjamin oleh negara. Bahkan negara mampu mewujudkan kesejahteraan sepanjang masa bukan sesaat. Inilah yang seharusnya umat Islam dapatkan dari pemimpinnya. Waallahu a'lam bis shawwab.

Oleh : Eri, Pemerhati Masyarakat

Rabu, 14 Februari 2024

Zalim, Pajak Akan Naik Lagi


Tinta Media - Zalim, sepertinya penguasa tak akan berhenti menekan rakyat dengan pajak sampai benar-benar tak berdaya. Wacana Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menaikkan pajak kendaraan bermotor Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menambah beban rakyat Indonesia. Pasalnya, motor menjadi barang pokok masyarakat, terutama untuk kelas menengah ke bawah. Jadi, kenaikan pajak ini pasti akan menzalimi rakyat, meski alasan kenaikannya adalah untuk memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (19/1/2024). Namun, benarkah kualitas udara di Jabodetabek bisa lebih baik setelah pajak naik? 

Alasan tersebut seolah mengada-ada, padahal pajak dan kualitas udara tidak ada hubungannya. Kalaupun ada karena diharapkan bisa mendorong masyarakat menggunakan kendaraan berbahan non-BBM, dampaknya sangat kecil. Hal itu karena penyebab buruknya udara bukan hanya kendaraan bermotor, tetapi juga adanya kebakaran hutan dan lahan gambut, asap industri, bahkan emisi gas rumah kaca dan yang lainnya. Jadi, kenaikan pajak dengan alasan untuk memperbaiki kualitas udara tidak masuk akal, apalagi tidak diimbangi dengan pengadaan kendaraan bermotor dengan bahan bakar non-BBM. 

Lepas dari kenaikan pajak kendaraan bermotor, ternyata pemerintah memang berencana menaikkannya dari 11% menjadi 12% di semua aspek. Pajak memang menjadi sumber pendapatan utama APBN Indonesia yang menjalankan sistem kapitalis. Itu artinya, pemerintah membiayai kepengurusan negara dan rakyat dengan pajak. Dengan kata lain, pemerintah lepas tanggung jawab dan menyerahkan semua kepengurusan kepada rakyat sendiri. Ini namanya zalim. 

Memungut pajak untuk melayani rakyat adalah kezaliman, kenapa? Jika diibaratkan pemerintah adalah kepala rumah tangga yang wajib membiayai kebutuhan keluarga, sekolah anak-anaknya, kesehatannya, gizi, pakaian, dan lain sebagainya, lalu semua anggota keluarga ditarik pajak untuk memenuhinya, ini kan aneh. Apalagi jika ada anggota keluarga yang masih anak-anak, lalu diminta untuk bisa membiayai kebutuhannya sendiri. Ia sendiri tidak berusaha menjalankan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Mestinya kepala rumah tangga mencari pemasukan dengan bekerja, mencari nafkah untuk keluarga. 

Nah, itulah yang terjadi pada negara-negara kapitalis, termasuk Indonesia saat ini. Negara menganggap bahwa hidup bukan untuk mengurus, membiayai, menafkahi rakyat, tetapi justru untuk memeras mereka dengan berbagai pungutan untuk kepentingan negara bahkan penguasa sendiri. 

Mestinya pemerintah berupaya mendapatkan pemasukan dari selain pajak, misalnya dari pengelolaan sumber daya alam, hutan, laut yang memang telah Allah berikan untuk kesejahteraan umat. Tidak seharusnya pemerintah menyerahkan pengelolaan SDA ke tangan swasta, apalagi asing. Pada akhirnya, para investor itulah yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari pada negara dan rakyat Indonesia yang notabene sebagai pemilik. 

Jika SDA dikelola oleh negara dengan baik, rakyat tidak perlu dibebani pajak. Akan tetapi, begitulah hidup di negara yang menjalankan sistem kapitalis, sangat berbeda dengan sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, memang dibolehkan pungutan pajak, tetapi dengan beberapa syarat. Pajak yang dibolehkan syari'ah harus memenuhi empat  kriteria (syarat) utama: 

Pertama, pajak dipungut hanya untuk melaksanakan kewajiban  syar’i yang menjadi kewajiban bersama antara kewajiban  negara (Baitul Mal) dan kewajiban kaum muslimin secara  umum. 

Kedua, pemungutan pajak bersifat temporal, tidak tetap, dan berkelanjutan, tetapi hanya ketika harta pada kas negara kosong atau tidak mencukupi kebutuhan. 

Ketiga, pajak hanya dipungut dari kaum muslimin, tidak  boleh dipungut dari warga nonmuslim. 

Keempat, pajak hanya dipungut dari warga yang mampu, tidak boleh dibebankan pada semua orang, apalagi rakyat miskin. 

Apabila negara menarik pajak tanpa memenuhi syarat di atas, misalnya untuk sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadis, maka penguasa telah zalim terhadap rakyat. Hukumnya haram. 

Pelaku pemungutan pajak semacam ini kelak akan masuk neraka sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya, 

“Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut pajak/cukai (yang tidak syar’i).” (HR. Ahmad dan Al-Hakim). 

Kesimpulannya, selama negara masih menjalankan sistem kapitalis, pajak akan diberlakukan secara zalim kepada semua individu rakyatnya. Jadi, jika ingin menjalani kehidupan Islam secara kaffah, maka harus diawali dengan menerapkan sistemnya oleh negara. Sudah saatnya sistem kapitalis demokrasi yang jelas nyata kezalimannya diganti dengan sistem Islam yang memang datang dari Allah dan pernah diterapkan dengan gemilang di masa Rasulullah, dilanjutkan era kekhilafahan. Allahu ‘alam bish shawab.


Oleh: R. Raraswati
(Aktivis, Penulis lepas) 

Selasa, 06 Februari 2024

Pajak Berhasil Melebihi Target, Positif atau Negatif?



Tinta Media - Indonesia adalah negeri yang begitu luas. Tidak hanya jumlah penduduknya yang banyak, akan tetapi Allah SWT menganugerahkan Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa, baik di darat maupun di laut. Namun kekayaan itu tidak menjamin kehidupan rakyat sejahtera dan terpenuhi semua kebutuhannya. Kehidupan justru semakin mencekik rakyat dengan diwajibkannya membayar pajak. 

Seruan Kepatuhan Bayar Pajak oleh Penguasa 

Pajak merupakan salah satu pilar utama pemasukan negara, yang mana rakyat diwajibkan untuk membayar pajak dengan besaran dan rentang waktu tertentu. Saking seriusnya pemerintah menanggapi soalan pajak ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menggandeng jajaran pemerintahan untuk mengimbau rakyat mematuhi bayar pajak. Dikutip dari Kahaba, Kepala KPP Pratama Raba Bima, Wahyudi melakukan audiensi terkait perpajakan dengan Pj. Walikota Bima, H. Mohammad Rum pada Rabu, 10 Januari 2024. Wahyudi menjelaskan, bahwa penerimaan perpajakan untuk wilayah Kota Bima sepanjang 2023 berhasil melebihi target 100 persen dan mencatatkan pertumbuhan sebesar 4 persen. "Meski masih didominasi oleh sektor pemerintahan, namun terdapat pula sektor lain yang berperan besar mendorong pertumbuhan. Seperti sektor perdagangan, sektor transportasi dan pergudangan", ungkap Wahyudi. 

Beliau menjelaskan bahwa penerimaan pajak di Kota Bima dari sektor pemerintahan mendominasi dengan kontribusi hingga 46,51 persen. Total pajak yang dipungut oleh pemungut (instansi pemerintah) di Kota Bima juga mengalami peningkatan sebesar 5,03 persen dari sebesar Rp 77,2 miliar pada tahun 2022 menjadi sebesar Rp 81,1 miliar pada tahun 2023. Kemudian perdagangan otomotif menempati posisi terbesar kedua di Kota Bima dengan penerimaan pajak sebanyak Rp 49,5 miliar atau berkontribusi sebesar 28,33 persen dengan pertumbuhan sebesar 8,77 persen. 

Sementara itu, H Mohammad Rum mengimbau kepada seluruh jajaran masyarakat Kota Bima, khususnya jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk segera melakukan pemadanan NIK-NPWP sebelum 30 Juni 2024, juga melakukan pelaporan SPT tahunan sebelum tanggal 31 Maret 2024. Selain itu, ia juga menyempatkan untuk memberikan testimoni dan dukungan kepada KPP Pratama Raba Bima guna memperoleh predikat Zona Integritas Wilayah Bersih Bebas Melayani (ZI-WBBM) untuk tahun 2024. Di akhir pertemuan, Kepala KPP Pratama Raba Bima juga menyampaikan apresiasi atas dukungan dan kontribusi masyarakat Kota Bima dalam menyukseskan program-program perpajakan. 

Pajak, Kebijakan Mezalimi Rakyat 

Dalam sistem demokrasi yang sekuler kapitalistik hari ini, pos pemasukan utama negara adalah pajak dan utang luar negeri. Pajak merupakan pungutan wajib yang dibayarkan oleh penduduk kepada negara yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat permanen. Pajak dipungut dari semua kalangan, baik orang kaya maupun orang yang berpenghasilan menengah ke bawah, bahkan orang miskin sekalipun berdasarkan pemasukan yang didapat. Kalaupun tidak dipungut lewat penghasilan, maka bisa dikenakan lewat pemasukan lain atau jenis barang yang dimiliki. 

Dalam sistem sekuler hari ini hal tersebut sangat wajar terjadi. Negara memalak dan memaksa masyarakat untuk patuh kepada aturan yang dibuat karena negara punya kendali besar dalam membuat aturan tanpa melihat apakah mezalimi rakyat atau tidak. Inilah wajah buruk sistem demokrasi yang tidak melihat dan tidak peduli dengan kemaslahatan rakyatnya. 

Andaipun negara berharap pajak sebagai salah satu pemasukan yang akan menstabilkan keuangan dan ekonomi negara serta berharap dengan penarikan pajak mampu menyelesaikan permasalahan negeri, itu adalah hal yang mustahil. Karena dengan total besaran pajak yang akan dipungut dari rakyat saja, tetap tidak akan bisa membayar serta menutup utang negara. Sebagaimana yang kita ketahui, utang negara kian hari kian buruk dengan bunga yang terus berlipat-lipat. Maka jika pendapatan saja selalu minus, kesejahteraan seperti apa yang dimaksud? 

Dalam sistem sekuler saat ini pajak merupakan pemalakan paksa oleh pemerintah kepada rakyat. Dibebankan kepada semua rakyat termasuk orang miskin. Kebijakan seperti ini sangat wajar dalam sistem sekarang karena asas yang dipakai adalah pemisahan agama dari kehidupan termasuk pemerintahan. Negara tidak hadir sebagai raa'in (pengatur) urusan rakyat, justru sebaliknya negara malah menzholimi rakyat. Negara hadir sebagai pelayan oligarki dan pemilik modal saja. 

Sistem Keuangan Negara Islam 

Yang perlu kita garis bawahi, bahwa di dalam negara Islam pajak (dharibah) memang ada, tetapi bukan menjadi pemasukan utama apalagi sebagai pilar penopang ekonomi negara. Islam dengan sistem aturan-Nya yang sempurna mampu mewujudkan sistem keuangan dan ekonomi terbaik, yang memiliki ketahanan menghadapi krisis. Asy-Syari' menetapkan sumber pemasukan di Baitul Mal negara berdasarkan beberapa pos, dan hal ini pun telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. serta para khulafa'ur rasyidin. 

Di antara sumber pemasukan negara Islam secara umum ada tiga sumber, yaitu: (1) bagian fa'i dan kharaj yang meliputi ghanimah termasuk anfal, fa'i dan khumus (seperlima harta fa'i), kharaj, sewa tanah-tanah milik negara, jizyah, barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan, pajak; (2) bagian kepemilikan umum yang meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf; (3) bagian shadaqah yang terdiri dari shadaqah wajib seperti zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (emas/perak), zakat pertanian, buah-buahan, dan ternak. 

Jika negara misalnya mengoptimalkan incomenya lewat pos ke-2, tak terbayang besarnya besaran materi yang akan diperoleh, mengingat SDA di Indonesia begitu kaya. Belum lagi pos pertama dan ke-3. Negara bisa memenuhi kesejahteraan rakyat, tanpa harus utang atau repot-repot menarik pajak rutin. 

Pajak sendiri adalah pungutan negara yang sifatnya insidental. Ia hanya akan dilakukan jika ada kondisi kas baitul maal kosong, namun ada tuntutan untuk memenuhi pengeluaran wajib (misal kebutuhan jihad). Maka negara akan melakukan penghitungan dengan seksama terkait kebutuhan yang defisit, untuk kemudian dipungut pajaknya kepada kaum muslimin dalam rentang waktu tertentu. 

Terkait pajak ini, meski beban tersebut menjadi kewajiban rakyat, namun yang diwajibkan hanya aum muslim. Itu pun tidak semuanya. Pajak hanya diambil dari mereka yang mampu saja. Begitu kebutuhan negara terpenuhi dan kas kembali mencukupi, maka pungutan pajak akan langsung dihentikan. 

Di samping itu, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyejahterakan rakyat dengan berbagai kebijakan politik yang mendukung. Dengan politik Islam, negara hadir sebagai junnah dan mengurus urusan umat, termasuk menjamin semua kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Negara yang mempunyai tugas untuk mengurusi tadi harus memiliki harta yang bisa digunakan untuk melakukan kewajibannya terhadap rakyat. 

Harta itulah yang telah disebutkan di awal yang berasal dari pos pemasukan Baitul Mal. Pos tersebut yang nantinya memiliki jalur pengeluarannya masing-masing. Sehingga umat atau rakyat tidak diwajibkan bayar pajak secara permanen seperti yang terjadi hari ini. Agar semua itu terwujud, sudah menjadi kewajiban kita sebagai muslim untuk terus memperjuangkan Islam hingga kelak sistem sekuler kapitalisme yang zalim ini tergantikan oleh sistem Islam dalam naungan khilafah yang terbukti menyejahterakan. 

Wallahu a'lam.

Oleh : Paramita, Amd. Kes.
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 26 Desember 2023

Rakyat Dizalimi dengan Pajak

Tinta Media - Dari hari ke hari, beban rakyat semakin terasa berat, mulai dari kenaikan harga pangan, sampai kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa menambah berat beban kehidupan. Salah satu kebijakan yang menambah berat beban hidup rakyat adalah adanya kebijakan mengenai pajak. Selama ini, pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara atau daerah. 

Seperti halnya yang dilakukan oleh Bupati Bandung pada saat menyosialisasikan penerapan manajemen risiko di Kecamatan Rancabali, pada Selasa (12/12/23). Beliau merasa optimis bisa merealisasikan target pendapatan asli daerah (PAD) di Kabupaten Bandung hingga mencapai Rp1,3 triliun pada tahun 2023, yaitu dengan penerapan manajemen risiko pada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). 

Menurut Bupati Bandung, untuk mencapai realisasi PAD tersebut, harus dibarengi dengan pertimbangan risiko terendah. Bupati Bandung berharap apabila risiko diminimalisir, semuanya akan terkendali dan target realisasi pajak akan tercapai. 

Di dalam sistem demokrasi, pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Jadi, bagaimanapun caranya, negara akan terus melegitimasi cara untuk menambah, termasuk   memungut pajak kepada rakyat. Padahal, pajak tersebut sangat memberatkan rakyat. 

Belum lagi harga-harga kebutuhan pangan semakin melonjak, ditambah kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Hal ini semakin menambah beban hidup rakyat. 

Di sini jelas bahwa pemerintah memalak rakyat melalui pajak. Selalu saja rakyat kecil yang jadi korban, sedangkan pejabat dan pengusaha kaya yang berpenghasilan triliunan rupiah mendapat amnesti pajak, meskipun mangkir dari kewajiban membayar pajak. 

Bahkan,  para pejabat bisa memanfaatkan jabatannya sebagai ladang korupsi, sehingga kasus korupsi di dirjen pajak sangat mencengangkan. 

Pemerintah berdalih bahwa pajak yang terkumpul diklaim untuk membiayai sektor publik. Akan tetapi, pada kenyataannya, rakyat tidak merasakan manfaat pajak karena yang diklaim dibangun atau disubsidi oleh pajak, pada kenyataannya tetap mahal. Salah satunya tarif listrik dan air yang katanya disubsidi, ternyata harganya tetap mahal.

Begitu pun harga gas melon, semakin hari semakin naik harganya. Tentu saja ini dirasakan berat oleh rakyat kecil. Juga pada pembangunan kereta api, jalan tol, rumah sakit, sekolah, semua tarifnya mahal, sehingga rakyat kecil tidak bisa merasakan. 

Apalagi untuk bisa mengakses kesehatan, rakyat harus membayar iuran BPJS dan itu dirasakan berat oleh masyarakat kecil. Sementara, BPJS dari pemerintah sangat sulit didapat. 

Liberalisasi kepemilikan adalah salah satu produk dari sistem demokrasi kapitalis, yaitu ketika kekayaan alam dikuasai oleh swasta. Salah satu contoh adalah penguasaan BBM dan batu bara yang dikuasai oleh asing. Walhasil, harga BBM dan batu bara akan tinggi dan pastinya akan berpengaruh pada ongkos produksi tarif dasar listrik. Ini karena pembangkit listrik menggunakan BBM dan batu bara. 

Akan tetapi, seandainya BBM dan batu bara dikelola oleh negara, tentunya tarif listrik bisa murah. Begitu pun pada pengelolaan sumber daya alam lainnya. Ketika negara menguasai dan mengelolanya, pasti masyarakat akan merasakan manfaatnya.

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pajak. Di dalam Islam, pajak bukan menjadi sumber pendapatan utama negara. Pajak atau dharibah dibebankan hanya kepada kaum muslimin yang kaya saja. Itu pun dipungut apabila kas negara kosong dan ada kebutuhan dana yang mendesak. 

Akan tetapi, hal ini sangat jarang dilakukan karena baitul mal memiliki sumber pemasukan yang melimpah. Salah satu pemasukan kas baitul mal adalah dari kepemilikan umum. 

Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh swasta. Negaralah yang menguasai dan mengolah kepemilikan umum dan hasilnya untuk pemasukan negara yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Inilah urgensi penerapan syariat Islam. Rakyat tidak akan dibebani dengan pajak dan pemimpin Islam akan menjadi raain yang akan mengurusi semua kepentingan rakyat. Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 02 Juli 2023

LUHUT PANJAITAN AKAN LEGALISASI PEMBALAKAN HUTAN LIAR (ILEGAL LOGGING), MENYULAP LAHAN SAWIT ILEGAL MENJADI LEGAL DENGAN DALIH AGAR BAYAR PAJAK?

Tinta Media - Luar biasa negeri ini, negeri yang menjadi surganya para maling, para perompak, koruptor dan pelaku kejahatan lainnya. Sebelumnya, duit maling, koruptor, pencuci uang, bandar narkoba, dan harta haram dari kejahatan lainnya dicuci bersih oleh rezim ini melalui program resmi negara, namanya Tax Amnesty. 

Berdalih agar mendapat tambahan pajak, agar ada objek pajak baru, agar ada tambahan pendapatan negara dari pajak, geng ekonomi Jokowi yang disetir oleh Luhut Panjaitan ini menggulirkan program pengampunan pajak. Semua harta dari manapun asalnya, tak peduli dari korupsi atau narkoba, asalkan membayar pajak baik melalui program deklarasi maupun repatriasi, semuanya menjadi legal, diakui dan dilindungi negara.

Setelah duit dari legalisasi Tax Amnesty habis, sekarang Rezim Jokowi melalui Luhut Panjaitan masuk objek baru. Mereka mendata sejumlah perkebunan sawit ilegal yang tidak membayar pajak, lalu akan dilegalisasi (diputihkan) dengan dalih agar negara mendapatkan pajak.

Sebagaimana dikabarkan media, sebanyak 3,3 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit ilegal yang berdiri di atas kawasan hutan bakal diputihkan (dilegalisasi). Hal itu disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. 

Menurutnya, lahan sawit yang berdiri di atas hutan ini sudah terlanjur berjalan dan tidak bisa dicopot lagi. Atas dalih itu, Luhut kemudian mencari alasan pembenar untuk melakukan legalisasi.

Dalam temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Luhut memaparkan di Indonesia ada 16,8 juta hektare lahan perkebunan sawit. Sebanyak 3,3 juta hektare di antaranya merupakan lahan ilegal yang berdiri di atas kawasan hutan. (23/6/2023).

Upaya Luhut yang akan melegalisasi lahan sawit ilegal menjadi legal, dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak, *jelas merupakan kejahatan negara yang dilakukan secara terstruktur dan terlembaga, yang jelas bertentangan dengan asas keadilan, melabrak konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta berpotensi korupsi yang merugikan keuangan negara, disebabkan:*

*Pertama,* melegalisasi lahan sawit ilegal sama saja melegalisasi pembalakan hutan (ilegal logging). Mengingat, asal kebun sawit ilegal di hutan umumnya berasal dari hutan yang kaya akan hasil hutan, khususnya kayu. Rencana Luhut melegalisasi lahan sawit ilegal menjadi legal dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak, sama saja upaya jahat untuk menutupi kejahatan ilegal logging yang jelas-jelas merugikan keuangan negara.

*Kedua,* lahan sawit ilegal memang tidak mungkin dicopoti, seperti yang dikatakan Luhut Panjaitan. Namun, juga bukan malah dilegalisasi dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak.

Semestinya, lahan sawit ilegal ini disita oleh negara, dan dikelola oleh BUMN yang dengan demikian negara mendapatkan semua manfaat dari lahan sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare, bukan sekedar dapat recehan dari pajaknya. 

Upaya melegalisasi lahan sawit ilegal, alih-alih membantu negara, justru negara kehilangan potensi pendapatan yang besar dari proses penegakan hukum dan menyita lahan sawit tersebut. Justru yang diuntungkan adalah oligarki sawit yang telah melakukan pembalakan liar, penguasaan lahan sawit legal, karena adanya ide legalisasi lahan sawit yang digulirkan Luhut Panjaitan.

*Ketiga,* proses legalisasi lahan sawit ilegal ini jelas-jelas akan merugikan keuangan negara. Karena itu, KPK harus memeriksa semua pihak yang terlibat dalam rencana jahat legalisasi lahan sawit ilegal ini, terutama pejabat publik yang berwenang khususnya Luhut Binsar Panjaitan. karena patut diduga ada penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

*Keempat,* patut diduga rencana LEGALISASI LAHAN SAWIT ILEGAL ini dilakukan Luhut Panjaitan tidak secara gratis. Karena itu, harus diperiksa seluruh perusahaan sawit ilegal yang mengelola 3,3 juta hektar lahan ini, adakah kompensasi yang mereka berikan kepada Luhut Panjaitan untuk memuluskan rencana jahat ini.

Modusnya bisa berupa share saham melalui nomine maupun perusahaan terafiliasi, kompensasi langsung maupun tak langsung, sejumlah layanan dari perusahaan kepada Luhut atau perusahaan terafiliasi lainnya, menempatkan sejumlah saham kepada perusahaan cangkang yang disepakati, atau dengan modus operandi lainnya.

Wahai rakyat Indonesia, sadarilah. Ada perampok sawit dan pembalak hutan ilegal di negeri ini, dengan luas lahan 3,3 juta hektar, bukannya pelakunya ditangkap dan lahan sawitnya disita negara, oleh Luhut Panjaitan malah mau dilegalisasi. Apakah kita akan diam dan ridlo dengan semua kezaliman ini? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
https://heylink.me/AK_Channel/



Kamis, 29 Juni 2023

Gratis Denda Insentif Pajak, Hanya Kebijakan Sesaat

Tinta Media - Untuk memulihkan ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19, pemerintah Kabupaten Bandung menghapuskan denda pajak sampai dengan 0% dimulai 1 juni sampai 30 september 2023 mendatang. Insentif pajak ini diberlakukan kepada pajak hotel, restoran, hiburan, air tanah, reklame, pajak mineral bukan logam dan batuan, beserta pajak parkir. Penghapusan sanksi administratif denda pajak ini bisa didapatkan dengan catatan wajib pajak telah melunasi biaya tunggakan pajak.

Saat ini, pajak menjadi sumber pemasukan bagi negara. Padahal, dengan pajak ini sejatinya menjadi beban rakyat meski pemerintah menyampaikan bahwa pajak yang dipungut diperuntukan untuk rakyat juga. 

Pemerintah terus mengimbau agar rakyat taat akan pajak. Namun, pada riilnya masyarakat tak pernah merasakan manfaat dari pajak tersebut, apalagi pasca pandemi, saat keadaan ekonomi benar-benar terasa sulit. Namun, pajak tetap harus dibayar, tak peduli walau rakyat dalam keadaan tercekik. 

Adapun kebijakan penghapusan atau insentif pajak bagi wajib pajak dengan catatan harus melunasi dahulu tunggakan pajak adalah merupakan kebijakan setengah hati dari pemerintah untuk rakyatnya. Seandainya pemerintah peduli akan kesejahteraan rakyat, maka mereka bukan hanya menghapus denda pajak, tetapi juga harus menghapus pajaknya itu sendiri. 

Maka jelas, penghapusan denda pajak hanyalah sebuah kebijakan yang tak menyentuh akar permasalahan. Berdalih memberi kemudahan, tetapi pada akhirnya akan memberikan kesengsaraan kembali. Bagaimanapun juga, rakyat akan tetap dibebani oleh pajak. 

Pemerintah tak ubahnya sebagai pemalak yang berdalih atas nama gotong-royong demi berjalannya roda pemerintahan. Inilah wajah buruk sistem kapitalisme. Dia akan mengambil tindakan dengan kebijakan saat ada celah untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya manfaat.

Berbeda halnya di sistem Islam dalam mengelola negara. Pajak bukanlah satu-satunnya pemasukan dalam mengelola dan menjalankan urusan negara. Pajak justru  pialing terakhir ketika tidak ada lagi pilihan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan urusan negara. Cara penarikannya pun sangat diperhatikan agar tidak sampai menjadi masalah yang sama. Ini karena visi dan misi pajak adalah untuk membangun perkembangan rakyat.

Oleh karena itu, di dalam Islam, yang akan dipungut pajak hanyalah sekelompok yang dinilai mampu atau dari kalangan berlebih/aghniya, dan pajak itu ditarik hanya ketika negara _urgent_ dan membutuhkan penggalangan.

Mindset penguasa yang demikianlah yang akan mampu melahirkan peradaban mulia. Inilah sistem yang akan melahirkan sosok pemimpin luar biasa. Maka tidak heran, pada sejarah panjang sistem Islam, muncul pemimpin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz, dan masih banyak lagi. Ini adalah sebuah teladan kepemimpinan yang sulit muncul, bahkan sekadar dalam angan-angan era kepemimpinan sistem saat ini.

Wallahu a’lam Bishawab.

Oleh: Yuni Irawati
Ibu Rumah Tangga

Jumat, 02 Juni 2023

Sekjen PUI Kediri Raya: Pajak Jadi Prioritas, Hampir Mirip Penjajahan Belanda

Tinta Media - Sekjen PUI Kediri Raya Kyai Ahmad Musta’in Syafi’i menyampaikan, hampir sangat mirip penjajahan Belanda, disaat sekarang ini pajak menjadi prioritas meski sumber daya Alam yang dimiliki melimpah.

“Sekarang yang terjadi sumber pendapatan negara adalah pajak menjadi prioritas saat sumber daya alam kita ini luar biasa tapi kenapa pajak menjadi Primadona, ini hampir mirip ketika kita dijajah Belanda,” ungkapnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja: Pajak adalah Instrument Sistem Ekonomi Kapitalis untuk Memalak dan Menyengsarakan Rakyat, Rabu (24/5/2023) di Kediri.

Menurutnya, jika sumber daya alam ini dikelola dengan sebaik-baiknya sebagaimana tujuan kemerdekaan, maka pendapatan negara adalah sumber daya alam bukan pajak.

“Sumber pendapatan negara itu adalah pertama dari sumber daya alam sesuai amanah undang-undang dasar dan semangat tujuan kita merdeka dulu adalah bagaimana bisa mengelola sumber daya alam ini sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.

Ia menerangkan sumber daya alam harus dikelola sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat bukan dijual, bukan dieksploitasi dan menerapkan undang-undang pajak yang memberatkan rakyat.

“Sebenarnya rakyat ini menerima bagian dari Sumberdaya alam bukan membayar pajak tapi menerima uluran tangan pemerintah,” jelasnya.

Kyai Musta’in pun mengingatkan kepada para pejabat dan penguasa, untuk kembali pada cita-cita kemerdakaan yaitu bebas dari penjajahan, rakyat bukan objek untuk bisnis bukan obat untuk mempertahankan kekuasaan tapi rakyat adalah punya hak untuk dilindungi. 

“Bukan malah menjajah rakyatnya sendiri,” tutupnya [] Abi Nayara

Selasa, 30 Mei 2023

Ulama Muda Probolinggo: Wajibkan Rakyat Bayar Pajak adalah Kebijakan Zalim

Tinta Media - Ulama muda asal Probolinggo, Ustadz Yuniar mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah dalam mewajibkan pajak kepada semua rakyatnya merupakan kebijakan yang zalim.

“Fakta yang kita lihat pada hari ini, pajak ini bukan hanya berlaku bagi orang kaya saja, tapi siapapun yang hidup di negeri ini wajib dan harus membayar pajak, suka atau dengan tidak suka, kaya atau miskin bahkan orang tua maupun yang masih anak-anak juga dimintai atau diwajibkan untuk membayar pajak,” ungkapnya dalam program Multaqo Ulama m Aswaja: Pajak adalah Instrumen Sistem Ekonomi Kapitalisme untuk Memalak Rakyat, Jumat (26/5/2023) di kanal Youtube NgajiProID.

Ia mengatakan bahwa perlu adanya pengkajian ulang terhadap kebijakan pajak ini, karena di dalam kebijakan ini ada “pemaksaan” yang terjadi kepada semua rakyatnya tanpa pandang bulu.

“Tentu ini adalah kebijakan yang zalim dan perlu adanya pengkajian ulang tentang kebijakan pajak ini. Karenanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda, janganlah kalian berbuat zalim. Rasulullah mengulangi ini tiga kali, artinya ini adalah suatu wanti-wanti besar kepada kita, bahwa sesungguhnya pengambilan harta seseorang itu tidak halal di sisi Allah kecuali dengan cara yang suka atau diridhoi oleh pemiliknya,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan ini perlu dihapus, sehingga rakyat tidak terbebani pajak dalam menjalani kehidupannya.

“Maka jelas dalam hal ini pajak adalah sesuatu pemaksaan sehingga perlu adanya pengkajian atau penghapusan dari kebijakan pajak ini,” tambahnya.

Tidak hanya memberikan kritikan namun ia juga menjelaskan solusi bagaimana negara bisa mendapatkan pemasukan selain dari pajak.

“Maka sesungguhnya yakinlah hari ini jika pajak memang dihapuskan, bisa saja dengan cara membangun ekonomi-ekonomi jalur lain yaitu dengan sumber daya alam kita. Saya mendapatkan data yang begitu luar biasa sekali bahwasanya di negeri ini, cadangan batubara kita mencapai 37,6 miliar ton, natural gas kita 64,4 triliun kaki kubik, emas kita cadangannya mencapai 2600 ton, nikel kita 72 juta ton, hasil laut kita cadangannya mencapai 1.330 miliar US Dollar, hutan produksi kita mencapai 100 juta hektar,” jelasnya.

Terakhir, ia memberikan keyakinan bahwa jika sumber daya alam bisa dikelola dengan baik maka tidak hanya bisa membangun negeri namun bisa mencukupi hajat dan kebutuhan rakyat.

“Maka apabila sumber daya alam ini dikelola oleh negara dengan sebaik-baik mungkin, bukan hanya bisa membangun negeri ini dengan lebih baik bahkan juga bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan warganya. Tentu jika hal itu dikelola dengan adil seadil-adilnya,” pungkasnya. [] Muhammad RZ

Kyai Mas Ihwan Afandi: Pajak dalam Kapitalisme Bertentangan dengan Syariat Islam

Tinta Media - Menanggapi pajak sebagai pemasukan utama negara, Shohibul Hajah Kyai Mas Ihwan Afandi menyatakan pajak dalam kapitalisme bertentangan dengan Syari’at Islam. 

“Dan ini menjadi masalah karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, bertentangan dengan syariat Islam,” tegasnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo: Pajak adalah Instrumen Sistem Ekonomi Kapitalisme untuk Memalak Rakyat, Kamis (25/5/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Karena menurutnya, dari sabda Nabi Muhammad SAW bahwa tidak masuk surga bagi pemungut pajak, sedangkan di negara Indonesia dijadikan sebagai penopang perekonomian.

“Sedangkan di negara kita (Indonesia) yang menganut sistem perekonomian kapitalis ideologi sekuleris, pajak yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala malah dijadikan sebagai komoditas utama untuk menjalankan roda pemerintahan,” tuturnya.

Lalu ia menjelaskan, di Indonesia sumber pemasukan negara 80% dari pajak sebagai komoditas utama untuk menjalankan roda pemerintahan. Sedangakan dalam Islam segala hal keluar masuk perekonomian negara diatur sesuai syariat Islam.

“Sedangkan dalam syariat Islam jelas, bahwa sesungguhnya ada pemasukan dan juga ada pengeluaran yang harus disesuaikan dengan syariat Islam. Ini menjadi pemicu bagi kita untuk berkumpul di sini, mengupas terkait dengan pajak adalah instrumen sistem ekonomi kapitalis untuk memalak dan menyengsarakan rakyat,” pungkasnya. [] Young Eko Utomo

Jumat, 05 Mei 2023

KH. Thoha Cholili: Pajak Tak Akan Bisa Menyejahterakan Rakyat

Tinta Media - Ulama Aswaja Jawa Timur dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muntaha Bangkalan Madura KH Thoha Cholili menyatakan, pajak itu jalan pemerasan yang tidak akan bisa menyejahterakan rakyat.

“Pajak ini bukan cara yang sebenarnya dicontohkan Rasulullah Saw., tidak akan bisa menyejahterakan karena itu jalan untuk memeras,” ujarnya dalam program Majelis Al Buhuts Al Islamiyah: Pajak adalah Instrumen Sistem Ekonomi Kapitalis untuk Memalak dan Menyengsarakan Rakyat yang ditayangkan secara Live melalui kanal YouTube Multaqo Ulama Aswaja TV Sabtu (29/4/2023).

Ia mengungkapkan bahwa pajak sebagai jalan pemerasan karena pajak dipungut juga dari orang miskin untuk orang yang kaya.

“Pajak berbeda dengan zakat, Zakat dari orang kaya buat orang miskin, tapi kalau pajak dari orang miskin buat orang kaya”, ungkapnya.

Menurutnya, bahwa di dalam Islam menyejahterakan rakyat tidak boleh dari pajak dan bukan harus dari pajak. “Kalau pajak dari orang miskin buat orang kaya kenyataannya memang seperti itu," ungkapnya.

Solusi

Ia menjelaskan, solusi yang menyejahterakan rakyat sebenarnya telah diberikan Allah Swt. dan dicontohkan Rasul-Nya. "Tetapi sekarang masalahnya dengan sistem yang bukan Islam telah memberi peluang atau celah kepada penguasa untuk memakan dan memanfatkan uang rakyat," ungkapnya. 

Ia pun menegaskan, bahwa dalam Islam Allah sudah menyiapkan semua perangkatnya (termasuk dalam sistem ekonomi) untuk menyejahterakan rakyat. Tidak boleh dilalaikan begitu saja atau memfokuskan satu ajaran Islam, tapi ajaran Islam yang lain dilalaikan atau membonsai apa yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Sebagai solusi permasalahan, ia mengingatkan, tidak boleh mengambil Islam sebagian-sebagian. Ia pun membacakan kutipan Surat Al-Baqarah ayat 85 yang artinya,
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.

 “Agama ini sudah sumpurna, agama ini sudah Kaffah, kita harus atau wajib
menggunakannya dan mengusahakannya. Jangan kita menjalankannya setengah-setengah atau separuh-paruh,” pungkasnya.[] Muhar

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab