Tinta Media: Pajak
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Maret 2023

Salamuddin Daeng: Tata Kelola Perpajakan Semakin Buruk

Tinta Media - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai perdebatan tentang masalah-masalah perpajakan di Indonesia yang mana tata kelolanya semakin buruk, bagus dan penting untuk dikembangkan.

“Perdebatan tentang kenapa dan bagaimana dan apa sebab masalah-masalah perpajakan di Indonesia ini menjadi semakin crowded, semakin tata kelolanya semakin buruk, dan perdebatan yang muncul belakangan tentang itu. Jadi, menurut saya, perdebatan ini bagus, penting untuk dikembangkan,” ungkapnya pada live discussion: Gaji Petugas Dirjen Pajak Selangit Saat Hidup Masyarakat Menjerit; Bisakah Indonesia Bebas Pajak? di kanal YouTube PAKTA, (27/2/2023).

Terlepas dari halal-haramnya pajak, sebutnya, kita bicara kinerjanya dulu, bahwa kinerja perpajakan atau kinerja penerimaan negara atau pendapatan negara dalam satu dekade terakhir memang memburuk, jelek sekali.

Salah satu ciri yang paling utama, tambahnya, adalah menurunnya pendapatan negara dari pajak dan bagi hasil sumber daya alam pajak dan pendapatan non pajak atau PNBP. “Terhadap GDP menurun dalam satu dekade, dari 13%, sekarang sisa 7%,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya, merupakan satu keadaan yang kontradiktif. Jadi, kalau ekonomi ini tumbuh, konsumsi tumbuh,
pendapatan perusahaan, tunggu pendapatan lain-lain tumbuh, ekspor tumbuh, investasi tumbuh, konsumsi pengeluaran pemerintah, investasi ekspor, dan lain-lain tumbuh semua. Maka secara otomatis pendapatan pajak itu tumbuh. Sesuai dengan perkembangan ekonomi.

“Tapi ini terbalik rupanya. Ekonominya tumbuh, tumbuh terus naik ke atas rupanya, tapi pendapatan negaranya relatif menurun terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi, pendapatan negara terhadap GBD ini menurun,” pungkasnya.[] Wafi

Penerimaan SDA Merosot, AEPI: Tak Bayar Pajak atau Ada Kongkalikong?

Tinta Media - Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mempertanyakan penyebab pendapatan negara dari pos sumber daya alam yang menurun drastis.

“Kenapa penerimaan sumber daya alamnya merosot? Nah, itu kan jadi pertanyaan besar. Muncul dua pertanyaan, apakah sumber daya alam ini tidak membayar pajak atau tidak membagi hasilnya dengan benar? Atau sumber daya alam ini sudah membayar kan baik hasil sumber daya alam maupun pajaknya namun tidak sampai atau terjadi manipulasi, terjadi kongkalikong di bawah?” ujarnya pada live discussion: Gaji Petugas Dirjen Pajak Selangit Saat Hidup Masyarakat Menjerit; Bisakah Indonesia Bebas Pajak? di channel YouTube PAKTA, (27/2/23)

Ia sangat menyayangkan pendapatan sumber daya alam yang menurun sangat drastis sekali. “Jadi ya kalau pendapatan sumber daya alam itu mungkin cuma ya 60 70 triliun di dalam APBN kita itu, padahal ini keadaan ekonomi kita atau tumpuan ekonomi kita itu sebagian besar bertumpu pada sumber daya alam,” jelasnya.

Ia membeberkan fakta bahwa Indonesia termasuk yang paling besar di dalam seluruh ukuran produksi dan ekspor sumber daya alam. 

“Misalnya, kita adalah nomor satu sebagai eksportir sawit terbesar di dunia. Kita nomor satu sekarang sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia. Kita nomor satu di dalam urusan produksi timah terbesar di dunia. Kita nomor satu di dalam urusan produksi nikel terbesar di dunia. Kita eksportir gas alam cair terbesar di dunia,” ungkapnya berturut-turut.

Ia mengungkapkan bahwa Indonesia juga punya perusahaan perusahaan tambang emas yang terbesar di dunia, misalnya Freeport dan dulu ada Newmount.

“Dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan Migas, mineral, batubara, emas, dan lain sebagainya, itu adalah perusahaan-perusahaan yang paling sangat terkemuka di Asia dan tidak ada tandingannya,” pungkasnya.[] Wafi

KH M.Shiddiq Al-Jawi: Dibolehkan Pajak dalam Islam, Tetapi...

Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.SI., menjelaskan bolehnya pajak dengan syarat-syarat yang merujuk pada Islam.

“Bolehkah pajak di dalam Islam? Jawabannya ada, tapi bersyarat. Ada berarti dibolehkan dalam Islam, tetapi ada syarat-syaratnya yang merujuk atau bersumber dari Islam itu sendiri,” jelasnya pada rubrik Kajian Fikih: Hukum Islam tentang Pajak, Ternyata Begini, Jumat (3/3/2023) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

“Syarat yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah,” tegasnya melanjutkan.

USAJ sapaan akrab Ustadz Shiddiq memaparkan pajak dari segi istilah, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizamul Islam halaman 86. Istilah pajak yang terdapat dalam ekonomi Barat atau kapitalisme boleh dipakai oleh umat Islam karena faktanya Islam juga membolehkan negara yaitu Negara Islam atau istilahnya Khilafah untuk mengambil harta dari warga negara untuk memenuhi keperluan negara.

 “Jadi ini ada kebolehan menggunakan istilah pajak, baik itu dalam bahasa Indonesia pajak, atau dharibah, dharaib atau dalam bahasa inggrisnya tax,” paparnya.
 
Kemudian dari segi hukum, menurut USAJ ada perbedaan. Pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler yaitu yang tidak bersumber dari Islam, tidak bersumber dari wahyu, sedangkan dalam Islam pajak diatur dengan hukum-hukum syarak. “Hukum-hukum syara’ itu artinya hukum yang bersumber dari Islam yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,” terangnya.

“Jadi ini berbeda, kalau pajak yang sekarang dipungut oleh Menteri Keuangan, kementerian keuangan khususnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sifatnya sekuler, bukan pajak syariah yang didasarkan pada prinsip-prinsip Syariah, itu tidak. karena memang negara kita adalah negara sekuler,” tegasnya.

Ia mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani bahwa boleh bagi khalifah (kepala negara) untuk mewajibkan pajak atas kaum muslimin dan boleh pula khalifah mengambil pajak itu dari mereka secara paksa. Hanya saja dia yaitu khalifah mengambil pajak dalam keadaan ini tidaklah berdasarkan perintah penguasa untuk membayar pajak, melainkan berdasarkan perintah Allah untuk membayar pajak. Penguasa hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.

“Ini kutipan dari Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya muqaddimat Ad Dustur pada juz 2 halaman 117. Jadi yang menjadi fokus saya itu adalah Apakah boleh Negara Islam atau Khilafah itu memungut pajak? jawabannya boleh asalkan nanti ada ketentuan-ketentuannya supaya pajak itu ketika diwajibkan itu memiliki makna syar’i. Pajak itu wajib karena memang diwajibkan oleh Allah,” jelasnya.

Untuk membuktikan suatu pajak itu adalah syar’i, kewajiban yang aslinya datang dari Allah bukan dari penguasa, lanjutnya, itu nanti harus dibuktikan bahwa pajak itu dipungut dalam rangka melaksanakan kewajiban Syariah. “Jadi ada dalilnya di dalam Al-Qur’an ada hadis mengenai suatu kewajiban finansial yang harus dibayar,” tuturnya. 

“Maka dari itu, jika terdapat suatu kewajiban syar’i (dari  Allah) atas Kas Negara (Baitul Mal) dan juga atas kaum  muslimin, maka kewajiban syar’i itu akan dibiayai dari harta Baitul Mal, misalnya biaya untuk kewajiban  menyantuni fakir dan miskin. Jika dalam Baitul Mal tidak terdapat harta, atau terdapat  harta namun tidak cukup untuk membiayai kewajiban  syar’i itu, maka Khalifah boleh mewajibkan pajak atas  kaum muslimin sesuai dengan ketentuan hukum-hukum  syarak,” jelasnya mengutip dari pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimat Al Dustur, Juz II, hlm. 117.

Jika penguasa memungut pajak untuk sesuatu yang tidak  diwajibkan oleh Allah, atau bahkan tidak ada dalilnya dari Al -Qur`an atau Hadis, berarti penguasa itu telah mewajibkan pajak atas dasar kehendak penguasa itu sendiri, bukan atas  dasar kehendak Allah.

“Pemungutan pajak seperti ini haram hukumnya dan  pelakunya akan masuk neraka kelak di hari kiamat, sesuai  sabda Rasulullah SAW yang artinya ‘Tidak akan  masuk  surga,  siapa saja yang memungut cukai/pajak [yang tidak syar’i].’ (HR Ahmad & Al Hakim)” pungkasnya. [] Raras

Sabtu, 04 Maret 2023

𝐏𝐀𝐉𝐀𝐊 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐃𝐈𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀𝐏 𝐇𝐀𝐑𝐀𝐌 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐙𝐀𝐋𝐈𝐌𝐀𝐍 (𝐏𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚 𝟗𝟗 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐊𝐡𝐢𝐥𝐚𝐟𝐚𝐡: 𝟑 𝐌𝐚𝐫𝐞𝐭 𝟏𝟗𝟐𝟒 𝐌 - 𝟑 𝐌𝐚𝐫𝐞𝐭 𝟐𝟎𝟐𝟑 𝐌)

Tinta Media - Banyak kerusakan yang ditimbulkan pasca-runtuhnya Khilafah. Salah satunya adalah kaum Muslim tidak menganggap lagi pajak sebagai keharaman dan kezaliman. Lebih parahnya lagi menganggap negara tidak mungkin dapat terselenggara tanpa pajak. 
.
Padahal pajak adalah teknik memeras rakyat yang dilakukan kafir penjajah (𝑘𝑎𝑓𝑖𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑏𝑖 𝑓𝑖'𝑙𝑎𝑛) di berbagai belahan dunia termasuk penjajah Belanda di Indonesia tempo dulu. Hal itu dilakukan karena mereka tidak puas bila hanya mengeruk sumber daya alam negeri-negeri kaum Muslim.  
.
Saat ini, boleh saja Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya mengaku merdeka, dengan mendirikan 57 negara bangsa di atas puing-puing khilafah. Tetapi sejatinya tetap terjajah. 
.
Buktinya? Sumber daya alam yang hasilnya melimpah tetap saja diserahkan kepada kafir penjajah. Rakyat tetap ditarik pajak, bahkan rakyat miskin sekadar beli mi instan di warung kecil saja sudah dipajaki!
.
Pajak ini untuk siapa? Untuk antek-antek penjajah agar mereka bisa menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan keinginan kafir penjajah. Mereka berusaha sekuat tenaga mencegah kaum Muslim untuk menyadari fardhu kifayah menegakkan kembali syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
.
Bila kaum Muslim sadar, tentu kaum Muslim hanya ingin hidup dalam naungan khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. 
.
Karena selain fardhu kifayah, ketika khilafah diterapkan dengan baik dan benar sebagaimana ketentuan ajaran Islam, maka sumber daya alam yang berlimpah yang kini dikuasai kafir penjajah akan direbut kembali oleh khalifah. Termasuk tambang emas yang dirampok Freeport (AS); tambang minyak yang dihisap British Petroleum (Inggris); tambang nikel yang dijarah Zhejiang Huayou Cobalt (Cina).  
.
Karena itu semua termasuk 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ (kepemilikan umum), yang haram dikuasai swasta, negara asing, apalagi kafir penjajah! Negara (khilafah) wajib mengelolanya. Hasilnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satunya untuk fasilitas dan biaya operasional pendidikan dan kesehatan. Sehingga rakyat dapat mengaksesnya dengan sangat murah bahkan gratis. 
.
Dengan pengelolaan 𝑚𝑖𝑙𝑘𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑚𝑚𝑎ℎ dan sumber penghasilan lainnya yang diatur sesuai ajaran Islam, khilafah mampu berjalan dengan baik dan sama sekali tidak memungut pajak. 
.
Tentu hal itu sangat menguntungkan seluruh rakyat khilafah baik Muslim maupun kafir dzimni (non-Muslim warga negara khilafah), karena semuanya wajib diurus (𝑟𝑖𝑎𝑦𝑎ℎ) sebaik-baiknya oleh khalifah.
.
Hanya saja, kafir penjajah tentu tidak akan terima. Karena sumber penghasilan mereka dari memeras dan menguras sumber daya negeri-negeri Islam akan terhenti. Oleh karena itu, mereka melalui para anteknya terus-menerus menghembuskan propaganda radikal-radikul dan moderat mudarat. Tujuannya, agar kaum Muslim yang masih awam menjauh dari para pengemban dakwah Islam kaffah, sehingga kafir penjajah dapat tetap menjajah dengan terus mengeruk sumber daya alam kita, dan antek-anteknya dapat terus hidup mewah dengan menarik pajak dari keringat kita. 
.
Inilah salah satu petaka yang terjadi pasca-runtuhnya khilafah 99 tahun yang lalu (3 Maret 1924 M-3 Maret 2023 M). Semoga kaum Muslim menyadari dan berjuang menunaikan fardhu kifayahnya. 𝐴𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛.[]
.
Depok, 10 Sya'ban 1444 H | 3 Maret 2023 M
.
.
Oleh: Joko Prasetyo 
Jurnalis
.
https://bit.ly/3ZA2cAx
https://bit.ly/3ZA2cAx
https://bit.ly/3ZA2cAx

Minggu, 26 Februari 2023

Utang Riba Tembus 7733 T, Ini Sebabnya...


Tinta Media - Peneliti dari FAKKTA (Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran) Muhammad Hatta, S.E., M.M. mengungkap penyebab utang riba di negeri ini yang mencapai 7.733 T.

"Berkaitan dengan kebijakan fiskal misalnya, kenapa utang kita sampai akhir tahun ini sudah tembus 7.733 triliun? Ini karena memang salah satu sumber pendapatan itu adalah utang," tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum edisi ke-51 : Pemerintah Mempraktikkan Ideologi/Paham Kapitalisme, Selasa (31/01/2023) di kanal Youtube LBH Pelita Umat.

Menurutnya, utang itu menjadi sumber pendapatan kedua yang sangat diandalkan selain pajak. "Jadi, kalau kita melihat kenapa kemudian utang itu begitu tinggi? Itu adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi kapitalistik," ujarnya.

Pajak

Selain utang, Hatta juga menyoroti tingginya angka pajak di negeri ini. Ia menjelaskan bahwa 80% lebih pendapatan negara ini dari pajak. "81,8% itu adalah dari pajak tahun 2022, tahun 2023 kalau kita lihat APBN sekitar 82% lebih. Sementara untuk yang non pajak hanya sekitar 17,9%, itu tahun 2023," jelasnya.

Hatta memandang, kapitalistiknya ekonomi sebuah negara, sebuah bangsa itu dilihat dari sisi kebijakan fiskal. Dari sisi pajak sangat diandalkan, sementara dari sisi sumber daya alam justru menjadi semakin kecil kontribusinya. "Itu dari sisi kebijakan fiskal," tandasnya.

Masih berkait dengan kebijakan fiskal, Hatta menerangkan bagaimana upaya penyelesaian meningkatnya angka kemiskinan di tahun 2023 ini dengan sebuah kebijakan yang mampu menyelesaikan urusan kemiskinan tersebut.

"Kita anggaplah total penduduk miskin itu saya asumsikan 120 juta total rumah tangga miskin itu. Kalau jumlah anggota rumah tangga miskin itu 4 orang, berarti ada 30 juta keluarga. 30 juta keluarga rumah tangga miskin kita kasih 100 juta saja per rumah tangga, itu bisa dengan APBN yang ada sebenarnya. Sebenarnya bisa. Tinggal dipotong saja 25% per tahun APBN kita, misalnya saya simulasikan ini adalah dari tahun 2010 gitu ya sampai 2011-2018 itu bisa memberikan subsidi 100 juta per rumah tangga. Selesai urusan kemiskinan," terangnya meyakinkan.

Ia menyesalkan setiap bulan ada fakta banyaknya orang miskin, banyaknya orang stunting, kekurangan gizi, gizi buruk, dan sebagainya. Padahal ini bisa dengan hitung-hitungan sederhana. "Bisa, tapi kenapa menjadi sulit? Karena kebijakan fiskal, kerangka tata kelola fiskal kita adalah kapitalistik," sesalnya.

Lagi, Hatta melanjutkan, misalnya dalam konteks pembayaran bunga. Tahun 2023 ini, pembayaran bunga 441 triliun. Ini kalau kita bandingkan dengan total beban jaminan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, bantuan sosial, subsidi, totalnya 498 triliun.

"Tiga belanja tadi, dibandingkan dengan bayar bunga utang, maka itu 76% jadinya. Bayar utang tahun 2023, itu 76%. Jadi apa? Inilah kebijakan fiskal ekonomi yang kapitalistik begitu nampak," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Rabu, 08 Februari 2023

Target Pendapatan Pajak 80 Persen, Analis: Indonesia Jadi Negara Pemalak Rakyat

Tinta Media - Prioritas pendapatan negara dengan postur 80% dari pajak, menurut Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan, menjadikan Indonesia menjadi negara pemalak rakyat. 

“Rakyat negara kita hari ini seolah-olah menjadi pesakitan karena negaranya adalah negara pemalak atau daulah jibariyah, bukan negara yang memberikan pelayanan,” ungkapnya dalam [LIVE] Majelis Al Buhuts Al Islamiyah - 2023 Target Tertinggi, Pajak dalam Sistem Kenegaraan Islam? Ahad (29/1/2023) di channel YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Menurutnya, kalau negara ingin meningkatkan pendapatan maka prioritas pertama, kalau dengan postur 80% lebih itu dari pajak pasti kembalinya adalah nguber-nguber rakyatnya. "Ngejar-ngejar rakyatnya,” ujarnya.

Fajar merasa bahwa beberapa tahun terakhir ini, warga negara sudah diintimidasi oleh negara. Rakyat diintimidasi dengan berbagai macam tagihan, mulai dari pajak, BPJS, retribusi, dan lain-lain.

“Sekali bayar pajak itu terus dikejar pajaknya masih ada yang sembunyikan atau tidak? Ada kurang bayar atau tidak? Jadi, ASN juga sama, dipajakin, yang pebisnis juga sama, panjenengan juga dipajakin,“ ungkapnya.

Karenanya, ia mengatakan tidak heran para penarik pajak berkeliling sampai ke desa-desa dan rumah-rumah. "Bahkan ke kantor-kantor untuk mengejar pajak rakyat" pungkasnya.[] Wafi

Rabu, 10 Agustus 2022

Mampukah Pajak Menyejahterakan Rakyat?

Tinta Media - Beban kebutuhan rakyat saat ini makin meningkat. Minimnya mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan tersebut menjadi salah satu kendala tidak terjaminnya kesejahteraan hidup. Belum lagi dengan berbagai macam bentuk tagihan yang menyulitkan rakyat, mulai dari bahan pangan, kendaraan, dan juga tempat tinggal.

Lemahnya pengurusan negara atas jaminan hidup masyarakat menjadikan beban rakyat makin menumpuk. Alih-alih memikirkan terpenuhinya beban pungutan yang ditetapkan negara, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan saja cukup kesulitan. 

Ketika mendambakan kehidupan yang lebih layak, mereka harus bekerja keras demi memenuhi hal tersebut. Namun, tak banyak yang mampu mencapainya akibat tidak adanya kemudahan yang didapatkan masyarakat untuk mencukupi kehidupan mereka.

Maka suatu hal yang wajar ketika masyarakat mulai komplain terkait beratnya beban yang mereka tanggung. Salah satunya terkait dengan pajak, seperti yang diberitakan oleh detik.com tentang tagar stop bayar pajak yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Munculnya tagar tersebut membuat Mentri Keuangan Sri Mulyani juga ikut merespon dengan ungkapan bahwa yang tidak ingin bayar pajak berarti tidak ingin melihat indonesia maju.

Hal ini diperkuat dengan apa yang dikutip dari Bisnis.com bahwa pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.

Merespon dari kutipan di atas, kita mampu melihat bahwa pajak merupakan hal pokok yang dipegang oleh negara sebagai salah satu sarana yang memenuhi pemasukan negara. Sehingga, pajak menjadi suatu keharusan bagi negara untuk ditetapkan kepada rakyat walaupun tanggungan tersebut cukup membuat masyarakat kewalahan.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak dan utang memang merupakan sumber pemasukan negara. Maka, ketika pajak diberhentikan, perekonomian negara akan terhambat dan dikhawatirkan akan berakhir pada kesengsaraan rakyat.

Sistem ini ibarat buah simalakama. Ketika tetap dijalankan, akan berdampak besar bagi rakyat yang bahkan mampu menelan korban akibat besarnya tanggungan, sedangkan ketika dihentikan, maka negara akan mengalami krisis yang tajam karena tak memiliki pemasukan lain. 

Bagaikan hidup di lingkaran setan, tidak ada kenyamanan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan selama kita masih menggunakan sistem ekonomi kapitalis ini. Hal ini karena asasnya hanya berpacu pada untung dan manfaat belaka, tanpa memandang apakah hal tersebut mampu menyejahterakan rakyat ataukah tidak. 

Masyarakat dalam sistem ini hanya akan menjumpai bahwa orang yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini adalah fenomena yang lumrah yang ditumbuhsuburkan oleh sistem kapitalisme.

Hal ini akan jauh berbeda ketika kita diatur oleh aturan Islam dalam menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk masalah perekonomian. Ini karena sejatinya Islam dalam menerapkan sistem ekonominya memiliki pos-pos pemasukan yang jelas, tidak memandang sebatas untung dan manfaat belaka, melainkan akan memeberikan kesejahteraan dan pelayanan total kepada masyarakat berdasarkan aturan Islam, termasuk dalam hal ekonomi.

Adapun pos pemasukan dalam sistem ekonomi Islam tidak berdasarkan pada pajak dan utang. 

Pertama, pemasukannya berasal dari kepemilikan umum yang mencakup sumber daya alam secara keseluruhan yang akan dikelola oleh negara secara langsung dan hasilnya akan diperuntukkan demi kemaslahatan hidup masyarakat. 

Tidak seperti saat ini, kekayaan alam di negeri ini tidaklah dikelola langsung oleh negara, melainkan diserahkan kepada pihak swasta yang nantinya hasil dari pengelolaan itu tidak akan mengalir kepada rakyat, melainkan kembali ke kantong pribadi. 

Lemahnya pengelolaan negara atas aset tersebut menjadikan negeri ini bergantung kepada pihak asing dan tak mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyat.

Kedua, pemasukannya berasal dari kepemilikan negara yang mencakup harta fai, jizyah, kharaj dan sebagainya yang berasal dari harta nonmuslim dan didapatkan secara damai tanpa melalui peperangan. Dari harta ini, negara akan memperuntukkannya demi kemaslahatan bersama. Harta tersebut tidak dipergunakan untuk urusan kepentingan segelintir elit belaka.

Ketiga, pemasukannya berasal dari harta zakat yang nanti akan terkumpul pada baitul mal yang merupakan tempat terkumpulnya harta kaum muslimin. Peruntukkannya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tercakup dalam delapan asnaf.

Inilah salah satu peran negara didalam Islam untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat dengan pelayanan langsung. Dengan begitu, rakyat tak akan merasakan beban kehidupan yang memusingkan. Negara harusnya tidak menjadi kaki tangan atau fasilitator langgengnya privatisasi asing atas seluruh kekayaan negeri yang tidak berujung pada pelayanan atas masyarakat. 

Inilah cara Islam untuk menuntaskan masalah perekonomian yang menjadi polemik di negeri ini. Namun, hal tersebut tidak akan bisa kita rasakan selama kita masih bergantung pada sistem kapitalis sekuler yang senantiasa menjauhkan urusan agama dalam kehidupan. Sejatinya, Islam bukan hanya sekadar agama warisan belaka, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang nantinya akan membimbing individu, masyarakat, dan negara untuk tetap berada pada koridor yang di tetapkan oleh Allah Swt.

Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti, S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Minggu, 07 Agustus 2022

Pajak, Upeti Modern ala Rezim Kapitalis

Tinta Media - Pemerintah memberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 14 Juli 2022 lalu untuk ditransisikan sampai tahun 2023 dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh. Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prabowo menuturkan bahwa hal ini tidak lantas membuat setiap yang memiliki NIK wajib membayar pajak. Ini karena wajib pajak adalah orang Indonesia yang memiliki penghasilan sebesar 4,5 juta rupiah per bulan, jika kurang maka tak usah mendaftar jadi wajib pajak. Ia menegaskan bahwa peresmian NIK sebagai NPWP dimaksudkan untuk mempermudah administrasi antara masyarakat dan pemerintah. 

Hal ini senada dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam acara sosialisasi UU Harmonisasi Perpajakan. Ia mengatakan bahwa pajak itu adalah prinsip keadilan, jadi jika belum punya income, tidak perlu bayar pajak.

Nyatanya, saat ini setiap orang dipaksa membayar pajak untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik memiliki penghasilan ataupun tidak. Semua barang dan layanan jasa saat ini telah dikenai pajak. Padahal, adanya kenaikan pungutan pajak membuat biaya hidup semakin tinggi di tengah impitan ekonomi.

Sontak hal ini menjadi pemicu aksi masyarakat membuat tagar stop bayar pajak yang viral di medsos. Saat rakyat menyuarakan ingin bebas dari pajak, pemerintah malah membuat aturan tidak boleh ada rakyat yang lolos dari pajak, melalui pengintegrasian identitas kependudukan menjadi kartu wajib pajak. Bahkan, Sri Mulyani memberikan komentar jika tidak mau bayar pajak berarti tidak mau Indonesia maju. Inilah bukti bahwa rezim saat ini bukan pengurus dan pemberi solusi bagi rakyat, tetapi 'rezim pemalak'.

Pajak dan utang memang menjadi pemasukan utama negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal seperti negeri kita ini. Ironi memang, karena kita hidup di negeri yang mendapat julukan gemah ripah loh jinawi, memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah. Ternyata pemasukan negara dari sumber daya alam (SDA) sangatlah minim. Ini karena sistem saat ini melegalkan swastanisasi kekayaan alam, baik pada swasta lokal ataupun asing, bukan mengelola sendiri. Negara hanya memperoleh pemasukan dari pajak yang dikenai pada pengelolaan SDA tersebut sehingga pemasukannya tak seberapa.

Alhasil, rakyat menjadi objek penderita untuk menambah pendapatan kas negara dengan kewajiban membayar pajak walaupun mereka miskin. Mirisnya, rakyat tak banyak merasakan dampak positif dari pengelolaan pajak tersebut.

Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam atau khilafah yang mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Khilafah mampu membiayai negara tanpa adanya pajak dan utang, yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki 12 pos pemasukan bagi negara yang disimpan di Baitul Mal. Di antaranya adalah dari pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah.

Negara akan menerapkan pembagian kepemilikan sesuai dengan syariat, yakni kepemilikan umum, negara, dan individu. Tambang merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh diprivatisasi, apalagi diserahkan kepada asing. Ini akan menjadi pemasukan negara yang sangat berlimpah ruah.

Adapun salah satu pemasukan negara, yakni dharibah yang selalu disamakan dengan pajak, kenyataannya sangatlah berbeda. Dharibah hanya dipungut jika kas negara di Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan wajib yang harus dipenuhi, jika tidak terpenuhi akan terjadi bahaya (dharar) pada kaum muslimin dan tidak boleh diwajibkan lebih dari kebutuhan untuk pembiayaan tersebut. Artinya, dharibah bersifat insidental dan hanya ditujukan kepada yang memenuhi dua syarat.

Pertama, hanya boleh diambil dari kaum muslim saja, tidak boleh dari kaum nonmuslim.

Kedua, hanya boleh diambil dari muslim yang kaya, yaitu yang mempunyai kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dan sekundernya secara sempurna, sesuai dengan standar hidup di wilayah tersebut. Jika tidak ada kelebihan harta, dharibah tidak akan dipungut darinya.

Dalam Islam, negara tidak menjadikan pajak sebagai alat untuk menekan pertumbuhan ekonomi. Bukan untuk menghalangi orang untuk kaya maupun untuk menambah pemasukan negara. Namun, pajak hanya dipungut untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan oleh Syariah Islam ketika tidak ada dana kas negara.

Negara tidak akan pernah memungut pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak jual beli, dan berbagai macam pajak apa pun seperti saat ini. Bahkan, tidak ada biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan secara gratis dengan kualitas terbaik. Bahkan, tidak akan ada biaya administrasi seperti denda layanan listrik, PLN dan lainnya. Termasuk pembuatan SIM, KTP, KK dan surat menyurat.

Adanya pengaturan tersebut menjadikan negara yang menerapkan sistem Islam atau Khilafah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat selama kurang lebih 13 abad masa pemerintahannya. 

Wallahualam bi'shawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 09 April 2022

Semakin Sengsara dengan Lonjakan PPN

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1yPTSd-ZDifyK_ettH_VoW0N1qzyLA_82

Tinta Media - Sebagaimana dilansir dari CNB Indonesia, Jum'at (25/03/2022), bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Kebijakan yang diputuskan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda meski banyak penolakan. Sementara itu di satu sisi, pajak penghasilan badan diturunkan.

Bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kebijakan kontroversial ini mendapat resistensi besar dari masyarakat. Penolakan tersebut karena tidak ada unsur keadilan yang selama ini selalu didengung-dengungkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajarannya.

Aroma ketidakadilan tersebut antara lain terasa ketika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pada konsumen akhir dalam hal ini rakyat jelata naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun, di saat yang sama pajak penghasilan (PPH) yang dikenakan kepada perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan 20%, tetapi akhirnya di batalkan.

Indonesia menjadi bagian dari Presidensi G20 mulai sejak 1/12/2021 hingga 30/10/2022. Pajak juga menjadi momentum bahwa Presidensi G20 seolah perlu dioptimalkan agar posisi Indonesia dalam kerja sama perdagangan dan investasi bisa lebih memiliki magnet yang lebih.

Setelah pandemi Covid-19, negara anggota G20 sepakat melakukan perombakan ulang mekanisme fiskal dan moneter. Akan tetapi, Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya sadar diri agar efek normalisasi ini tidak merugikan rakyat.

Alasan pemerintah tentang perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20, memang jika dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah
Namun, seharusnya juga dilihat dari pendapatan negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi dibandingkan dengan negara Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Dengan Malaysia saja bahkan tidak bisa dibandingkan, masih tertinggal.

Kebijakan pemerintah dengan paradigma kapitalis liberal jelas selalu berpihak pada para kapital. Pemalakan harta rakyat dengan legalitas pajak dianggap sebagai bentuk kewajiban dan ketaatan warga kepada pemerintah.

Rakyat yang menjadi wajib pajak dituntut untuk membayar pajak tepat waktu. Jika terlambat, maka akan terhitung utang dan dikenakan denda. Selain itu. pajak juga dipungut tanpa ada batas waktu.

Hal tersebut jelas merupakan pungutan yang batil dan pasti bertentangan dengan Islam.

Negara dengan sistem kapitalis memang menjadikan pajak yang zalim sebagai sumber tetap pemasukan negara.

Ini berbeda dengan Syariah Islam. Sumber tetap pemasukan negara berasal dari harta _fa’i, jizyah, kharaj,_ seperlima harta _rikaz_ dan _zakat._ Seluruh pemasukan ini dipungut secara tetap, baik diperlukan atau tidak. Selain itu, terdapat sumber pendapatan lain yang disimpan di _Baitul Maal_, yaitu dari harta kepemilikan umum atau kepemilikan negara.

Anggaran pendapatan tersebut akan disimpan di _Baitul Maal._ Adapun pengelolaannya, diserahkan kepada orang-orang yang amanah, maka sedikit kemungkinan terjadi manipulasi.

Dengan seluruh sumber pendapatan tersebut dan pengelolaan yang baik, maka negara mampu menyejahterakan dan membiayai keperluan rakyat.

Jika pemasukan masih tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara akan memberlakukan pemungutan pajak. Namun, ini hanya diberlakukan sewaktu-waktu dan hanya dibebankan pada kaum muslimin yang memiliki kekayaan banyak.

Akan tetapi, jika pemasukan negara yang bersifat tetap tersebut sudah memenuhi kebutuhan pembiayaan negara, maka pajak tidak akan dipungut. Dengan demikian, pajak dalam sistem Islam bukan menjadi sumber penerimaan utama kas negara yang menjadi beban rakyat.

Pajak dalam syariat Islam adalah pungutan sementara yang dilakukan oleh negara ketika kas _baitul maal_ mengalami kekosongan atau kekurangan. Dengan begitu, kebijakan pendapatan negara tidak akan membebani rakyat.

Pajak bersifat mendadak. Pajak hanya ditarik saat _Baitul Maal_ kosong, sedangkan ada kewajiban negara yang harus terpenuhi. Peruntukannya juga hanya untuk kalangan tertentu, yakni _aghniya_ atau orang yang memiliki kelebihan harta.

Tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak juga tidak diambil secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara  terpenuhi, penarikan pajak pun  akan dihentikan.

Apabila seluruh aspek perekonomian negara berjalan di atas pondasi sistem ekonomi Islam, mekanisme pajak tidaklah akan membebani rakyat seperti saat ini. Negara akan menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat sehingga motif utama negara adalah mengupayakan agar hajat hidup umat terpenuhi.

Ini semua tidak akan terwujud kecuali dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum muslimin terdahulu.

Wallahu ta'ala a'lam

Oleh: Fastaghfiru Ilallah
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab