KRITIK ATAS PAHAM SEKULARISME RADIKAL DAN ANTI INTELEKTUAL DI INDONESIA
Tinta Media - Karena konsisten mendakwahkan khilafah sebagai ajaran Islam, beberapa web Islam oleh pihak tertentu digolongkan ke dalam daftar situs web pro radikal dan teroris oleh sebuah bulletin yang mengatasnamakan Islam, bagaimana umat harus menyikapinya?
Pertama, tentu saja bulletin tersebut tidak mewakili ajaran Islam, namun mewakili ajaran sekulerisme, bahkan mungkin sekuler radikal. Bulletin yang namanya islami mestinya justru menggambarkan pemikiran Islam isinya. Jika isinya justru menyerang dan menuduh ajaran Islam khilafah sebagai radikalisme dan terorisme dan mendukung demokrasi sekuler, maka nama bulletin itu tidak mewakili pemikiran Islam. Dalam filsafat, namanya paradoks.
Kedua, bulletin tersebut tidak menghargai perbedaan pendapat dan diskursus intelektual. Apakah isi bulletin ini menjamin 100 persen kebenaran, tidak juga kan ?. Jika benar, pertanyaannya benar menurut siapa ? Apakah benar menurut Al Qur’an dan Hadist atau benar menurut manusia dan atau pemerintah ?. Pertanyaan ini harus dijawab dulu, baru berdiskusi. Dalam Islam benar dan salah itu harus menurut Allah dan Rasulullah, bukan menurut manusia apalagi pemerintah.
Ketiga, bulletin ini tidak memiliki kesadaran politik Islam. Padahal narasi radikalisme dan terorisme itu merupakan agenda Barat untuk menyasar Islam. Narasi radikalisme dan terorisme itu bagian dari ghozwul fikr, hal ini nampaknya tidak disadari oleh bulletin ini. Pencerahan atas persoalan ini yang ditulis oleh web-web Islam justru dianggap kontraproduktif, padahal tujuannya justru untuk menyadarkan umat dari bahaya ghozwul fikr ini. Semoga bulletin itu lebih memahami lagi masalah perang pemikiran ini.
Keempat, bulletin ini telah melakukan tuduhan yang tidak layak kepada ajaran Islam, yakni khilafah sebagai ajaran berbahaya. Tuduhan ini tentu saja justru berbahaya dan bisa memicu kegaduhan di kalangan umat Islam. Padahal dalam banyak kitab ulama klasik istilah khilafah dan jihad itu biasa dan bagus, bukan membahayakan.
Hal ini tercantum di halaman 21 dalam bulettin Islamina yang menulis : rekomendasi penting untuk pemerintah harus meningkatkan langkah-langkah strategis melawan berkembangnya narasi yang membahayakan seperti ini. Sekilas memang menyajikan alternatif menarik tetapi jika dipahami secara mendalam justru mengandung unsur aksi radikal dan kejam.
Pemahaman yang mendalam oleh bulletin ini justru tidak didasarkan oleh referensi para ulama terdahulu yang telah ratusan tahun membicarakan soal sistem politik Islam, bahkan para ulama memberikan gambaran yang begitu indah kehidupan manusia yang diatur oleh sistem Islam. Tak ketinggalan para cendekiawan barat yang obyektif justru mengakui keindahan peradaban Islam dibawah naungan khilafah ini.
Jika dalam web Islam itu ada penolakan atas demokrasi, tentu saja sah-sah saja sebagai bagian dari diskursus intelektual. Jangan lantas dituduh radikal bagi orang-orang yang menolak demokrasi. Bahkan plato dan socrates juga menolak demokrasi, apakah mereka juga radikal dan teroris ?. Apakah bulletin tersebut sudah membaca bahwa socrates dan plato itu menolak demokrasi?
Terungkap dalam dialog Plato, bahwa bapak pendiri filsafat Yunani Socrates, digambarkan sangat pesimis terhadap keseluruhan demokrasi. Dilansir laman The School of Life, dalam Buku Enam Republik, Plato menggambarkan Socrates terlibat dalam percakapan dengan karakter bernama Adeimantus. Socrates mencoba membuatnya melihat kekurangan demokrasi dan membandingkan masyarakat dengan kapal. Pandangan kontra demokrasi Socrates ini diikuti oleh muridnya yang bernama Plato. Sedihnya, kisah ini berakhir tragis karena Socrates akhirnya dihukum mati hanya karena berbeda pendapat ini. Apakah bulletin islamina sudah membaca kisah ini ?.
Berikutnya di halaman yang sama, bulletin ini menulis : setidaknya ada dua strategi yang bisa dikembangkan sebagai suatu pendekatan dan upaya preventif. Pertama dengan menggunakan soft approach (pendekatan halus) melakukan kontra narasi dari mediamedia keislaman yang radikal. Kedua dengan menggunakan hard approach melalui upaya - upaya advokasi dan hukum yang berlaku.
Pertanyaanya sejak kapan ajaran Islam melanggar hukum di negeri ini? Apakah sholat, zakat, haji juga melanggar hukum di negeri ini? Bukankah dalam UU di negeri ini justru tercantum kebebasan meyakini ajaran agamanya bagi umatnya. Jika ada umat Islam meyakini khilafah dan jihad sebagai ajaran Islam, lantas apa salahnya ?. Anjuran hard approach sebagai pendekatan solusi tentu saja bertentangan dengan demokrasi yang diajarkan di negeri ini. Bukankan dalam demokrasi itu memberikan ruang perbedaan pemikiran sebagai bentuk diskursus dan dialektika agar negeri ini terus tumbuh menjadi lebih baik. Mengapa pemikiran dijadikan tertuduh, atau bahkan mengapa di negeri ini ajaran agama Islam menjadi tertuduh ?.
Bulletin ini menutup tulisannya dengan paragraf : Catatan penting yang perlu dipertimbangkan adalah melibatkan masyarakat akar rumput untuk memiliki wawasan terkait indikasi adanya radikalisme. Sebab justru ada di tangan merekalah suatu paham radikal akan menjadi aksi radikal dan demikian juga sebaliknya, paham atas NKRI yang baik akan menjadi aksi nyata jika sudah diterjunkan di akar rumput baik yang ada di dunia nyata maupun dunia maya.
Paragraf ini justru akan menjadikan masyarakat saling curiga diantara rakyat yang lainnya, lebih khusus umat Islam dengan umat Islam lainnya. Apakah hal itu bukan malah lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ini? Memberikan ruang pemikiran justru menandakan bahwa negara itu tidak anti kemajuan dan tidak anti perubahan. Orang awam yang dicekoki dengan pemahaman radikal radikul yang mengarah kepada ajaran Islam adalah bentuk adu domba antar umat Islam itu sendiri, sebab masyarakat awam belum tentu bisa memahami secara mendalam istilah-istilah filsafat atau isme Barat ini.
Padahal, khilafah adalah ajaran Islam dan untuk memahami masalah ini sebenarnya sangat sederhana, karena sudah sangat jelas. Sederhana aja jawabnya, gak mungkin kan khilafah itu ajaran plato atau socrates ? Khilafah sendiri berasal dari khasanah ajaran Islam, bidang politik dan negara, jelas sebagai bagian dari ajaran Islam. Beda dengan istilah demokrasi yang bukan dari khasanah dan istilah Islam, maka otomatis berasal dari luar Islam, buktinya demokrasi kan dari Yunani. Itulah mengapa dalam Islam, seorang pemimpin negara itu disebut khalifah. Sebagaimana kata ini disinggung oleh Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”.
Yuk kita pakai logika sangat sederhana, jika disebut raja, maka karena memimpin kerajaan, disebut menteri karena memimpin lembaga kementerian, disebut sultan karena memimpin kesultanan, disebut bupati karena memimpin kabupaten, nah disebut khalifah itu kan karena memimpin khilafah, gampang kan logikanya. Anak kecil juga akan menganggukkan kepala dengan logika sederhana ini.
Kalau mau alasan yang agak serius sedikit ya bisa kita lihat di banyak kitab dan pendapat ulama tentang khilafah ini. Ulama dan kitabnya kan mewakili ajaran Islam, sebagaimana juga dipakai mayoritas umat Islam di dunia kajian tentang tafsir, fikih, usul fiqih dan lainnya sebagai bagian dari ajaran Islam. Maka, jika ada kitab para ulama yang mengkaji khilafah membuktikan bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bukan ajaran plato atau socrates.
Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.
Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”
Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."
Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.
Mengapa Syariah baik untuk negeri ini ?. Saya akan jawab dengan menggunakan analogi sederhana. Jika seseorang membeli HP merek AB, maka tata cara pengoperasiannya juga harus sesuai dengan petunjuk yang tertulis dalam buku pedomannya HP AB. Akan jadi masalah jika buku pedoman yang dipakai adalah merk CB atau buku pedoman kulkas misalnya. Mereka AB yang dimiliki oleh perusahaan AB itu tentu saja dikeluarkan aturan pakainya oleh perusahaan yang bersangkutan.
Apa jadinya jika buku pedoman pengoperasian kulkas dipakai untuk pengoperasian HP, misalnya pertama buka tutupnya dan masukkan air. Apa jadinya jika HP dimasukin air, otomastis akan rusak dan tidak bisa digunakan. Nah, analogi ini bisa kita pakai untuk syariah Islam. Bumi dan alam semesta ini ciptaan dan milik Allah. Manusia dan bintang serta tumbuh-tumbuhan adalah milik Allah.
Maka logikanya, aturan yang benar adalah merujuk pada buku pedoman yang dibuat oleh Allah. Sementara Allah menurukan Al Qur’an kepada Rasulullah berupa berbagai aturan kehidupan. Maka aturan Allah yang namanya syariat Islam adalah aturan paling tepat dan terbaik bagi kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
Lantas apa jadinya jika aturan yang digunakan adalah buku pedoman bikinan manusia seperti kapitalisme sekuler liberal atau komunisme sosialisme ateis, maka akan terjadi berbagai kerusakan seperti yang kita lihat selama ini. Berbagai kerusakan di muka bumi ini, baik di lautan maupun di daratan adalah akibat ulah tangan manusia yang tidak menggunakan aturan Allah sebagai pedomannya. Sederhana kan ?
Nah, kalau ada pertanyaan, Indonesia ini hakikatnya milik siapa ? Maka jawabnya adalah milik Allah, karena yang menciptakan bumi adalah Allah dan Indonesia berada di bumi milik Allah. Jika ada pertanyaan, jika demikian, hukum siapa yang lebih baik, hukum Allah atau hukum manusia, tentu jawabnya hukum Allah lebih baik dari hukum manusia. Bahkan Allah menegaskan dengan pertanyaan, hukum Allah atau hukum jahiliyah yang lebih baik ? Orang-orang muslim yang berikan tentu saja akan menjawab bahwa hukum Allah lebih baik dari hukum jahiliyah.
Karena itu adalah kejahatan terbesar jika ada orang yang mengaku muslim tapi anti syariah Islam bahkan menuduh syariah Islam atau ajarannya sebagai ajaran yang berbahaya karena radikal. Adalah kejahatan yang besar jika ada muslim yang menuduh muslim yang mendakwahkan ajaran Islam sebagai teroris. Apa yang hendak mereka katakan di hadapan Allah dengan tuduhan itu ?. Apakah tuduhan itu hanya karena ada yang bayar, entahlah, tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang.
Siapa sesungguhnya ancaman bagi negeri ini, khilafah atau kapitalisme sekuler ? Jelas, kalau dipahami secara mendalam berdasarkan fakta yang ada, justru kapitalisme sekuler liberal yang merupakan paham dan isme dari Barat inilah yang telah menjadikan negeri ini berantakan. Lihatkan kemiskinan rakyat yang tak pernah kunjung selesai. Sumber daya alam milik rakyat justru dikuasai oleh segelintir oligarki. Rakyat sendiri menjadi babu di negerinya sendiri. Negara makin menggunung utangnya, sementara rakyat yang harus menanggung.
Ketika bukan syariat Islam yang diterapkan lihatlah betapa amoralitasnya generasi bangsa ini, banyak yang terjenak miras, LGBT, seks bebas, perjudian, pemerkosaan, penipuan, korupsi dan lainnya. Jika mau jujur dan cerdas melihat negeri ini dengan kaca mata seorang muslim, maka akan sadar sesadar-sadarnya bahwa kapitalisme lah yang menjadi biang kerok masalah di negeri ini, bukan syariat Islam.
Benarkah narasi radikalisme dan terorisme agenda Barat ? Apa indikasinya ? Radikalisme adalah istilah yang dikonstruk oleh epistemologi Barat, bukan dari khasanah ajaran Islam. Radikalisme berasal dari kata radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata “akar” atau mengakar.
Secara historis, istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.
Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang lahir dari ideologi kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan.
Istilah radikalisme mengalami semacam politisasi makna, istilah radikal oleh Barat kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Ini adalah fakta sejarah, bukan ilusi apalagi fitnah. Menggunakan istilah radikal untuk Islam merupakan sebuah kerancuan epistemologi atau cacat intelektual dan cacat historis.
Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dnegan lahap.
Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika, lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Islam Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam Barat. Inilah bukti bahwa narasi radikalisme adalah agenda Barat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 13/01/23 : 09.16 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
Pertama, tentu saja bulletin tersebut tidak mewakili ajaran Islam, namun mewakili ajaran sekulerisme, bahkan mungkin sekuler radikal. Bulletin yang namanya islami mestinya justru menggambarkan pemikiran Islam isinya. Jika isinya justru menyerang dan menuduh ajaran Islam khilafah sebagai radikalisme dan terorisme dan mendukung demokrasi sekuler, maka nama bulletin itu tidak mewakili pemikiran Islam. Dalam filsafat, namanya paradoks.
Kedua, bulletin tersebut tidak menghargai perbedaan pendapat dan diskursus intelektual. Apakah isi bulletin ini menjamin 100 persen kebenaran, tidak juga kan ?. Jika benar, pertanyaannya benar menurut siapa ? Apakah benar menurut Al Qur’an dan Hadist atau benar menurut manusia dan atau pemerintah ?. Pertanyaan ini harus dijawab dulu, baru berdiskusi. Dalam Islam benar dan salah itu harus menurut Allah dan Rasulullah, bukan menurut manusia apalagi pemerintah.
Ketiga, bulletin ini tidak memiliki kesadaran politik Islam. Padahal narasi radikalisme dan terorisme itu merupakan agenda Barat untuk menyasar Islam. Narasi radikalisme dan terorisme itu bagian dari ghozwul fikr, hal ini nampaknya tidak disadari oleh bulletin ini. Pencerahan atas persoalan ini yang ditulis oleh web-web Islam justru dianggap kontraproduktif, padahal tujuannya justru untuk menyadarkan umat dari bahaya ghozwul fikr ini. Semoga bulletin itu lebih memahami lagi masalah perang pemikiran ini.
Keempat, bulletin ini telah melakukan tuduhan yang tidak layak kepada ajaran Islam, yakni khilafah sebagai ajaran berbahaya. Tuduhan ini tentu saja justru berbahaya dan bisa memicu kegaduhan di kalangan umat Islam. Padahal dalam banyak kitab ulama klasik istilah khilafah dan jihad itu biasa dan bagus, bukan membahayakan.
Hal ini tercantum di halaman 21 dalam bulettin Islamina yang menulis : rekomendasi penting untuk pemerintah harus meningkatkan langkah-langkah strategis melawan berkembangnya narasi yang membahayakan seperti ini. Sekilas memang menyajikan alternatif menarik tetapi jika dipahami secara mendalam justru mengandung unsur aksi radikal dan kejam.
Pemahaman yang mendalam oleh bulletin ini justru tidak didasarkan oleh referensi para ulama terdahulu yang telah ratusan tahun membicarakan soal sistem politik Islam, bahkan para ulama memberikan gambaran yang begitu indah kehidupan manusia yang diatur oleh sistem Islam. Tak ketinggalan para cendekiawan barat yang obyektif justru mengakui keindahan peradaban Islam dibawah naungan khilafah ini.
Jika dalam web Islam itu ada penolakan atas demokrasi, tentu saja sah-sah saja sebagai bagian dari diskursus intelektual. Jangan lantas dituduh radikal bagi orang-orang yang menolak demokrasi. Bahkan plato dan socrates juga menolak demokrasi, apakah mereka juga radikal dan teroris ?. Apakah bulletin tersebut sudah membaca bahwa socrates dan plato itu menolak demokrasi?
Terungkap dalam dialog Plato, bahwa bapak pendiri filsafat Yunani Socrates, digambarkan sangat pesimis terhadap keseluruhan demokrasi. Dilansir laman The School of Life, dalam Buku Enam Republik, Plato menggambarkan Socrates terlibat dalam percakapan dengan karakter bernama Adeimantus. Socrates mencoba membuatnya melihat kekurangan demokrasi dan membandingkan masyarakat dengan kapal. Pandangan kontra demokrasi Socrates ini diikuti oleh muridnya yang bernama Plato. Sedihnya, kisah ini berakhir tragis karena Socrates akhirnya dihukum mati hanya karena berbeda pendapat ini. Apakah bulletin islamina sudah membaca kisah ini ?.
Berikutnya di halaman yang sama, bulletin ini menulis : setidaknya ada dua strategi yang bisa dikembangkan sebagai suatu pendekatan dan upaya preventif. Pertama dengan menggunakan soft approach (pendekatan halus) melakukan kontra narasi dari mediamedia keislaman yang radikal. Kedua dengan menggunakan hard approach melalui upaya - upaya advokasi dan hukum yang berlaku.
Pertanyaanya sejak kapan ajaran Islam melanggar hukum di negeri ini? Apakah sholat, zakat, haji juga melanggar hukum di negeri ini? Bukankah dalam UU di negeri ini justru tercantum kebebasan meyakini ajaran agamanya bagi umatnya. Jika ada umat Islam meyakini khilafah dan jihad sebagai ajaran Islam, lantas apa salahnya ?. Anjuran hard approach sebagai pendekatan solusi tentu saja bertentangan dengan demokrasi yang diajarkan di negeri ini. Bukankan dalam demokrasi itu memberikan ruang perbedaan pemikiran sebagai bentuk diskursus dan dialektika agar negeri ini terus tumbuh menjadi lebih baik. Mengapa pemikiran dijadikan tertuduh, atau bahkan mengapa di negeri ini ajaran agama Islam menjadi tertuduh ?.
Bulletin ini menutup tulisannya dengan paragraf : Catatan penting yang perlu dipertimbangkan adalah melibatkan masyarakat akar rumput untuk memiliki wawasan terkait indikasi adanya radikalisme. Sebab justru ada di tangan merekalah suatu paham radikal akan menjadi aksi radikal dan demikian juga sebaliknya, paham atas NKRI yang baik akan menjadi aksi nyata jika sudah diterjunkan di akar rumput baik yang ada di dunia nyata maupun dunia maya.
Paragraf ini justru akan menjadikan masyarakat saling curiga diantara rakyat yang lainnya, lebih khusus umat Islam dengan umat Islam lainnya. Apakah hal itu bukan malah lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ini? Memberikan ruang pemikiran justru menandakan bahwa negara itu tidak anti kemajuan dan tidak anti perubahan. Orang awam yang dicekoki dengan pemahaman radikal radikul yang mengarah kepada ajaran Islam adalah bentuk adu domba antar umat Islam itu sendiri, sebab masyarakat awam belum tentu bisa memahami secara mendalam istilah-istilah filsafat atau isme Barat ini.
Padahal, khilafah adalah ajaran Islam dan untuk memahami masalah ini sebenarnya sangat sederhana, karena sudah sangat jelas. Sederhana aja jawabnya, gak mungkin kan khilafah itu ajaran plato atau socrates ? Khilafah sendiri berasal dari khasanah ajaran Islam, bidang politik dan negara, jelas sebagai bagian dari ajaran Islam. Beda dengan istilah demokrasi yang bukan dari khasanah dan istilah Islam, maka otomatis berasal dari luar Islam, buktinya demokrasi kan dari Yunani. Itulah mengapa dalam Islam, seorang pemimpin negara itu disebut khalifah. Sebagaimana kata ini disinggung oleh Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”.
Yuk kita pakai logika sangat sederhana, jika disebut raja, maka karena memimpin kerajaan, disebut menteri karena memimpin lembaga kementerian, disebut sultan karena memimpin kesultanan, disebut bupati karena memimpin kabupaten, nah disebut khalifah itu kan karena memimpin khilafah, gampang kan logikanya. Anak kecil juga akan menganggukkan kepala dengan logika sederhana ini.
Kalau mau alasan yang agak serius sedikit ya bisa kita lihat di banyak kitab dan pendapat ulama tentang khilafah ini. Ulama dan kitabnya kan mewakili ajaran Islam, sebagaimana juga dipakai mayoritas umat Islam di dunia kajian tentang tafsir, fikih, usul fiqih dan lainnya sebagai bagian dari ajaran Islam. Maka, jika ada kitab para ulama yang mengkaji khilafah membuktikan bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bukan ajaran plato atau socrates.
Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.
Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”
Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."
Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.
Mengapa Syariah baik untuk negeri ini ?. Saya akan jawab dengan menggunakan analogi sederhana. Jika seseorang membeli HP merek AB, maka tata cara pengoperasiannya juga harus sesuai dengan petunjuk yang tertulis dalam buku pedomannya HP AB. Akan jadi masalah jika buku pedoman yang dipakai adalah merk CB atau buku pedoman kulkas misalnya. Mereka AB yang dimiliki oleh perusahaan AB itu tentu saja dikeluarkan aturan pakainya oleh perusahaan yang bersangkutan.
Apa jadinya jika buku pedoman pengoperasian kulkas dipakai untuk pengoperasian HP, misalnya pertama buka tutupnya dan masukkan air. Apa jadinya jika HP dimasukin air, otomastis akan rusak dan tidak bisa digunakan. Nah, analogi ini bisa kita pakai untuk syariah Islam. Bumi dan alam semesta ini ciptaan dan milik Allah. Manusia dan bintang serta tumbuh-tumbuhan adalah milik Allah.
Maka logikanya, aturan yang benar adalah merujuk pada buku pedoman yang dibuat oleh Allah. Sementara Allah menurukan Al Qur’an kepada Rasulullah berupa berbagai aturan kehidupan. Maka aturan Allah yang namanya syariat Islam adalah aturan paling tepat dan terbaik bagi kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
Lantas apa jadinya jika aturan yang digunakan adalah buku pedoman bikinan manusia seperti kapitalisme sekuler liberal atau komunisme sosialisme ateis, maka akan terjadi berbagai kerusakan seperti yang kita lihat selama ini. Berbagai kerusakan di muka bumi ini, baik di lautan maupun di daratan adalah akibat ulah tangan manusia yang tidak menggunakan aturan Allah sebagai pedomannya. Sederhana kan ?
Nah, kalau ada pertanyaan, Indonesia ini hakikatnya milik siapa ? Maka jawabnya adalah milik Allah, karena yang menciptakan bumi adalah Allah dan Indonesia berada di bumi milik Allah. Jika ada pertanyaan, jika demikian, hukum siapa yang lebih baik, hukum Allah atau hukum manusia, tentu jawabnya hukum Allah lebih baik dari hukum manusia. Bahkan Allah menegaskan dengan pertanyaan, hukum Allah atau hukum jahiliyah yang lebih baik ? Orang-orang muslim yang berikan tentu saja akan menjawab bahwa hukum Allah lebih baik dari hukum jahiliyah.
Karena itu adalah kejahatan terbesar jika ada orang yang mengaku muslim tapi anti syariah Islam bahkan menuduh syariah Islam atau ajarannya sebagai ajaran yang berbahaya karena radikal. Adalah kejahatan yang besar jika ada muslim yang menuduh muslim yang mendakwahkan ajaran Islam sebagai teroris. Apa yang hendak mereka katakan di hadapan Allah dengan tuduhan itu ?. Apakah tuduhan itu hanya karena ada yang bayar, entahlah, tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang.
Siapa sesungguhnya ancaman bagi negeri ini, khilafah atau kapitalisme sekuler ? Jelas, kalau dipahami secara mendalam berdasarkan fakta yang ada, justru kapitalisme sekuler liberal yang merupakan paham dan isme dari Barat inilah yang telah menjadikan negeri ini berantakan. Lihatkan kemiskinan rakyat yang tak pernah kunjung selesai. Sumber daya alam milik rakyat justru dikuasai oleh segelintir oligarki. Rakyat sendiri menjadi babu di negerinya sendiri. Negara makin menggunung utangnya, sementara rakyat yang harus menanggung.
Ketika bukan syariat Islam yang diterapkan lihatlah betapa amoralitasnya generasi bangsa ini, banyak yang terjenak miras, LGBT, seks bebas, perjudian, pemerkosaan, penipuan, korupsi dan lainnya. Jika mau jujur dan cerdas melihat negeri ini dengan kaca mata seorang muslim, maka akan sadar sesadar-sadarnya bahwa kapitalisme lah yang menjadi biang kerok masalah di negeri ini, bukan syariat Islam.
Benarkah narasi radikalisme dan terorisme agenda Barat ? Apa indikasinya ? Radikalisme adalah istilah yang dikonstruk oleh epistemologi Barat, bukan dari khasanah ajaran Islam. Radikalisme berasal dari kata radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata “akar” atau mengakar.
Secara historis, istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.
Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang lahir dari ideologi kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan.
Istilah radikalisme mengalami semacam politisasi makna, istilah radikal oleh Barat kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Ini adalah fakta sejarah, bukan ilusi apalagi fitnah. Menggunakan istilah radikal untuk Islam merupakan sebuah kerancuan epistemologi atau cacat intelektual dan cacat historis.
Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dnegan lahap.
Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika, lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Islam Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam Barat. Inilah bukti bahwa narasi radikalisme adalah agenda Barat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 13/01/23 : 09.16 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa