Tinta Media: Pajak
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Maret 2023

Memungut Pajak Hukumnya Boleh, Asalkan...

Tinta Media - Founder Institute Muamalah Indonesia, KH Muhammad Siddiq Al Jawi menyatakan, memungut pajak itu hukumnya boleh bagi negara Khilafah, asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang syar'i, yaitu syarat-syarat yang diambil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. 

“Demikian, tentu ini dengan syarat-syaratnya, ya. Nah, pajak yang memenuhi syarat-syaratnya ini bisa disebut pajak syariah,” ungkapnya sebagaimana dimuat tabloid media umat edisi 322: Rakyat Dipajakin, Duitnya Dikorupsiin (25 Sya’ban-15 Ramadhan 1444 H/17 Maret-6 April 2023).

Pertama, pajak itu dipungut untuk melaksanakan kewajiban syariah bersama antara kewajiban negara (Baitul Mal) dan kewajiban umat islam. “Kewajiban menyantuni fakir dan miskin, atau kewajiban menolong korban bencana alam, atau kewajiban membangun jalan raya penghubung yang vital dan satu-satunya antara dua kota, dan sebagainya,” terangnya.

Kedua, pajak dipungut pada saat dana di Baitul Mal (Kas Negara) kosong atau kurang.

Ketiga, pajak dipungut hanya dari kaum muslim saja, karena warga non-muslim sudah kena pajak khusus yang nama-nya jizyah, yaitu pajak tahunan yang wajib dibayar oleh warga non-muslim, khususnya bagi laki-laki, yang dewasa, dan yang mampu, yakni tidak boleh dipungut jizyah dari fakir atau miskin.

Keempat, pajak dipungut hanya dari yang mampu saja. “Tidak boleh memungut pajak dari warga yang fakir dan miskin,” pungkasnya.[] Amar Dani

Senin, 27 Maret 2023

Pengamat: Sistem Free Market Mechanism Bikin Kejahatan Perpajakan Jadi Hal biasa

Tinta Media - Pengamat Ekonomi, Dr. H. Ichsanudin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si. mengatakan bahwa selama masih menggunakan sistem Free Market Mechanism maka kejahatan perpajakan lewat transfer pricing akan jadi hal yang biasa.

"Sepanjang anda menerapkan free market mechanism maka akan terjadi free capital flow. Ketika anda bicara free capital flow anda akan bicara free tax. Ketika anda bicara free tax maka kasus pentingnya adalah berhubungan dengan strategic of transfer pricing. Dan itu hal biasa," ujarnya dalam acara Potret Kejahatan Keuangan Di Kemenkeu di kanal YouTube Forum News Network, Senin (20/3/2023).

Ia menerangkan bahwa hampir semua perusahaan asing melakukan kejahatan perpajakan lewat strategic of transfer pricing tadi, bahkan tidak ada investor asing yang tidak melakukan itu.

"Hampir seluruh perusahaan asing itu melakukan kejahatan perpajakan lewat strategic of transfer pricing dan tidak ada investor yang tidak melakukan kejahatan perpajakan dengan strategic of transfer pricing," lanjutnya.

Menurutnya permasalahannya bukan ada pada kasus, tapi pada sistemnya. "Kesalahannya ada di sistem kok, sistem sekarang kan no taxation without representation, tax is representation, tax is political policy begitu," bebernya.

Ia mengatakan saat hal itu terjadi, maka selanjutnya yang akan akan terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kemudian terjadilah penyalahgunaan pajak.

"Maka ketika terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) maka terjadilah abuse of tax (penyalahgunaan pajak) pasti rumusnya begitu," ujarnya.

Ia berpendapat bahwa walaupun kasus Rafael Alun Trisambodo dan kasus 300 triliun ini terbongkar, masalahnya tetap tidak akan terpecahkan karena yang menjadi akar masalah yaitu sistem ekonomi dan politiknya tidak dibongkar.

"Maka walaupun kasus 300 triliun ini terbongkar, gunung es nya tidak akan terbongkar. Kenapa? Karena yang jadi gunung es-nya yaitu akar sistem politik dan sistem ekonominya tidak dibongkar," pungkasnya.[] Ikhsan

Rabu, 22 Maret 2023

Duta Pajak Bukan Solusi Hakiki

Tinta Media - Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bandung menggelar acara pemilihan duta pajak. Acara tersebut dimaksudkan untuk menaikkan kepercayaan publik melalui informasi pajak bagi masyarakat, khususnya milenial. 

Ada sepuluh peserta pemilihan duta pajak dan akan bersaing untuk mendapatkan predikat duta pajak tahun 2023. Tugas atau peran duta pajak yang terpilih adalah menyosialisasikan informasi perpajakan kepada masyarakat. Duta pajak akan membantu Bapenda untuk menyampaikan informasi perpajakan kepada wajib pajak, khususnya milenial yang berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat wajib pajak. 

Menurut Erwan Kusuma, menurunnya kepercayaan masyarakat adalah terkait adanya kasus pejabat pajak beberapa waktu lalu. Dengan adanya duta pajak, diharapkan akan memulihkan kembali kepercayaan publik.

Duta pajak digadang-gadang menjadi jalan untuk mencapai tujuan, yaitu meningkatnya kembali kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak. Dengan meningkatnya masyarakat yang sadar membayar pajak, maka pendapatan anggaran daerah pasti meningkat. 

Mungkin ini berkaitan dengan makin riuhnya masyarakat yang kecewa dengan pemerintah, terutama mengenai masalah pajak. Masyarakat ramai menyuarakan untuk "jangan bayar pajak".

Rakyat kecil dan miskin harus taat bayar pajak, sedangkan orang kaya justru tidak bayar pajak. Lebih parahnya lagi, pegawai pajak justru melakukan tindak korupsi. Bukankah ini menggelikan?

Jadi, duta pajak adalah seseorang yang bertugas untuk mengedukasi dan memberi semangat kepada masyarakat untuk taat bayar pajak. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang taat bayar pajak, itulah penilaian dalam sistem kapitalis sekuler. Dengan taat bayar pajak, negara yang akan mendapatkan keuntungan, sedangkan rakyat miskin merasa terjepit dan menderita. 

Pemilihan duta pajak menjadi jalan alternatif yang diharapkan mampu meningkatkan kembali pundi-pundi rupiah yang masuk ke APBN. Ini memang bukan hal yang aneh, karena dalam sistem kapitalisme, pajak adalah sumber pemasukan negara. 

Napas dari kapitalisme yaitu dengan menarik pajak. Inilah cara mudah untuk mendapatkan pendapatan dengan minim usaha dalam meraih keuntungan yang besar. Sedangkan di sisi lain, sumber daya alam yang begitu melimpah di negeri ini justru diserahkan kepada pihak asing dalam pengelolaanya. Dalam sistem ekonomi kapitalis pula, pengelolaan sumber daya alam hanya menguntungkan segelintir orang, sedangkan rakyat hanya mendapatkan remahnya saja. 

Sungguh miris, alih-alih menyejahterakan rakyat, dalam sistem kapitalisme justru rakyat dicekik dengan semua kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat. Apalagi di tengah kondisi ekonomi saat ini yang sedang terpuruk, semakin terpuruk dan menyedihkan ketika hampir semua hal dipajakkan. 

Lebih miris lagi ketika bahan pokok sehari-hari pun ikut kena pajak. Kelihatan sekali, negara tidak mengurus rakyat dengan baik, tetapi justru memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari rakyat. Hubungan rakyat dan penguasa hanyalah sebagai penjual dan pembeli, dan hanya menguntungkan satu pihak saja, yaitu para pengusaha/cukong. Negara hanya sebagai regulator saja dalam mengambil kebijakan dan mengeluarkan aturan.

Berbeda dengan Islam, visi pemimpin dalam sistem Islam adalah kehidupan akhirat. Seorang khalifah adalah pemimpin. 

Rasulullah bersabda, "Ingatlah tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepempimpinan itu. Seorang imam atas manusia itu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban itu." (HR. Imam Bukhari no: 844).

Dalam sistem Islam, pajak bukan dijadikan sumber pendapatan negara, karena dalam Islam, negara mempunyai sumber pendapatan atau sumber daya alam yang sangat melimpah ruah. Adapun pemasukan negara dalam sistem Islam, yaitu berasal dari Fa'i, kharaj, ghanimah, Anfal, dan jizyah. Ditambah lagi pemasukan dari harta kepemilikan umum, yaitu barang tambang, padang rumput, dan air. Semua itu dikelola oleh negara yang selanjutnya disalurkan untuk rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan.  

Sistem keuangan dalam negara Islam yang berasaskan akidah Islam sangat stabil karena penerapan syariat yang sumbernya dari Allah Swt. Sang Pencipta alam semesta. Semua syariatnya sudah pasti membawa manfaat dan kebaikan bagi manusia. 

Jadi, menarik pajak bukan menjadi hal utama dalam sistem ekonomi Islam. Menarik pajak/ pungutan akan sangat diperhitungkan sehingga tidak akan timbul masalah baru. 

Seorang Khalifah akan benar-benar mempedulikan rakyat agar tetap nyaman dan terpenuhi kebutuhan hidupnya (sandang, pangan, papan). Pungutan pajak hanya berlaku bagi orang yang mampu dan mempunyai harta berlebih/aghniya. Itu pun diperlukan hanya pada saat-saat tertentu saja, yakni jika keuangan (Baitul Maal) sedang dalam kondisi darurat saja. Tidak seperti sistem saat ini yang justru sebaliknya, rakyat semakin dicekik dengan pungutan pajak di tengah kondisi yang sedang terpuruk. 

Begitu luar biasanya aturan dalam Islam yang jika diterapkan akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat muslim maupun nonmuslim. Khalifah paham betul akan kewajibannya sebagai seorang pemimpin sehingga tidak bisa sewenang-wenang dalam mengeluarkan kebijakan.

Hal ini pernah terjadi saat era pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab. Saat itu kekhilafahan mengalami masa panceklik yang cukup panjang, hingga Baitul maal mengalami kekosongan kas. Akibatnya, kekhilafahan tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada rakyat. 
Dalam rangka mengatasinya, dilakukan pengelolaan sumber daya alam dengan maksud dan hasilnya yang akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan serta sarana prasarana umum.

Sangat jelas bahwa Islam akan melahirkan seorang pemimpin yang bertakwa dan amanah, serta takut kepada Allah Swt. Pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari peradaban mulia dalam sebuah sistem, yaitu khilafah Islamiyyah. 

Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Senin, 20 Maret 2023

BU SRI, GA USAH KHAWATIR, KAMI PERCAYA KOK PEGAWAI PAJAK BAIK, TIDAK SOMBONG, MURAH SENYUM DAN HARTANYA HALALAN THOYYIBAN?


"Saya tanya ke Pak Suryo (Dirjen Pajak) kenaikannya karena apa? Kenaikan karena harga tanah, itu tiba-tiba dianggap semuanya korupsi,"

[Sri Mulyani, Selasa 28/2]

Tinta Media - Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa kecewa dengan tudingan masyarakat yang menyebut seluruh harta anak buahnya hasil korupsi. Terutama, jika anak buahnya memiliki harta yang cukup fantastis nilainya. Padahal, katanya harta dan kenaikan yang dilaporkan dalam LHKPN bisa berasal dari melonjaknya harga aset yang dimiliki pegawai.

Kasus Rafael Alun Trisambodo, memang sangat menampar wajah institusi pajak. Mengingat, dengan dalih apapun akan sulit bagi publik merasionalisasi harta sebesar Rp 56 Miliar anak buah Sri Mulyani ini.

Mungkin saja, secara akuntansi harta itu bisa dipertanggungjawabkan dengan cover harta warisan, kenaikan harga tanah/aset, menang lotre, dapat hibah dari Sultan arab, ditransfer penggemar, dikirimi Nyi Roro Kidul, dan sejumlah underline akuntansi lainnya. Hanya masalahnya rakyat lapar, rakyat miskin, tapi terus ditekan dengan pungutan pajak.

Andaikan rakyat bebas pajak, rakyat makmur, bahagia, sejahtera, rakyat tak akan komplain pejabat kaya raya. Mau punya Rp 56 miliar, Rubicon, Harley, bahkan punya pulau di Hollywood pun ga ada urusan. Wong rakyatnya kenyang dan hidup enak, tak peduli kalau pejabat hidup mewah dan foya-foya.

Faktanya kan tidak demikian? Faktanya kan semua rakyat kena pajak, baik yang miskin hingga yang benar-benar fakir. Baik yang hidup dikontrakan hingga yang tinggal di kolong jembatan. Mereka semua kena pajak.

Beli mie, kena pajak. Minum air Aqua kena pajak. Beli rokok kena pajak. Beli beras kena pajak. Beli minyak kena pajak. Apa sih barang yang dijual yang ga ada atau ga kena pajak?

Sekali lagi, mayoritas rakyat mu Bu Sri itu cuma pas pasan. Yang ada gaji, setiap bulan cuma numpang lewat. Begitu dapat gaji, langsung habis untuk bayar kontrakan, bayar sekolah anak, bayat utang, bayar cicilan ini itu, bahkan kadangkala selain membayar utang juga membentuk utang baru. Soal makan, kadang seadanya dan sedapatnya.

Itu yang ada gaji. Yang tak ada gaji, ya tawakal penuh. Berharap hanya kepada Allah, berharap kepada pemerintah selain jadi tidak tawwakal juga hanya akan kecewa.

Jokowi itu baiknya cuma pas blusukan. Kebijakannya bikin belingsetan.

Nah, dalam suasana kebatinan yang seperti itu Bu, rakyat tak bisa dihalangi untuk kecewa dan marah. Rakyat alamiah Bu, nyolot dan mengumpat pada pejabat.

Atau begini saja Bu, coba orang pajak, pegawai pajak anak buah Ibu itu bertukar posisi dengan rakyat jelata. Bisa ga mereka menahan diri untuk tidak marah dan mengumpat? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Selasa, 14 Maret 2023

Penerimaan dan Pengeluaran Pajak Terindikasi Bocor?

Tinta Media - Managing Direktor Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyampaikan bahwa penerimaan dan pengeluaran pajak di Indonesia terindikasi mengalami kebocoran.

"Kalau kita lihat bahwa di satu sisi pajak itu adalah penerimaan untuk di
dalam APBN dan di lain sisi adalah ada pengeluaran. Masalah di Indonesia sekarang ini adalah dua-duanya terindikasi bocor. Dari penerimaan terindikasi bocor dari
pengeluaran juga terindikasi bocor," bebernya dalam acara live streaming Media Umat dengan tema Rakyat dipajakin, Duitnya di korupsiin, Ahad (5/3/2023) di kanal YouTube Media Umat.

Anthoni menilai, hal ini harus di soroti.  Karena dampak dari kebocoran ini efeknya pada rakyat. Seperti subsidi sekolah yang dikurangi dan pembayaran BPJS yang dinaikan. 

"Ini yang harus disoroti, karena kebocoran-kebocoran ini dampaknya kepada masyarakat, yaitu misalnya bahwa sekolah uang-uang sekolah ya tidak bisa ini jadi tidak bisa lagi memberikan subsidi dan
sebagainya kepada sekolah atau sangat terbatas dan juga kesehatan BPJS
misalnya sekarang siapa yang dibebani ya Sekarang semua rakyat lagi beban

Bahkan Anthony mengatakan efek dari kebocoran ini adalah kemiskinan masyarakat.

"BPJS dinaikkan dan seterusnya kasus subsidi BBM subsidi listrik jadi ini semua luar
biasa sekali dampaknya terhadap masyarakat yaitu kemiskinan," sesalnya. 

Anthony pun mengungkapkan bahwa kebocoran itu bisa dilihat dari selisih penerimaan pajak yang hilang empat setengah persen.

"Kita lihat penerimaan pajak kita ini
hanya sekitar 10,4% pada akhir 2022 ini.
10,4%  ini sudah dibantu dengan kenaikan PPN dari harga komoditas dan seterusnya. Tanpa itu rasio pajak kita itu sudah dibawah 10%," jelasnya.

Ia mengatakan pada 2016-2017 ada tax amnesty yaitu penguasa menjanjikan bahwa rasio pajak bisa naik menjadi 14,6%.
"Artinya kurang lebih ada selisih empat setengah persen dengan yang sekarang
Apakah ini dianggap sebagai kebocoran. Empat setengah persen dengan
APBN dengan PDB hampir 20.000 itu sudah sekitar 900 triliun," Herannya. 

Menurutnya, jika ada penambahan pajak sebesar 900 triliun, maka Indonesia tidak perlu untuk berhutang lagi sampai sedemikian banyak. "Dan bunga-bunga
utang bisa untuk rakyat miskin lagi," pungkasnya.[] Teti Rostika

Minggu, 12 Maret 2023

UIY: Sangat Mungkin Membangun Negara Tanpa Pajak

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustaz M. Ismail Yusanto (UIY) meyakinkan bahwa membangun atau mengurus negara, sangat mungkin tanpa pajak. 

"Dengan perspektif Islam sangat mungkin membangun atau mengurus negara tanpa pajak," tuturnya pada rubrik Fokus to The Point : Seruan Ramai-Ramai Stop Bayar Pajak? di kanal YouTube UIY Official, Rabu (8/3/2023)

Menurutnya, lebih dari 67 persen sumber daya minyak dan gas ada di negeri-negeri Islam, misalnya Indonesia. "Ada gas dan barang-barang tambang semisal batubara yang produksi tahunannya kurang lebih 600 juta ton. Bayangkan jika itu dikelola negara untuk kepentingan rakyat maka 600 juta ton itu utuh untuk rakyat,” ungkapnya.   

Ia mengatakan karena mengikuti teori sistem ekonomi yang menempatkan para kapital perusahaan pemilik modal sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi, maka negara itu tidak boleh ikut mengelola. “Negara Kapitalis itu sebagai regulator dan tidak boleh menjadi operator. Menurut Kapitalis, kalau negara menjadi regulator sekaligus operator akan terjadi konflik of Interest. Karena itu negara harus duduk sebagai Watchdog yaitu mengatur saja dan mengawasi sambil memungut pajak,” ujarnya. 

Menurut UIY menjadi satu hal yang sangat-sangat Ironi, bagaimana bisa negara yang begitu kaya sumber daya alam dari batu bara tapi rakyat hidup dalam kemiskinan dan dikejar-kejar untuk membayar pajak. “Jadi itu sesungguhnya merupakan buah dari kebijakan yang bisa kita sebutkan bahwa kapitalisme inilah yang sebenarnya merusak negara,” pungkasnya.[] Erlina

Sabtu, 11 Maret 2023

Kasus Penganiayaan Anak Dirjen Pajak, Integritas Institusi Pajak Dipertanyakan

Tinta Media - Integritas institusi pajak dipertanyakan paska kasus penganiayaan yang melibatkan anak Dirjen Pajak.

"Hebohnya kasus penganiayaan yang melibatkan anak pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, membuat integritas institusi pajak tersebut dipertanyakan," tutur Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana pada rubrik Aspirasi : Sri Mulyani Ancam BBM Bisa Naik 3 Kali Lipat? Rabu (8/3/2023) di kanal youtube Justice Monitor.

Pasalnya, lanjut Agung, kasus penganiayaan tersebut merembes hingga menguak kekayaan pegawai Dirjen Pajak yang dinilai tidak wajar. "Buntutnya muncul seruan stop bayar pajak yang menggema di sosial media,” ungkapnya.

"Warganet rame-rame mengeluhkan hal itu karena mereka mengaku taat bayar pajak tapi pegawai dirjen pajak malah membayar pajak tak sesuai seharusnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun merespon cepat dengan melakukan berbagai manuver. Bahkan ia melontarkan ancaman serius dengan menyebut harga bahan bakar minyak (BBM) bisa naik tiga kali lipat jika warga tak bayar pajak," bebernya.

Menurut Agung, pernyataan Sri Mulyani ini dianggap ancaman agar rakyat taat bayar pajak dan terkesan mengancam rakyat. “Pernyataannya tambah mengusik rasa keadilan rakyat. Polemik gaya hidup hedon yang dipertontonkan anak buahnya saja sudah menciderai rasa keadilan. Jangan lagi Sri Mulyani menambah polemik dengan mengancam soal kenaikan harga BBM,” ucapnya.

Agung menandaskan jika Sri Mulyani cerdas, tanpa bayar pajak pun pemerintah bisa memberikan BBM murah. “Syaratnya pemerintah berani menyetop liberalisme Sumber Daya Alam (SDA) di seluruh lini ekonomi, sektor pertambangan termasuk di dalamnya. Di dalam Islam sudah jelaskan bahwa kekayaan umum seperti tambang, batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas, dan sebagainya, haram diserahkan pada individu swasta, apalagi asing dan asing,” bebernya.

Ia menjelaskan bahwa pengelolaan SDA hanya oleh negara saja sebagai kepemilikan umum. Hal ini ia rujuk dari sabda Rasulullah Saw. : ‘Manusia itu berserikat atau memiliki hak bersama dalam tiga hal yaitu air, padang penggembalaan, dan, api.’

Ia menilai adanya pungutan pajak yang semakin masif menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu lagi mengelola sumber daya alam negaranya dengan baik. Sedangkan dalam Islam sumber daya alam bisa dikelola sebagai penghasilan negara.

 “Inilah yang sangat penting untuk diperhatikan agar kita kembali merujuk pada Islam dalam mengelola APBN Negeri Ini. Bukan menjadikan pajak sebagai instrumen yang utama. Waktunya kita kembali pada syariah, waktunya kita kembali pada khilafah,” tutupnya.[] Erlina

Rabu, 08 Maret 2023

AEPI: Harus Ada Transparansi dalam Pengelolaan SDA

Tinta Media - Kacaunya pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dinilai peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng dimulai dari ketidakmampuan negara ini menjalankan prinsip-prinsip transparansi dalam pengelolaannya.

“Sebetulnya sudah kacau di dalam pengelolaan sumber daya alam. Dan kekacauan itu dimulai dari ketidakmampuan kita di dalam menjalankan prinsip-prinsip transparansi, prinsip-prinsip yang adil di dalam urusan pengelolaan keuangan negara termasuk di dalamnya pajak,” bebernya dalam Live Discussion: Gaji Petugas Dirjen Pajak Selangit Saat Hidup Masyarakat Menjerit; Bisakah Indonesia Bebas Pajak? di kanal YouTube PAKTA, (27/2/2023)

Ia pun menuntut komitmen pemerintah untuk memperbaiki, salah satunya Menteri Keuangan (MenKu). Menurutnya, tak cukup menteri itu hanya bisa mengeluh, tapi tidak bisa menjalankan prinsip-prinsip good governance di dalam kementeriannya, transparansi digitalisasi di dalam keuangan.

Ia mencontohkan, kalau serius dan kalau memang betul-betul ada upaya untuk melakukan, menerapkan prinsip-prinsip tata kelola keuangan yang baik harusnya semuanya dimulai dari Kementerian Keuangan (KemenKu).

"Alasannya, karena kita tau bahwa mereka yang paling besar menerima donor-donor dari luar untuk urusan yang berkaitan dengan transparansi keuangan, yang urusan dengan good government," ungkapnya. 

“Tata kelola keuangan negara yang baik itu kan sebetulnya komandannya itu Kementerian Keuangan (KemenKu),” ujarnya. 

Namun, Salamuddin mempertanyakan, mengapa menterinya hanya bisa mengeluh atau berkeluh kesah tentang masalah anak buahnya.

 “Waduh, berarti kementerian keuangan ini ndak bikin apa-apa, tidak melakukan report, tidak membenahi tata kelola dan lain sebagainya. Betapa gawatnya. Dan kalau ini terus berlanjut, pendapatan negara dari pajak dan sumber daya alam tahun-tahun mendatang bisa-bisa tinggal 2% semua,” pungkasnya.[] Wafi

Selasa, 07 Maret 2023

Salamuddin Daeng: Tata Kelola Perpajakan Semakin Buruk

Tinta Media - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai perdebatan tentang masalah-masalah perpajakan di Indonesia yang mana tata kelolanya semakin buruk, bagus dan penting untuk dikembangkan.

“Perdebatan tentang kenapa dan bagaimana dan apa sebab masalah-masalah perpajakan di Indonesia ini menjadi semakin crowded, semakin tata kelolanya semakin buruk, dan perdebatan yang muncul belakangan tentang itu. Jadi, menurut saya, perdebatan ini bagus, penting untuk dikembangkan,” ungkapnya pada live discussion: Gaji Petugas Dirjen Pajak Selangit Saat Hidup Masyarakat Menjerit; Bisakah Indonesia Bebas Pajak? di kanal YouTube PAKTA, (27/2/2023).

Terlepas dari halal-haramnya pajak, sebutnya, kita bicara kinerjanya dulu, bahwa kinerja perpajakan atau kinerja penerimaan negara atau pendapatan negara dalam satu dekade terakhir memang memburuk, jelek sekali.

Salah satu ciri yang paling utama, tambahnya, adalah menurunnya pendapatan negara dari pajak dan bagi hasil sumber daya alam pajak dan pendapatan non pajak atau PNBP. “Terhadap GDP menurun dalam satu dekade, dari 13%, sekarang sisa 7%,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya, merupakan satu keadaan yang kontradiktif. Jadi, kalau ekonomi ini tumbuh, konsumsi tumbuh,
pendapatan perusahaan, tunggu pendapatan lain-lain tumbuh, ekspor tumbuh, investasi tumbuh, konsumsi pengeluaran pemerintah, investasi ekspor, dan lain-lain tumbuh semua. Maka secara otomatis pendapatan pajak itu tumbuh. Sesuai dengan perkembangan ekonomi.

“Tapi ini terbalik rupanya. Ekonominya tumbuh, tumbuh terus naik ke atas rupanya, tapi pendapatan negaranya relatif menurun terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi, pendapatan negara terhadap GBD ini menurun,” pungkasnya.[] Wafi

Penerimaan SDA Merosot, AEPI: Tak Bayar Pajak atau Ada Kongkalikong?

Tinta Media - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mempertanyakan penyebab pendapatan negara dari pos sumber daya alam yang menurun drastis.

“Kenapa penerimaan sumber daya alamnya merosot? Nah, itu kan jadi pertanyaan besar. Muncul dua pertanyaan, apakah sumber daya alam ini tidak membayar pajak atau tidak membagi hasilnya dengan benar? Atau sumber daya alam ini sudah membayar kan baik hasil sumber daya alam maupun pajaknya namun tidak sampai atau terjadi manipulasi, terjadi kongkalikong di bawah?” ujarnya pada live discussion: Gaji Petugas Dirjen Pajak Selangit Saat Hidup Masyarakat Menjerit; Bisakah Indonesia Bebas Pajak? di channel YouTube PAKTA, (27/2/23)

Ia sangat menyayangkan pendapatan sumber daya alam yang menurun sangat drastis sekali. “Jadi ya kalau pendapatan sumber daya alam itu mungkin cuma ya 60 70 triliun di dalam APBN kita itu, padahal ini keadaan ekonomi kita atau tumpuan ekonomi kita itu sebagian besar bertumpu pada sumber daya alam,” jelasnya.

Ia membeberkan fakta bahwa Indonesia termasuk yang paling besar di dalam seluruh ukuran produksi dan ekspor sumber daya alam. 

“Misalnya, kita adalah nomor satu sebagai eksportir sawit terbesar di dunia. Kita nomor satu sekarang sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia. Kita nomor satu di dalam urusan produksi timah terbesar di dunia. Kita nomor satu di dalam urusan produksi nikel terbesar di dunia. Kita eksportir gas alam cair terbesar di dunia,” ungkapnya berturut-turut.

Ia mengungkapkan bahwa Indonesia juga punya perusahaan perusahaan tambang emas yang terbesar di dunia, misalnya Freeport dan dulu ada Newmount.

“Dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan Migas, mineral, batubara, emas, dan lain sebagainya, itu adalah perusahaan-perusahaan yang paling sangat terkemuka di Asia dan tidak ada tandingannya,” pungkasnya.[] Wafi

KH M.Shiddiq Al-Jawi: Dibolehkan Pajak dalam Islam, Tetapi...

Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.SI., menjelaskan bolehnya pajak dengan syarat-syarat yang merujuk pada Islam.

“Bolehkah pajak di dalam Islam? Jawabannya ada, tapi bersyarat. Ada berarti dibolehkan dalam Islam, tetapi ada syarat-syaratnya yang merujuk atau bersumber dari Islam itu sendiri,” jelasnya pada rubrik Kajian Fikih: Hukum Islam tentang Pajak, Ternyata Begini, Jumat (3/3/2023) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

“Syarat yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah,” tegasnya melanjutkan.

USAJ sapaan akrab Ustadz Shiddiq memaparkan pajak dari segi istilah, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizamul Islam halaman 86. Istilah pajak yang terdapat dalam ekonomi Barat atau kapitalisme boleh dipakai oleh umat Islam karena faktanya Islam juga membolehkan negara yaitu Negara Islam atau istilahnya Khilafah untuk mengambil harta dari warga negara untuk memenuhi keperluan negara.

 “Jadi ini ada kebolehan menggunakan istilah pajak, baik itu dalam bahasa Indonesia pajak, atau dharibah, dharaib atau dalam bahasa inggrisnya tax,” paparnya.
 
Kemudian dari segi hukum, menurut USAJ ada perbedaan. Pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler yaitu yang tidak bersumber dari Islam, tidak bersumber dari wahyu, sedangkan dalam Islam pajak diatur dengan hukum-hukum syarak. “Hukum-hukum syara’ itu artinya hukum yang bersumber dari Islam yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,” terangnya.

“Jadi ini berbeda, kalau pajak yang sekarang dipungut oleh Menteri Keuangan, kementerian keuangan khususnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sifatnya sekuler, bukan pajak syariah yang didasarkan pada prinsip-prinsip Syariah, itu tidak. karena memang negara kita adalah negara sekuler,” tegasnya.

Ia mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani bahwa boleh bagi khalifah (kepala negara) untuk mewajibkan pajak atas kaum muslimin dan boleh pula khalifah mengambil pajak itu dari mereka secara paksa. Hanya saja dia yaitu khalifah mengambil pajak dalam keadaan ini tidaklah berdasarkan perintah penguasa untuk membayar pajak, melainkan berdasarkan perintah Allah untuk membayar pajak. Penguasa hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.

“Ini kutipan dari Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya muqaddimat Ad Dustur pada juz 2 halaman 117. Jadi yang menjadi fokus saya itu adalah Apakah boleh Negara Islam atau Khilafah itu memungut pajak? jawabannya boleh asalkan nanti ada ketentuan-ketentuannya supaya pajak itu ketika diwajibkan itu memiliki makna syar’i. Pajak itu wajib karena memang diwajibkan oleh Allah,” jelasnya.

Untuk membuktikan suatu pajak itu adalah syar’i, kewajiban yang aslinya datang dari Allah bukan dari penguasa, lanjutnya, itu nanti harus dibuktikan bahwa pajak itu dipungut dalam rangka melaksanakan kewajiban Syariah. “Jadi ada dalilnya di dalam Al-Qur’an ada hadis mengenai suatu kewajiban finansial yang harus dibayar,” tuturnya. 

“Maka dari itu, jika terdapat suatu kewajiban syar’i (dari  Allah) atas Kas Negara (Baitul Mal) dan juga atas kaum  muslimin, maka kewajiban syar’i itu akan dibiayai dari harta Baitul Mal, misalnya biaya untuk kewajiban  menyantuni fakir dan miskin. Jika dalam Baitul Mal tidak terdapat harta, atau terdapat  harta namun tidak cukup untuk membiayai kewajiban  syar’i itu, maka Khalifah boleh mewajibkan pajak atas  kaum muslimin sesuai dengan ketentuan hukum-hukum  syarak,” jelasnya mengutip dari pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimat Al Dustur, Juz II, hlm. 117.

Jika penguasa memungut pajak untuk sesuatu yang tidak  diwajibkan oleh Allah, atau bahkan tidak ada dalilnya dari Al -Qur`an atau Hadis, berarti penguasa itu telah mewajibkan pajak atas dasar kehendak penguasa itu sendiri, bukan atas  dasar kehendak Allah.

“Pemungutan pajak seperti ini haram hukumnya dan  pelakunya akan masuk neraka kelak di hari kiamat, sesuai  sabda Rasulullah SAW yang artinya ‘Tidak akan  masuk  surga,  siapa saja yang memungut cukai/pajak [yang tidak syar’i].’ (HR Ahmad & Al Hakim)” pungkasnya. [] Raras

Sabtu, 04 Maret 2023

𝐏𝐀𝐉𝐀𝐊 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐃𝐈𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀𝐏 𝐇𝐀𝐑𝐀𝐌 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐙𝐀𝐋𝐈𝐌𝐀𝐍 (𝐏𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚 𝟗𝟗 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐊𝐡𝐢𝐥𝐚𝐟𝐚𝐡: 𝟑 𝐌𝐚𝐫𝐞𝐭 𝟏𝟗𝟐𝟒 𝐌 - 𝟑 𝐌𝐚𝐫𝐞𝐭 𝟐𝟎𝟐𝟑 𝐌)

Tinta Media - Banyak kerusakan yang ditimbulkan pasca-runtuhnya Khilafah. Salah satunya adalah kaum Muslim tidak menganggap lagi pajak sebagai keharaman dan kezaliman. Lebih parahnya lagi menganggap negara tidak mungkin dapat terselenggara tanpa pajak. 
.
Padahal pajak adalah teknik memeras rakyat yang dilakukan kafir penjajah (𝑘𝑎𝑓𝑖𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑏𝑖 𝑓𝑖'𝑙𝑎𝑛) di berbagai belahan dunia termasuk penjajah Belanda di Indonesia tempo dulu. Hal itu dilakukan karena mereka tidak puas bila hanya mengeruk sumber daya alam negeri-negeri kaum Muslim.  
.
Saat ini, boleh saja Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya mengaku merdeka, dengan mendirikan 57 negara bangsa di atas puing-puing khilafah. Tetapi sejatinya tetap terjajah. 
.
Buktinya? Sumber daya alam yang hasilnya melimpah tetap saja diserahkan kepada kafir penjajah. Rakyat tetap ditarik pajak, bahkan rakyat miskin sekadar beli mi instan di warung kecil saja sudah dipajaki!
.
Pajak ini untuk siapa? Untuk antek-antek penjajah agar mereka bisa menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan keinginan kafir penjajah. Mereka berusaha sekuat tenaga mencegah kaum Muslim untuk menyadari fardhu kifayah menegakkan kembali syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
.
Bila kaum Muslim sadar, tentu kaum Muslim hanya ingin hidup dalam naungan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. 
.
Karena selain fardhu kifayah, ketika khilafah diterapkan dengan baik dan benar sebagaimana ketentuan ajaran Islam, maka sumber daya alam yang berlimpah yang kini dikuasai kafir penjajah akan direbut kembali oleh khalifah. Termasuk tambang emas yang dirampok Freeport (AS); tambang minyak yang dihisap British Petroleum (Inggris); tambang nikel yang dijarah Zhejiang Huayou Cobalt (Cina).  
.
Karena itu semua termasuk 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ (kepemilikan umum), yang haram dikuasai swasta, negara asing, apalagi kafir penjajah! Negara (khilafah) wajib mengelolanya. Hasilnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satunya untuk fasilitas dan biaya operasional pendidikan dan kesehatan. Sehingga rakyat dapat mengaksesnya dengan sangat murah bahkan gratis. 
.
Dengan pengelolaan 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ dan sumber penghasilan lainnya yang diatur sesuai ajaran Islam, khilafah mampu berjalan dengan baik dan sama sekali tidak memungut pajak. 
.
Tentu hal itu sangat menguntungkan seluruh rakyat khilafah baik Muslim maupun kafir dzimni (non-Muslim warga negara khilafah), karena semuanya wajib diurus (𝑟𝑖𝑎𝑦𝑎ℎ) sebaik-baiknya oleh khalifah.
.
Hanya saja, kafir penjajah tentu tidak akan terima. Karena sumber penghasilan mereka dari memeras dan menguras sumber daya negeri-negeri Islam akan terhenti. Oleh karena itu, mereka melalui para anteknya terus-menerus menghembuskan propaganda radikal-radikul dan moderat mudarat. Tujuannya, agar kaum Muslim yang masih awam menjauh dari para pengemban dakwah Islam kaffah, sehingga kafir penjajah dapat tetap menjajah dengan terus mengeruk sumber daya alam kita, dan antek-anteknya dapat terus hidup mewah dengan menarik pajak dari keringat kita. 
.
Inilah salah satu petaka yang terjadi pasca-runtuhnya khilafah 99 tahun yang lalu (3 Maret 1924 M-3 Maret 2023 M). Semoga kaum Muslim menyadari dan berjuang menunaikan fardhu kifayahnya. 𝐴𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛.[]
.
Depok, 10 Sya'ban 1444 H | 3 Maret 2023 M
.
.
Oleh: Joko Prasetyo 
Jurnalis
.
https://bit.ly/3ZA2cAx
https://bit.ly/3ZA2cAx
https://bit.ly/3ZA2cAx

Minggu, 26 Februari 2023

Utang Riba Tembus 7733 T, Ini Sebabnya...


Tinta Media - Peneliti dari FAKKTA (Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran) Muhammad Hatta, S.E., M.M. mengungkap penyebab utang riba di negeri ini yang mencapai 7.733 T.

"Berkaitan dengan kebijakan fiskal misalnya, kenapa utang kita sampai akhir tahun ini sudah tembus 7.733 triliun? Ini karena memang salah satu sumber pendapatan itu adalah utang," tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum edisi ke-51 : Pemerintah Mempraktikkan Ideologi/Paham Kapitalisme, Selasa (31/01/2023) di kanal Youtube LBH Pelita Umat.

Menurutnya, utang itu menjadi sumber pendapatan kedua yang sangat diandalkan selain pajak. "Jadi, kalau kita melihat kenapa kemudian utang itu begitu tinggi? Itu adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi kapitalistik," ujarnya.

Pajak

Selain utang, Hatta juga menyoroti tingginya angka pajak di negeri ini. Ia menjelaskan bahwa 80% lebih pendapatan negara ini dari pajak. "81,8% itu adalah dari pajak tahun 2022, tahun 2023 kalau kita lihat APBN sekitar 82% lebih. Sementara untuk yang non pajak hanya sekitar 17,9%, itu tahun 2023," jelasnya.

Hatta memandang, kapitalistiknya ekonomi sebuah negara, sebuah bangsa itu dilihat dari sisi kebijakan fiskal. Dari sisi pajak sangat diandalkan, sementara dari sisi sumber daya alam justru menjadi semakin kecil kontribusinya. "Itu dari sisi kebijakan fiskal," tandasnya.

Masih berkait dengan kebijakan fiskal, Hatta menerangkan bagaimana upaya penyelesaian meningkatnya angka kemiskinan di tahun 2023 ini dengan sebuah kebijakan yang mampu menyelesaikan urusan kemiskinan tersebut.

"Kita anggaplah total penduduk miskin itu saya asumsikan 120 juta total rumah tangga miskin itu. Kalau jumlah anggota rumah tangga miskin itu 4 orang, berarti ada 30 juta keluarga. 30 juta keluarga rumah tangga miskin kita kasih 100 juta saja per rumah tangga, itu bisa dengan APBN yang ada sebenarnya. Sebenarnya bisa. Tinggal dipotong saja 25% per tahun APBN kita, misalnya saya simulasikan ini adalah dari tahun 2010 gitu ya sampai 2011-2018 itu bisa memberikan subsidi 100 juta per rumah tangga. Selesai urusan kemiskinan," terangnya meyakinkan.

Ia menyesalkan setiap bulan ada fakta banyaknya orang miskin, banyaknya orang stunting, kekurangan gizi, gizi buruk, dan sebagainya. Padahal ini bisa dengan hitung-hitungan sederhana. "Bisa, tapi kenapa menjadi sulit? Karena kebijakan fiskal, kerangka tata kelola fiskal kita adalah kapitalistik," sesalnya.

Lagi, Hatta melanjutkan, misalnya dalam konteks pembayaran bunga. Tahun 2023 ini, pembayaran bunga 441 triliun. Ini kalau kita bandingkan dengan total beban jaminan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, bantuan sosial, subsidi, totalnya 498 triliun.

"Tiga belanja tadi, dibandingkan dengan bayar bunga utang, maka itu 76% jadinya. Bayar utang tahun 2023, itu 76%. Jadi apa? Inilah kebijakan fiskal ekonomi yang kapitalistik begitu nampak," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Rabu, 08 Februari 2023

Target Pendapatan Pajak 80 Persen, Analis: Indonesia Jadi Negara Pemalak Rakyat

Tinta Media - Prioritas pendapatan negara dengan postur 80% dari pajak, menurut Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan, menjadikan Indonesia menjadi negara pemalak rakyat. 

“Rakyat negara kita hari ini seolah-olah menjadi pesakitan karena negaranya adalah negara pemalak atau daulah jibariyah, bukan negara yang memberikan pelayanan,” ungkapnya dalam [LIVE] Majelis Al Buhuts Al Islamiyah - 2023 Target Tertinggi, Pajak dalam Sistem Kenegaraan Islam? Ahad (29/1/2023) di channel YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Menurutnya, kalau negara ingin meningkatkan pendapatan maka prioritas pertama, kalau dengan postur 80% lebih itu dari pajak pasti kembalinya adalah nguber-nguber rakyatnya. "Ngejar-ngejar rakyatnya,” ujarnya.

Fajar merasa bahwa beberapa tahun terakhir ini, warga negara sudah diintimidasi oleh negara. Rakyat diintimidasi dengan berbagai macam tagihan, mulai dari pajak, BPJS, retribusi, dan lain-lain.

“Sekali bayar pajak itu terus dikejar pajaknya masih ada yang sembunyikan atau tidak? Ada kurang bayar atau tidak? Jadi, ASN juga sama, dipajakin, yang pebisnis juga sama, panjenengan juga dipajakin,“ ungkapnya.

Karenanya, ia mengatakan tidak heran para penarik pajak berkeliling sampai ke desa-desa dan rumah-rumah. "Bahkan ke kantor-kantor untuk mengejar pajak rakyat" pungkasnya.[] Wafi

Rabu, 10 Agustus 2022

Mampukah Pajak Menyejahterakan Rakyat?

Tinta Media - Beban kebutuhan rakyat saat ini makin meningkat. Minimnya mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan tersebut menjadi salah satu kendala tidak terjaminnya kesejahteraan hidup. Belum lagi dengan berbagai macam bentuk tagihan yang menyulitkan rakyat, mulai dari bahan pangan, kendaraan, dan juga tempat tinggal.

Lemahnya pengurusan negara atas jaminan hidup masyarakat menjadikan beban rakyat makin menumpuk. Alih-alih memikirkan terpenuhinya beban pungutan yang ditetapkan negara, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan saja cukup kesulitan. 

Ketika mendambakan kehidupan yang lebih layak, mereka harus bekerja keras demi memenuhi hal tersebut. Namun, tak banyak yang mampu mencapainya akibat tidak adanya kemudahan yang didapatkan masyarakat untuk mencukupi kehidupan mereka.

Maka suatu hal yang wajar ketika masyarakat mulai komplain terkait beratnya beban yang mereka tanggung. Salah satunya terkait dengan pajak, seperti yang diberitakan oleh detik.com tentang tagar stop bayar pajak yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Munculnya tagar tersebut membuat Mentri Keuangan Sri Mulyani juga ikut merespon dengan ungkapan bahwa yang tidak ingin bayar pajak berarti tidak ingin melihat indonesia maju.

Hal ini diperkuat dengan apa yang dikutip dari Bisnis.com bahwa pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.

Merespon dari kutipan di atas, kita mampu melihat bahwa pajak merupakan hal pokok yang dipegang oleh negara sebagai salah satu sarana yang memenuhi pemasukan negara. Sehingga, pajak menjadi suatu keharusan bagi negara untuk ditetapkan kepada rakyat walaupun tanggungan tersebut cukup membuat masyarakat kewalahan.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak dan utang memang merupakan sumber pemasukan negara. Maka, ketika pajak diberhentikan, perekonomian negara akan terhambat dan dikhawatirkan akan berakhir pada kesengsaraan rakyat.

Sistem ini ibarat buah simalakama. Ketika tetap dijalankan, akan berdampak besar bagi rakyat yang bahkan mampu menelan korban akibat besarnya tanggungan, sedangkan ketika dihentikan, maka negara akan mengalami krisis yang tajam karena tak memiliki pemasukan lain. 

Bagaikan hidup di lingkaran setan, tidak ada kenyamanan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan selama kita masih menggunakan sistem ekonomi kapitalis ini. Hal ini karena asasnya hanya berpacu pada untung dan manfaat belaka, tanpa memandang apakah hal tersebut mampu menyejahterakan rakyat ataukah tidak. 

Masyarakat dalam sistem ini hanya akan menjumpai bahwa orang yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini adalah fenomena yang lumrah yang ditumbuhsuburkan oleh sistem kapitalisme.

Hal ini akan jauh berbeda ketika kita diatur oleh aturan Islam dalam menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk masalah perekonomian. Ini karena sejatinya Islam dalam menerapkan sistem ekonominya memiliki pos-pos pemasukan yang jelas, tidak memandang sebatas untung dan manfaat belaka, melainkan akan memeberikan kesejahteraan dan pelayanan total kepada masyarakat berdasarkan aturan Islam, termasuk dalam hal ekonomi.

Adapun pos pemasukan dalam sistem ekonomi Islam tidak berdasarkan pada pajak dan utang. 

Pertama, pemasukannya berasal dari kepemilikan umum yang mencakup sumber daya alam secara keseluruhan yang akan dikelola oleh negara secara langsung dan hasilnya akan diperuntukkan demi kemaslahatan hidup masyarakat. 

Tidak seperti saat ini, kekayaan alam di negeri ini tidaklah dikelola langsung oleh negara, melainkan diserahkan kepada pihak swasta yang nantinya hasil dari pengelolaan itu tidak akan mengalir kepada rakyat, melainkan kembali ke kantong pribadi. 

Lemahnya pengelolaan negara atas aset tersebut menjadikan negeri ini bergantung kepada pihak asing dan tak mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyat.

Kedua, pemasukannya berasal dari kepemilikan negara yang mencakup harta fai, jizyah, kharaj dan sebagainya yang berasal dari harta nonmuslim dan didapatkan secara damai tanpa melalui peperangan. Dari harta ini, negara akan memperuntukkannya demi kemaslahatan bersama. Harta tersebut tidak dipergunakan untuk urusan kepentingan segelintir elit belaka.

Ketiga, pemasukannya berasal dari harta zakat yang nanti akan terkumpul pada baitul mal yang merupakan tempat terkumpulnya harta kaum muslimin. Peruntukkannya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tercakup dalam delapan asnaf.

Inilah salah satu peran negara didalam Islam untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat dengan pelayanan langsung. Dengan begitu, rakyat tak akan merasakan beban kehidupan yang memusingkan. Negara harusnya tidak menjadi kaki tangan atau fasilitator langgengnya privatisasi asing atas seluruh kekayaan negeri yang tidak berujung pada pelayanan atas masyarakat. 

Inilah cara Islam untuk menuntaskan masalah perekonomian yang menjadi polemik di negeri ini. Namun, hal tersebut tidak akan bisa kita rasakan selama kita masih bergantung pada sistem kapitalis sekuler yang senantiasa menjauhkan urusan agama dalam kehidupan. Sejatinya, Islam bukan hanya sekadar agama warisan belaka, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang nantinya akan membimbing individu, masyarakat, dan negara untuk tetap berada pada koridor yang di tetapkan oleh Allah Swt.

Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Minggu, 07 Agustus 2022

Pajak, Upeti Modern ala Rezim Kapitalis

Tinta Media - Pemerintah memberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 14 Juli 2022 lalu untuk ditransisikan sampai tahun 2023 dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prabowo menuturkan bahwa hal ini tidak lantas membuat setiap yang memiliki NIK wajib membayar pajak. Ini karena wajib pajak adalah orang Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar 4,5 juta rupiah per bulan, jika kurang maka tak usah mendaftar jadi wajib pajak. Ia menegaskan bahwa peresmian NIK sebagai NPWP dimaksudkan untuk mempermudah administrasi antara masyarakat dan pemerintah. 

Hal ini senada dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam acara sosialisasi UU Harmonisasi Perpajakan. Ia mengatakan bahwa pajak itu adalah prinsip keadilan, jadi jika belum punya income, tidak perlu bayar pajak.

Nyatanya, saat ini setiap orang dipaksa membayar pajak untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik memiliki penghasilan ataupun tidak. Semua barang dan layanan jasa saat ini telah dikenai pajak. Padahal, adanya kenaikan pungutan pajak membuat biaya hidup semakin tinggi di tengah impitan ekonomi.

Sontak hal ini menjadi pemicu aksi masyarakat membuat tagar stop bayar pajak yang viral di medsos. Saat rakyat menyuarakan ingin bebas dari pajak, pemerintah malah membuat aturan tidak boleh ada rakyat yang lolos dari pajak, melalui pengintegrasian identitas kependudukan menjadi kartu wajib pajak. Bahkan, Sri Mulyani memberikan komentar jika tidak mau bayar pajak berarti tidak mau Indonesia maju. Inilah bukti bahwa rezim saat ini bukan pengurus dan pemberi solusi bagi rakyat, tetapi 'rezim pemalak'.

Pajak dan utang memang menjadi pemasukan utama negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal seperti negeri kita ini. Ironi memang, karena kita hidup di negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah. Ternyata pemasukan negara dari sumber daya alam (SDA) sangatlah minim. Ini karena sistem saat ini melegalkan swastanisasi kekayaan alam, baik pada swasta lokal ataupun asing, bukan mengelola sendiri. Negara hanya memperoleh pemasukan dari pajak yang dikenai pada pengelolaan SDA tersebut sehingga pemasukannya tak seberapa.

Alhasil, rakyat menjadi objek penderita untuk menambah pendapatan kas negara dengan kewajiban membayar pajak walaupun mereka miskin. Mirisnya, rakyat tak banyak merasakan dampak positif dari pengelolaan pajak tersebut.

Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam atau khilafah yang mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Khilafah mampu membiayai negara tanpa adanya pajak dan utang, yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki 12 pos pemasukan bagi negara yang disimpan di Baitul Mal. Di antaranya adalah dari pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah.

Negara akan menerapkan pembagian kepemilikan sesuai dengan syariat, yakni kepemilikan umum, negara, dan individu. Tambang merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh diprivatisasi, apalagi diserahkan kepada asing. Ini akan menjadi pemasukan negara yang sangat berlimpah ruah.

Adapun salah satu pemasukan negara, yakni dharibah yang selalu disamakan dengan pajak, kenyataannya sangatlah berbeda. Dharibah hanya dipungut jika kas negara di Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan wajib yang harus dipenuhi, jika tidak terpenuhi akan terjadi bahaya (dharar) pada kaum muslimin dan tidak boleh diwajibkan lebih dari kebutuhan untuk pembiayaan tersebut. Artinya, dharibah bersifat insidental dan hanya ditujukan kepada yang memenuhi dua syarat.

Pertama, hanya boleh diambil dari kaum muslim saja, tidak boleh dari kaum nonmuslim.

Kedua, hanya boleh diambil dari muslim yang kaya, yaitu yang mempunyai kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dan sekundernya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup di wilayah tersebut. Jika tidak ada kelebihan harta, dharibah tidak akan dipungut darinya.

Dalam Islam, negara tidak menjadikan pajak sebagai alat untuk menekan pertumbuhan ekonomi. Bukan untuk menghalangi orang untuk kaya maupun untuk menambah pemasukan negara. Namun, pajak hanya dipungut untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan oleh Syariah Islam ketika tidak ada dana kas negara.

Negara tidak akan pernah memungut pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak jual beli, dan berbagai macam pajak apa pun seperti saat ini. Bahkan, tidak ada biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan secara gratis dengan kualitas terbaik. Bahkan, tidak akan ada biaya administrasi seperti denda layanan listrik, PLN dan lainnya. Termasuk pembuatan SIM, KTP, KK dan surat menyurat.

Adanya pengaturan tersebut menjadikan negara yang menerapkan sistem Islam atau Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat selama kurang lebih 13 abad masa pemerintahannya. 

Wallahualam bi'shawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab